KATA PENGANTAR

Indonesia bukan sekadar gugusan pulau yang terbentang di khatulistiwa. Ia adalah peradaban kepulauan yang menyimpan ribuan tahun akumulasi pengetahuan manusia—tentang bintang dan tanah, tentang angin dan air, tentang hidup bersama dan berpikir tentang masa depan. Namun selama ini, pengetahuan tentang Nusantara sering kali dipinggirkan oleh narasi-narasi dominan dari luar, ditulis dalam bahasa asing, atau tercerabut dari akarnya oleh pendekatan yang mengabaikan kearifan lokal.

Buku Nusalogi: Ilmu Pengetahuan tentang Nusantara ini lahir dari kesadaran akademik sekaligus panggilan kebangsaan. Ia merupakan sebuah ikhtiar untuk membangun kembali fondasi epistemologis Indonesia, menggali ulang khazanah intelektual yang terpendam di balik naskah-naskah kuno, ritus adat, struktur arsitektur, teknologi tradisional, hingga laku hidup masyarakat adat. Buku ini bukan kumpulan romantisme masa lalu, tetapi peta ilmiah yang menunjukkan bagaimana bangsa ini pernah berpikir besar, mencipta hebat, dan berdiri terhormat di mata dunia.

Visi dari Nusalogi adalah menegaskan kembali bahwa Indonesia bukan hanya pewaris sejarah, tetapi juga produsen ilmu pengetahuan. Kita memiliki sistem pertanian yang dibangun atas pemahaman ekologi; arsitektur yang selaras dengan iklim dan kosmologi; ilmu pelayaran yang menaklukkan samudera tanpa kompas modern; serta sistem sosial yang menjaga harmoni melalui etika kolektif dan hukum adat. Semua itu bukan folklore, melainkan bentuk-bentuk pengetahuan yang harus dikaji secara serius dan ilmiah.

Kami menulis buku ini dengan semangat nasionalisme intelektual—bahwa bangsa yang besar bukan hanya menguasai teknologi, tetapi juga memahami dari mana pengetahuannya berasal, dan ke mana ia hendak dibawa. Kami percaya, Indonesia masa depan harus dibangun dengan integrasi antara ilmu modern dan kebijaksanaan lokal. Oleh karena itu, Nusalogi hadir sebagai fondasi narasi baru tentang bangsa ini: bahwa kita bukan sekadar penerima pengetahuan dari luar, tapi juga pencipta peradaban yang punya pijakan sendiri.

Bangsa Indonesia: Bangsa Besar, Kuat, dan Berdaulat dengan DNA Pejuang dan Kesatria

Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang kecil atau lemah. Sejak zaman dahulu kala, sebelum dunia mengenal batas-batas negara modern, kepulauan Nusantara telah menjadi tempat lahirnya peradaban-peradaban besar. Dari Aceh hingga Papua, dari Sumatra hingga Maluku, berdiri kerajaan-kerajaan agung yang menjadi bukti nyata bahwa bangsa ini memiliki warisan kejayaan yang mendalam. Sriwijaya, Majapahit, Tarumanagara, Kutai, Gowa-Tallo, Ternate, Tidore, Demak, dan banyak lagi — semua menunjukkan satu hal yang sama: bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, kuat, dan berdaulat.

Jejak Sejarah Para Kesatria

Dalam tiap lapis sejarah, selalu tampak watak asli bangsa ini: pejuang, kesatria, pelaut ulung, dan pembela tanah air. Raja Purnawarman dari Tarumanagara memimpin dengan tangan kokoh dan membangun infrastruktur untuk rakyatnya. Gajah Mada bersumpah menyatukan Nusantara dalam Bhineka Tunggal Ika. Sultan Baabullah dari Ternate mengusir Portugis dari tanah Maluku. Sultan Agung Mataram menyerang Batavia dengan semangat perlawanan yang membara. Ratu Shima menegakkan hukum dengan adil dan tegas. Ini semua bukan kisah-kisah dongeng, tetapi fakta sejarah yang menunjukkan bahwa keberanian dan kehormatan telah mengalir dalam darah bangsa ini sejak awal.

Bangsa ini tidak pernah lahir dari perbudakan, melainkan dari kejayaan dan kehormatan. Bahkan dalam kondisi paling tertekan sekalipun, semangat untuk merdeka tak pernah padam.

Penjajahan: Akibat Pengkhianatan Segelintir Elite, Bukan Cermin Bangsa

Ketika kolonialisme Eropa mulai masuk dan menjajah wilayah Nusantara, itu bukan karena bangsa ini lemah, tetapi karena sebagian kecil dari para pemimpin lokal yang silau pada kekuasaan dan mudah diadu domba. Para penjajah tidak menaklukkan Nusantara dengan kekuatan langsung, melainkan melalui tipu daya, perpecahan, dan pengkhianatan. Kolonialisme menjalar bukan karena keberanian mereka, tetapi karena kebodohan dan kelalaian sebagian pemuka yang menggadaikan kehormatan bangsa demi kepentingan pribadi demi melanggengkan kekuasaannya.

Namun, itu bukan cerminan seluruh bangsa Indonesia. Sebab, dari rahim bumi Nusantara pun lahir para pejuang sejati yang menolak tunduk. Di Sumatra, lahir Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Di Jawa, ada Pangeran Diponegoro dan Kartini. Di Kalimantan, ada Sultan Sambas dan Sultan Kutai. Di Sulawesi, ada Sultan Hasanuddin. Mereka bangkit bukan sebagai pemberontak, tetapi sebagai penegak harga diri bangsa.

DNA Pejuang: Warisan yang Tak Pernah Mati

Semangat juang itu tidak pernah mati. Ia adalah DNA bangsa ini. Bahkan setelah ratusan tahun dijajah, rakyat Indonesia tidak pernah kehilangan harapan. Justru dari tekanan itu, jiwa-jiwa kesatria terlahir kembali: Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Jenderal Sudirman, dan ribuan lainnya. Mereka tidak hanya berjuang dengan senjata, tapi juga dengan ide, dengan diplomasi, dengan pendidikan, dengan keteladanan. Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukanlah hadiah. Itu adalah hasil perjuangan panjang, berdarah, dan penuh pengorbanan.

Bangsa yang Tak Boleh Lupa Jati Dirinya

Kini, di abad ke-21, bangsa Indonesia harus kembali menegaskan jati dirinya: kita adalah bangsa besar, kuat, dan berdaulat. Kita bukan produk kolonialisme, melainkan pewaris para raja, kesatria, dan pejuang. Kita bukan korban sejarah, tapi pencipta sejarah. Jangan biarkan narasi yang menyudutkan bangsa ini sebagai bangsa yang “dijajah selama 350 tahun” mengaburkan fakta bahwa kita tak pernah benar-benar tunduk. Kita hanya dikhianati oleh sebagian kecil dari kita sendiri.

Saat ini tugas kita adalah satu: menjaga kedaulatan, membangun kekuatan, dan meneruskan warisan kejuangan itu. Sebab, darah kesatria masih mengalir di nadi kita. Kita adalah Indonesia — bangsa yang tak bisa dihancurkan.

Kami berharap buku ini dapat dibaca lintas generasi: oleh pelajar dan mahasiswa sebagai referensi, oleh dosen dan peneliti sebagai bahan kajian, oleh pejabat publik sebagai dasar kebijakan, dan oleh masyarakat umum sebagai bahan refleksi dan inspirasi. Semoga buku ini bisa menjadi bahan bakar semangat untuk membangun Indonesia yang mandiri secara ilmiah, merdeka secara berpikir, dan berdaulat secara pengetahuan.

Dengan segala hormat, kami menyampaikan terima kasih kepada para peneliti, budayawan, masyarakat adat, akademisi, dan semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut menjaga, meneliti, dan mewariskan pengetahuan Nusantara. Tanpa mereka, jejak-jejak keilmuan Nusantara bisa saja hilang ditelan zaman.

Semoga Nusalogi menjadi sumbangan kecil bagi gerakan besar membangkitkan Indonesia sebagai bangsa yang bukan hanya kaya sumber daya, tetapi juga kaya ilmu dan martabat.

Jayalah Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Berdaulatlah Nusantara.

Tim Penulis Nusalogi
Indonesia, 2025