Kajian arkeologis dan paleografi menjadi fondasi penting dalam memahami sejarah awal peradaban Nusantara. Arkeologi tidak hanya menggali artefak material, tetapi juga merekonstruksi pola kehidupan, struktur sosial, hingga simbolisme budaya masa lalu. Dengan metode stratigrafi, tipologi, dan analisis karbon, para arkeolog dapat menentukan usia situs dan benda purbakala yang tersebar dari Sumatra hingga Papua.
Beberapa situs utama seperti Sangiran, Liang Bua, Gunung Padang, dan Leang-Leang menyimpan artefak penting seperti kapak genggam, lukisan dinding gua, alat tulis batu, hingga sisa-sisa manusia purba seperti Homo erectus, Homo floresiensis, dan Homo sapiens. Temuan ini menjadi bukti bahwa Nusantara telah dihuni sejak ratusan ribu tahun lalu dan menjadi jalur migrasi penting manusia purba Asia. Misalnya, di Sangiran ditemukan lebih dari 1000 individu manusia purba yang menjadikannya salah satu situs paleoantropologi terbesar di dunia.
Selain kapak dan alat batu, jejak rumah panggung, pola pembakaran, dan penguburan juga menjadi petunjuk sistem sosial awal. Arkeologi tidak hanya mengungkap siapa, tetapi juga bagaimana masyarakat awal hidup—dari cara berburu, bercocok tanam, hingga struktur kepercayaan yang tercermin dalam orientasi makam dan benda penguburan.
Sementara itu, paleografi memungkinkan rekonstruksi pemikiran dan struktur budaya yang lebih kompleks. Kajian tulisan kuno seperti aksara Pallawa, Kawi, Nagari, dan Jawi membuka akses ke dunia tekstual Nusantara. Prasasti seperti Talang Tuwo, Canggal, dan Ligor menceritakan pembangunan stupa, perjanjian politik, atau sumbangan raja kepada biara. Di sinilah kita dapat melihat bagaimana ideologi kekuasaan, hukum adat, dan bahkan etika spiritual diartikulasikan.
Paleografi juga digunakan untuk memahami naskah-naskah seperti Serat Centhini, Babad Tanah Jawi, atau manuskrip Bugis–Lontaraq. Meskipun banyak dari naskah tersebut bersifat semi-legendaris, mereka mencerminkan struktur nilai, hierarki sosial, dan persepsi masyarakat terhadap sejarah dan moralitas. Dengan teknik filologi modern, berbagai varian teks dapat dibandingkan untuk mengidentifikasi interpolasi, kesalahan penyalinan, atau pergeseran makna dari waktu ke waktu.
Kelebihan pendekatan arkeologis dan paleografi adalah pada objektivitas dan bukti materialnya. Namun demikian, metode ini juga memiliki keterbatasan, seperti ketergantungan pada kondisi pelestarian lingkungan atau minimnya artefak di daerah tropis yang lembab. Oleh karena itu, kombinasi antara keduanya menjadi penting: prasasti bisa mengungkap tokoh dan tahun kejadian, sementara artefak mengungkap kondisi ekonomi dan sosial nyata masyarakat.
Contoh ideal dari sinergi dua pendekatan ini adalah kajian atas Kerajaan Sriwijaya. Arkeologi menemukan struktur pelabuhan dan monumen agama di Palembang dan Thailand Selatan, sedangkan prasasti-prasasti seperti Kedukan Bukit dan Ligor menceritakan ekspansi militer dan kegiatan spiritual. Begitu pula dengan Kerajaan Majapahit: situs Trowulan memperlihatkan tata kota, sistem drainase, dan kerajinan logam, sementara Negarakertagama menyampaikan struktur kekuasaan dan cakupan geopolitik kerajaan.
Peran arkeolog dan paleografer Indonesia sangat penting dalam membangun historiografi independen yang tidak bergantung pada narasi kolonial. Pendekatan ini memberi ruang bagi narasi masyarakat lokal, kebudayaan minoritas, dan rekonstruksi sejarah dari bawah (history from below). Di masa depan, dengan bantuan teknologi seperti LIDAR, pemindaian digital, dan pemetaan 3D, potensi metode ini untuk mengungkap warisan tersembunyi Nusantara akan semakin besar.
Dengan demikian, pendekatan arkeologis dan paleografi dalam kajian Nusalogi tidak hanya membuka pintu menuju masa lalu, tetapi juga menyatukan bukti fisik dan simbolik dari peradaban yang telah lama berkembang di kepulauan ini. Ia mengajarkan kita bahwa masa lalu bukan sekadar fragmen artefak, melainkan memori kolektif yang dapat dibaca, dihayati, dan diwariskan lintas generasi secara ilmiah dan penuh hormat.