Istilah “Nusantara” bukan sekadar sebutan geografis, tetapi merupakan representasi historis dan kultural yang memiliki kedalaman makna luas serta dimensi ideologis yang terus berkembang sepanjang zaman. Kata ini pertama kali dikenal dari sumber-sumber prasasti dan naskah Jawa Kuna, khususnya dari masa Majapahit abad ke-14. Dalam teks legendaris Negarakertagama karya Mpu Prapanca, istilah “Nusantara” muncul dalam konteks politik ketika Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Dalam sumpah itu, ia bersumpah tidak akan menikmati kenikmatan pribadi sebelum seluruh Nusantara berada di bawah naungan Majapahit. Dalam konteks ini, Nusantara dimaknai sebagai wilayah luar Jawa yang menjadi sasaran ekspansi dan integrasi Majapahit, baik secara simbolik maupun politik.
Secara etimologis, “Nusantara” terdiri atas dua unsur bahasa Sanskerta: nusa yang berarti pulau dan antara yang berarti luar atau antara. Maka secara literal, Nusantara dapat dimaknai sebagai “pulau-pulau di luar” atau “antar pulau”. Pemaknaan ini juga mencerminkan cara pandang sentralistik kekuasaan Majapahit terhadap wilayah sekitarnya, di mana Jawa menjadi pusat dan wilayah sekitarnya disebut sebagai Nusantara.
Namun, makna Nusantara tidak bersifat statis. Dalam konteks kebangkitan nasional awal abad ke-20, istilah ini dihidupkan kembali oleh para intelektual Indonesia seperti Ki Hajar Dewantara, Mohammad Yamin, dan Bung Karno. Mereka menggunakan istilah ini bukan lagi dalam konteks ekspansionisme feodal, tetapi sebagai simbol persatuan kebangsaan. Nusantara dimaknai sebagai keseluruhan kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, yang terhubung oleh sejarah, nasib, dan aspirasi yang sama dalam membentuk suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Dalam ranah historiografi modern, Nusantara juga dimaknai sebagai peradaban maritim yang memiliki jejaring interaksi antarpulau yang sangat kuat. Sebelum era kolonial, kerajaan-kerajaan di Nusantara telah membangun jaringan dagang dan budaya yang melampaui batas geografis dan politik. Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan pesisir lainnya menjalin hubungan diplomatik dan komersial dengan India, Tiongkok, Timur Tengah, dan bahkan Afrika Timur. Dalam konteks ini, Nusantara adalah kosmopolis yang aktif, bukan wilayah terpinggirkan.
Dimensi spiritual juga melekat kuat dalam konsepsi Nusantara. Dalam kosmologi masyarakat adat, ruang hidup tidak hanya dipahami sebagai entitas fisik, tetapi juga spiritual. Gunung, laut, sungai, dan hutan dianggap sebagai tempat suci yang dihuni oleh roh leluhur. Dalam pengertian ini, Nusantara adalah alam sakral yang memerlukan keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan adikodrati. Pandangan ini tidak hanya relevan dalam diskursus budaya, tetapi juga sangat penting dalam merumuskan etika ekologi dan keberlanjutan masa kini.
Dalam kebijakan nasional kontemporer, istilah Nusantara menjadi dasar ideologis dan geopolitik. Konsep “Wawasan Nusantara” yang dirumuskan pada masa Orde Baru menegaskan pentingnya kesatuan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, di mana laut tidak memisahkan, melainkan menghubungkan. Bahkan, pemilihan nama “IKN Nusantara” untuk ibu kota negara baru mencerminkan komitmen untuk menjadikan keindonesiaan sebagai pusat peradaban baru yang inklusif dan progresif.
Secara filosofis, Nusantara dapat dimaknai sebagai ruang dialog antarbudaya yang dinamis. Ia bukan entitas homogen, melainkan simpul dari keanekaragaman yang saling terhubung dan saling mengisi. Dalam ruang Nusantara, identitas lokal tidak ditindas, melainkan diberi ruang untuk hidup berdampingan dalam bingkai kebangsaan. Hal ini menjadikan Nusantara sebagai model alternatif bagi bangsa-bangsa lain dalam membangun tatanan sosial yang menghargai pluralitas dan integrasi.
Dengan demikian, definisi Nusantara tidak bisa direduksi hanya sebagai nama geografis. Ia adalah konsep multidimensional: geografis, historis, politik, kultural, spiritual, dan ideologis. Dalam kerangka besar Nusalogi sebagai disiplin ilmu, memahami Nusantara berarti memahami dasar eksistensial bangsa Indonesia, memahami asal-usul kita, pertemuan budaya, dinamika kekuasaan, serta nilai-nilai yang membentuk peradaban kita. Nusantara adalah akar sekaligus arah; warisan sekaligus visi.