Papua Barat menempati posisi strategis di ujung timur kepulauan Nusantara. Terbentang dari Teluk Cenderawasih di utara hingga perairan Kaimana dan Fakfak di selatan, wilayah ini menyimpan kekayaan alam luar biasa: burung cenderawasih, damar, kayu langka, kulit kerang, hingga rempah-rempah yang langka dan bernilai tinggi. Kekayaan ini sejak awal telah menarik perhatian para pedagang dari Maluku, Makassar, hingga kekuatan kolonial Eropa, termasuk Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Namun, tidak seperti di wilayah lain seperti Jawa atau Maluku, VOC tidak hadir secara langsung dengan benteng dan gubernur di tanah Papua. Pengaruhnya masuk melalui jalur politik Kesultanan Tidore, yang sejak abad ke-17 diklaim VOC sebagai sekutu dan perantara dagang di wilayah timur. Papua dijadikan sebagai “wilayah taklukan” Tidore, dan karena itu VOC merasa berhak ikut mengatur perdagangan dan memaksakan sistem upeti di wilayah yang sesungguhnya tidak pernah benar-benar ditaklukkan secara militer.
Sementara itu, masyarakat Papua Barat memiliki struktur sosial yang berbasis suku, dengan sistem adat dan kepemimpinan yang terdesentralisasi. Hal ini menyebabkan tidak munculnya perlawanan berskala besar yang terpusat, namun justru melahirkan gelombang resistensi yang bersifat lokal, sporadis, dan berbasis komunitas, terutama ketika terjadi pengambilan paksa hasil hutan, perdagangan budak, dan pemaksaan pengiriman burung cenderawasih sebagai barang upeti.
Perlawanan tersebut muncul dalam bentuk pengusiran utusan VOC dan Tidore, serangan terhadap kapal dagang asing, serta penolakan terhadap perjanjian sepihak. Sayangnya, karena tidak terstruktur dan minim catatan kolonial yang berpihak, perjuangan masyarakat Papua Barat sering kali terabaikan dalam narasi besar sejarah kolonial Indonesia.
Tulisan ini adalah untuk menelusuri bentuk-bentuk resistensi masyarakat Papua terhadap eksploitasi kolonial VOC, serta menegaskan bahwa meskipun perlawanan mereka berbeda bentuk dari wilayah lain, semangat mempertahankan tanah, adat, dan martabat sama kuatnya. Ini juga merupakan upaya untuk mengangkat suara dari timur, yang selama ini kurang mendapat tempat dalam sejarah nasional yang terlalu berpusat pada Jawa atau Sumatra.
Papua dan Jaringan Dagang Rempah Timur
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, wilayah Papua Barat telah menjadi bagian dari jaringan dagang maritim timur Nusantara. Meskipun tidak seintensif kawasan Maluku atau Sulawesi, Papua memiliki hubungan perdagangan yang aktif dengan pulau Seram, Halmahera, dan bahkan Tidore. Hubungan ini bersifat timbal balik dan bersandar pada sistem barter, di mana masyarakat Papua menyediakan burung cenderawasih, damar, kayu besi, madu hutan, kulit kerang, dan berbagai hasil alam eksotis lainnya, sementara mereka menerima besi, kain, garam, dan manik-manik dari para pedagang Maluku.
Salah satu komoditas paling ikonik dari wilayah ini adalah burung cenderawasih (Paradisaea spp.), yang menjadi barang mewah dan simbol kekuasaan di berbagai istana Asia dan Eropa. Bahkan, dalam beberapa tradisi di Maluku dan Jawa, bulu burung cenderawasih dianggap sebagai penanda status kebangsawanan dan spiritualitas, menjadikan wilayah Papua sebagai sumber prestise dalam peta dagang regional.
Dalam sistem perdagangan tradisional tersebut, Kesultanan Tidore memainkan peran sentral sebagai perantara politik dan ekonomi antara masyarakat pesisir Papua dan dunia luar. Sejak abad ke-16, Tidore telah menjalin hubungan dengan suku-suku di wilayah Raja Ampat, Teluk Cenderawasih, hingga pesisir Kaimana. Hubungan ini bersifat ambigu—di satu sisi, sebagai pelindung dan mitra dagang; di sisi lain, sebagai penguasa yang sering kali menarik upeti paksa atas nama kekuasaan simbolik yang sebenarnya tidak diakui sepenuhnya oleh masyarakat Papua.
Ketika VOC mulai memperkuat dominasi di Maluku dan menjalin aliansi formal dengan Tidore, posisi Papua dalam jaringan dagang pun berubah. VOC memandang Papua bukan hanya sebagai wilayah terpencil, melainkan sebagai daerah penyangga penting dalam strategi logistik dan ekonomi. Dalam laporan dagang dan dokumen kolonial abad ke-17, Papua disebut sebagai “tanah liar yang kaya akan hasil alam dan manusia yang bisa dieksploitasi.” Dari sudut pandang Belanda, Papua merupakan sumber potensial komoditas langka, terutama cenderawasih dan damar, serta tempat ideal untuk pengumpulan budak dan bahan logistik untuk operasi kolonial di Maluku dan sekitarnya.
Akan tetapi, medan geografis yang sulit, jaringan sosial yang tidak tersentralisasi, dan karakter suku-suku Papua yang otonom, menjadikan penetrasi VOC ke wilayah ini tidak mudah. Belanda tidak pernah secara langsung menguasai Papua dalam bentuk pemerintahan kolonial penuh pada abad ke-17 dan 18, melainkan melalui tangan Tidore dan jaringan penguasa lokal yang sebagian dipaksa tunduk.
Di balik sistem dagang yang tampak formal, terdapat ketegangan laten antara masyarakat Papua dan perantara kolonial. Penarikan upeti secara paksa, intervensi dalam adat lokal, dan pelanggaran terhadap sistem kekerabatan membuat relasi dagang sering berubah menjadi relasi kekerasan. Banyak suku di Papua mulai menolak kedatangan perahu dagang VOC-Tidore dan melawan dalam bentuk penolakan upeti, serangan terhadap ekspedisi, hingga migrasi ke daerah pegunungan atau teluk-teluk terpencil.
Dengan kata lain, Papua bukanlah wilayah yang pasif dalam menghadapi ekspansi kolonial, melainkan bagian dari jaringan rempah timur yang memiliki dinamika tersendiri—diwarnai perlawanan, negosiasi, dan keteguhan mempertahankan adat serta martabat lokal.
Masuknya VOC dan Pola Intervensi
Berbeda dengan pola kolonialisasi langsung yang dilakukan VOC di Jawa atau Maluku, kehadiran VOC di Papua Barat lebih bersifat tidak langsung dan bertumpu pada relasi patronase dengan Kesultanan Tidore. Sejak awal abad ke-17, VOC menjalin aliansi formal dengan Tidore, dan melalui perjanjian-perjanjian politis, Belanda mengakui kedaulatan Tidore atas sebagian besar wilayah Papua Barat. Pengakuan ini menjadi landasan bagi VOC untuk mengklaim Papua sebagai bagian dari “kekuasaan sah” sekutunya, dan karenanya, Belanda merasa memiliki legitimasi untuk ikut campur dalam urusan ekonomi dan politik di kawasan tersebut.
Melalui skema ini, VOC menghindari biaya besar pendudukan langsung, namun tetap memperoleh manfaat ekonomi dari wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Mereka memanfaatkan kekuatan militer dan jaringan kekuasaan Tidore untuk melakukan ekspedisi militer dan dagang ke Papua secara berkala, terutama ke wilayah pesisir seperti Fakfak, Kaimana, Teluk Arguni, dan pulau-pulau Raja Ampat. Dalam ekspedisi ini, pasukan gabungan Tidore-VOC mendatangi komunitas suku lokal untuk menuntut upeti dalam bentuk burung cenderawasih, damar, kayu keras, dan bahkan manusia—yang dijadikan budak.
Ekspedisi-ekspedisi ini kerap berlangsung brutal. Banyak sumber kolonial Belanda sendiri mencatat bahwa penarikan upeti dilakukan dengan kekerasan, sering kali dengan membakar kampung, menyita hasil bumi, dan menculik pemuda atau perempuan untuk dijadikan jaminan. Bahkan dalam beberapa laporan VOC dari Ambon dan Ternate, disebutkan bahwa ekspedisi ke Papua kerap berubah menjadi razzia perbudakan, dengan dalih mempertahankan kedaulatan Tidore dan keamanan jalur dagang.
Namun, praktik kolonialisme tidak langsung ini tidak luput dari perlawanan. Banyak komunitas lokal, terutama di daerah seperti Biak, Waropen, Arfak, dan kepulauan Raja Ampat, menolak tunduk pada tuntutan pengiriman upeti, apalagi terhadap kekuasaan yang tidak mereka anggap sah. Dalam pandangan masyarakat Papua, terutama yang hidup berdasarkan struktur adat marga dan klan, tidak ada dasar legitimasi bagi Tidore maupun VOC untuk menuntut hasil bumi atau tenaga mereka. Karena itu, kontak dengan rombongan dagang atau militer dari Tidore-VOC kerap berujung pada konflik terbuka: pengusiran, penyergapan, atau migrasi kolektif ke daerah-daerah yang lebih sulit dijangkau.
Sementara itu, sebagian wilayah pesisir yang tidak mampu melawan secara terbuka memilih strategi adaptasi simbolik—mereka menyerahkan barang-barang tertentu secara terbatas untuk menghindari serangan, tetapi tetap mempertahankan struktur politik dan kepercayaan lokal tanpa tunduk penuh. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Papua memiliki berbagai strategi menghadapi tekanan kolonial, dari konfrontasi hingga kompromi yang bersyarat.
Dengan demikian, pola intervensi VOC di Papua mencerminkan bentuk kolonialisme yang khas: berbasis aliansi semu dengan kekuasaan lokal, namun tetap bersifat eksploitatif, dan menghasilkan resistensi yang luas namun tersembunyi dalam berbagai bentuk. Meski tidak terdengar gaungnya seperti perang-perang besar di Jawa atau Sumatra, perlawanan masyarakat Papua terhadap praktik kolonialisme ini berlangsung konsisten, berakar dalam harga diri, dan dijalankan dengan cara yang sesuai dengan kearifan dan struktur sosial mereka sendiri.
Bentuk Perlawanan Lokal
Di tengah tekanan politik dan ekonomi yang datang melalui perantara Kesultanan Tidore dan kekuatan dagang VOC, masyarakat Papua Barat tidak tinggal diam. Perlawanan terhadap kolonialisme di tanah Papua bukanlah gerakan terpusat dengan tokoh nasional yang tunggal, tetapi lebih merupakan serangkaian aksi lokal yang tersebar, spontan, dan sangat kontekstual. Karakteristik sosial Papua yang berbasis suku dan klan menyebabkan bentuk-bentuk resistensi ini berbeda di setiap wilayah, namun tetap memiliki benang merah berupa penolakan terhadap dominasi eksternal.
1. Penolakan Penyerahan Upeti atau Cenderawasih kepada Utusan VOC
Salah satu bentuk paling umum dari resistensi adalah penolakan untuk menyerahkan burung cenderawasih, yang dianggap sebagai simbol kebanggaan suku sekaligus barang dagang bernilai tinggi. Dalam adat Papua, burung cenderawasih tidak sekadar komoditas, melainkan bagian dari ritus sakral dan identitas budaya, terutama dalam upacara perdamaian dan penobatan kepala suku.
Tuntutan dari utusan VOC maupun Tidore agar masyarakat Papua menyerahkan burung tersebut sebagai “upeti” sering dianggap sebagai pelecehan terhadap tatanan adat dan pemaksaan kekuasaan asing. Banyak kampung secara terbuka menolak tuntutan ini dan menutup jalur dagang, atau menolak menerima tamu dari luar yang mengatasnamakan Tidore maupun Belanda.
2. Serangan terhadap Rombongan Pedagang atau Ekspedisi Belanda–Tidore
Penolakan tersebut kadang berkembang menjadi serangan langsung terhadap ekspedisi gabungan VOC dan Tidore. Beberapa rombongan dagang yang masuk ke Teluk Cenderawasih, Kepulauan Raja Ampat, atau Fakfak dilaporkan disergap dan diusir, bahkan dalam beberapa kasus dihabisi oleh komunitas lokal. Serangan ini bukan semata bentuk kekerasan tanpa sebab, melainkan reaksi terhadap penculikan anggota suku, pencurian hasil hutan, atau tindakan sewenang-wenang dari ekspedisi bersenjata yang merampas barang tanpa kompensasi.
Catatan VOC dari Ambon dan Ternate pada abad ke-18 sering kali menyebut wilayah Papua sebagai “berbahaya” karena sering terjadi hilangnya kapal kecil, personel, atau kargo yang dikirim tanpa pengawalan besar. Hal ini menjadi bukti bahwa meskipun tidak memiliki pasukan kerajaan, masyarakat Papua menjalankan perlawanan dengan strategi gangguan langsung, khas masyarakat maritim dan hutan.
3. Pengungsian Masyarakat ke Pedalaman atau Daerah Pegunungan sebagai Strategi Perlindungan
Strategi penting lainnya adalah pengungsian kolektif ke daerah-daerah yang sulit dijangkau, seperti pegunungan Arfak, dataran tinggi Biak, atau pulau-pulau terpencil. Ketika tekanan dari ekspedisi VOC–Tidore meningkat, banyak komunitas memilih membakar kampung lama dan berpindah tempat, menjauh dari jalur dagang atau pesisir yang menjadi titik kontak dengan kekuatan luar.
Langkah ini bukan sekadar bentuk penghindaran, tetapi merupakan resistensi budaya yang sangat canggih. Dengan berpindah ke tempat baru, masyarakat tidak hanya menyelamatkan diri secara fisik, tetapi juga mempertahankan adat, sistem sosial, dan cara hidup mereka dari penetrasi kolonial. Dalam konteks Papua, mobilitas ini menjadi salah satu cara paling efektif untuk melindungi kedaulatan komunitas.
4. Bentuk Perlawanan Berbasis Komunitas Suku: Spontan, Tidak Terkoordinasi Antardaerah
Karena tidak ada struktur politik tunggal seperti kerajaan atau federasi besar, maka perlawanan di Papua Barat bersifat terfragmentasi dan tidak terkoordinasi antarwilayah. Satu komunitas bisa melakukan serangan terhadap VOC, sementara komunitas lain memilih bernegosiasi atau bahkan diam untuk sementara waktu.
Namun demikian, perbedaan ini tidak berarti lemahnya perlawanan. Justru, sifat desentralisasi dan otonomi suku membuat perlawanan sulit dipadamkan sepenuhnya. VOC tidak pernah bisa mengklaim kontrol penuh atas Papua karena selalu ada wilayah yang menolak, menghilang, atau menyerang kembali. Ini menciptakan lingkaran resistensi yang terus berulang dan melelahkan pihak kolonial.
Di sisi lain, bentuk-bentuk perlawanan ini juga memperlihatkan bahwa masyarakat Papua tidak menunggu komando pusat atau elite tertentu untuk melawan, tetapi bertindak berdasarkan kesadaran kolektif komunitas mereka. Dalam konteks kolonialisme, ini merupakan bentuk perlawanan akar rumput yang kuat dan berakar dalam hubungan spiritual manusia dengan tanah, hutan, dan leluhur.
Perlawanan terhadap VOC di Papua Barat tidak terjadi dalam bentuk perang besar dan terpusat seperti di Jawa atau Sulawesi. Namun, wilayah ini mencatat berbagai bentuk perlawanan lokal yang sporadis, intens, dan meluas dari abad ke-17 hingga abad ke-19. Karena struktur sosial masyarakat Papua yang bersifat suku-suku tanpa kerajaan terpusat, bentuk perlawanan lebih berupa resistensi komunitas, pengusiran, hingga penyerangan terhadap ekspedisi VOC, terutama melalui perantara Kesultanan Tidore.
Berikut adalah beberapa bentuk dan titik penting perlawanan masyarakat Papua Barat terhadap VOC:
1. Perlawanan di Teluk Cenderawasih (Geelvinkbaai)
Lokasi: Teluk Cenderawasih, termasuk Biak, Yapen, dan Waropen
Periode: Sejak akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-19
Teluk Cenderawasih — salah satu kawasan laut terbesar di pesisir utara Papua — menjadi pusat interaksi ekonomi dan budaya antara masyarakat lokal dan dunia luar sejak lama. Kawasan ini dihuni oleh komunitas-komunitas kuat seperti suku Biak, Waropen, dan Yapen, yang dikenal sebagai pelaut ulung dan pedagang aktif dalam jaringan timur Nusantara. Sejak masa awal, masyarakat di kawasan ini telah menjalin hubungan dagang dengan Seram, Tidore, dan wilayah Maluku lainnya.
Namun, mulai akhir abad ke-17, hubungan ini mulai terganggu akibat klaim sepihak Kesultanan Tidore yang didukung VOC, yang menyatakan bahwa wilayah Teluk Cenderawasih termasuk dalam daerah taklukan Tidore. Klaim ini tidak hanya politis, tetapi juga berdampak ekonomi. Tidore, dengan restu VOC, mulai mengirim utusan untuk menarik upeti dalam bentuk burung cenderawasih, damar, hasil hutan, dan manusia (budak) dari masyarakat pesisir Papua.
Penolakan pun segera muncul. Komunitas Biak dan Waropen menolak tunduk pada sistem tersebut karena menganggap bahwa mereka bukan bagian dari wilayah kekuasaan siapa pun. Dalam perspektif adat mereka, tanah, hutan, dan hasil buruan adalah hak leluhur dan tidak bisa dipaksakan menjadi milik kekuasaan asing. Akibatnya, utusan dari Tidore dan VOC sering mendapat perlawanan, baik secara verbal maupun fisik. Beberapa di antaranya dilaporkan tidak pernah kembali dari ekspedisi ke pesisir utara Papua.
Perlawanan tersebut tidak bersifat militer dalam skala besar, tetapi dilakukan melalui serangan mendadak terhadap perahu dagang dan loji terapung, serta penghadangan jalur laut. Sering kali masyarakat lokal menggunakan medan perairan dan pulau-pulau kecil sebagai taktik untuk menyergap dan kemudian mundur dengan cepat. Suku-suku pelaut seperti Biak dan Waropen dikenal memiliki armada perahu kecil yang lincah, dan mereka memanfaatkannya dengan cerdik untuk menekan kehadiran VOC dan sekutunya.
Selain itu, strategi migrasi dan aliansi juga menjadi bagian dari perlawanan. Sadar bahwa posisi mereka terancam oleh tekanan eksternal, komunitas-komunitas pesisir mulai membentuk jaringan solidaritas antarwilayah—terutama antara kampung-kampung di Biak, Pulau Numfor, Waropen, dan Yapen. Ketika satu komunitas diserang atau dipaksa menyerahkan upeti, mereka akan berpindah ke wilayah saudara mereka di pulau lain yang lebih aman. Migrasi semacam ini tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga menjadi bentuk perlawanan taktis yang menyulitkan VOC untuk menetapkan kontrol wilayah yang permanen.
Dengan demikian, perlawanan di Teluk Cenderawasih mencerminkan keteguhan masyarakat lokal dalam mempertahankan otonomi ekonomi dan kultural mereka, bahkan di hadapan kekuatan yang secara teknis jauh lebih kuat secara militer dan logistik. Meskipun tidak membentuk “perang” dalam arti klasik, rangkaian aksi ini memiliki dampak nyata: VOC tidak pernah mampu menanamkan kontrol penuh di kawasan ini, dan klaim kekuasaan Tidore atas wilayah ini tetap diperdebatkan hingga abad ke-19.
Perlawanan di Teluk Cenderawasih merupakan bukti bahwa kedaulatan lokal di Papua bukan sekadar wacana modern, tetapi telah menjadi bagian dari sejarah panjang perjuangan komunitas suku mempertahankan tanah, identitas, dan martabat mereka sejak masa kolonial awal.
2. Perlawanan Suku Arfak (Pegunungan Manokwari)
Lokasi: Dataran tinggi Manokwari dan lembah Pegunungan Arfak
Periode: Abad ke-18
Di balik hutan lebat dan lereng terjal di wilayah barat laut Tanah Papua, berdirilah wilayah Pegunungan Arfak, rumah bagi komunitas suku Arfak yang mendiami daerah tinggi di sekitar Manokwari. Medan alam yang menantang ini—curam, berkabut, dan tertutup hutan tropis—menjadi benteng alami yang sangat sulit ditembus oleh kekuatan asing. Pada abad ke-18, kawasan ini menjadi titik penting dalam peta perlawanan masyarakat Papua terhadap intervensi eksternal, terutama dari pedagang dan utusan VOC yang bersekutu dengan Kesultanan Tidore.
Meski jauh dari jalur dagang utama, wilayah Arfak mulai mendapat perhatian VOC karena potensinya sebagai sumber damar, kayu keras, dan tenaga kerja paksa. Seiring meningkatnya permintaan akan sumber daya dari wilayah timur, utusan Tidore dan ekspedisi dagang Belanda mulai menyusuri pesisir Manokwari dan bahkan masuk ke pedalaman rendah untuk menjalin kontak, berdagang, atau—lebih sering—memaksa masyarakat lokal untuk menyerahkan barang dan orang.
Namun, suku Arfak memiliki tradisi kuat mempertahankan kedaulatan adat dan teritori leluhur mereka. Bagi mereka, setiap bentuk intervensi tanpa persetujuan adat adalah bentuk permusuhan. Oleh karena itu, sejak awal, mereka menolak keras keberadaan tim ekspedisi VOC dan perantara Tidore yang masuk tanpa izin adat. Beberapa ekspedisi kecil yang mencoba menembus wilayah ini pada paruh kedua abad ke-18 dilaporkan tidak pernah kembali, dan daerah Manokwari mulai dicap sebagai “berbahaya” dalam laporan-laporan dagang VOC dari Ambon dan Ternate.
Tindakan tegas suku Arfak tidak hanya berupa pengusiran, tetapi juga penyergapan terhadap utusan dagang, penolakan barter barang, dan larangan keras terhadap pengambilan damar atau budak dari wilayah mereka. Ketika perburuan budak mulai meningkat—khususnya budak laki-laki dan anak-anak untuk diangkut ke Maluku atau dijual ke pelabuhan-pelabuhan lain—suku Arfak menjadi tempat persembunyian bagi kelompok yang melarikan diri dari perkampungan pesisir. Dengan demikian, dataran tinggi Arfak tidak hanya menjadi simbol pertahanan lokal, tetapi juga ruang perlindungan bagi korban sistem kolonial brutal.
Kekuatan resistensi Arfak tidak hanya bersumber dari senjata atau jumlah orang, melainkan dari pengetahuan mendalam tentang medan dan keharmonisan sosial internal. Mereka membangun kampung di lereng-lereng terpencil, menjaga jalur masuk, dan memiliki sistem pengintaian berbasis suara dan alam. Dalam banyak kasus, bahkan sebelum utusan VOC mencapai wilayah mereka, komunitas Arfak sudah mengetahui rencana kedatangan itu dan siap melakukan pengusiran.
Meskipun perlawanan suku Arfak tidak terdokumentasi dalam bentuk peperangan besar, keefektifannya menjaga wilayah dari kolonialisasi langsung menjadi bukti kuat akan pentingnya perlawanan berbasis komunitas adat. Bahkan sampai akhir abad ke-19, wilayah Arfak tetap menjadi daerah otonom yang sulit dijangkau kekuasaan kolonial, menjadikannya simbol penting keteguhan masyarakat adat Papua dalam menghadapi kekuatan luar.
3. Penolakan di Raja Ampat dan Fakfak
Lokasi: Kepulauan Raja Ampat, Fakfak, dan Kaimana
Periode: Akhir abad ke-17 hingga abad ke-19
Wilayah barat daya Papua Barat—meliputi Raja Ampat, Fakfak, dan Kaimana—sejak lama dikenal sebagai daerah yang kaya akan hasil laut, mutiara, damar, dan rempah langka, serta memiliki posisi strategis dalam jalur pelayaran antara Maluku, Papua, dan Kepulauan Banda. Kawasan ini menjadi rebutan kekuasaan regional sejak masa kejayaan Tidore, dan kemudian menjadi sasaran perhatian VOC yang ingin mengonsolidasikan kontrol dagangnya di perairan timur Indonesia.
Namun, upaya VOC untuk memperluas pengaruh ke wilayah ini melalui perjanjian dagang sepihak dengan Kesultanan Tidore tidak berjalan mulus. Banyak komunitas lokal, terutama kepala-kepala suku di Raja Ampat, dengan tegas menolak tunduk pada kontrak dagang atau pengiriman upeti yang dibuat tanpa persetujuan mereka. Bagi mereka, kedaulatan atas laut dan daratan adalah urusan adat dan leluhur, bukan ditentukan oleh kekuasaan dari luar.
Sikap ini segera memicu konfrontasi. Ketika ekspedisi dagang dan militer VOC–Tidore mencoba masuk ke wilayah pantai selatan Papua—termasuk Fakfak dan Kaimana—mereka sering mendapat serangan balik mendadak. Beberapa rombongan VOC dilaporkan mengalami kehilangan kru, perahu dirusak, dan barang-barang dirampas. Serangan ini bukan bentuk pembajakan acak, melainkan tanggapan strategis atas ekspansi ekonomi paksa dan pengambilalihan sumber daya lokal.
Di Fakfak, VOC pernah mendirikan benteng kecil dan pos dagang, sebagai upaya membangun kehadiran permanen. Namun, bangunan ini tidak pernah benar-benar aman. Suku-suku di pesisir dan dataran rendah sekitar Fakfak melakukan serangan terorganisir, merusak pos dagang, dan memutus jalur suplai. Laporan kolonial menyebut wilayah ini sebagai daerah “liar” yang sulit dikendalikan, karena aksesnya dijaga ketat oleh masyarakat lokal yang menolak dominasi Belanda.
Selain itu, bentuk penolakan juga muncul dalam strategi “penutupan laut”—di mana komunitas-komunitas nelayan menarik perahu ke pedalaman, menghentikan aktivitas dagang, atau berpindah ke pulau-pulau terpencil. Tindakan ini membuat VOC kesulitan mendapatkan hasil bumi, serta menggagalkan rencana mereka menjadikan Raja Ampat sebagai jalur dagang penting antara Tidore dan wilayah timur Papua.
Sama seperti daerah lain di Papua Barat, perlawanan di Raja Ampat dan Fakfak tidak digerakkan oleh satu pemimpin besar, melainkan oleh solidaritas komunitas berbasis adat dan kearifan lokal. Setiap suku bertindak sesuai situasi dan ancaman yang mereka hadapi, namun dengan semangat yang sama: menolak kekuasaan eksternal yang tidak sah dan melindungi tanah serta laut warisan leluhur.
Keberanian masyarakat Raja Ampat dan Fakfak dalam melawan ekspansi VOC menjadikan kawasan ini benteng perlawanan maritim dari barat Papua, dan membuktikan bahwa meskipun secara geografis terpencil, mereka memiliki kesadaran politik dan kedaulatan yang tinggi terhadap tanah dan lautnya sendiri.
4. Perang Cenderawasih dan Penolakan Perbudakan
Lokasi: Pesisir selatan Papua Barat – termasuk wilayah Kaimana, Mimika, dan pesisir Bintuni
Periode: Abad ke-18
Salah satu babak paling gelap dari sejarah kolonialisme di Papua Barat adalah keterlibatan VOC dan Kesultanan Tidore dalam praktik perdagangan budak, terutama dari pesisir selatan Papua. Di wilayah yang kaya akan burung cenderawasih, damar, dan hutan lebat, tekanan terhadap komunitas lokal tidak hanya datang dari permintaan hasil alam, tetapi juga dari permintaan manusia sebagai komoditas dagang.
VOC secara resmi mengutuk perdagangan budak dalam kebijakan publiknya, tetapi pada kenyataannya, ekspedisi dagang dan militer VOC–Tidore sering kali juga berfungsi sebagai razzia perbudakan. Anak-anak, perempuan, dan pria muda Papua dijadikan target untuk dijual di pelabuhan-pelabuhan di Ambon, Ternate, hingga Makassar. Budak dari Papua memiliki nilai tinggi di pasar gelap kolonial karena dianggap “kuat, patuh, dan eksotik.”
Menanggapi praktik yang dianggap menghina martabat adat dan menodai kehormatan keluarga, banyak komunitas di pesisir selatan Papua melakukan pembunuhan terhadap utusan VOC dan Tidore yang datang membawa tuntutan pengiriman budak atau memaksa barter dengan kekerasan. Dalam beberapa kasus, utusan bahkan ditangkap, diadili secara adat, dan dihukum mati, bukan semata sebagai balas dendam, melainkan sebagai upaya simbolik untuk mempertahankan tatanan sosial dan kosmologi lokal.
Menyadari ancaman yang terus-menerus datang dari laut, banyak kampung memilih taktik perlindungan kolektif dengan cara bermigrasi ke pedalaman atau lembah-lembah terpencil. Mereka meninggalkan pemukiman pesisir yang mudah dijangkau kapal VOC dan mendirikan kampung baru jauh di balik hutan atau lereng gunung. Ini bukan hanya strategi bertahan hidup, tetapi juga bentuk perlawanan diam-diam untuk memutus akses kolonial terhadap manusia dan hasil bumi.
Beberapa laporan kolonial dari abad ke-18 mencatat tentang kampung-kampung hantu di pesisir selatan Papua—perkampungan yang sebelumnya ramai, tetapi tiba-tiba kosong, ditinggalkan oleh seluruh penghuninya tanpa jejak. Para utusan VOC sering kembali dengan tangan hampa, atau lebih buruk lagi, diserang oleh pasukan adat tersembunyi yang telah menyiapkan penyergapan. Dalam konteks inilah, muncul istilah lokal di kalangan masyarakat suku pesisir: “cenderawasih tidak untuk dijual, anak tidak untuk ditukar.”
Walaupun tidak pernah terorganisir dalam bentuk aliansi besar, perlawanan sporadis ini menyebar dan berlangsung konsisten selama beberapa dekade, menyebabkan VOC dan Tidore gagal membentuk kontrol permanen di wilayah selatan. Bahkan hingga awal abad ke-19, kawasan ini tetap menjadi titik lemah dalam sistem kolonial Belanda, dan hanya bisa didekati melalui hubungan diplomatik informal atau barter damai yang diawasi ketat oleh pemimpin adat.
Perang Cenderawasih—sebutan simbolik untuk perlawanan masyarakat Papua terhadap permintaan barang dan budak secara paksa—adalah bukti bahwa adat, harga diri, dan keutuhan komunitas lebih berharga daripada komoditas apa pun di mata masyarakat lokal. Dalam sejarah panjang perlawanan Papua, inilah bentuk nasionalisme kultural yang lahir dari trauma perbudakan, tetapi dibalas dengan keberanian dan solidaritas adat.
5. Perlawanan Terhadap Ekspedisi Militer VOC dari Ambon (Ekspedisi Tidore–VOC)
Lokasi: Papua Barat bagian barat, terutama wilayah pesisir Kaimana dan Teluk Arguni
Periode: 1760-an dan 1790-an
Di akhir abad ke-18, VOC menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan dan memperluas pengaruhnya di wilayah timur Nusantara. Meskipun secara politik mereka telah menjalin persekutuan formal dengan Kesultanan Tidore, kendali atas Papua Barat tetap lemah dan bersifat klaim nominal, bukan kekuasaan nyata. Oleh karena itu, VOC mengandalkan ekspedisi militer dan dagang dari Ambon, sering kali dalam bentuk operasi gabungan bersama pasukan Tidore, untuk mencoba menegakkan klaim kekuasaan tersebut secara paksa.
Salah satu kawasan yang menjadi target utama ekspedisi ini adalah Kaimana dan Teluk Arguni, wilayah yang strategis secara geografis serta kaya akan sumber daya seperti damar, kayu keras, dan hasil laut. Namun, masyarakat adat di wilayah ini, yang hidup dalam sistem sosial yang otonom dan berbasis adat leluhur, menolak dengan keras upaya penaklukan atau pemaksaan kontrak dagang.
Pada tahun 1760-an dan kembali di 1790-an, beberapa ekspedisi gabungan VOC–Tidore yang dikirim dari Ambon mengalami penyergapan saat berusaha memasuki kampung-kampung pesisir dan lembah sekitar Teluk Arguni. Utusan VOC yang datang membawa maksud menjalin “aliansi dagang” atau menagih upeti dianggap tidak sah oleh pemimpin adat setempat. Bagi masyarakat Kaimana dan sekitarnya, aliansi politik dan ekonomi hanya bisa dibentuk secara adat, bukan melalui paksaan atau tekanan militer.
Bentuk perlawanan yang muncul pun beragam: dari penghadangan armada kecil di selat-selat sempit, pengrusakan perahu-perahu pengangkut barang, hingga penyerangan mendadak terhadap tenda dan pos sementara yang dibangun oleh VOC. Dalam beberapa kasus, penduduk kampung berpura-pura menerima perwakilan VOC–Tidore, lalu menyerang mereka di malam hari atau saat rombongan lengah.
Laporan internal VOC dari Ambon pada dekade 1790-an menyebutkan adanya “kerugian yang signifikan dalam operasi ke wilayah Papua” karena “perlawanan lokal yang tak bisa diprediksi dan sulit ditundukkan.” Dalam konteks ini, kegagalan bukan hanya militer, tetapi juga simbolik: klaim kekuasaan VOC atas Papua yang didasarkan pada hubungan dengan Tidore tidak diakui secara adat oleh masyarakat Papua sendiri.
Lebih dari sekadar penolakan ekonomi, perlawanan ini merupakan penegasan identitas politik lokal, di mana masyarakat Kaimana dan Teluk Arguni mempertahankan hak mereka untuk menentukan sendiri mitra dagang, sistem pertahanan, dan struktur pemerintahan adat. Mereka menolak tunduk kepada kekuasaan yang tidak pernah mereka undang, dan justru menghadapi intervensi dengan keberanian dan kecermatan taktis yang mengakar dalam pemahaman atas wilayah mereka sendiri.
Peristiwa-peristiwa ini membuktikan bahwa VOC, meski kuat di atas kertas dan dalam jalur pelayaran utama, tidak pernah berhasil menaklukkan hati dan kehendak masyarakat Papua Barat. Dan perlawanan terhadap ekspedisi dari Ambon menjadi penanda penting bahwa bahkan bentuk kolonialisme gabungan—antara kekuatan Eropa dan elite lokal—tidak otomatis berhasil bila tidak diakui oleh masyarakat adat.
Catatan Tambahan
Berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara yang memiliki tokoh-tokoh legendaris seperti Sultan Hasanuddin di Makassar, Sultan Nuku di Tidore, atau Pangeran Diponegoro di Jawa, sejarah perlawanan masyarakat Papua terhadap kolonialisme—termasuk terhadap VOC—tidak terpusat pada figur tunggal. Hal ini bukan karena ketidakhadiran semangat juang, melainkan disebabkan oleh struktur sosial masyarakat Papua yang bersifat egaliter, berbasis klan dan suku, serta tersebar dalam komunitas-komunitas kecil dengan otonomi tinggi.
Dalam masyarakat Papua, kekuatan tidak dikonsentrasikan dalam sistem kerajaan atau pusat kekuasaan yang hirarkis, melainkan tersebar secara horisontal dalam jaringan adat, hubungan antarklan, dan otoritas lokal berbasis usia, pengalaman, serta legitimasi adat. Oleh sebab itu, perlawanan terhadap VOC berlangsung secara sporadis, tak terkoordinasi antardaerah, namun konsisten dan menyebar luas di berbagai penjuru Papua Barat.
Sayangnya, sejarah resmi cenderung mengabaikan atau meremehkan bentuk-bentuk perlawanan akar rumput seperti ini. Kurangnya dokumentasi tertulis dari pihak masyarakat Papua dan dominasi arsip kolonial Belanda dan Kesultanan Tidore menyebabkan perlawanan mereka tidak banyak tercatat secara sistematis dalam narasi historiografi nasional.
Namun, studi etnografi modern, arsip sekunder, dan tradisi lisan yang masih hidup di kalangan masyarakat Papua menunjukkan bahwa intensitas resistensi sangat tinggi—baik dalam bentuk fisik, ekonomi, maupun budaya. Penolakan terhadap intervensi eksternal, baik dari Tidore maupun VOC, terus muncul dalam berbagai bentuk: dari serangan terhadap ekspedisi dagang, pengungsian kolektif, sabotase jalur laut, hingga pembunuhan simbolik terhadap perwakilan kolonial.
Dalam konteks inilah, perlawanan masyarakat Papua terhadap VOC bukan hanya bentuk perjuangan fisik, melainkan manifestasi dari komitmen mempertahankan martabat, tanah leluhur, dan kebebasan menentukan arah hidup sendiri. Ia bukan cerita tentang satu nama besar, melainkan mosaik perjuangan dari ratusan suku dan komunitas yang bersama-sama menjaga satu prinsip: tanah Papua bukan milik siapa pun selain rakyatnya sendiri.
Kekerasan, Perdagangan Budak, dan Trauma Kolektif
Salah satu aspek paling menyakitkan dari kehadiran VOC dan sekutunya di Papua Barat adalah keterlibatan mereka dalam praktik perburuan dan perdagangan budak yang berlangsung secara sistemik sepanjang abad ke-17 hingga ke-19. Dalam konteks Papua, perbudakan tidak hanya menandai eksploitasi tenaga kerja, tetapi juga menjadi simbol penghancuran martabat manusia dan kedaulatan adat.
VOC, melalui hubungan politik dengan Kesultanan Tidore, memfasilitasi dan merestui praktik pengambilan manusia secara paksa dari pesisir Papua. Utusan-utusan dari Tidore, sering kali dikawal oleh armada kecil VOC atau pedagang Makassar, menyisir kampung-kampung pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Yapen, Biak, Kaimana, hingga Fakfak untuk mengambil budak laki-laki muda dan anak-anak perempuan, yang kemudian dijual ke Maluku, Ambon, atau bahkan ke pasar budak Asia Tenggara lainnya.
Praktik ini memicu trauma kolektif dalam komunitas pesisir Papua. Tidak sedikit kampung yang seluruh penduduknya dipindahkan secara paksa, atau dipaksa menyerahkan anggota keluarga mereka demi menghindari pembantaian. Banyak keluarga yang kehilangan anggota tanpa pernah mengetahui nasib mereka, dan dalam waktu singkat, struktur sosial dan keseimbangan spiritual kampung-kampung tradisional pun runtuh.
Dampak psikologis dan sosial dari praktik ini sangat dalam. Dalam banyak cerita rakyat dan tradisi lisan Papua, masa perbudakan VOC disebut sebagai “zaman kegelapan” di mana laut bukan lagi ruang kehidupan, melainkan ancaman. Perahu yang datang dari barat atau utara tidak lagi disambut dengan upacara dagang, tetapi ditolak dengan senjata atau disembunyikan secara diam-diam oleh penduduk. Bahkan, beberapa suku memilih untuk meninggalkan wilayah pesisir secara permanen dan membangun kehidupan baru di pedalaman yang sulit dijangkau.
Sebagai bentuk respons terhadap kekerasan ini, muncul strategi isolasi budaya dan sosial. Komunitas adat menutup diri terhadap dunia luar, menghentikan kontak dagang dengan perahu-perahu asing, dan mengembangkan sistem alarm dini berbasis bunyi, asap, dan hewan liar untuk menghindari penangkapan. Dalam beberapa masyarakat, kisah pengambilan budak menjadi bagian dari cerita turun-temurun yang berfungsi sebagai pengingat kolektif akan kekejaman kolonial dan perlunya menjaga batas dengan dunia luar.
Karena itulah, perdagangan manusia menjadi salah satu pemicu utama resistensi keras dari suku-suku Papua. Mereka tidak sekadar menolak VOC atau Tidore karena soal ekonomi, tetapi karena apa yang mereka bawa: penghinaan terhadap manusia dan pelanggaran terhadap adat paling mendasar, yakni larangan memperjualbelikan sesama makhluk hidup.
Meskipun catatan kolonial sering kali menyederhanakan resistensi Papua sebagai “pembangkangan liar,” kenyataannya adalah rangkaian perlawanan tersebut memiliki landasan moral, spiritual, dan sosial yang kuat. Masyarakat Papua tidak hanya melawan dengan tombak dan panah, tetapi juga dengan ingatan kolektif dan tekad mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang telah dijunjung tinggi selama berabad-abad.
Wilayah-Wilayah Kunci Perlawanan
Perlawanan terhadap VOC di Papua Barat berlangsung dalam bentang geografis yang luas dan beragam, mencakup pesisir, kepulauan, lembah-lembah pegunungan, hingga hutan tropis yang rapat. Meskipun bersifat sporadis dan tidak terkoordinasi secara terpusat, perlawanan ini dapat dilacak secara konsisten di sejumlah wilayah kunci yang menjadi pusat interaksi ekonomi dan politik antara masyarakat lokal dengan kekuatan luar. Tiap wilayah memiliki dinamika unik yang membentuk pola resistensinya sendiri.
1. Teluk Cenderawasih (Geelvinkbaai)
Sebagai salah satu wilayah pesisir terbesar dan paling aktif dalam jalur dagang timur Nusantara, Teluk Cenderawasih menjadi lokasi benturan awal dan paling sering antara VOC, Tidore, dan komunitas lokal. Pulau-pulau seperti Biak, Yapen, dan Waropen memiliki sejarah panjang hubungan dagang dengan Maluku dan Makassar, namun menolak klaim sepihak dari VOC. Penolakan terhadap pengiriman upeti burung cenderawasih dan pengambilan budak kerap memicu serangan terhadap ekspedisi VOC–Tidore. Di sisi lain, struktur sosial berbasis klan dan persekutuan lokal di kawasan ini membuat wilayah tersebut sulit ditundukkan secara permanen.
2. Kepulauan Raja Ampat dan Fakfak
Wilayah Raja Ampat—dengan kekayaan hasil laut dan lokasinya yang strategis sebagai titik lintas pelayaran—menjadi objek kolonial yang sangat diincar. Namun banyak kepala suku menolak perjanjian dagang sepihak dan memilih strategi tutup diri atau konfrontasi. Di Fakfak, VOC sempat mendirikan loji dagang dan pos militer kecil, namun serangan mendadak dari komunitas lokal menggagalkan upaya mereka menguasai wilayah itu secara berkelanjutan. Perlawanan di sini berlangsung dengan kekuatan maritim lokal, memanfaatkan perahu kecil dan pengetahuan perairan karang untuk menyergap musuh.
3. Suku-suku Besar: Moi, Arfak, Biak, dan Kaimana
Perlawanan juga terwujud melalui kekuatan sosial dan adat yang dijalankan oleh suku-suku besar seperti Moi (di Sorong), Arfak (di pegunungan Manokwari), Biak (di Teluk Cenderawasih), dan komunitas pesisir Kaimana. Masing-masing memiliki bentuk perlawanan berbeda—dari penyerangan terhadap perahu dagang, pengusiran ekspedisi, hingga pengungsian massal ke pegunungan. Suku Arfak, misalnya, dikenal sebagai komunitas yang menjaga wilayahnya dengan ketat dan mengembangkan strategi pertahanan berbasis geografi. Sementara suku Moi dan Biak membentuk aliansi adat lintas kampung untuk mempertahankan kebebasan berdagang dan menolak klaim kedaulatan eksternal.
4. Medan Geografis sebagai Keuntungan Strategis
Geografi Papua Barat yang terdiri dari pegunungan curam, hutan lebat, teluk sempit, dan pulau-pulau terpencil menjadi keunggulan alami dalam melawan kekuatan kolonial. VOC, meskipun memiliki kapal dan senjata canggih, tidak mampu menguasai seluruh wilayah secara penuh, karena banyak kampung sengaja didirikan di lokasi-lokasi yang hanya bisa dicapai dengan jalan kaki berhari-hari atau melalui jalur sungai rahasia. Hal ini menyulitkan VOC dalam mempertahankan kendali logistik dan intelijen, serta membuat wilayah Papua Barat tetap menjadi kawasan yang relatif merdeka dari kontrol kolonial langsung hingga abad ke-19.
Warisan Perlawanan dan Identitas Papua
Meski tidak tercatat dalam epos-epos sejarah nasional yang ditulis dari pusat, perlawanan masyarakat Papua Barat terhadap dominasi eksternal—terutama terhadap VOC dan Kesultanan Tidore—meninggalkan warisan historis dan kultural yang kuat bagi generasi berikutnya. Warisan ini tidak hanya membentuk narasi identitas suku-suku Papua, tetapi juga menegaskan peran penting Papua dalam sejarah besar perlawanan anti-kolonial Nusantara.
Dalam banyak komunitas, nilai-nilai seperti kemandirian, kebebasan, dan kehormatan sangat dijunjung tinggi. Nilai-nilai ini tidak lahir secara abstrak, tetapi tumbuh dari pengalaman langsung menghadapi perampasan, perbudakan, dan tekanan eksternal selama masa kolonial. Masyarakat Papua belajar dari generasi ke generasi bahwa mempertahankan tanah, adat, dan hak untuk menentukan jalur hidup sendiri adalah harga diri kolektif yang tak bisa ditukar dengan kemewahan dari dunia luar.
Bentuk-bentuk perlawanan terhadap VOC di abad ke-17 dan ke-18—baik berupa pengusiran utusan, penolakan dagang, sabotase terhadap loji, atau pengungsian strategis—menjadi bagian dari identitas sejarah tiap suku dan wilayah. Di pesisir Biak, misalnya, kisah-kisah tentang “kapal besar dari barat” yang membawa bencana menjadi cerita peringatan yang disampaikan melalui lagu-lagu, ukiran kayu, hingga ritual adat. Di Fakfak, cerita tentang kampung-kampung yang hilang karena perburuan budak menjadi kenangan kolektif yang menanamkan kewaspadaan terhadap dominasi dari luar.
Sebagian besar narasi ini tidak tercatat dalam dokumen tertulis kolonial—karena memang tujuan kolonial bukan mencatat perlawanan, melainkan menutupinya. Namun, berkat tradisi lisan yang kuat, masyarakat Papua menyimpan ingatan tersebut dalam bentuk cerita rakyat, petuah leluhur, dan konsep simbolik tentang “orang asing pemburu manusia” yang harus diwaspadai. Di dalamnya, VOC bukan sekadar perusahaan dagang, tetapi lambang dari segala bentuk kekuatan eksternal yang tidak menghormati hukum adat dan martabat manusia.
Melalui pengalaman ini, terbentuklah sebuah kesadaran kolektif: bahwa Papua bukan wilayah pasif yang hanya menjadi objek penjajahan, melainkan subjek sejarah yang aktif, cerdas, dan berani dalam mempertahankan ruang hidupnya. Bahkan tanpa pusat komando militer atau sistem kerajaan besar, masyarakat Papua mampu bertahan dari tekanan global dan menegaskan eksistensinya sebagai bagian integral dari bangsa yang menolak dijajah.
Perlawanan terhadap VOC di Papua Barat adalah refleksi kekuatan komunitas-komunitas adat—yang meskipun tersebar dan berbeda-beda, disatukan oleh semangat mempertahankan kedaulatan budaya, ekonomi, dan spiritual. Dalam narasi besar sejarah Nusantara, perlawanan ini menjadi jembatan penting untuk memahami bahwa kemerdekaan tidak lahir dari satu tempat, tetapi tumbuh dari banyak titik perlawanan kecil yang terhubung oleh semangat yang sama.