Perlawanan di Flores dan Timor (Abad ke-17 – 18)

Flores dan Timor, dua pulau besar di kawasan timur Nusantara, menempati posisi strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan maritim yang menghubungkan Kepulauan Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara dengan wilayah Asia Tenggara lainnya. Wilayah ini sejak lama menjadi lintasan penting bagi perdagangan rempah-rempah, kayu cendana, madu hutan, kapas, dan hasil alam lainnya yang sangat diburu oleh pedagang asing, termasuk bangsa Eropa.

Di kawasan ini berkembang sejumlah kerajaan kecil dan konfederasi lokal seperti Larantuka, Sikka, Wehali, Amarasi, dan Sonbai, yang membentuk tatanan politik yang longgar namun kuat dalam kearifan adat. Kerajaan-kerajaan ini memiliki hubungan kompleks dengan dunia luar, termasuk dengan bangsa Portugis yang telah lebih dahulu hadir sejak abad ke-16 melalui misi Katolik dan perdagangan, terutama di wilayah Larantuka dan Timor Timur.

Namun, memasuki abad ke-17, situasi berubah drastis ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulai mengarahkan perhatiannya ke wilayah ini. Setelah menguasai Maluku dan mengokohkan posisinya di Batavia, VOC berambisi memonopoli seluruh jalur perdagangan timur. Kayu cendana dari Timor menjadi salah satu komoditas utama yang diburu VOC, mendorong mereka menanamkan pengaruh melalui perjanjian dagang, benteng, dan koersi politik terhadap para raja lokal.

Kehadiran VOC tidak diterima secara pasif. Di berbagai tempat, muncul perlawanan rakyat dan elite lokal yang menolak intervensi politik dan ekonomi asing. VOC menghadapi serangkaian konflik, mulai dari penolakan perjanjian monopoli hingga serangan fisik terhadap loji dan benteng dagang mereka. Perlawanan ini menunjukkan bahwa kolonialisme VOC di wilayah timur Indonesia tidak pernah sepenuhnya diterima, dan harus ditegakkan melalui kekuatan militer, manipulasi politik, serta aliansi dengan kekuatan lokal tertentu.

Subbab ini bertujuan untuk menelusuri bentuk-bentuk perlawanan lokal terhadap VOC di Flores dan Timor, serta menjelaskan bagaimana dinamika kolonialisme di wilayah ini berlangsung dalam skala yang lebih mikro—tidak selalu dalam bentuk perang besar, tetapi dalam ketegangan antara kedaulatan lokal dan intervensi global, antara adat dan kekuasaan asing, antara identitas lokal dan kolonialisme yang menjalar melalui celah-celah perpecahan.

Dengan memahami perlawanan di Flores dan Timor, kita melihat bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak hanya terjadi di pusat-pusat kekuasaan besar seperti Jawa atau Maluku, tetapi juga di pelosok timur yang sering kali diabaikan dalam narasi besar sejarah nasional.

Kondisi Politik dan Sosial Flores–Timor Sebelum VOC

Sebelum kedatangan VOC pada awal abad ke-17, kawasan Flores dan Timor telah lama dihuni oleh masyarakat yang memiliki struktur sosial dan politik tersendiri, berbasis pada kerajaan kecil, konfederasi adat, dan sistem nilai lokal yang kuat. Tidak seperti wilayah-wilayah seperti Jawa atau Maluku yang mengenal kerajaan besar dan sentralistik, Timor dan Flores justru menunjukkan keragaman kekuasaan yang lebih desentralistik, yang berakar kuat pada komunitas-komunitas adat.

1. Struktur Kerajaan Kecil dan Konfederasi Adat

Salah satu contoh paling mencolok dari struktur ini adalah Konfederasi Wehali di Timor, yang dikenal sebagai pusat budaya dan spiritual masyarakat Tetun. Wehali bukanlah kerajaan militeristik dalam arti klasik, melainkan sebuah pusat simbolik dan ritual yang dihormati oleh banyak suku dan kerajaan di sekitarnya, termasuk suku-suku di pedalaman Timor Barat hingga Timor Leste.

Selain Wehali, terdapat pula kerajaan-kerajaan lain seperti Amarasi, Sonbai, Maubara, dan Likusaen (di wilayah Leste) yang memiliki kekuasaan terbatas pada wilayah etnis tertentu dan menjalin hubungan yang lebih bersifat konfederatif daripada hierarkis. Di Flores, kerajaan-kerajaan seperti Sikka, Larantuka, dan Ende muncul sebagai entitas politik yang kuat secara lokal, namun tetap terbuka terhadap pengaruh luar melalui jalur pelayaran dan perdagangan.

Dalam masyarakat ini, kekuasaan raja atau ratu tidak bersifat absolut. Ia lebih berfungsi sebagai penjaga keseimbangan antara hukum adat (adat) dan kekuatan spiritual alam, serta sebagai mediator dalam konflik antar-suku. Sistem ini memberikan kemandirian relatif pada setiap komunitas, sekaligus menciptakan fleksibilitas tinggi dalam diplomasi dan perdagangan.

2. Hubungan Dagang Tradisional dengan Makassar, Maluku, dan Pedagang Portugis

Secara geografis, letak Flores dan Timor sangat strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan barat (Jawa dan Makassar) dengan timur (Maluku dan Papua). Hubungan dagang yang telah berlangsung lama mengaitkan wilayah ini dengan pedagang dari Makassar, Bugis, Buton, dan Maluku, serta dari dunia luar seperti Portugis dan Topass (keturunan Indo-Portugis di Timor).

Komoditas utama dari wilayah ini adalah kayu cendana, yang sangat berharga di pasar internasional sebagai bahan baku parfum, dupa, dan pengobatan. Selain itu, madu hutan, lilin, kapas, dan ternak juga diperdagangkan secara luas. Pelabuhan-pelabuhan kecil seperti Larantuka dan Kupang menjadi titik temu para pedagang lokal dan asing, menjadikan wilayah ini dinamis secara ekonomi, meskipun tidak terpusat secara politik.

Sistem dagang ini memungkinkan kerajaan-kerajaan lokal untuk mempertahankan otonomi mereka, karena tidak ada satu kekuatan pun yang bisa secara total menguasai jalur distribusi. Fleksibilitas inilah yang menjadi sumber kekuatan kerajaan lokal dalam menghadapi tekanan eksternal, termasuk nantinya dari VOC.

3. Pengaruh Misi Katolik dari Portugis di Larantuka dan Timor Timur

Kehadiran Portugis di wilayah ini dimulai sejak abad ke-16, melalui misi Katolik yang dikirim dari Goa dan Malaka. Di Larantuka, Flores Timur, Portugis mendirikan pusat misi Katolik yang berkembang menjadi basis penting kekristenan di wilayah timur Nusantara. Wilayah ini menjadi benteng pertahanan terakhir kekuatan Katolik Portugis setelah mereka terusir dari Malaka dan sebagian besar wilayah Maluku.

Misi Katolik tidak hanya membawa agama, tetapi juga pendidikan, budaya tulis, dan jaringan perdagangan baru yang mengaitkan kerajaan lokal dengan dunia Katolik global. Raja-raja lokal yang memeluk Katolik, seperti di Larantuka dan wilayah Timor Timur, memperoleh legitimasi tambahan melalui hubungan religius ini, dan sebagian mulai mengadopsi sistem pemerintahan semi-Eropa.

Namun, pengaruh Portugis tetap terbatas secara militer dan politik. Mereka lebih banyak berperan sebagai mitra dagang dan pelindung spiritual, bukan sebagai penguasa langsung. Hal ini berbeda dari pendekatan VOC yang kelak jauh lebih agresif dan terpusat pada dominasi ekonomi dan politik.

4. Ketidakhadiran Kekuatan Hegemonik Tunggal: Ruang Manuver Besar bagi Kerajaan Lokal

Salah satu ciri khas wilayah Flores dan Timor sebelum VOC adalah tidaknya terdapat satu kekuatan tunggal yang mampu memaksakan hegemoninya atas seluruh wilayah. Bahkan Portugis, yang lebih dahulu hadir, tidak mampu menyatukan atau mengontrol semua kerajaan secara penuh. Struktur kekuasaan yang bersifat federatif, berbasis adat, dan tersebar, menciptakan keseimbangan kekuasaan alami yang dinamis namun rapuh.

Kondisi ini menciptakan ruang manuver politik yang luas bagi kerajaan lokal. Mereka dapat memilih untuk beraliansi dengan Portugis, tetap netral, atau bahkan bermain dua kaki dalam menghadapi tekanan dari kekuatan luar. Namun keleluasaan ini juga menjadi titik lemah, karena ketika kekuatan kolonial seperti VOC mulai menerapkan strategi pecah-belah (devide et impera), kerajaan-kerajaan ini menjadi rentan terhadap kooptasi dan manipulasi aliansi.

Dengan tidak adanya kekuatan sentral yang kuat seperti Mataram atau Gowa, Flores dan Timor menjadi medan terbuka bagi persaingan kolonial—antara VOC, Portugis, dan kekuatan lokal yang saling mencurigai. Ketegangan inilah yang akan melahirkan serangkaian konflik terbuka, perlawanan gerilya, serta restrukturisasi kekuasaan yang tajam pada abad ke-17 dan 18.

Masuknya VOC dan Awal Konflik

Memasuki pertengahan abad ke-17, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulai memperluas operasinya ke wilayah Nusa Tenggara Timur, khususnya Timor Barat dan kepulauan Flores, sebagai bagian dari upaya besar mereka untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dan hasil hutan timur Nusantara. Setelah mencengkeram Maluku dan mengokohkan posisinya di Batavia, VOC melihat kawasan ini sebagai mata rantai penting dalam jalur logistik dan komoditas Asia Tenggara.

1. VOC Mulai Mengincar Jalur Perdagangan Kayu Cendana, Madu, dan Kapas

Daya tarik utama wilayah Timor dan Flores bagi VOC bukanlah pala atau cengkih seperti di Maluku, melainkan kayu cendana—komoditas yang sangat dicari di India dan Tiongkok karena nilai medis dan spiritualnya. Kayu cendana dari Timor dianggap sebagai salah satu yang terbaik di Asia, menjadikan pulau ini target utama eksploitasi dagang.

Selain cendana, VOC juga memburu madu hutan, kapas, dan lilin, yang menjadi komoditas penting dalam perdagangan antar-pulau. Karena jalur dagang ini sebelumnya dikuasai oleh jaringan pedagang Makassar, Bugis, dan Portugis, maka kehadiran VOC berarti konfrontasi langsung terhadap jaringan dagang lama, termasuk terhadap kerajaan-kerajaan lokal yang diuntungkan dari pasar bebas antarbangsa tersebut.

VOC tidak hanya ingin berdagang—mereka ingin mengendalikan, memonopoli, dan menyingkirkan pesaing, dengan cara-cara yang lebih agresif dibandingkan kekuatan Eropa sebelumnya.

2. Upaya VOC Menyingkirkan Pengaruh Portugis di Timor Barat

Salah satu langkah awal VOC dalam mengamankan kepentingannya di Timor adalah menyingkirkan Portugis yang sudah lebih dahulu menanamkan pengaruh melalui misi Katolik dan aliansi politik, khususnya di Larantuka, Oecusse, dan wilayah Wehali. Meskipun Portugis secara militer lemah, mereka memiliki jaringan keluarga lokal, bangsawan Indo-Portugis (Topass), dan pelabuhan-pelabuhan strategis yang mampu menghambat ekspansi VOC.

VOC mulai membangun basis militer di Kupang sebagai titik tolak serangan terhadap wilayah kekuasaan Portugis di bagian barat Timor. Mereka mengirim ekspedisi militer dari Ambon dan Batavia, serta menjalin persekutuan dengan kerajaan-kerajaan lokal yang tidak sepenuhnya loyal pada Portugis.

Pertempuran terbuka antara VOC dan Portugis terjadi berulang kali sepanjang akhir abad ke-17, dengan Kupang menjadi pangkalan utama VOC, sementara Portugis bertahan di bagian timur (yang kelak menjadi Timor Leste). Persaingan ini berlangsung selama puluhan tahun dan membelah Timor secara geopolitik—belahan barat dikuasai VOC, dan timur tetap di bawah Portugis.

3. Perjanjian-Perjanjian Paksa dengan Raja-Raja Lokal dan Benteng Dagang Belanda

Dalam meluaskan pengaruhnya, VOC tidak hanya menggunakan senjata, tetapi juga perjanjian-perjanjian dagang yang tidak seimbang, yang memaksa raja-raja lokal untuk menjual hasil bumi hanya kepada VOC dengan harga tetap dan melarang perdagangan dengan bangsa lain. Perjanjian semacam ini mencabut hak dagang bebas yang selama ini dinikmati oleh kerajaan-kerajaan kecil dan mempersempit ruang gerak ekonomi mereka.

Selain itu, VOC juga membangun benteng-benteng dagang di sepanjang pesisir, seperti di Kupang dan Solor, yang menjadi titik konsolidasi kekuatan mereka di wilayah timur. Benteng ini bukan hanya markas militer, tetapi juga pusat administrasi dan kontrol dagang, yang memungkinkan VOC mengawasi dan memaksa kerajaan-kerajaan lokal mematuhi kontrak yang dibuat.

Kehadiran benteng ini sering kali disertai dengan pengangkatan pejabat VOC di dekat istana raja atau dengan cara menempatkan “penasehat” dagang yang sejatinya bertindak sebagai pengawas kolonial.

4. Penolakan dari Kerajaan seperti Amarasi, Sikka, dan Wehali terhadap Intervensi VOC

Kebijakan VOC yang cenderung memaksa dan eksploitatif segera menimbulkan resistensi dari sejumlah kerajaan lokal. Di antara yang paling keras menolak adalah Amarasi dan Wehali di Timor, serta Sikka di Flores bagian tengah. Penolakan ini tidak selalu berupa perang terbuka, tetapi sering berbentuk:

  • Penghindaran dari kewajiban perjanjian
  • Pembangkangan terhadap larangan berdagang dengan pihak lain
  • Pemberontakan terbuka dan penyerangan terhadap benteng atau pos dagang VOC

Kerajaan Amarasi, yang berlokasi di wilayah selatan Timor Barat, dikenal karena beberapa kali melancarkan serangan terhadap VOC di Kupang, dan sempat memaksa Belanda mundur dari beberapa pos. Di sisi lain, Wehali sebagai pusat kultural masyarakat Timor juga berusaha mempertahankan otonominya dengan menghindari pengaruh langsung VOC maupun Portugis.

Di Flores, kerajaan Sikka menolak monopoli dan memilih tetap berdagang dengan jaringan Makassar atau Portugis, meskipun mendapat tekanan dari utusan Belanda. Semua bentuk perlawanan ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan kecil tidak pasrah begitu saja terhadap kolonialisme, bahkan ketika mereka tidak memiliki kekuatan militer besar.

Bentuk-Bentuk Perlawanan Lokal

Perlawanan terhadap VOC di wilayah Flores dan Timor tidak selalu tampil dalam bentuk perang besar layaknya Perang Makassar atau Perang Diponegoro. Namun, di balik ukuran geografis dan kekuatan militernya yang terbatas, kerajaan-kerajaan dan komunitas lokal di kawasan ini menunjukkan perlawanan yang gigih, fleksibel, dan berakar kuat pada keinginan mempertahankan otonomi serta adat istiadat mereka. Perlawanan lokal muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari konfrontasi bersenjata, penghindaran politik, hingga koalisi strategis dengan kekuatan asing lainnya.

1. Perang Kecil dan Serangan Sporadis terhadap Loji Dagang dan Konvoi VOC

Salah satu bentuk paling nyata dari perlawanan lokal adalah serangan langsung terhadap loji dagang dan kapal-kapal VOC, yang dilakukan oleh pasukan kerajaan atau kelompok rakyat bersenjata. Beberapa kerajaan seperti Amarasi, Maubara, dan Likusaen dikenal sering melancarkan penyerbuan mendadak (raids) terhadap pos-pos Belanda di Kupang dan sekitarnya. Mereka menargetkan gudang senjata, logistik, dan jalur distribusi barang milik VOC.

Konvoi dagang yang membawa cendana, kapas, atau hasil bumi lainnya dari pedalaman ke pelabuhan Belanda pun kerap disergap dalam perjalanan, terutama ketika melewati wilayah yang masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan non-kooperatif. Serangan seperti ini menyulitkan VOC menjaga stabilitas pasokan dan memaksa mereka menggelar patroli militer secara rutin.

Meski skalanya kecil dan tidak berlangsung lama, serangan-serangan ini efektif dalam mengganggu dominasi ekonomi VOC dan memperlihatkan bahwa kontrol Belanda jauh dari mutlak.

2. Dukungan terhadap Portugis atau Kekuatan Lain sebagai Strategi Anti-Belanda

Aliansi politik menjadi salah satu senjata utama kerajaan-kerajaan lokal dalam menyeimbangkan tekanan eksternal. Dalam konteks perlawanan terhadap VOC, banyak kerajaan di Timor dan Flores yang memilih mempertahankan hubungan lama dengan Portugis, bukan semata karena kesetiaan, tetapi karena Portugis masih dianggap lebih longgar dalam intervensi politik.

Misalnya, kerajaan-kerajaan seperti Maubara, Liquiça, dan Wehali tetap berada di orbit pengaruh Portugis meskipun VOC berusaha menarik mereka masuk ke dalam sistem kontrak dagangnya. Selain itu, beberapa kelompok lokal juga mendekat ke pedagang Makassar, Buton, atau perompak laut Bugis yang masih beroperasi di wilayah perairan Flores.

Dalam konteks ini, dukungan terhadap Portugis atau kekuatan non-Belanda menjadi bentuk strategi geopolitik lokal untuk mencegah dominasi tunggal VOC, sekaligus mempertahankan hak dagang dan kontrol politik atas wilayah mereka.

3. Gerilya Lokal di Pegunungan Timor dan Pantai Flores

Ketika kekuatan militer VOC semakin menguat dan mulai menguasai wilayah pesisir, banyak kelompok perlawanan lokal berpindah ke pegunungan dan daerah pedalaman. Di sana, mereka melancarkan taktik gerilya yang memanfaatkan medan berat dan pengetahuan lokal untuk menghindari serangan langsung dan menjaga keberlanjutan perlawanan.

Di Timor Barat, pegunungan yang membentang dari wilayah Amarasi hingga Amanuban menjadi basis pertahanan bagi pasukan lokal yang terus menyerang konvoi atau benteng VOC secara sporadis. Serangan dilakukan secara cepat dan tersembunyi, lalu para pejuang kembali menyatu dengan masyarakat.

Di Flores, wilayah pesisir seperti Ende dan Sikka yang sempat dikendalikan VOC, juga mengalami perlawanan dalam bentuk sabotase logistik, penghasutan penduduk, dan boikot perdagangan. Gerilya lokal dalam konteks ini bukan hanya bersenjata, tetapi juga bersifat sosial dan ekonomi.

4. Upaya Mempertahankan Otonomi Adat dan Sistem Hukum Lokal

Selain perlawanan fisik, bentuk lain yang tak kalah penting adalah perlawanan kultural dan institusional, yakni mempertahankan sistem adat dan hukum lokal dari intervensi kolonial. Banyak kerajaan dan konfederasi adat di Timor dan Flores menolak keberadaan perwakilan VOC dalam proses pengadilan, pewarisan kekuasaan, atau urusan internal masyarakat.

Di beberapa wilayah, kepala suku dan tetua adat secara tegas menolak penunjukan pejabat kolonial sebagai “penasehat”, karena dianggap merusak tatanan keseimbangan kosmologis dan politik adat. Bahkan ketika VOC mencoba menanamkan sistem pajak atau pungutan tetap atas hasil bumi, banyak komunitas yang lebih memilih memindahkan permukiman mereka ke pedalaman daripada hidup di bawah sistem kolonial.

Bentuk perlawanan ini sulit dilacak oleh arsip kolonial karena tidak selalu muncul sebagai konflik terbuka, namun justru berlangsung dalam bentuk pasif, berkelanjutan, dan sangat mengakar dalam sistem sosial masyarakat lokal.


Kampanye Militer VOC dan Penaklukan Politik

Ketika taktik perjanjian dagang paksa dan bujukan diplomatik gagal menaklukkan beberapa kerajaan keras kepala di Timor dan Flores, VOC mulai mengerahkan kekuatan militer secara lebih sistematis. Dari basisnya di Kupang dan Ambon, VOC melancarkan serangkaian kampanye militer dan operasi penaklukan politik yang bertujuan untuk membungkam perlawanan lokal, mengendalikan sumber daya, dan menciptakan tatanan politik baru yang sesuai dengan kepentingan kolonial.

1. Ekspedisi Militer VOC dari Kupang dan Ambon

Kupang menjadi pangkalan militer utama VOC di wilayah timur, sementara Ambon berfungsi sebagai markas komando regional yang mengatur logistik dan pengiriman pasukan. Dari dua titik inilah VOC mengorganisasi ekspedisi militer ke pedalaman Timor dan wilayah pesisir Flores, biasanya dalam bentuk ekspedisi musim kering, ketika kondisi medan lebih dapat dilalui.

Ekspedisi-ekspedisi ini membawa pasukan campuran VOC, tentara bayaran Ambon, Bugis, serta pasukan dari kerajaan sekutu seperti Bone atau Ternate. Mereka dilengkapi dengan senjata api, meriam kecil, dan logistik untuk kampanye panjang. Target utama biasanya adalah benteng lokal, lumbung pangan, dan pusat-pusat kekuasaan adat.

Salah satu strategi umum adalah “taktik bakar dan gusur”, yaitu menghancurkan desa-desa yang diduga mendukung perlawanan, kemudian memaksa penduduknya pindah ke wilayah yang lebih mudah diawasi VOC.

2. Aliansi VOC dengan Kerajaan Pesaing Lokal (Politik Adu Domba)

Sebagaimana di wilayah lain Nusantara, VOC sangat mengandalkan politik adu domba (devide et impera) dalam memperluas kekuasaannya. Di Timor dan Flores, ini dilakukan dengan mendekati kerajaan-kerajaan yang menjadi rival lama dari kelompok-kelompok yang menolak VOC.

Misalnya, VOC menjalin persekutuan dengan Sonbai Kecil, yang bersedia menjadi mitra dalam menaklukkan Sonbai Besar dan Amarasi. Demikian pula, beberapa kelompok dari suku Tetun atau Helong direkrut untuk memerangi konfederasi Wehali yang keras kepala mempertahankan otonomi adatnya.

Perpecahan internal antara kerajaan yang bersaing memudahkan VOC menaklukkan lawan satu per satu, sembari menjanjikan perlindungan, akses dagang eksklusif, atau pengakuan politik bagi kerajaan yang bersedia tunduk. Dalam praktiknya, banyak penguasa lokal terpaksa menerima tawaran tersebut demi kelangsungan kekuasaan mereka, sekalipun itu berarti bergantung pada kekuatan kolonial.

3. Penaklukan Wilayah Strategis: Amarasi, Sonbai, Maubara

Beberapa wilayah strategis akhirnya berhasil ditundukkan secara militer oleh VOC setelah perlawanan sengit selama bertahun-tahun. Di antaranya:

  • Amarasi, kerajaan yang paling keras menentang keberadaan Belanda di wilayah barat daya Timor, akhirnya ditaklukkan pada paruh akhir abad ke-17 setelah serangkaian ekspedisi brutal dan pengkhianatan internal.
  • Sonbai, yang terbagi menjadi dua (besar dan kecil), perlahan-lahan jatuh ke dalam pengaruh VOC. Sonbai Besar yang semula mendukung Portugis kehilangan kekuatan karena ditinggal oleh sekutu dan dihancurkan melalui tekanan militer dan blokade ekonomi.
  • Maubara, semula wilayah dalam pengaruh Portugis, mengalami konflik berkepanjangan dan pada akhirnya menjadi salah satu daerah yang berulang kali direbut, hilang, dan direbut kembali oleh VOC dan sekutu-sekutunya.

Proses penaklukan ini tidak selalu melalui pertempuran terbuka—paksaan diplomatik, ancaman, blokade pangan, dan perpecahan internal juga menjadi bagian integral dari strategi kolonial VOC di kawasan ini.

4. Pembentukan Sistem Kontrol Tidak Langsung melalui Penguasa Lokal Loyal

Setelah berhasil menaklukkan wilayah-wilayah strategis, VOC tidak serta-merta menggantikan penguasa lokal dengan pejabat Belanda. Sebaliknya, mereka mempertahankan struktur lokal yang ada, tetapi dengan memasang penguasa yang loyal dan bergantung pada dukungan VOC. Sistem ini dikenal sebagai kontrol tidak langsung (indirect rule)—strategi yang lebih murah dan efektif untuk mengendalikan wilayah luas dengan sumber daya terbatas.

Para raja, liurai, dan tetua adat yang tunduk kepada VOC diberikan gelar kehormatan, hadiah, atau pengakuan resmi, namun juga diwajibkan untuk:

  • Menyediakan tenaga kerja dan upeti
  • Menjaga keamanan lokal sesuai instruksi VOC
  • Menolak dagang bebas dengan pihak asing (terutama Portugis)
  • Menyediakan logistik saat VOC melakukan ekspedisi

Model ini menciptakan kelas elite lokal kolaborator, yang secara formal masih tampak sebagai penguasa tradisional, tetapi sejatinya menjalankan agenda kolonial. Dalam jangka panjang, sistem ini mengubah dinamika kekuasaan lokal, menciptakan ketimpangan sosial baru, dan menanamkan ketergantungan politik terhadap VOC di seluruh wilayah Flores dan Timor.

Dampak Sosial dan Budaya Kolonisasi

Setelah serangkaian kampanye militer dan perjanjian politik, dominasi VOC di wilayah Flores dan Timor tidak hanya berdampak pada struktur kekuasaan, tetapi juga mengubah secara signifikan tatanan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat lokal. Pengaruh kolonial meresap hingga ke kehidupan sehari-hari, dan menciptakan warisan panjang yang membentuk dinamika masyarakat Nusa Tenggara hingga era modern.

1. Perubahan Pola Perdagangan dan Kerusakan Ekonomi Tradisional

Salah satu dampak paling nyata dari kehadiran VOC adalah disrupsi terhadap pola perdagangan tradisional. Sebelum kolonialisasi, kerajaan-kerajaan di Flores dan Timor memiliki jaringan dagang yang terbuka dengan pelabuhan-pelabuhan di Makassar, Buton, Maluku, dan bahkan Filipina. Komoditas seperti kayu cendana, madu, kapas, lilin, dan ternak ditukar secara bebas dan memberi ruang bagi pengembangan ekonomi lokal yang relatif mandiri.

Namun, dengan diberlakukannya monopoli dagang VOC, raja-raja lokal dipaksa hanya menjual komoditas mereka kepada Belanda, sering kali dengan harga yang sangat rendah. Larangan berdagang dengan bangsa lain, termasuk Portugis, membuat pasar lokal stagnan, sementara jalur distribusi lama diputus secara paksa. Hal ini menyebabkan kerusakan ekonomi tradisional, penurunan daya beli rakyat, dan ketergantungan terhadap sistem logistik VOC yang kaku dan eksploitatif.

Desa-desa yang dahulu menjadi simpul dagang independen berubah menjadi penyetor paksa hasil bumi. Sementara itu, perdagangan lintas pulau yang dulu bersifat simbiosis digantikan dengan struktur eksploitatif sepihak.

2. Penurunan Status Penguasa Adat yang Tidak Patuh

Penguasa-penguasa adat yang menolak tunduk kepada VOC secara sistematis dilemahkan, dicopot, atau dimarjinalkan dari sistem kekuasaan lokal. Mereka digantikan oleh raja atau liurai yang dinilai lebih “kooperatif” dan mau mengikuti instruksi kolonial.

Penurunan status ini tidak hanya terjadi secara politis, tetapi juga melalui simbol-simbol sosial dan budaya: gelar adat ditanggalkan, upacara tradisional diintervensi, dan peran mereka dalam pengadilan lokal digantikan oleh sistem hukum kolonial. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi silsilah dan tradisi, kondisi ini menghancurkan tatanan sosial yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Sebagian penguasa adat bahkan dipaksa pindah ke wilayah yang lebih terisolasi, atau tidak lagi diakui secara resmi sebagai pemimpin. Akibatnya, banyak komunitas mengalami krisis identitas dan kehilangan tokoh pemersatu adat yang selama ini menjadi penjaga harmoni sosial.

3. Perluasan Pengaruh Kristen Protestan dan Pengurangan Kekuatan Katolik

Kolonialisme Belanda membawa misi keagamaan yang berbeda dari kekuatan Eropa sebelumnya. Jika Portugis memperkenalkan dan menyebarkan Katolik, maka VOC justru datang bersama dengan Gereja Reformasi Protestan, meskipun dengan pendekatan yang lebih administratif daripada misionaris.

Setelah berhasil menguasai beberapa wilayah strategis seperti Kupang dan sebagian Flores Barat, VOC secara aktif mempromosikan gereja Protestan, antara lain melalui pembangunan gereja, pengangkatan guru injil lokal, serta pendidikan dasar berbasis Alkitab.

Hal ini menimbulkan pergeseran religius di beberapa komunitas, terutama di daerah yang sebelumnya kuat berafiliasi dengan Katolik Portugis. Keberadaan dua kekuatan Kristen yang saling bersaing, yaitu Katolik di timur (Larantuka, Timor Leste) dan Protestan di barat (Kupang, Sabu), menciptakan fragmentasi identitas keagamaan yang bertahan hingga hari ini.

Selain itu, pendekatan Protestan yang lebih birokratis dan berorientasi pada kontrol sosial menjadikan agama sebagai alat pembentukan warga yang loyal kepada pemerintahan kolonial, bukan sekadar penyebaran iman.

4. Munculnya Elite Lokal Baru Pro-Belanda di Kupang dan Larantuka

Dalam proses konsolidasi kekuasaan, VOC membentuk kelas elite lokal baru yang terdiri dari bangsawan, pedagang, dan kepala suku yang mendapatkan hak istimewa karena loyal terhadap Belanda. Di kota pelabuhan seperti Kupang, muncul kelompok-kelompok elite yang mendapat akses pendidikan, perlindungan hukum, dan posisi administratif, baik dalam sistem VOC maupun dalam jaringan perdagangan yang dikendalikan kolonial.

Di Larantuka, meskipun masih berada dalam pengaruh Katolik Portugis, sebagian keluarga bangsawan juga berkompromi dengan sistem baru, menciptakan kolaborasi diam-diam antara elite lokal dan kekuatan kolonial.

Kelompok elite ini berperan sebagai penghubung antara pemerintah VOC dan masyarakat lokal, namun dalam jangka panjang mereka menjadi perpanjangan tangan penjajah dalam pengambilan keputusan, pengumpulan pajak, dan penyebaran nilai-nilai kolonial. Mereka memiliki kekuasaan lebih besar dari penguasa adat lama, namun kehilangan akar kultural yang kuat.

Warisan Perlawanan di Flores–Timor

Meskipun tidak selalu tercatat dalam historiografi besar seperti Perang Diponegoro atau Perang Aceh, perlawanan lokal di Flores dan Timor melawan dominasi VOC menyimpan warisan penting dalam sejarah perjuangan anti-kolonial di Nusantara. Perlawanan ini mencerminkan bahwa semangat mempertahankan kedaulatan, adat, dan hak berdagang tidak terbatas pada kerajaan besar di pusat, melainkan juga tumbuh kuat di wilayah-wilayah timur yang sering kali dilupakan.

1. Perlawanan Lokal sebagai Bentuk Awal Nasionalisme Regional

Dalam konteks abad ke-17 dan 18, belum muncul gagasan nasionalisme seperti yang dikenal di abad ke-20. Namun demikian, resistensi terhadap VOC oleh kerajaan-kerajaan seperti Wehali, Amarasi, Sikka, dan Sonbai dapat dilihat sebagai bentuk nasionalisme regional—yaitu semangat mempertahankan identitas kolektif dan otonomi politik terhadap kekuatan asing.

Masyarakat di Flores dan Timor tidak melawan semata karena kepentingan ekonomi, tetapi karena intervensi kolonial dianggap sebagai pelanggaran terhadap tatanan adat, spiritualitas lokal, dan hak menentukan nasib sendiri. Kesadaran ini tumbuh dari akar budaya dan kosmologi lokal, menjadikan perlawanan bersifat sosial dan moral, bukan hanya militer.

Perlawanan-perlawanan kecil dan terfragmentasi ini menciptakan fondasi kultural bagi kesadaran kolektif, yang kelak menjadi bagian dari narasi kebangsaan di era kemerdekaan.

2. Kisah Perjuangan Rakyat Timor dan Flores dalam Cerita Rakyat dan Sejarah Lokal

Warisan perjuangan melawan VOC di kawasan ini juga bertahan dalam cerita rakyat, syair lisan, dan ingatan kolektif komunitas lokal. Banyak kisah tentang raja, tetua adat, atau pejuang desa yang menolak tunduk pada Belanda masih diceritakan secara turun-temurun di desa-desa di Flores dan Timor.

Misalnya, legenda tentang liurai Amarasi yang bertempur tanpa menyerah, atau cerita rakyat tentang pasukan Wehali yang menolak menyerahkan tanah leluhur kepada “orang Belanda”, menjadi bagian dari identitas budaya yang terus hidup dalam nyanyian, ritual adat, dan bahkan drama rakyat.

Dalam konteks ini, sejarah lokal menjadi sarana resistensi kultural, menentang dominasi narasi kolonial yang cenderung menghapus atau mengecilkan peran daerah timur dalam sejarah nasional Indonesia.

3. Relevansi Konflik VOC di Wilayah Timur sebagai Bagian dari Strategi Kolonial Besar

Konflik di Flores dan Timor bukanlah kejadian terisolasi, melainkan bagian dari strategi kolonial VOC untuk menguasai seluruh jalur perdagangan timur Nusantara. Dengan menguasai Timor sebagai sumber cendana dan Flores sebagai penghubung jalur dagang Makassar–Maluku–Timor, VOC memastikan kontrol penuh atas ekonomi kawasan.

Perlawanan dari kerajaan-kerajaan kecil di kawasan ini secara tidak langsung menghambat ekspansi VOC, memaksa mereka mengeluarkan biaya logistik, diplomasi, dan militer yang besar. Meskipun akhirnya banyak kerajaan takluk, resistensi ini menunjukkan bahwa proyek kolonial tidak pernah berjalan mulus, dan senantiasa ditantang oleh kekuatan lokal yang memiliki legitimasi sosial dan adat yang kuat.

Dengan demikian, kisah perlawanan ini penting untuk dimasukkan dalam kerangka besar sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia, bukan hanya sebagai catatan pinggiran, tetapi sebagai bukti bahwa perlawanan terhadap penjajahan bersifat menyeluruh dan lintas wilayah.

4. Penegasan bahwa Wilayah Timur pun Aktif dalam Melawan Kolonialisme

Salah satu tantangan dalam sejarah nasional Indonesia adalah ketimpangan narasi geografis, di mana pusat-pusat seperti Jawa, Sumatra, dan Aceh mendapat porsi besar, sementara wilayah timur sering dilihat sebagai “pinggiran”. Namun kenyataannya, wilayah seperti Flores dan Timor aktif melakukan perlawanan dengan cara dan konteks mereka sendiri.

Dengan menyoroti perjuangan lokal di wilayah timur, kita menegaskan bahwa perlawanan terhadap kolonialisme bukan milik satu etnis, agama, atau pulau saja. Flores dan Timor telah memberikan kontribusi nyata dalam membela martabat dan kedaulatan lokal sejak awal penjajahan, dan warisan itu layak mendapat tempat yang setara dalam memori sejarah bangsa.

About administrator