Perang Aru Palaka (Konflik Internal Dimanfaatkan VOC, 1660-an)

Abad ke-17 merupakan masa yang sangat dinamis dalam sejarah politik Sulawesi Selatan, ketika berbagai kerajaan Bugis-Makassar bersaing untuk memperoleh dominasi di wilayah tersebut. Dua kekuatan utama yang terus bersaing dalam panggung politik dan militer adalah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Gowa, dengan pusat kekuasaannya di Makassar, tumbuh sebagai kerajaan maritim yang kuat, menjalin jaringan dagang internasional, dan menundukkan kerajaan-kerajaan sekitarnya, termasuk Bone. Di sisi lain, Bone mewakili kekuatan Bugis pedalaman yang mempertahankan identitasnya sendiri dan menolak dominasi Makassar.

Dalam konteks ini, muncul sosok Aru Palaka, seorang bangsawan Bone yang menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan Gowa. Setelah Bone dikalahkan dalam serangkaian konflik dengan Gowa, Aru Palaka dipaksa hidup dalam pengasingan. Namun, pengalaman pahit ini tidak membuatnya menyerah. Sebaliknya, ia menyusun kekuatan untuk melakukan pembalasan dan merebut kembali kehormatan Bone. Yang menjadikan Aru Palaka tokoh yang sangat penting sekaligus kontroversial dalam sejarah adalah pilihannya untuk bersekutu dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kekuatan kolonial Belanda yang saat itu tengah berupaya menundukkan Gowa.

VOC, yang melihat perpecahan antara Gowa dan Bone sebagai peluang emas, dengan cepat memanfaatkan konflik internal tersebut. VOC menyadari bahwa Gowa adalah satu-satunya penghalang utama terhadap ambisi mereka memonopoli jalur perdagangan dan pelabuhan strategis di timur Nusantara. Dengan dukungan militer dan politik kepada Aru Palaka dan Kerajaan Bone, VOC membentuk koalisi lokal yang mampu menyerang Gowa dari dua sisi: laut oleh armada VOC, dan darat oleh pasukan Bone. Aru Palaka menjadi sekutu lokal kunci dalam Perang Makassar, yang akhirnya berujung pada kekalahan tragis Gowa pada tahun 1669.

Subbab ini bertujuan untuk menelaah secara kritis bagaimana konflik internal antarkerajaan lokal dimanfaatkan oleh kekuatan kolonial, serta konsekuensi jangka panjang dari strategi ini terhadap struktur kekuasaan di Sulawesi Selatan. Peristiwa ini bukan hanya tentang pertempuran dan kemenangan, tetapi juga tentang identitas, pengkhianatan, dan dampak dari keputusan politik yang melibatkan kekuatan asing. Kisah Aru Palaka membuka ruang diskusi lebih dalam mengenai dilema antara memperjuangkan otonomi lokal dan menyerahkan sebagian kedaulatan kepada kekuatan asing demi keuntungan jangka pendek.

Latar Belakang Konflik Gowa–Bone

1. Gowa sebagai Kerajaan Dominan yang Menguasai Kerajaan-Kerajaan Bugis Lainnya

Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Gowa telah muncul sebagai kekuatan dominan di Sulawesi Selatan. Dengan kekuatan militer yang tangguh dan armada laut yang kuat, Gowa menaklukkan dan memaksa kerajaan-kerajaan kecil Bugis dan Makassar di sekitarnya untuk tunduk pada kekuasaannya. Proses ekspansi ini tidak hanya dilakukan melalui penaklukan bersenjata, tetapi juga melalui diplomasi kekuasaan dan perjanjian politik yang sering kali berpihak pada Gowa.

Salah satu kerajaan yang paling terdampak oleh kebangkitan Gowa adalah Kerajaan Bone, kerajaan Bugis yang memiliki sejarah panjang dalam struktur politik lokal Sulawesi. Bone sebelumnya memiliki otonomi kuat, namun secara bertahap kehilangan pengaruhnya akibat tekanan Gowa. Kejatuhan Bone menjadi simbol dari penaklukan budaya dan politik Bugis oleh dominasi Makassar, menciptakan ketegangan laten antara kedua entitas ini.

Dominasi Gowa tidak hanya dirasakan oleh elite kerajaan, tetapi juga oleh rakyat Bone yang merasa terpinggirkan, dipaksa mengikuti aturan luar, dan kehilangan kedaulatan mereka dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari.

2. Bone dan Bangsawan Bugis yang Tidak Puas dengan Hegemoni Gowa

Ketidakpuasan terhadap Gowa tidak hanya bersifat militer dan politik, tetapi juga kultural. Dalam struktur sosial Bugis yang menjunjung tinggi kehormatan (siri’), kekalahan dan dominasi asing—meski oleh sesama kerajaan lokal—adalah luka yang dalam. Banyak bangsawan dan pemimpin lokal Bone merasa bahwa kehormatan mereka telah diinjak-injak oleh pengaruh Makassar yang terlalu kuat.

Di tengah kondisi ini, muncul sentimen kebangsaan lokal yang menolak sepenuhnya hegemoni Gowa. Para bangsawan Bugis yang kehilangan tanah, jabatan, dan pengaruh, mulai menyusun perlawanan dari luar kekuasaan. Benih-benih pemberontakan dan keinginan untuk membalikkan tatanan kekuasaan mulai tumbuh, dan Bone menjadi ladang subur bagi perlawanan terselubung yang kelak akan meledak dalam bentuk konflik terbuka.

3. Aru Palaka sebagai Bangsawan Bone yang Diasingkan dan Bertekad Balas Dendam

Di tengah atmosfer politik yang penuh ketegangan ini, muncul sosok Aru Palaka, bangsawan muda dari Bone yang mengalami sendiri kekalahan dan penderitaan akibat penaklukan Gowa. Ia menyaksikan langsung jatuhnya Bone, dan dipaksa meninggalkan kampung halamannya setelah kerajaan disubordinasikan oleh Gowa. Dalam pengasingan—yang sempat membawanya ke Buton dan wilayah lain di luar Sulawesi Selatan—Aru Palaka menyimpan tekad untuk membalas penghinaan terhadap rakyat dan bangsanya.

Aru Palaka bukan hanya sekadar figur politik, tetapi tokoh emosional yang mengusung dendam kolektif rakyat Bone. Ia melihat kekalahan Bone bukan hanya sebagai kerugian militer, tetapi sebagai pelanggaran terhadap kehormatan keluarga, budaya, dan tanah airnya. Di pengasingan, ia mulai membangun jejaring kekuatan, mengumpulkan pendukung, dan mencari peluang untuk bangkit kembali.

Kebenciannya terhadap Gowa membuat Aru Palaka bersedia menjalin aliansi dengan kekuatan luar, termasuk VOC, demi merebut kembali posisi Bone dan menghancurkan dominasi Makassar.

4. VOC Melihat Peluang dalam Konflik Gowa–Bone untuk Menundukkan Gowa Secara Tidak Langsung

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang pada masa itu tengah memperluas pengaruhnya di Nusantara bagian timur, melihat konflik internal antara Gowa dan Bone sebagai peluang emas. VOC sejak lama memandang Gowa sebagai penghalang utama terhadap monopoli dagang mereka, karena Gowa secara konsisten menolak dominasi Belanda dan tetap membuka pelabuhannya untuk perdagangan bebas.

Daripada menyerang Gowa secara langsung dan menghadapi kekuatan penuh militer Makassar, VOC memilih strategi “pecah-belah” (devide et impera) dengan mendukung musuh internal Gowa—yaitu Bone dan Aru Palaka. VOC menyadari bahwa konflik antarkerajaan lokal bisa dijadikan alat untuk melemahkan pertahanan internal kerajaan besar, dan membuka jalan bagi dominasi kolonial dengan biaya yang lebih rendah.

Dengan dukungan logistik, senjata, dan perlindungan politik dari VOC, Aru Palaka diberi tempat dalam rencana besar penaklukan Makassar. Ia dimobilisasi sebagai sekutu lokal, dan Bone dipromosikan sebagai mitra strategis VOC di daratan Sulawesi Selatan. Dengan demikian, perjuangan pribadi Aru Palaka bertemu dengan kepentingan kolonial VOC, menghasilkan aliansi yang akan mengubah peta kekuasaan di kawasan tersebut.

Profil Aru Palaka

1. Nama Lengkap dan Asal-usul: Bangsawan Bone, Korban Kekalahan atas Gowa

Aru Palaka, yang nama lengkapnya sering dirujuk sebagai La Tenritatta Aru Palaka, adalah seorang bangsawan tinggi dari Kerajaan Bone, salah satu kerajaan Bugis terkuat di Sulawesi Selatan. Ia lahir di tengah gejolak politik antara Bone dan Gowa, pada masa ketika Gowa mulai menancapkan dominasinya atas kerajaan-kerajaan tetangga.

Aru Palaka merupakan bagian dari garis keturunan penguasa Bone yang memiliki posisi strategis dalam struktur adat dan politik Bugis. Namun, kekalahan Bone di tangan Gowa pada pertengahan abad ke-17 menyebabkan perubahan besar dalam hidupnya. Ia menjadi saksi kehancuran Bone sebagai kerajaan merdeka dan mengalami langsung penderitaan serta penghinaan akibat penaklukan oleh Gowa. Kekalahan ini bukan hanya kekalahan politis, tetapi juga penghancuran martabat kolektif masyarakat Bone yang sangat menjunjung tinggi nilai siri’ (kehormatan diri).

Trauma kekalahan ini akan menjadi bahan bakar utama perjuangan Aru Palaka. Ia tidak melihat kekalahan itu sebagai akhir, tetapi sebagai titik awal dari perjuangan balas dendam dan restorasi kekuasaan Bone.

2. Pengasingan di Buton dan Keterlibatan Awal dalam Pemberontakan

Setelah kejatuhan Bone, Aru Palaka melarikan diri ke Pulau Buton, yang pada saat itu berada di luar jangkauan langsung kekuasaan Gowa. Di pengasingan inilah ia membangun basis awal kekuatan dan mengumpulkan pendukung setia, baik dari kalangan bangsawan Bone yang tercerai-berai, maupun dari kelompok masyarakat yang tidak puas dengan dominasi Gowa.

Di Buton, Aru Palaka menjalin hubungan dengan pihak luar, termasuk para pedagang dan petinggi VOC. Dari sana pula ia mulai membangun reputasinya sebagai pemimpin militer dan politik yang tangguh. Perlahan namun pasti, ia memposisikan dirinya sebagai penerus sah kejayaan Bone, sekaligus pemimpin perlawanan terhadap kekuasaan Gowa.

Keterlibatannya dalam pemberontakan awal terhadap Gowa di wilayah perbatasan—dengan bantuan kekuatan lokal maupun bayangan VOC—menunjukkan bahwa sejak awal ia telah menempatkan dirinya bukan sekadar sebagai pelarian, tetapi sebagai tokoh oposisi terorganisir dengan agenda strategis.

3. Karakter: Ambisius, Militan, tetapi Kontroversial dalam Sejarah Bugis

Aru Palaka adalah sosok yang kompleks. Dalam satu sisi, ia digambarkan sebagai pemimpin yang militan, berani, dan visioner, yang tak gentar melawan dominasi Gowa yang selama ini membatasi ruang gerak Bone. Ia memiliki tekad baja, mampu memobilisasi kekuatan dari pengasingan, dan menjalankan strategi militer yang berhasil menjatuhkan salah satu kerajaan terkuat di Nusantara timur.

Namun, di sisi lain, figurnya tetap kontroversial, terutama karena kerja samanya dengan VOC, yang dalam persepsi banyak kalangan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kepentingan nasional dan kedaulatan lokal. Dalam narasi sejarah Bugis-Makassar, Aru Palaka tidak selalu ditempatkan sebagai pahlawan. Di wilayah Gowa, bahkan sebagian Bone sendiri, ia dianggap lebih mementingkan dendam pribadi daripada solidaritas bangsa, dan keputusannya bersekutu dengan kekuatan kolonial sering kali dikritik sebagai bentuk kolaborasi yang berujung pada kolonialisasi lebih dalam di Sulawesi Selatan.

Sifat ambisius dan gaya kepemimpinannya yang keras pun menjadikan dirinya tokoh yang dipatuhi dengan rasa hormat bercampur takut. Meski berhasil membawa Bone ke puncak kekuasaan kembali, kemenangan itu dibayar mahal dengan hilangnya kedaulatan sejati, karena Bone harus tunduk pada pengaruh VOC dalam berbagai aspek.

4. Aliansi dengan VOC: Strategi Pribadi atau Pengkhianatan Nasional?

Pertanyaan paling penting dalam memahami peran Aru Palaka adalah: apakah aliansinya dengan VOC merupakan langkah taktis untuk membebaskan Bone, atau justru bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan bangsa sendiri?

Dari satu sisi, Aru Palaka dapat dianggap sebagai pemimpin pragmatis yang menggunakan segala cara yang tersedia untuk mengalahkan musuh utama bangsanya. Dalam logika perlawanan klasik, mencari sekutu untuk melawan dominasi eksternal adalah langkah yang sah, terutama jika musuh jauh lebih kuat dan mendominasi seperti Gowa pada saat itu. Bagi pendukungnya, Aru Palaka adalah strategis, bukan pengkhianat.

Namun dari sisi lain, VOC adalah kekuatan asing yang secara sistematis menghancurkan kedaulatan lokal dan menggantinya dengan struktur kolonial. Dengan memberikan dukungan penuh kepada VOC, Aru Palaka membuka pintu bagi dominasi Belanda di Sulawesi Selatan, yang justru menjebak Bone dalam posisi sebagai penguasa semu di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial.

Oleh karena itu, Aru Palaka tetap menjadi tokoh ambivalen dalam sejarah Indonesia timur—dianggap sebagai pahlawan oleh sebagian, tetapi juga sebagai kolaborator oleh yang lain. Warisannya mencerminkan kompleksitas perlawanan lokal di tengah permainan kekuatan kolonial, di mana batas antara strategi dan pengkhianatan menjadi sangat tipis.

Peran Aru Palaka dalam Perang Makassar

1. Aru Palaka Bergabung dalam Ekspedisi Militer VOC (di bawah Speelman)

Ketika VOC memutuskan untuk melancarkan ekspedisi militer besar-besaran untuk menundukkan Kerajaan Gowa pada tahun 1666, mereka membutuhkan sekutu lokal yang memiliki pengetahuan medan dan jaringan politik di Sulawesi Selatan. Di sinilah Aru Palaka muncul sebagai tokoh kunci dalam strategi militer VOC. Ia bukan hanya seorang pelarian dari Bone, tetapi juga pemimpin yang berpengaruh di antara para pengikutnya dan paham betul taktik tempur Bugis.

VOC, yang saat itu dipimpin oleh Laksamana Cornelis Speelman, menyambut aliansi ini dengan tangan terbuka. Bagi VOC, Aru Palaka adalah alat strategis untuk memecah kekuatan lokal dari dalam, dan sekaligus mengurangi beban operasi militer mereka. Bagi Aru Palaka, dukungan VOC adalah tangga untuk membalas dendam dan merebut kembali kekuasaan Bone.

Dalam ekspedisi ini, Aru Palaka tidak hanya bergabung sebagai penasihat lokal, tetapi juga sebagai komandan pasukan Bone yang secara aktif bertempur di medan perang.

2. Mobilisasi Pasukan Bone untuk Menyerang Gowa dari Darat

Peran Aru Palaka sangat vital dalam membentuk serangan darat dari arah timur, yang langsung mengancam jantung wilayah kekuasaan Gowa. Ia berhasil memobilisasi pasukan Bugis dari Bone dan wilayah sekitarnya yang selama ini menyimpan dendam terhadap dominasi Gowa. Mobilisasi ini memperlihatkan kemampuannya membangun loyalitas dan jaringan militer, meskipun berada di bawah koordinasi kekuatan asing.

Pasukan Bone, yang dipimpin Aru Palaka, bergerak menyerang desa-desa dan benteng luar Gowa dari arah daratan. Serangan ini memaksa Gowa untuk membagi kekuatannya, karena mereka kini harus menghadapi ancaman ganda: dari laut oleh armada VOC, dan dari darat oleh pasukan Bone.

Strategi dua arah ini melemahkan pertahanan Gowa secara signifikan. Di medan darat, pasukan Aru Palaka mengenal medan, bahasa, dan kebiasaan musuh. Mereka melakukan penyerbuan dengan efektif dan memberikan tekanan besar pada pasukan Sultan Hasanuddin yang terkepung secara logistik dan psikologis.

3. Aru Palaka sebagai Penentu Jatuhnya Gowa dari Dalam — Serangan Terkoordinasi dari Dua Sisi

Keterlibatan Aru Palaka menjadikan Perang Makassar bukan hanya perang kolonial, tetapi juga perang saudara, di mana konflik internal antara dua etnis besar di Sulawesi Selatan—Bugis dan Makassar—dipicu dan diarahkan oleh kepentingan eksternal.

Peran Aru Palaka dalam penaklukan Gowa tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan militer VOC. Tanpa bantuan lokal yang sangat terlatih dan fanatik seperti pasukan Bone, VOC mungkin akan menghadapi kesulitan besar dalam merebut wilayah darat yang berbukit, berpaya, dan penuh rintangan alami.

Serangan terkoordinasi dari dua sisi—VOC melalui laut dan Aru Palaka melalui darat—menjadi penentu kehancuran struktur pertahanan Gowa. Banyak benteng kecil jatuh lebih cepat dari perkiraan, dan jalur suplai ke benteng utama Somba Opu terputus, membuat pasukan Gowa terkurung tanpa dukungan.

Selain aspek militer, keberadaan Aru Palaka juga memberikan tekanan psikologis berat bagi Gowa. Ia dipandang bukan hanya sebagai musuh politik, tetapi sebagai simbol pengkhianatan saudara sendiri, yang menyeret kekuatan kolonial ke dalam konflik lokal.

4. Terlibat Langsung dalam Jatuhnya Benteng Somba Opu (1669)

Puncak kontribusi Aru Palaka dalam Perang Makassar terjadi pada tahun 1669, ketika Benteng Somba Opu—benteng utama dan simbol kekuasaan Gowa—akhirnya jatuh ke tangan koalisi VOC-Bone. Dalam pengepungan dan pertempuran yang menentukan itu, pasukan Bone memainkan peran penting dalam mendobrak pertahanan benteng dari sisi darat, sementara VOC menekan dari laut dengan meriam berat.

Aru Palaka disebut terlibat langsung dalam pertempuran terakhir, memimpin serangan ke posisi-posisi penting dan mendorong kehancuran total pertahanan Gowa. Setelah benteng jatuh, Kerajaan Gowa tidak hanya kehilangan basis militernya, tetapi juga kehilangan legitimasi sebagai penguasa utama di Sulawesi Selatan.

Dengan kemenangan ini, Aru Palaka akhirnya mencapai tujuan utamanya: menjatuhkan Gowa, memulihkan Bone sebagai kekuatan regional, dan membalas kekalahan masa lalu. Namun, kemenangan tersebut tidak datang tanpa konsekuensi besar—baik bagi Bone, maupun bagi struktur kekuasaan lokal yang kini berada di bawah bayang-bayang VOC.


Kemenangan Bone dan Naiknya Aru Palaka

1. Bone Menjadi Sekutu Utama VOC di Sulawesi Selatan

Setelah jatuhnya Benteng Somba Opu pada 1669 dan kekalahan telak Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone bangkit kembali sebagai kekuatan dominan di Sulawesi Selatan. Peran besar Bone dalam membantu VOC memenangkan Perang Makassar menjadikan kerajaan ini sebagai sekutu utama Belanda di kawasan tersebut. Bagi VOC, Bone sangat berharga karena telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan lokal yang efisien, patuh, dan sanggup mengimbangi kekuatan Gowa dari darat.

Aliansi ini membuat Bone memiliki posisi istimewa dalam struktur kolonial awal di Sulawesi Selatan. VOC memberi Bone kebebasan dalam urusan internal dan mengukuhkannya sebagai kekuatan pelaksana kepentingan Belanda di daratan, mirip dengan bagaimana VOC memanfaatkan Kesultanan Ternate di Maluku. Dukungan VOC terhadap Bone bukan hanya militer, tetapi juga politik dan diplomatik.

Namun, aliansi ini bukan tanpa batas. Meskipun Bone mendapatkan kembali otonominya secara formal, VOC tetap menjadi kekuatan penentu dalam urusan regional, dan setiap gerakan politik Bone tetap berada di bawah pengawasan residen dan pejabat VOC.

2. Aru Palaka Diangkat sebagai Raja Bone, Berkuasa dengan Perlindungan VOC

Sebagai tokoh utama dalam kemenangan Bone-VOC atas Gowa, Aru Palaka akhirnya diangkat sebagai Arumpone (raja Bone). Kenaikan takhta ini merupakan puncak dari ambisinya sejak pengasingan—membalas dendam terhadap Gowa, memulihkan martabat Bone, dan meraih kekuasaan penuh atas kerajaannya. Penobatannya sebagai raja didukung penuh oleh VOC, yang memandang Aru Palaka sebagai mitra strategis yang dapat diandalkan.

Namun, kekuasaan Aru Palaka tidak sepenuhnya mandiri. Ia berkuasa di bawah perlindungan dan restu VOC, yang berarti setiap langkah politiknya harus selaras dengan kepentingan kolonial. Dengan menjadi penguasa yang “dibentuk” oleh VOC, Aru Palaka memasuki dilema klasik antara kemenangan pribadi dan ketergantungan struktural.

Di mata rakyat, pemerintahan Aru Palaka pun tidak sepenuhnya diterima secara merata. Sebagian besar masyarakat Makassar memandangnya sebagai kolaborator, bahkan sebagian Bugis pun mempersoalkan legitimasi kekuasaannya yang ditopang oleh kekuatan asing. Namun dalam kerangka kekuasaan kolonial saat itu, Aru Palaka adalah raja yang kuat karena didukung Belanda—bukan semata karena basis sosial dan budaya.

3. Gowa Dipersempit Wilayahnya dan Kehilangan Pengaruh

Kekalahan dalam Perang Makassar dan jatuhnya benteng Somba Opu merupakan akhir dari kejayaan Kerajaan Gowa sebagai kekuatan maritim dan regional. Dalam perjanjian pascaperang yang diformalkan lewat Perjanjian Bungaya, Gowa dipaksa menyerahkan wilayah kekuasaannya di luar inti wilayah kerajaan, membubarkan armada lautnya, dan menutup pelabuhannya dari perdagangan bebas—sebuah pukulan telak terhadap identitas Gowa sebagai kerajaan pelaut.

Kekuasaan Gowa kini hanya terbatas di sekitar Makassar dan beberapa wilayah kecil di pesisir. Pengaruh politiknya menghilang dari panggung regional, dan sisa-sisa elit Gowa hanya bertahan melalui simbolisme kebudayaan dan perlawanan pasif. Dalam konfigurasi baru pasca-perang, Gowa berubah dari kerajaan besar menjadi kekuatan simbolis yang berada di bawah bayang-bayang Bone dan VOC.

Trauma kekalahan dan hilangnya martabat membuat Gowa membutuhkan waktu panjang untuk memulihkan dirinya, bahkan hingga beberapa generasi berikutnya.

4. Struktur Politik Bugis–Makassar Berubah: Dominasi Bone, tetapi dalam Bayang-bayang VOC

Kemenangan Aru Palaka dan Bone membawa perubahan besar dalam struktur kekuasaan di Sulawesi Selatan. Jika sebelumnya Gowa mendominasi melalui kekuatan maritim dan kekuasaan pusat, kini Bone mengambil alih posisi tersebut sebagai pemegang otoritas daratan. Namun, dominasi ini tidak murni milik Bone, karena selalu dibayangi oleh kekuasaan VOC yang menjadi aktor utama dalam restrukturisasi politik pascaperang.

Dengan menjadikan Bone sebagai sekutu strategis, VOC tidak perlu menguasai Sulawesi Selatan secara langsung, tetapi cukup mengendalikan kekuasaan lokal melalui Aru Palaka dan elite Bone. Hal ini menjadi preseden penting dalam strategi kolonial Belanda di masa-masa berikutnya: menaklukkan Nusantara bukan semata lewat senjata, tetapi melalui kooptasi elit lokal dan manipulasi konflik internal.

Perubahan ini juga mengubah relasi budaya antara suku Bugis dan Makassar. Ketegangan antara kedua identitas ini diperuncing oleh memori perang dan pengkhianatan. Dalam jangka panjang, konflik ini mewariskan luka historis yang mempengaruhi hubungan antar-etnis dan antarkerajaan lokal, sekaligus membuka jalan bagi kolonialisme untuk menancapkan kekuasaannya lebih dalam di wilayah timur Indonesia.

Dampak Jangka Panjang dan Kontroversi Sejarah

1. Munculnya Polemik Sejarah tentang Aru Palaka: Pahlawan Bone atau Kolaborator Belanda?

Salah satu warisan paling kompleks dari Perang Aru Palaka adalah munculnya polemik historis yang berkepanjangan mengenai posisi Aru Palaka dalam sejarah Indonesia Timur. Di satu sisi, ia dihormati oleh sebagian masyarakat Bone sebagai pembebas dan pemulih kehormatan Bugis, khususnya karena berhasil membalikkan keadaan setelah kekalahan Bone oleh Gowa. Keberaniannya, kemampuannya membangun aliansi, dan kegigihannya dalam perjuangan politik-militer membuatnya layak disebut sebagai pemimpin yang efektif.

Namun di sisi lain, ia dikritik keras sebagai kolaborator Belanda, karena kemenangan yang ia raih tidak berdiri sendiri, melainkan bergantung pada bantuan VOC—kekuatan kolonial yang menjadi musuh bangsa Indonesia dalam jangka panjang. Dalam narasi sejarah nasional, kerja sama Aru Palaka dengan VOC sering dilihat sebagai pengkhianatan terhadap semangat anti-kolonialisme dan cikal bakal ketergantungan lokal terhadap kekuatan asing.

Polemik ini mencerminkan bagaimana tokoh sejarah tidak selalu hitam-putih, dan bagaimana penilaian terhadap masa lalu sangat tergantung pada perspektif sosial, politik, dan ideologis zaman.

2. Fragmentasi Identitas Bugis–Makassar akibat Persekutuan Bone–VOC

Salah satu dampak paling terasa dari aliansi Bone-VOC dalam menjatuhkan Gowa adalah pecahnya kesatuan identitas kultural dan politik antara Bugis dan Makassar. Sebelum konflik besar ini, kedua etnis memiliki banyak kesamaan dalam adat, perdagangan, dan interaksi antar-kerajaan. Namun setelah Perang Makassar, hubungan ini tercabik karena perang bersaudara tersebut disertai penghinaan, pendudukan, dan dominasi sepihak.

Rakyat Makassar melihat Bone sebagai pengkhianat yang membawa penjajah masuk ke wilayah mereka, sementara Bone menganggap perjuangan mereka sebagai bentuk pembebasan dari dominasi Gowa. Sentimen ini diwariskan secara turun-temurun, dan menjadi bagian dari memori kolektif kedua komunitas yang saling bersilang antara kebanggaan dan luka.

Dampaknya bukan hanya pada hubungan antar-etnis, tetapi juga pada bentuk pemerintahan dan kontrol sosial di Sulawesi Selatan. Dominasi Bone selama masa perlindungan VOC memperkuat polarisasi budaya dan politik, menjadikan proses rekonsiliasi pasca-perang sebagai hal yang sulit tercapai dalam waktu singkat.

3. VOC Memperkuat Strategi Devide et Impera di Berbagai Wilayah Nusantara

Kemenangan VOC dalam memanfaatkan konflik Gowa-Bone menjadi model awal suksesnya strategi pecah-belah (devide et impera) yang kemudian diterapkan di berbagai wilayah Nusantara. VOC menyadari bahwa perpecahan internal antarkerajaan lokal bisa dimanfaatkan untuk melemahkan musuh besar tanpa harus mengerahkan seluruh kekuatan sendiri.

Aliansi dengan Aru Palaka membuka mata VOC bahwa dominasi atas wilayah yang luas dapat dicapai dengan menggunakan elite lokal yang punya dendam atau ambisi, lalu dijadikan alat kolonial. Setelah kasus Gowa-Bone, strategi ini diperluas ke daerah lain seperti:

  • Perang antara Mataram dengan para adipati pembangkang di Jawa
  • Konflik elite di Maluku (antara Ternate-Tidore atau dalam Perang Nuku)
  • Pertikaian antarsuku di Kalimantan dan Sumatra

Dengan strategi ini, VOC (dan kemudian Hindia Belanda) menghemat biaya perang, mengontrol wilayah melalui perjanjian, dan memecah solidaritas lokal, menciptakan ketergantungan jangka panjang pada sistem kolonial.

4. Pelajaran Sejarah: Konflik Internal sebagai Celah Masuk Kolonialisme

Kisah Aru Palaka dan jatuhnya Gowa menyimpan pelajaran penting bagi sejarah Indonesia, yaitu bahwa konflik internal, jika tidak dikelola dengan bijak, dapat menjadi pintu masuk bagi kekuatan asing untuk menguasai negeri ini. VOC tidak perlu mengalahkan semua kerajaan dengan kekuatan senjata; mereka cukup menunggu momentum saat elite lokal terpecah, lalu masuk sebagai “penengah” atau “penolong” yang pada akhirnya menjadi penguasa.

Dalam konteks ini, Perang Aru Palaka menjadi contoh klasik bagaimana ambisi, dendam, dan perselisihan lokal dapat berujung pada kolonisasi sistemik. Ini menunjukkan bahwa kolonialisme tidak selalu datang dari luar, tetapi juga dari dalam, melalui tangan-tangan lokal yang memfasilitasi masuknya dominasi asing.

Kesadaran akan pelajaran ini menjadi penting dalam membangun solidaritas nasional dan membentuk wawasan sejarah yang lebih bijaksana. Perbedaan etnis, budaya, atau kepentingan lokal seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengorbankan kedaulatan bersama. Sejarah Aru Palaka memperingatkan bahwa bangsa yang terpecah dari dalam akan lebih mudah dijajah dari luar.


Warisan Sosial dan Politik

1. Aru Palaka dalam Memori Sejarah Bugis: Tokoh Kompleks dan Penuh Kontroversi

Nama Aru Palaka terus bergema dalam sejarah Sulawesi Selatan sebagai salah satu figur paling kontroversial. Di satu sisi, ia dikenang sebagai pembebas Bone dari hegemoni Gowa, seorang pemimpin yang cerdas secara militer dan taktis dalam diplomasi. Ia berhasil memulihkan posisi politik Bone yang terpuruk dan membangun kembali struktur kekuasaan Bugis yang sempat hancur oleh perang.

Namun, di sisi lain, Aru Palaka tetap menyisakan luka historis dalam ingatan masyarakat, khususnya di kalangan Makassar dan sebagian elit Bugis sendiri. Aliansinya dengan VOC dianggap sebagai pengkhianatan terhadap semangat perlawanan anti-penjajahan, terlebih karena kemenangan Bone justru membuka jalan bagi penetrasi kolonial Belanda yang lebih dalam di tanah Sulawesi.

Memori kolektif Bugis-Makassar mencatat Aru Palaka tidak sebagai pahlawan yang utuh, melainkan tokoh kompleks—perpaduan antara keberanian, ambisi, dan kepentingan pribadi yang menjelma menjadi kekuatan historis besar, sekaligus pembuka pintu kolonialisme.

2. Pengaruhnya terhadap Dinamika Elite Bugis Pasca-Perang

Kemenangan Aru Palaka dan pengangkatannya sebagai raja Bone tidak hanya mengubah peta kekuasaan di Sulawesi Selatan, tetapi juga memengaruhi struktur dan perilaku elite Bugis di masa-masa berikutnya. Model aliansi dengan kekuatan eksternal, yang dipraktikkan oleh Aru Palaka, menjadi preseden bagi sebagian bangsawan Bugis dalam mengelola kekuasaan—termasuk dalam interaksi dengan Belanda, dan kelak dengan Jepang maupun pemerintah kolonial modern.

Elite Bugis yang muncul setelah era Aru Palaka cenderung pragmatis, sering kali menyeimbangkan kepentingan adat dengan kebutuhan politik regional dan hubungan dengan pemerintah kolonial. Dalam banyak hal, struktur aristokrasi Bugis tumbuh sebagai entitas yang lentur—mampu beradaptasi dengan realitas kolonial, namun juga menyimpan kerinduan akan kedaulatan.

Namun, pengaruh Aru Palaka juga memunculkan perpecahan internal di kalangan elite Bugis, terutama terkait legitimasi kekuasaan, moralitas aliansi, dan batas antara strategi dan kolaborasi. Warisan ini terus membayang-bayangi politik lokal hingga era modern.

3. Jejak Konflik Gowa–Bone dalam Budaya, Sastra Lisan, dan Identitas Sulawesi Selatan

Perang antara Bone dan Gowa, serta peran Aru Palaka di dalamnya, meninggalkan jejak yang dalam dalam ekspresi budaya dan sastra lisan masyarakat Sulawesi Selatan. Dalam epos, lontara, dan cerita rakyat, konflik ini sering kali dituturkan dalam bentuk narasi dualistik: kehormatan dan pengkhianatan, keberanian dan pengorbanan, kemenangan dan luka yang tak tersembuhkan.

Di wilayah Bone, Aru Palaka bisa dijadikan figur kebanggaan, namun di Gowa ia sering dilihat sebagai simbol kehancuran dan penderitaan. Cerita ini diwariskan dari generasi ke generasi, membentuk identitas sosial yang terpolarisasi, dan kadang menjadi latar belakang laten dari relasi Bugis–Makassar hingga hari ini.

Konflik Gowa–Bone bukan sekadar peristiwa politik, melainkan bagian integral dari memori budaya masyarakat, yang mencerminkan ketegangan antara loyalitas lokal, kehormatan etnis, dan pengaruh asing.

4. Relevansi Peristiwa Ini dalam Membaca Strategi Penjajahan Berbasis Fragmentasi Lokal

Kisah Aru Palaka dan konflik Gowa–Bone memberikan cermin yang sangat relevan untuk memahami pola besar penjajahan di Nusantara. Alih-alih melakukan invasi brutal ke seluruh wilayah, VOC (dan kelak Hindia Belanda) lebih memilih untuk menyusup melalui celah-celah perpecahan lokal, memperkuat aktor-aktor yang bersedia bekerja sama, dan menyingkirkan kekuatan-kekuatan yang dianggap membangkang.

Peristiwa ini mengajarkan bahwa fragmentasi sosial dan konflik antarkerajaan adalah titik rawan dalam pertahanan bangsa, dan dapat menjadi alat penjajah untuk menguasai wilayah tanpa perlawanan berarti. Strategi ini terbukti berhasil tidak hanya di Sulawesi, tetapi juga di Jawa, Maluku, Kalimantan, hingga Sumatra.

Dengan memahami sejarah Aru Palaka, kita diingatkan akan pentingnya solidaritas nasional di atas kepentingan lokal, dan betapa berbahayanya ketika konflik internal dijadikan alat oleh kekuatan eksternal untuk mengendalikan arah sejarah.

About administrator