Perlawanan Kesultanan Bone (1824–1905)

Tanah Bugis, Takluk tapi Tak Tunduk

Pada abad ke-19, kekuasaan kolonial Belanda secara perlahan meluas ke berbagai wilayah Nusantara, termasuk kawasan timur Indonesia seperti Sulawesi Selatan. Meski pusat-pusat kekuasaan kolonial berada di Batavia dan Jawa, ambisi Belanda untuk mengendalikan jalur perdagangan rempah dan memonopoli kekayaan maritim mendorong mereka untuk menancapkan kekuasaan lebih dalam di kawasan Bugis-Makassar. Dalam konteks ini, Kesultanan Bone menjadi salah satu wilayah yang paling penting dan paling menantang bagi kolonialisme.

Kesultanan Bone merupakan kerajaan besar di antara komunitas Bugis, memiliki warisan politik dan militer yang kuat, serta dihormati karena konsistensinya dalam menjaga adat (pangadereng) dan martabat kerajaan. Sejak abad ke-17, Bone sudah terlibat dalam relasi kompleks dengan kekuatan asing, termasuk VOC, namun tetap mempertahankan ruang negosiasi dan otonominya. Masuknya tekanan Belanda yang lebih agresif di abad ke-19, terutama melalui perjanjian-perjanjian yang menyingkirkan otoritas lokal, akhirnya memicu perlawanan terbuka yang berlangsung dalam jangka waktu panjang dan penuh pengorbanan.

Perlawanan Kesultanan Bone tidak hanya bersifat militer, melainkan juga mencerminkan perjuangan identitas dan harga diri masyarakat Bugis terhadap intervensi kekuasaan luar. Tokoh-tokoh seperti La Makkaraka dan Petta Ponggawae bukan hanya pemimpin politik atau militer, tetapi juga simbol pertahanan budaya dan adat Bugis yang menolak dilucuti oleh kontrak kolonial.

Penulisan artikel ini bertujuan untuk menelusuri akar konflik antara Kesultanan Bone dan pemerintah kolonial Belanda, mengenalkan tokoh-tokoh utama dalam perlawanan, menganalisis strategi perlawanan yang ditempuh oleh rakyat Bone, serta menggambarkan dampak jangka panjang dari perang tersebut terhadap struktur politik dan budaya masyarakat Bugis. Dengan memahami perlawanan Bone, kita tidak hanya melihat dinamika lokal dari perjuangan antikolonial, tetapi juga menggali dimensi moral, spiritual, dan kultural dari perjuangan suatu bangsa yang menolak tunduk pada dominasi kekuasaan luar.

Latar Belakang Sejarah

1. Struktur Sosial dan Politik Bone

Kesultanan Bone merupakan salah satu kerajaan besar di wilayah Sulawesi Selatan yang menganut sistem pemerintahan berbasis adat dan hierarki yang terstruktur. Pada abad ke-19, struktur sosial-politik Bone masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional Bugis yang mengatur kehidupan masyarakat secara ketat melalui sistem pangadereng—sebuah tatanan adat yang mencakup hukum (ade’), etika (siri’), tata krama (bicaranna), dan wewenang sosial-politik.

Di puncak sistem politik Bone berdiri seorang Arung Matoa (raja tertinggi), yang tidak hanya memiliki kekuasaan administratif, tetapi juga berfungsi sebagai simbol pemersatu spiritual dan budaya masyarakat. Di bawahnya, terdapat Petta-petta (bangsawan lokal atau kepala wilayah) yang memiliki otoritas atas distrik-distrik kerajaan dan memegang kekuasaan atas tanah, rakyat, dan hukum adat setempat. Selain itu, Luwu dan beberapa kerajaan Bugis-Makassar lainnya seperti Wajo, Soppeng, Gowa, dan Tallo, membentuk semacam jaringan kekuasaan yang saling berinteraksi melalui pernikahan politik, persekutuan, atau bahkan persaingan.

Dalam sistem ini, kekuasaan tidak bersifat absolut. Raja Bone tidak bertindak semena-mena, melainkan harus tunduk pada konsensus elite dan prinsip-prinsip adat. Hal ini menjadikan Bone sebagai kerajaan yang memiliki struktur sosial-politik yang kokoh, kolektif, dan berbasis legitimasi adat—sesuatu yang kelak menjadi alasan kuat penolakan mereka terhadap kontrak kerja sama kolonial yang dianggap bertentangan dengan pangadereng.

Di sisi lain, dinamika antara kerajaan Bugis sendiri juga memengaruhi sikap politik Bone terhadap kekuatan asing. Persaingan historis dengan Kerajaan Gowa, serta hubungan fluktuatif dengan Tallo dan Wajo, membuat Bone waspada terhadap setiap bentuk intervensi eksternal yang dapat mengubah keseimbangan kekuasaan. Dalam konteks ini, intervensi Belanda tidak hanya dipandang sebagai ancaman kedaulatan Bone, tetapi juga sebagai gangguan terhadap keseimbangan regional antar kerajaan Bugis.

Struktur yang berbasis adat dan kohesi komunitas ini menjadikan Bone bukan hanya kuat secara politik, tetapi juga resisten secara budaya terhadap dominasi kekuasaan asing. Ketika Belanda mencoba memaksakan kontrol melalui perjanjian sepihak dan dominasi ekonomi-politik, mereka tidak hanya menghadapi tentara atau raja, tetapi juga menghadapi sistem nilai yang telah mengakar dalam masyarakat Bugis selama berabad-abad.

2. Awal Hubungan dengan VOC dan Belanda

Hubungan antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dengan kekuatan kolonial dimulai sejak abad ke-17, ketika Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulai aktif mencampuri urusan politik lokal guna mengamankan kepentingan dagang dan kekuasaan. Titik awal penting dari dominasi kolonial ini terjadi melalui Perjanjian Bongaya tahun 1667, yang dipaksakan kepada Kerajaan Gowa setelah kalah dalam perang melawan koalisi Bone–Belanda. Perjanjian tersebut tidak hanya mengatur penyerahan kekuasaan wilayah, tetapi juga menetapkan hak monopoli VOC atas perdagangan dan pelayaran, serta melarang Gowa untuk melakukan hubungan diplomatik dengan bangsa asing tanpa seizin Belanda.

Bagi Bone, yang saat itu menjadi sekutu VOC, perjanjian ini semula tampak menguntungkan secara militer dan politik. Namun seiring waktu, Bone mulai merasakan konsekuensi panjang dari hubungan subordinatif dengan kekuatan kolonial. Setelah keruntuhan VOC dan pengambilalihan oleh pemerintah Hindia Belanda di awal abad ke-19, upaya untuk memperbarui kontrak-kontrak politik dan ekonomi dengan kerajaan lokal dilakukan secara lebih agresif oleh pihak kolonial.

Pemerintah Belanda, dengan dalih memperkuat “kerja sama”, sebenarnya berusaha menegaskan dominasi politik dan ekonomi secara sepihak melalui berbagai perjanjian baru yang memaksakan kontrol atas pelabuhan, pungutan hasil bumi, dan bahkan penunjukan penguasa lokal. Perjanjian-perjanjian ini, yang secara administratif mengikat Bone sebagai bagian dari sistem residentie, pada dasarnya dianggap merendahkan martabat dan merusak kedaulatan adat.

Elite Bone—termasuk para bangsawan, Petta, dan tokoh adat—menilai bahwa kontrak semacam itu bertentangan dengan nilai-nilai pangadereng, terutama dalam hal musyawarah, kesetaraan, dan penghormatan terhadap kedaulatan kerajaan. Dalam sistem Bugis, segala bentuk kerja sama harus berlandaskan pada prinsip simetris, bukan penaklukan. Oleh karena itu, penolakan terhadap perjanjian Belanda bukan semata karena politik, tetapi juga karena nilai dan etika adat.

Penolakan ini pada akhirnya memunculkan ketegangan yang semakin dalam antara Bone dan pemerintah kolonial. Ketika upaya diplomatik gagal dan tekanan politik meningkat, konfrontasi pun menjadi tak terhindarkan. Kesadaran bahwa kekuasaan kolonial ingin menundukkan Bone sebagai entitas yang “diatur”, bukan diajak bermitra, menjadi bahan bakar utama perlawanan yang terus menyala hingga awal abad ke-20.

3. Krisis Kedaulatan dan Penolakan Kerja Sama

Memasuki pertengahan abad ke-19, hubungan antara Kesultanan Bone dan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin memburuk. Setelah upaya memperbaharui perjanjian gagal mencapai konsensus yang adil, Belanda mulai menerapkan strategi yang lebih langsung dan koersif: campur tangan dalam urusan internal kerajaan, terutama dalam proses suksesi dan pengangkatan pemimpin.

Dalam tradisi Bugis, pemilihan Arung Matoa atau raja tidak semata-mata didasarkan pada keturunan, tetapi juga harus mendapat restu dari para bangsawan dan tokoh adat. Namun, Belanda mulai menggunakan kekuatan militer dan tekanan administratif untuk mendukung kandidat-kandidat yang lebih mudah dikendalikan. Hal ini dianggap sebagai penghinaan terhadap struktur adat dan pelanggaran serius terhadap kedaulatan Bone.

Selain intervensi politik, tekanan ekonomi menjadi alat kolonial yang sangat efektif. Bone dipaksa mengikuti kebijakan monopoli hasil bumi, terutama beras, damar, dan hasil laut, serta menerima sistem pungutan yang memberatkan. Belanda juga mengambil alih pelabuhan-pelabuhan strategis dan memaksakan sistem kerja paksa (rodi) untuk kepentingan pembangunan militer dan infrastruktur kolonial. Praktik ini tidak hanya merampas hak ekonomi masyarakat Bone, tetapi juga merusak jaringan sosial dan budaya lokal.

Situasi ini memicu reaksi keras dari para tokoh adat dan bangsawan Bugis. Para Petta dan Arung di berbagai wilayah Bone mulai mengorganisir penolakan, baik secara diplomatik maupun terbuka. Mereka menolak menandatangani kontrak-kontrak baru, melindungi rakyat dari kerja paksa, dan memperkuat dukungan terhadap tokoh-tokoh perlawanan seperti La Makkaraka dan Petta Ponggawae.

Penolakan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia lahir dari kesadaran kolektif bahwa intervensi kolonial telah melewati batas toleransi adat, dan bahwa kerja sama yang ditawarkan bukanlah simbiosis, melainkan penaklukan terselubung. Bagi masyarakat Bugis, yang menjunjung tinggi prinsip kehormatan (siri’), tindakan Belanda adalah bentuk penghinaan yang tidak bisa dibiarkan.

Dari titik ini, Bone tidak lagi hanya memperjuangkan kemandirian ekonomi atau politik, tetapi juga harga diri kolektif sebagai entitas budaya dan spiritual. Perlawanan menjadi satu-satunya jalan untuk menjaga kehormatan tanah Bugis dari upaya penundukan total yang dilakukan melalui kekuatan militer dan tipu daya kolonialisme.

Tokoh-Tokoh Perlawanan

1. La Makkaraka

La Makkaraka merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perlawanan Kesultanan Bone terhadap dominasi kolonial Belanda pada abad ke-19. Ia dikenal sebagai bangsawan berdarah Bugis tulen, berasal dari keluarga besar kerajaan, dan memiliki reputasi tinggi dalam hal kepemimpinan, keberanian, serta kecintaan terhadap adat Bugis. Dalam berbagai lontara dan tradisi lisan, La Makkaraka dipandang bukan hanya sebagai pemimpin perang, tetapi juga penjaga kehormatan Bone.

Latar Belakang dan Profil Kepemimpinan

Sebagai salah satu Petta (bangsawan utama), La Makkaraka memiliki posisi strategis dalam struktur kekuasaan Bone. Ia bukan hanya tokoh politik, tetapi juga tokoh budaya dan spiritual yang disegani oleh para bangsawan dan rakyat. Dalam sistem adat Bugis, seorang pemimpin tidak hanya diukur dari garis keturunan, tetapi juga dari ade’na (integritas moral), siri’na (rasa harga diri), dan lempu’na (kejujuran serta keberanian). La Makkaraka dianggap memiliki ketiganya.

Ketika intervensi Belanda mulai merusak sistem pemerintahan Bone dan melanggar prinsip-prinsip pangadereng, La Makkaraka tampil sebagai suara utama dalam menolak ketundukan. Ia melihat bahwa perjanjian-perjanjian dengan Belanda telah melampaui batas etika adat, dan bahwa kolaborasi hanya akan mengarah pada penghancuran identitas Bone sebagai kerajaan merdeka.

Pemersatu Elite dan Penggerak Perlawanan

Dalam masa krisis, La Makkaraka berperan penting dalam menyatukan faksi-faksi elite Bone yang sempat tercerai oleh perbedaan politik internal. Ia menginisiasi pertemuan-pertemuan rahasia dengan bangsawan dan kepala kampung di berbagai wilayah Bone, membangun konsensus untuk menolak kontrak sepihak dari pemerintah kolonial dan memobilisasi kekuatan rakyat untuk menghadapi kemungkinan perang.

Kepemimpinannya dikenal bersifat kolektif, mengedepankan musyawarah, dan tetap berpegang pada nilai-nilai adat. Ia tidak menyerukan perang secara sembrono, tetapi menjadikan perlawanan sebagai langkah terakhir demi mempertahankan martabat Bone. Oleh karena itu, dukungan rakyat terhadap La Makkaraka tidak hanya karena statusnya, tetapi karena ketulusannya sebagai pelindung adat dan keadilan.

Ia juga menjalin jaringan dengan para tokoh di luar Bone, termasuk pemuka agama, pemimpin komunitas di Soppeng dan Wajo, serta kelompok adat di pedalaman. Jaringan ini kemudian menjadi dasar kekuatan moral dan logistik dalam perlawanan jangka panjang yang akan berlangsung hingga awal abad ke-20.

La Makkaraka menandai transformasi perlawanan Bugis dari sekadar konflik dinasti menjadi perjuangan ideologis dan kultural. Sosoknya hidup dalam memori kolektif masyarakat Bone sebagai teladan kepemimpinan yang berakar pada adat, tetapi tak gentar menghadapi kekuatan modern yang menindas.

2. Petta Ponggawae

Petta Ponggawae adalah salah satu figur sentral dalam barisan perlawanan Kesultanan Bone melawan kekuasaan kolonial Belanda. Ia dikenal sebagai seorang bangsawan karismatik yang menggabungkan kekuatan budaya, spiritualitas, dan militer dalam perjuangannya. Sebagai pemimpin yang berasal dari struktur aristokrasi Bugis, Petta Ponggawae bukan hanya dikenal karena darah biru yang mengalir dalam dirinya, tetapi karena kemampuannya dalam merangkul rakyat serta membangun solidaritas lintas kelas sosial dalam menghadapi kolonialisme.

Bangsawan dan Tokoh Budaya

Sebagai tokoh adat dan pemilik pengaruh di kawasan pedalaman Bone, Petta Ponggawae menjabat semacam pemuka lokal yang tidak hanya ditaati karena keturunan, tetapi juga karena wawasan budayanya yang mendalam terhadap pangadereng (tata nilai adat Bugis). Ia dipandang sebagai penjaga nilai-nilai siri’ na pacce—rasa harga diri dan empati sosial—yang menjadi fondasi budaya masyarakat Bugis.

Petta Ponggawae juga kerap disebut dalam kisah-kisah lisan sebagai pemimpin spiritual, seseorang yang memahami kedalaman filosofi Bugis dan menjadikan perjuangan melawan Belanda sebagai bentuk pengabdian terhadap kehormatan tanah air dan leluhur. Pandangan ini memberinya otoritas moral yang sangat kuat dalam menggerakkan massa rakyat.

Pemimpin Gerilya dan Penggerak Pedalaman

Ketika tekanan Belanda semakin kuat dan intervensi atas wilayah Bone semakin merusak sistem adat, Petta Ponggawae mengambil posisi sebagai pemimpin militer dan organisator gerilya di pedalaman. Ia membangun jaringan perlindungan, markas gerilya, dan sistem logistik tersembunyi di sepanjang hutan dan pegunungan Bone. Strateginya tidak bergantung pada konfrontasi langsung, melainkan pada mobilisasi cepat, penguasaan medan, dan serangan taktis terhadap pos-pos kolonial.

Petta Ponggawae juga berhasil menggalang dukungan rakyat: dari para petani, nelayan, tukang kayu, hingga kaum ulama. Baginya, perlawanan bukan semata urusan elite kerajaan, melainkan perjuangan seluruh masyarakat yang tertindas. Ia mendirikan jaringan informasi dan mengatur pembagian tugas di kalangan masyarakat desa, menjadikan perang ini sebagai bentuk perlawanan rakyat yang terstruktur.

Salah satu kekuatan Petta Ponggawae adalah kemampuannya menggabungkan nilai budaya dan strategi militer dalam satu gerakan. Ia menanamkan semangat bahwa mempertahankan Bone bukan hanya urusan politik, tetapi juga menjaga kehormatan warisan nenek moyang, melindungi adat, dan melawan pemaksaan sistem asing yang mengancam tatanan kehidupan Bugis.

Dalam banyak catatan lisan dan ingatan kolektif, Petta Ponggawae dikenang sebagai wujud kepemimpinan lokal yang berani, rendah hati, dan konsisten dalam mempertahankan kedaulatan, meski dihadapkan pada kekuatan kolonial yang jauh lebih besar.

Dinamika dan Jalannya Perlawanan (1824–1905)

1. Fase Pertama: Penolakan dan Perlawanan Lokal (1824–1850-an)

Perlawanan Kesultanan Bone terhadap dominasi kolonial Belanda tidak muncul secara tiba-tiba dalam bentuk perang terbuka, melainkan dimulai dari serangkaian penolakan diplomatik dan tindakan-tindakan defensif yang tersebar di berbagai wilayah kekuasaan Bone. Periode 1824 hingga 1850-an dapat dianggap sebagai fase awal perlawanan yang bersifat lokal, terfragmentasi, namun konsisten.

Salah satu bentuk perlawanan utama adalah penolakan terhadap pembaruan kontrak kerja sama politik dan ekonomi yang diajukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian-perjanjian baru itu biasanya menuntut pengakuan kedaulatan Belanda atas wilayah Bone, penyerahan sebagian besar wewenang atas pelabuhan dan pungutan hasil bumi, serta kewajiban untuk tunduk pada keputusan gubernemen kolonial di Makassar. Pihak Bone secara sistematis menolak klausul-klausul tersebut, dengan alasan bahwa isi perjanjian itu bertentangan dengan adat (pangadereng) dan tidak melalui musyawarah sah para bangsawan dan tokoh adat.

Selain penolakan secara diplomatik, terjadi pula bentrokan kecil-kecilan di beberapa wilayah pesisir seperti Bajoe, Cenrana, dan Palattae, yang merupakan titik-titik strategis perdagangan dan logistik. Bentrokan ini umumnya terjadi karena upaya Belanda mendirikan pos militer atau memaksakan pajak atas komoditas yang keluar-masuk pelabuhan tanpa persetujuan Arung Matoa. Reaksi dari masyarakat lokal umumnya keras—penyerangan terhadap patroli Belanda, sabotase logistik, dan penolakan terhadap perintah kolonial adalah bentuk ekspresi perlawanan yang kerap dilakukan.

Namun dalam fase ini, perlawanan Bone belum terorganisasi sebagai sebuah gerakan militer besar. Ia masih bersifat resistensi elit dan rakyat secara sporadis, namun menjadi fondasi penting yang menunjukkan bahwa Kesultanan Bone tidak mengakui otoritas kolonial secara de facto maupun de jure. Penolakan terhadap Belanda telah menjadi konsensus politik yang melintasi kelas sosial: dari bangsawan hingga rakyat biasa.

Fase ini juga menjadi periode pembelajaran taktis dan penguatan solidaritas, terutama bagi para tokoh seperti La Makkaraka dan Petta Ponggawae, yang menyadari bahwa konfrontasi besar kelak akan menjadi tak terelakkan. Penolakan di masa ini menunjukkan bahwa Bone bukan sekadar defensif, tetapi juga menyimpan bara perlawanan yang akan meletus dalam skala luas pada dekade-dekade berikutnya.

2. Fase Kedua: Konsolidasi dan Perang Terbuka (1850-an–1870-an)

Memasuki dekade 1850-an, perlawanan Kesultanan Bone memasuki fase baru yang lebih terstruktur dan menyeluruh. Jika sebelumnya upaya perlawanan bersifat diplomatik dan sporadis, maka pada fase ini gerakan berubah menjadi perang terbuka yang dipicu oleh kemarahan kolektif terhadap intervensi politik, tekanan ekonomi, serta upaya Belanda untuk menghapuskan kedaulatan lokal secara menyeluruh.

Mobilisasi Rakyat dan Aliansi Bugis

Petta Ponggawae dan La Makkaraka memainkan peran penting dalam konsolidasi kekuatan di berbagai lapisan masyarakat, dari bangsawan, pemuka agama, hingga rakyat jelata. Mereka menghidupkan kembali semangat siri’ na pacce sebagai basis moral, dan menyerukan perlawanan tidak hanya demi Bone, tetapi demi seluruh tanah Bugis yang berada di bawah ancaman kolonialisme.

Perlawanan ini juga didukung oleh aliansi kultural dan politis dengan beberapa kerajaan Bugis lainnya seperti Soppeng, Wajo, dan sebagian Gowa, yang sama-sama resah atas dominasi Belanda. Meski hubungan antarkerajaan ini tidak selalu harmonis karena rivalitas historis, dalam konteks menghadapi kekuatan asing, muncul semacam kesadaran bersama untuk bersatu mempertahankan harga diri dan wilayah.

Serangan Terhadap Infrastruktur Kolonial

Pada masa ini, serangan terhadap pos-pos militer dan benteng Belanda di Bone menjadi lebih sistematis. Aksi sabotase terhadap jalur suplai kolonial, pembakaran gudang logistik, dan perebutan kembali wilayah yang sempat diduduki Belanda terjadi di berbagai lokasi strategis: Palattae, Libureng, Tanete, dan Cenrana. Dalam beberapa kasus, pasukan Bone bahkan mampu menaklukkan pos Belanda dan memaksa mereka mundur.

Para pejuang Bone, yang dipimpin langsung oleh bangsawan dan tokoh-tokoh lokal, memanfaatkan pengetahuan medan, taktik gerilya, dan dukungan logistik masyarakat desa untuk memperpanjang garis perlawanan. Perang ini juga menunjukkan ciri khas budaya Bugis: keberanian untuk berjuang meskipun sadar kalah dalam jumlah dan persenjataan.

Reaksi Keras Pemerintah Kolonial

Terkejut dengan skala dan koordinasi perlawanan, pemerintah Hindia Belanda merespons dengan kekuatan besar. Pasukan tambahan didatangkan dari Makassar dan Ambon. Mereka mendirikan kembali benteng pertahanan permanen, serta membangun jalan dan pos jaga untuk mempermudah pergerakan militer. Selain itu, Belanda secara resmi membentuk struktur administratif baru bernama Residentie Zuid Celebes en Bone, yang bertujuan menggabungkan wilayah Bone ke dalam sistem kolonial secara penuh.

Langkah ini disertai dengan politik devide et impera—mengadu domba antara elite pro-perlawanan dan mereka yang mulai tergoda bekerja sama demi posisi politik. Beberapa bangsawan ditekan, diasingkan, atau diberi posisi seremonial untuk menetralkan pengaruhnya di lapangan.

Meski mengalami kerugian besar secara militer dan sosial, fase ini menunjukkan bahwa perlawanan Bone bukan sekadar tindakan defensif, melainkan sebuah bentuk perang rakyat yang berakar dalam solidaritas, adat, dan kehormatan. Keberhasilan menjaga intensitas perang selama dua dekade ini menjadi bukti kuat bahwa Bone adalah salah satu kekuatan lokal yang paling gigih dalam menolak kolonialisme di luar Jawa.

3. Fase Ketiga: Puncak dan Penaklukan Bone (1890-an–1905)

Memasuki akhir abad ke-19, Perlawanan Kesultanan Bone mencapai titik paling kritis. Pertempuran meningkat skalanya, baik secara geografis maupun intensitas militernya. Ini adalah fase di mana pemerintah kolonial Hindia Belanda memutuskan untuk mengakhiri eksistensi Bone sebagai kerajaan merdeka secara total.

Perang Terbuka dan Pengepungan Ibu Kota Bone

Setelah beberapa dekade mengalami perlawanan sengit, Belanda mulai mengonsentrasikan kekuatan militer besar-besaran di wilayah Selatan Sulawesi, khususnya terhadap Bone sebagai pusat perlawanan utama. Perang mulai bergeser dari bentrokan gerilya ke konflik berskala besar yang menargetkan pusat kekuasaan Bone, termasuk ibu kota Watampone dan wilayah-wilayah administratif utama di sekitarnya.

Pasukan Bone, meskipun bertempur dengan gagah berani, kewalahan menghadapi peralatan militer modern seperti artileri, senapan jarak jauh, dan taktik pengepungan Belanda yang sistematis. Sejumlah benteng alami dan kampung pertahanan di sepanjang Sungai Walanae dan pegunungan Ajangaleh dijatuhi serangan habis-habisan.

Kampung-kampung dibakar, lumbung dirampas, dan komunikasi antara pusat dan wilayah pendukung sengaja diputus oleh pasukan kolonial. Belanda melancarkan operasi militer berkelanjutan, didukung logistik laut dari Makassar dan Ambon.

Strategi Devide et Impera dan Blokade Ekonomi

Selain kekuatan militer, Belanda secara aktif menjalankan politik devide et impera (adu domba) di antara elite Bone. Beberapa bangsawan dan tokoh adat mulai dipaksa memilih: tunduk dan diberi jabatan administratif kolonial, atau melawan dan dianggap pemberontak. Hal ini memperlemah solidaritas internal, terutama di tengah kelelahan akibat perang panjang.

Belanda juga melancarkan blokade ekonomi dan embargo hasil bumi Bone, terutama pada perdagangan beras, kayu, dan hasil laut. Dengan menutup jalur-jalur niaga dan menguasai pelabuhan-pelabuhan kecil, kekuatan ekonomi Bone sebagai kerajaan mandiri mulai lumpuh. Kehidupan rakyat menderita, dan ketergantungan pada jaringan kolonial makin meningkat secara paksa.

Kejatuhan Bone dan Integrasi Paksa

Akhirnya, setelah lebih dari 80 tahun perlawanan yang terus-menerus, pada awal 1905 Belanda melancarkan operasi militer terakhir yang bersifat menyapu sisa-sisa kekuatan Bone. Pusat pemerintahan direbut, beberapa tokoh perlawanan gugur atau ditangkap, dan struktur kekuasaan kerajaan dibekukan.

Bone resmi dimasukkan sebagai bagian administratif dari Gouvernement Celebes, dengan status sebagai wilayah onderafdeeling (subdivisi administratif) di bawah kontrol langsung Belanda. Beberapa keturunan raja Bone yang tersisa hanya diizinkan menjalankan fungsi simbolik, tanpa wewenang politik nyata.

Namun demikian, meskipun secara teritorial Bone akhirnya jatuh, nilai-nilai perlawanan dan kehormatan Bugis tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat, dan menjadi sumber inspirasi bagi perjuangan nasional Indonesia di masa mendatang.

Dampak Perlawanan

1. Kehilangan Kedaulatan Politik

Salah satu dampak paling nyata dari berakhirnya perlawanan Kesultanan Bone adalah runtuhnya kedaulatan politik kerajaan yang sebelumnya berdiri sebagai salah satu pusat kekuatan tradisional terbesar di Sulawesi Selatan. Setelah kekalahan pada awal 1905, Bone secara resmi diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari struktur administratif kolonial. Statusnya diturunkan menjadi onderafdeeling (subwilayah administratif) dalam Residentie Celebes en Onderhoorigheden.

Raja Bone, yang sebelumnya memiliki kewenangan penuh atas wilayah, hukum, dan hubungan diplomatik, dipaksa menandatangani perjanjian politik baru yang membatasi kekuasaannya hanya sebatas fungsi simbolik. Dalam praktiknya, semua kebijakan pemerintahan—termasuk pengangkatan pejabat lokal, pengaturan pajak, dan pengendalian militer—sepenuhnya berada di tangan pejabat kolonial Belanda yang ditunjuk dari Makassar.

Lebih dari sekadar penaklukan teritorial, hal ini menandai penghilangan institusi politik Bugis yang otonom, yang telah berperan selama berabad-abad dalam menjaga tatanan sosial dan budaya lokal. Kedaulatan yang selama ini dijalankan berdasarkan prinsip pangadereng (adat dan hukum adat) digantikan oleh hukum dan aturan kolonial yang tidak memperhitungkan nilai-nilai lokal. Proses ini juga melemahkan posisi bangsawan tradisional yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, dan memunculkan lapisan elite baru yang lebih akomodatif terhadap kekuasaan asing.

Meskipun secara struktural Kesultanan Bone masih diakui keberadaannya hingga masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, hakikat kekuasaannya telah dilucuti sejak 1905, menjadikan perlawanan panjang selama lebih dari 80 tahun berakhir dengan dominasi mutlak kolonialisme Belanda atas wilayah dan rakyat Bone.

2. Disrupsi Sosial dan Budaya

Kekalahan Kesultanan Bone dalam perang panjang melawan Belanda bukan hanya berdampak pada aspek politik dan teritorial, tetapi juga mengguncang fondasi sosial dan budaya masyarakat Bugis secara mendalam. Penaklukan kolonial disertai dengan proyek sistematis untuk merombak tatanan adat dan melemahkan kekuatan struktur tradisional yang selama ini menjadi penopang kohesi sosial di Tanah Bugis.

Hilangnya Otoritas Adat

Salah satu dampak paling terasa adalah menyusutnya otoritas Petta (bangsawan) dan Arung (kepala wilayah/raja lokal). Sebagai tokoh utama dalam struktur pemerintahan adat Bone, mereka sebelumnya menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam konteks budaya Bugis. Dengan masuknya pemerintahan kolonial secara langsung, posisi mereka digantikan atau dibatasi oleh pejabat kolonial, yang mengendalikan sistem birokrasi melalui aturan-aturan Belanda.

Para Petta dan Arung yang tidak mau berkompromi dianggap pemberontak, dicopot dari jabatan, diasingkan, atau bahkan dihukum. Sementara itu, sebagian yang memilih bekerja sama diberi posisi simbolis atau dijadikan alat legitimasi kekuasaan Belanda. Proses ini tidak hanya menggerus kewenangan adat, tetapi juga mengakibatkan disorientasi identitas dalam masyarakat, karena lembaga-lembaga tradisional tidak lagi memiliki kekuatan hukum maupun sosial seperti sebelumnya.

Pelarangan Hukum Adat dan Adaptasi Paksa

Pemerintah kolonial secara bertahap melarang penerapan hukum adat lokal, termasuk sistem ade’ (aturan adat) dan praktik penyelesaian sengketa berbasis pakkatenningeng (musyawarah adat). Sistem hukum kolonial menggantikan peran pengadilan adat, memaksakan penggunaan hukum sipil Belanda terhadap masyarakat yang tidak memiliki tradisi tertulis yang kompatibel dengannya.

Akibatnya, masyarakat dipaksa untuk beradaptasi secara kultural dan struktural dengan norma-norma kolonial yang asing bagi mereka. Sistem pendidikan, nilai-nilai, dan gaya hidup mulai berubah, terutama di kalangan elite baru yang dididik dalam sistem kolonial. Bahasa, ritual adat, dan hubungan patronase antar-wilayah pun perlahan bergeser dari model tradisional menuju bentuk-bentuk baru yang lebih tersentralisasi dan dikendalikan dari luar.

Disrupsi ini melahirkan generasi yang terjepit antara warisan budaya leluhur dan tekanan sistem kolonial, menyebabkan ketegangan sosial yang terus berlangsung hingga masa kemerdekaan. Meski demikian, nilai-nilai seperti siri’ na pacce (kehormatan dan solidaritas), yang menjadi inti dari budaya Bugis, tetap bertahan dalam ruang-ruang kultural tersembunyi—menjadi benih-benih identitas yang akan hidup kembali dalam perjuangan bangsa di masa mendatang.

3. Migrasi, Perpecahan Elite, dan Integrasi dalam Struktur Hindia Belanda

Kekalahan Bone dan pembubaran struktur kekuasaan tradisional memicu perubahan sosial-politik besar di kalangan elite Bugis. Tertekan oleh hilangnya otoritas, pengawasan ketat kolonial, serta kehancuran ekonomi lokal, banyak bangsawan dan pemuka adat memilih untuk bermigrasi ke wilayah lain di luar Bone. Tujuannya beragam—ada yang mencari perlindungan politik, membangun kembali jaringan kekuasaan, atau sekadar bertahan hidup di tengah perubahan drastis.

Gelombang Migrasi dan Diaspora Bangsawan Bugis

Sebagian besar migrasi ini mengarah ke Ternate, Kendari, Buton, dan bahkan ke wilayah Jawa, di mana beberapa bangsawan diterima oleh kerajaan lokal atau diserap dalam struktur kolonial sebagai pegawai atau penasihat. Migrasi ini menciptakan jaringan diaspora Bugis yang menyebar ke seluruh Nusantara, melanjutkan tradisi mobilitas orang Bugis yang telah berlangsung sejak abad-abad sebelumnya.

Namun berbeda dengan migrasi perdagangan atau pelayaran, gelombang ini lebih banyak diwarnai oleh pengasingan politik, trauma kekalahan, dan keretakan internal. Para bangsawan yang tersingkir dari Bone sering kali membawa serta nilai-nilai adat, tetapi tidak memiliki kekuasaan nyata, menjadikan mereka bagian dari kelompok elite marginal yang terpaksa menyesuaikan diri dengan sistem baru.

Perpecahan Internal dan Kooptasi Elite

Di sisi lain, di dalam wilayah Bone sendiri muncul elite baru hasil kooptasi kolonial. Belanda secara strategis mengangkat tokoh-tokoh lokal yang dianggap loyal sebagai pejabat sipil, kepala distrik, atau juru bicara pemerintah kolonial. Mereka bukan hanya dijadikan alat pengawasan sosial, tetapi juga sebagai pengganti struktur tradisional yang telah dihancurkan.

Hal ini menimbulkan perpecahan internal dalam masyarakat Bugis, terutama antara kelompok yang tetap setia pada nilai-nilai adat dan kelompok yang menerima modernitas kolonial. Perbedaan orientasi ini menciptakan kesenjangan sosial dan budaya yang tajam—di satu sisi terbentuk kalangan birokrat pro-Belanda yang terdidik secara barat, dan di sisi lain komunitas tradisional yang tetap mempertahankan semangat perlawanan kultural secara diam-diam.

Integrasi dalam Struktur Hindia Belanda

Dengan makin menguatnya kontrol kolonial di Bone, struktur sosial dan politik masyarakat Bugis mengalami transformasi penuh. Sistem pemerintahan kerajaan digantikan oleh aparat kolonial, bahasa Belanda mulai diajarkan di sekolah-sekolah, dan sistem nilai kolonial disebarkan melalui pendidikan, agama, dan hukum.

Bone, yang sebelumnya menjadi lambang kemandirian Bugis, resmi menjadi bagian dari struktur administratif Hindia Belanda, tanpa lagi memiliki kedaulatan atau kebebasan politik. Namun meskipun secara lahiriah kerajaan ini telah jatuh, identitas Bugis sebagai bangsa yang cinta kebebasan dan penuh kehormatan tetap hidup, terutama dalam ingatan kolektif masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi.


Warisan Perlawanan dan Ingatan Kolektif Bugis

Meskipun Kesultanan Bone secara politik ditaklukkan dan secara administratif dilebur ke dalam struktur kolonial Hindia Belanda, perlawanan rakyat dan tokoh-tokohnya tidak pernah benar-benar hilang dari kesadaran kolektif masyarakat Bugis. Justru dari kekalahan itulah muncul warisan simbolik dan budaya yang membentuk identitas Bugis hingga masa kemerdekaan.

La Makkaraka dan Petta Ponggawae sebagai Simbol Martabat Bugis

Nama-nama seperti La Makkaraka dan Petta Ponggawae tetap hidup dalam memori rakyat sebagai lambang kehormatan (siri’) dan keteguhan (getteng). Mereka dikenang bukan hanya sebagai pemimpin perang, tetapi juga sebagai figur teladan yang menjaga prinsip adat, spiritualitas, dan keberanian menghadapi ketidakadilan.

Dalam budaya Bugis, di mana harga diri merupakan pilar utama etika sosial, perjuangan tokoh-tokoh ini dimaknai lebih dari sekadar perang fisik—mereka adalah penjaga nilai-nilai luhur yang tidak bisa dibeli atau ditundukkan, bahkan oleh kekuatan militer sebesar Belanda sekalipun. Oleh karena itu, mereka sering dijadikan tokoh panutan dalam tutur lisan, cerita rakyat, dan pidato adat hingga kini.

Perlawanan Bone dalam Lagu, Lontara, dan Budaya Bugis-Makassar

Warisan perlawanan Bone terekam dalam berbagai bentuk kebudayaan tradisional, terutama dalam lontara-lontara (naskah kuno Bugis) yang merekam kronik kerajaan, hukum adat, dan kisah kepahlawanan. Beberapa lontara bahkan secara spesifik mencatat keberanian pasukan Bone dan peristiwa penting dalam perang melawan kolonialisme.

Selain itu, lagu-lagu rakyat dan nyanyian epik (sinrilik) turut menjadi media penyampai semangat perjuangan kepada generasi berikutnya. Lagu-lagu ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan tentang nilai keberanian, pengorbanan, dan cinta tanah air. Dalam prosesi adat atau upacara tertentu, nama La Makkaraka atau Petta Ponggawae sering disebut sebagai to warani—mereka yang gagah dan tidak gentar.

Budaya Bugis-Makassar yang kaya dengan simbol, bahasa perumpamaan, dan sistem kehormatan turut memperkuat posisi kisah perlawanan Bone sebagai mitos kolektif yang meneguhkan identitas dan kebanggaan suku.

Jejak Semangat Bugis dalam Nasionalisme Awal Abad ke-20

Nilai-nilai yang tertanam dalam perlawanan Bone, seperti kesetiaan pada adat, penolakan terhadap ketidakadilan, dan solidaritas lintas lapisan sosial, menjadi bagian dari arus bawah yang kemudian mengalir ke dalam gerakan nasionalisme Indonesia awal abad ke-20.

Generasi Bugis selanjutnya—baik yang tergabung dalam Sarekat Islam, pergerakan pelajar, maupun organisasi kebudayaan—mewarisi semangat getteng dan siri’ dari generasi perlawanan sebelumnya. Bahkan, banyak tokoh Bugis di awal kemerdekaan Indonesia menyebut perjuangan Bone sebagai akar moral dan etis dari komitmen mereka terhadap Republik.

Dengan demikian, meskipun Bone kalah secara militer, kemenangan moral dan budayanya tetap abadi dalam memori kolektif dan narasi kebangsaan Indonesia. Perlawanan Bone bukan sekadar episode sejarah lokal, tetapi kontribusi penting terhadap semangat perlawanan Nusantara terhadap kolonialisme.


Analisis Historis – “Adat, Kedaulatan, dan Perang Harga Diri”

Perlawanan Kesultanan Bone terhadap kekuasaan kolonial Belanda pada kurun 1824–1905 bukan semata bentuk penolakan atas dominasi politik asing, tetapi juga manifestasi dari pertahanan terhadap adat, kedaulatan, dan kehormatan kolektif masyarakat Bugis. Dalam konteks ini, perang yang panjang dan melelahkan itu dapat dibaca sebagai perang harga diri, di mana nilai-nilai spiritual dan sosial memiliki bobot yang sama pentingnya dengan kepentingan teritorial.

Adat sebagai Dasar Kedaulatan (Pangadereng)

Pangadereng—sistem adat Bugis yang mencakup hukum, norma, dan etika sosial—menjadi landasan utama penolakan terhadap intervensi kolonial. Dalam struktur kerajaan Bone, adat bukan sekadar budaya, tetapi dasar hukum dan legitimasi kekuasaan. Ketika Belanda mulai mengabaikan prinsip ini melalui tekanan ekonomi, kerja paksa, dan manipulasi politik, hal tersebut dipandang sebagai pelanggaran terhadap tatanan kosmik dan sosial.

Bagi elite Bone seperti La Makkaraka dan Petta Ponggawae, tunduk pada perjanjian kolonial yang mengabaikan adat berarti mengkhianati kehormatan leluhur dan jati diri Bugis. Oleh karena itu, perlawanan yang terjadi bukan semata untuk mempertahankan kursi kekuasaan, tetapi untuk menjaga kesakralan prinsip sosial dan keberlangsungan sistem nilai warisan nenek moyang.

Diplomasi, Adat, dan Militerisme Lokal

Strategi perlawanan Bone memperlihatkan perpaduan unik antara diplomasi tradisional, mobilisasi adat, dan kemampuan militer lokal. Diplomasi dilakukan dalam bentuk negosiasi dan penolakan formal terhadap kontrak-kontrak Belanda, sembari tetap mempertahankan posisi politik dan budaya yang mandiri. Ketika diplomasi gagal, perlawanan bersenjata menjadi bentuk terakhir ekspresi kemerdekaan.

Militerisme lokal yang berbasis jaringan patronase adat dan pengetahuan medan menjadikan perang Bone berlangsung lama meskipun tidak memiliki teknologi modern. Dalam hal ini, getaran adat menjadi penggerak moral dan sosial dalam menyatukan berbagai lapisan masyarakat melawan kekuasaan asing. Ini menunjukkan bahwa kekuatan lokal yang tidak bersifat sentralistik bisa bertahan lama ketika ditopang oleh legitimasi adat dan spiritual.

Keteguhan Kerajaan Luar Jawa

Perlawanan Bone juga memperlihatkan keteguhan kerajaan luar Jawa dalam mempertahankan otonominya. Berbeda dari narasi arus utama sejarah Indonesia yang sering berfokus pada Jawa, kisah Bone menunjukkan bahwa di wilayah timur Indonesia pun telah tumbuh kesadaran politik dan etika kemerdekaan jauh sebelum munculnya gerakan kebangsaan modern.

Bone menjadi contoh bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak harus selalu berbentuk revolusi besar, tetapi dapat mewujud melalui perlawanan bertahap, bertahan, dan terus-menerus dalam berbagai bentuk: adat, simbol, budaya, hingga senjata.

Bone Tak Pernah Lupa

Perlawanan Kesultanan Bone bukan sekadar bab dalam sejarah lokal Sulawesi Selatan, melainkan salah satu fondasi penting dari narasi besar perjuangan antikolonial di Nusantara. Dalam rentang waktu lebih dari 80 tahun, rakyat dan elite Bone memperlihatkan keteguhan luar biasa dalam mempertahankan martabat, adat, dan kedaulatan, meskipun harus menghadapi kekuatan militer dan politik kolonial Belanda yang jauh lebih unggul secara teknis.

Makna perjuangan ini tidak terletak pada kemenangan militer, tetapi pada keberanian untuk menolak tunduk, bertahan atas dasar nilai, dan tetap setia pada prinsip-prinsip adat sebagai manifestasi jati diri. La Makkaraka, Petta Ponggawae, dan rakyat Bone menjadi cermin dari semangat Bugis yang getteng (teguh), warani (berani), dan siri’ (bermartabat)—nilai-nilai yang hingga kini masih menjadi kebanggaan budaya Bugis.

Bagi pendidikan sejarah Indonesia, perlawanan Bone adalah pengingat penting bahwa sejarah nasional tidak hanya dibangun oleh pusat-pusat kekuasaan di Jawa, tetapi juga oleh kerajaan-kerajaan luar Jawa yang dengan daya dan caranya sendiri menentang penjajahan. Sejarah Bone mengajarkan bahwa perlawanan tidak selalu berbentuk revolusi besar, tetapi juga dapat tampil sebagai keteguhan diam, perlawanan adat, dan keberanian untuk tidak berkompromi dengan ketidakadilan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kontribusi Sulawesi Selatan—khususnya Bone—diberikan tempat yang setara dalam narasi perjuangan nasional. Pengakuan terhadap warisan perjuangan lokal seperti ini bukan hanya soal sejarah, tetapi juga bagian dari rekonsiliasi memori bangsa yang utuh, adil, dan mencerminkan keragaman sumber semangat kemerdekaan.

Bone tak pernah lupa. Dan Indonesia pun tak boleh melupakannya.