Benteng Terakhir di Selatan Minahasa
Pada pertengahan abad ke-19, kekuasaan kolonial Belanda di Sulawesi Utara semakin menguat, terutama setelah berhasil menguasai wilayah Minahasa secara administratif dan militer. Namun, perluasan kendali ke wilayah selatan menghadapi tantangan berbeda—terutama dari kerajaan-kerajaan kecil seperti Kesultanan Bolaang Mongondow yang masih memiliki struktur pemerintahan lokal yang kuat dan memiliki legitimasi adat yang tinggi.
Bolaang Mongondow, yang terletak di jalur penting antara Minahasa dan Gorontalo, tidak hanya menjadi wilayah penyangga secara geografis, tetapi juga secara politik dan budaya. Wilayah ini merupakan rumah bagi tradisi kerajaan lokal yang independen dan kuat dalam mempertahankan otonomi. Posisi strategis ini membuat Bolaang Mongondow menjadi “benteng terakhir” di selatan Minahasa—wilayah yang mencoba bertahan dari penetrasi kekuasaan kolonial yang terus meluas.
Kebijakan-kebijakan kolonial Belanda yang mulai merambah sistem perpajakan, pendataan tanah, dan penunjukan pejabat lokal secara sepihak, menimbulkan resistensi dari tokoh-tokoh lokal. Perlawanan yang terjadi pada 1860-an menjadi bukti nyata bahwa keinginan untuk mempertahankan kedaulatan lokal masih menyala, sekalipun harus berhadapan dengan kekuatan kolonial yang superior secara militer dan politik.
Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri akar konflik antara kerajaan Bolaang Mongondow dan pemerintah kolonial Belanda, menjelaskan dinamika sosial dan politik yang melatarbelakangi perlawanan, menyoroti tokoh-tokoh kunci yang berperan di dalamnya, serta menganalisis dampak jangka panjang dari perlawanan ini terhadap struktur kekuasaan dan hubungan pusat-daerah di masa kolonial. Dalam konteks sejarah perlawanan lokal di Nusantara, kisah Bolaang Mongondow menjadi bagian penting dari mozaik perjuangan daerah-daerah luar Jawa yang kerap terlupakan dalam narasi besar sejarah nasional.
Latar Belakang Sejarah dan Sosial
1. Struktur Pemerintahan Lokal
Sebelum campur tangan kolonial menguat, wilayah Bolaang Mongondow diperintah oleh sistem kerajaan lokal yang mapan. Pemerintahan ini dipimpin oleh seorang Raja Bolaang yang memiliki otoritas tertinggi, baik secara politik maupun spiritual. Di bawah raja, terdapat para bangsawan adat seperti mododatu (penasihat utama raja) dan modonatu (penguasa wilayah atau distrik) yang berperan dalam menjalankan administrasi kerajaan dan menjaga keseimbangan antara pusat dan komunitas-komunitas lokal. Struktur ini berakar kuat pada tatanan adat, menjadikan kekuasaan raja tidak hanya bersifat politis, tetapi juga sakral dan simbolik.
Hubungan antara raja dan rakyat tidak dibangun berdasarkan kekuasaan koersif, tetapi melalui legitimasi adat dan spiritual. Raja dianggap sebagai penjaga keselarasan antara manusia, alam, dan roh nenek moyang. Oleh karena itu, keputusan-keputusan politik dan ekonomi selalu dibingkai dalam nilai-nilai tradisi dan musyawarah bersama bangsawan dan tokoh adat.
Salah satu aspek terpenting dalam sistem sosial-ekonomi Bolaang Mongondow adalah kepemilikan tanah secara komunal. Tanah dianggap sebagai warisan leluhur dan tidak bisa dimiliki secara pribadi dalam pengertian modern. Setiap keluarga atau marga memiliki hak garap berdasarkan kesepakatan komunitas dan pengakuan adat. Sistem ini menempatkan tanah sebagai bagian dari kehidupan spiritual, bukan semata komoditas ekonomi.
Relasi agraria seperti ini sangat kontras dengan pendekatan kolonial yang ingin menjadikan tanah sebagai objek pajak dan eksploitasi. Maka, ketika Belanda mulai mendesakkan pendataan dan klasifikasi tanah, masyarakat lokal memaknainya sebagai bentuk perampasan terhadap hak adat dan pelanggaran atas tatanan warisan nenek moyang. Sistem pemerintahan lokal yang harmonis ini menjadi pondasi utama dalam munculnya resistensi ketika kekuasaan eksternal mencoba memaksakan struktur baru yang tidak berpijak pada nilai-nilai lokal.
2. Masuknya Kekuasaan Kolonial
Masuknya kekuasaan kolonial Belanda ke wilayah Bolaang Mongondow tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan sebagai bagian dari strategi bertahap yang dilancarkan Hindia Belanda untuk memperluas kendali atas seluruh kawasan Sulawesi Utara. Setelah sukses mengonsolidasikan kekuasaan di wilayah Minahasa melalui sistem pendidikan, militer, dan birokrasi lokal pada awal abad ke-19, perhatian Belanda mulai beralih ke selatan—terutama ke Bolaang Mongondow yang secara geografis menghubungkan jalur strategis antara Teluk Tomini dan pesisir utara Sulawesi.
Dalam kerangka besar kolonial, Belanda menerapkan strategi “pengamanan perbatasan”, yakni mengontrol daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah kolonial yang telah dikuasai. Bolaang Mongondow, yang secara tradisional memiliki hubungan otonom dengan wilayah sekitar, dianggap berpotensi menjadi titik resistensi atau tempat persembunyian para tokoh anti-kolonial dari Minahasa dan Gorontalo. Oleh karena itu, Belanda mulai memperkuat kehadirannya melalui pengiriman pejabat administratif, pasukan militer terbatas, serta pendirian pos-pos pengawasan di wilayah perbatasan.
Salah satu bentuk paling nyata dari penetrasi kekuasaan kolonial adalah campur tangan dalam urusan suksesi raja. Pemerintah kolonial mulai ikut serta dalam menentukan siapa yang layak naik takhta, dengan cara memberikan pengakuan politik (dan pengamanan) hanya kepada calon raja yang bersedia tunduk pada kebijakan kolonial. Ini tidak hanya menimbulkan ketegangan internal di dalam keluarga istana, tetapi juga menggerus kepercayaan rakyat terhadap institusi kerajaan yang dianggap telah dikendalikan pihak luar.
Lebih jauh, Belanda menerapkan sistem pengawasan administratif terhadap pemerintahan lokal, di mana keputusan-keputusan penting raja harus dikonsultasikan dengan atau disetujui oleh pejabat kolonial yang ditugaskan di wilayah itu. Hal ini memperlemah kedaulatan tradisional dan menimbulkan rasa kehilangan martabat di kalangan elite adat.
Dengan hadirnya kekuatan asing yang mengubah tatanan politik dan hukum lokal, muncul ketegangan laten yang kemudian memuncak dalam bentuk perlawanan terbuka. Bagi masyarakat Bolaang Mongondow, kehadiran Belanda bukan hanya ancaman terhadap kekuasaan raja, melainkan juga terhadap nilai-nilai adat yang telah diwariskan secara turun-temurun.
3. Kebijakan Kolonial yang Menyulut Ketegangan
Setelah berhasil menancapkan pengaruh politik di wilayah Bolaang Mongondow, pemerintah kolonial Belanda segera mulai menerapkan kebijakan ekonomi yang berpijak pada sistem eksploitasi sumber daya lokal, dengan fokus pada tanah dan hasil bumi. Kebijakan ini mengusung prinsip modernisasi dan pendapatan fiskal untuk negara kolonial, namun sepenuhnya bertentangan dengan nilai-nilai adat dan struktur sosial masyarakat setempat.
Salah satu sumber utama ketegangan adalah penerapan sistem pajak tanah. Dalam masyarakat Bolaang Mongondow yang menganut sistem kepemilikan tanah komunal, pemberlakuan pajak atas tanah garapan dianggap tidak hanya memberatkan secara ekonomi, tetapi juga menghina nilai-nilai adat. Tanah tidak dimaknai sebagai milik individu, melainkan bagian dari pusaka leluhur (taningkulo), sehingga pengenaan pajak oleh kekuasaan luar dipandang sebagai bentuk pelanggaran spiritual dan moral.
Lebih jauh lagi, Belanda melakukan klasifikasi lahan dan pendataan sumber daya alam secara sepihak tanpa konsultasi dengan pemuka adat. Tanah-tanah yang dianggap “tidak produktif” atau “tidak jelas pemiliknya” kemudian dicap sebagai tanah negara (domein), padahal sebagian besar wilayah tersebut sebenarnya merupakan ruang kelola bersama untuk berburu, meramu, atau berladang berpindah. Praktik ini menyebabkan banyak keluarga kehilangan akses atas tanah dan mengalami krisis ekonomi.
Dalam praktiknya, kebijakan-kebijakan kolonial ini diperkuat oleh sistem kerja paksa ringan dan pengiriman hasil bumi wajib, terutama rempah, rotan, damar, dan hasil hutan lainnya, yang dikirim ke pos dagang kolonial di pesisir. Tekanan ini semakin memperburuk kondisi kehidupan masyarakat yang sebelumnya hidup mandiri dalam ekonomi agraris subsisten.
Situasi menjadi lebih kompleks karena pemerintah kolonial mengabaikan struktur keputusan adat, seperti musyawarah mododatu (rapat bangsawan) atau proses rembug masyarakat. Pengabaian terhadap mekanisme lokal ini menimbulkan alienasi antara rakyat dan pemerintahan, serta memicu tumbuhnya bibit perlawanan yang menyatu antara elite adat dan lapisan bawah masyarakat.
Pada titik inilah, ketegangan tidak lagi bisa dibendung. Masyarakat Bolaang Mongondow mulai menyuarakan penolakan, tidak hanya atas dasar ekonomi, tetapi sebagai bentuk pembelaan terhadap martabat adat dan hak-hak kolektif atas tanah—suatu bentuk resistensi yang kemudian berkembang menjadi perlawanan terbuka terhadap kekuasaan kolonial.
Tokoh Sentral dan Dinamika Istana
1. Raja Bolaang
Dalam konteks perlawanan di Bolaang Mongondow pada 1860-an, sosok Raja Bolaang menjadi tokoh sentral yang mewakili pergolakan antara kedaulatan lokal dan tekanan kolonial. Raja yang memerintah saat itu berasal dari garis keturunan bangsawan asli Mongondow, yang telah lama memegang tampuk kekuasaan secara turun-temurun dan mendapatkan legitimasi penuh dari struktur adat serta dukungan rakyat.
Raja tidak hanya berfungsi sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai penjaga adat dan spiritualitas masyarakat. Dalam tradisi Mongondow, raja dikenal sebagai penerus warisan leluhur dan pelindung popohulian (tatanan hidup bersama). Oleh sebab itu, peranannya tidak bisa dilepaskan dari hubungan simbolik dan emosional antara rakyat dan tanah yang mereka tempati.
Ketika kekuasaan Belanda mulai ikut campur dalam urusan istana, termasuk dalam hal pajak, kerja paksa, dan pengawasan politik, Raja Bolaang dihadapkan pada dilema besar. Di satu sisi, Belanda menuntut kerja sama demi stabilitas politik dan “kemajuan”, sementara di sisi lain, masyarakat mendesak agar kerajaan tetap mempertahankan adat dan menolak tekanan kolonial yang dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap leluhur.
Beberapa sumber lisan dan catatan administratif menunjukkan bahwa raja sebenarnya berusaha menempuh jalan tengah—yakni tetap menjalin relasi diplomatis dengan pihak Belanda untuk menghindari kekerasan terbuka, namun juga menolak kebijakan-kebijakan tertentu yang dianggap merugikan rakyatnya. Pendekatan ini mencerminkan ketegangan dalam kepemimpinan tradisional saat dihadapkan pada kolonialisme: antara realpolitik dan loyalitas pada nilai-nilai warisan budaya.
Namun, ketika tekanan ekonomi dan politik dari Belanda semakin besar, serta suara penolakan dari bangsawan dan rakyat makin menguat, Raja Bolaang akhirnya berada di pihak rakyatnya. Ia menolak meneruskan pelaksanaan sistem pajak baru dan enggan memfasilitasi proses pendataan tanah kolonial. Sikap ini memicu kecurigaan dari pihak Belanda dan menjadi salah satu faktor yang menyulut perlawanan terbuka.
Peran Raja Bolaang dalam perlawanan bukan sebagai panglima perang yang frontal, melainkan sebagai simbol peneguhan martabat dan kedaulatan lokal. Ia berdiri di tengah badai kolonialisme sebagai tokoh yang berusaha menjaga wajah istana tetap terhormat di mata rakyat, sekaligus menjaga adat tetap berdiri meskipun kekuasaan fisik kerajaan semakin dibatasi oleh kekuatan luar.
2. Peran Bangsawan Lokal dan Rakyat
Dalam menghadapi tekanan kolonial yang meningkat pada pertengahan abad ke-19, bangsawan lokal dan tokoh adat di Bolaang Mongondow memainkan peran penting dalam mempertahankan kewibawaan kerajaan serta menjaga kesinambungan sistem adat. Mereka menjadi lapisan penengah antara rakyat dan istana, sekaligus menjadi kekuatan penopang bagi Raja Bolaang dalam menyusun sikap terhadap Belanda.
Kelompok bangsawan seperti mododatu (pemuka desa) dan modonatu (penasehat raja) memiliki fungsi strategis dalam mengorganisasi masyarakat dan menyampaikan aspirasi dari akar rumput. Dalam sistem tradisional Mongondow, mereka tidak hanya mengatur urusan pemerintahan lokal, tetapi juga memegang otoritas dalam hal pengelolaan tanah, penyelesaian sengketa, dan pelaksanaan upacara adat. Ketika kebijakan kolonial mulai melanggar batas-batas ini, solidaritas antara mereka dan pihak istana pun menguat.
Solidaritas ini tidak bersifat simbolik semata, melainkan juga praksis. Banyak bangsawan dan tokoh adat menolak bekerja sama dalam pelaksanaan pajak dan sensus tanah yang diperintahkan oleh Belanda. Bahkan, beberapa secara aktif menyebarkan seruan penolakan terhadap perubahan sistem hukum dan ekonomi yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial.
Sementara itu, partisipasi rakyat biasa juga menjadi fondasi penting dalam membentuk basis perlawanan yang kokoh. Petani, nelayan, dan pemburu yang terdampak langsung oleh kebijakan pajak dan pengambilalihan lahan mulai menunjukkan pembangkangan dalam berbagai bentuk, mulai dari penolakan membayar pajak, menyembunyikan hasil bumi, hingga menghindari kontak dengan pejabat kolonial. Tindakan-tindakan ini mungkin terlihat kecil, namun secara kolektif membentuk jaringan resistensi yang sulit dikendalikan.
Perlawanan ini semakin kokoh dengan dukungan dari masyarakat pedesaan dan wilayah pegunungan, yang selama ini relatif otonom dari pengaruh langsung Belanda. Wilayah-wilayah terpencil menjadi tempat persembunyian bagi tokoh-tokoh adat yang diburu, sekaligus menjadi lokasi strategis untuk menyusun perlawanan diam-diam terhadap sistem kolonial.
Penting dicatat bahwa perlawanan di Bolaang Mongondow bukan semata gerakan elite, tetapi justru bertumpu pada kekuatan sosial dari bawah. Kerja sama antara bangsawan dan rakyat, antara adat dan aksi kolektif, membentuk sinergi yang meskipun akhirnya ditumpas secara militer, tetap meninggalkan jejak kuat dalam ingatan kolektif masyarakat.
Jalannya Perlawanan (1860-an)
1. Awal Ketegangan
Perlawanan rakyat dan elite Bolaang Mongondow terhadap kebijakan kolonial mulai mengambil bentuk yang lebih nyata pada awal tahun 1860-an, ketika pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan kebijakan pajak tanah dan pengumpulan data kepemilikan secara ketat. Penolakan terhadap langkah ini tidak lagi bersifat pasif, melainkan sudah mulai muncul dalam bentuk perlawanan administratif dan simbolik yang terang-terangan.
Salah satu pemicu utama konflik adalah penolakan terbuka terhadap pengumpulan pajak dan sensus tanah. Rakyat desa, yang sebelumnya hidup dalam sistem adat berbasis komunal, menolak untuk mengakui klasifikasi tanah menurut standar kolonial. Penolakan itu tidak hanya datang dari rakyat biasa, tetapi juga dari para tokoh adat yang menolak menandatangani atau membantu pengisian dokumen administrasi kolonial. Dalam beberapa kasus, petugas Belanda yang datang ke desa-desa untuk melakukan pencatatan disambut dengan pengabaian atau bahkan intimidasi halus.
Situasi ini memicu bentrokan administratif antara pejabat Belanda dan otoritas lokal istana. Di satu sisi, pejabat kontrolir kolonial menganggap sikap Raja dan para bangsawan sebagai bentuk pembangkangan terhadap perintah pemerintah Hindia Belanda. Di sisi lain, istana Bolaang menegaskan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai penjaga adat dan pelindung rakyat.
Ketegangan ini memuncak ketika pihak Belanda mengirimkan surat peringatan dan ultimatum kepada Raja Bolaang. Isi ultimatum tersebut umumnya menuntut agar Raja segera membantu pelaksanaan kebijakan sensus dan perpajakan serta menghentikan segala bentuk penghasutan terhadap rakyat. Pihak Belanda juga memberi ancaman sanksi politik dan penggantian penguasa jika istana dianggap tidak kooperatif.
Namun, respons dari Raja dan tokoh lokal tetap tegas. Mereka memilih tidak tunduk pada tekanan tersebut. Dalam beberapa catatan, diketahui bahwa kelompok-kelompok lokal mulai mengadakan pertemuan rahasia untuk membahas strategi penolakan kolektif. Tanda-tanda awal dari perlawanan terbuka pun mulai muncul, baik dalam bentuk sabotase logistik kolonial, maupun aksi pengumpulan bahan makanan dan senjata secara sembunyi-sembunyi.
Awal ketegangan inilah yang kemudian menjadi dasar eskalasi konflik yang lebih luas di wilayah Bolaang Mongondow, menandai fase awal dari perlawanan sporadis yang disertai represi keras oleh Belanda di dekade berikutnya.
2. Pecahnya Perlawanan Terbuka
Setelah serangkaian penolakan administratif dan diplomasi keras dari pihak istana dan bangsawan lokal tidak berhasil meredam tekanan kolonial, ketegangan akhirnya memuncak menjadi perlawanan terbuka di berbagai wilayah Bolaang Mongondow pada pertengahan 1860-an. Perlawanan ini tidak muncul sebagai satu gerakan besar yang terorganisasi secara militer, melainkan sebagai gerakan sporadis, menyebar dari desa ke desa dan dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal yang memiliki pengaruh kuat dalam komunitasnya.
Salah satu bentuk awal perlawanan muncul dalam penyerangan terhadap pos-pos kolonial yang berada di wilayah perbatasan atau pedalaman. Pos Belanda yang dijadikan pusat pengumpulan pajak atau tempat penyimpanan logistik diserang oleh kelompok-kelompok kecil rakyat bersenjata tradisional seperti tombak, parang, dan senapan tua. Beberapa laporan menyebutkan adanya sabotase jalur suplai dan penolakan warga lokal untuk membantu transportasi kebutuhan logistik kolonial.
Taktik perlawanan rakyat mengandalkan medan alam. Wilayah Bolaang Mongondow yang bergunung, berhutan lebat, dan memiliki banyak jalur tersembunyi, dimanfaatkan secara maksimal oleh para pejuang lokal. Mereka menguasai jalur-jalur pegunungan yang menghubungkan desa-desa, dan menjadikannya sebagai basis pertahanan serta jalur gerilya. Perlawanan tidak bersifat frontal, tetapi lebih pada model hit-and-run, menyerang lalu menghilang ke dalam hutan sebelum bala bantuan kolonial sempat datang.
Di balik barisan pejuang, keterlibatan rakyat desa sangat vital. Mereka menyediakan makanan, tempat persembunyian, dan menjadi penjaga jalur komunikasi antar kelompok perlawanan. Dukungan rakyat ini memperlihatkan bahwa meskipun kepemimpinan berada di tangan raja dan bangsawan adat, akar perlawanan berasal dari solidaritas kolektif masyarakat yang merasa adat mereka terancam.
Bentuk partisipasi ini juga memperlihatkan dimensi sosial dari perlawanan: bukan hanya elite, tapi juga petani, nelayan, dan warga biasa yang terlibat secara aktif dalam menolak struktur kolonial baru. Dukungan semacam ini menjadi kekuatan moral dan logistik yang sangat berarti, meskipun secara militer tidak mampu menandingi pasukan kolonial Belanda yang lebih modern dan terorganisir.
Perlawanan terbuka ini berlangsung dalam waktu terbatas, karena Belanda segera mengirimkan pasukan tambahan dan memperkuat jaringan pengawasan di wilayah-wilayah yang dianggap “rawan pemberontakan”. Namun, dampak psikologis dan simbolik dari perlawanan ini jauh melampaui skala geografisnya, menegaskan bahwa bahkan kerajaan kecil sekalipun tidak diam terhadap tekanan kolonial.
3. Penumpasan oleh Belanda
Setelah pecahnya perlawanan terbuka di berbagai titik wilayah Bolaang Mongondow, pemerintah kolonial Hindia Belanda merespons dengan operasi militer represif dan sistematis. Belanda tidak menganggap perlawanan ini sebagai insiden lokal belaka, melainkan sebagai ancaman terhadap stabilitas kolonial yang baru saja dibangun di Sulawesi Utara setelah konsolidasi kekuasaan di Minahasa.
Langkah pertama yang diambil adalah pengiriman pasukan militer dari Manado dan Minahasa, dua wilayah yang telah lebih dulu berada di bawah kontrol kuat Belanda. Pasukan tersebut terdiri dari infanteri, satuan zeni, serta tentara bayaran pribumi yang telah dilatih dalam sistem militer kolonial. Mereka diterjunkan ke wilayah Bolaang Mongondow dengan tugas utama menumpas sisa perlawanan dan mengamankan jalur komunikasi serta logistik kolonial yang sebelumnya terganggu.
Setibanya di wilayah perlawanan, pasukan Belanda segera melancarkan operasi penyisiran ke desa-desa dan kawasan pegunungan. Banyak tokoh adat dan bangsawan lokal ditangkap secara paksa, diinterogasi, lalu diasingkan ke wilayah lain di Sulawesi atau bahkan ke Jawa. Penangkapan ini tidak hanya dimaksudkan untuk menghentikan perlawanan secara militer, tetapi juga untuk menghancurkan struktur sosial dan simbolik dari kekuasaan lokal.
Beberapa raja dan bangsawan yang dianggap kooperatif diangkat sebagai pemimpin simbolis, namun kekuasaan sejatinya diambil alih oleh kontrolir kolonial. Pembubaran struktur kekuasaan tradisional berlangsung cepat, menggantikan sistem adat dan raja dengan sistem pemerintahan kolonial langsung. Belanda menerapkan model pemerintahan residentie dan afdeling, menjadikan Bolaang Mongondow bagian dari sistem birokrasi Hindia Belanda.
Selain itu, pendirian pos militer permanen dan pos pengawasan di titik-titik strategis seperti pelabuhan dan jalur gunung mempertegas bahwa wilayah ini tidak lagi diizinkan untuk menjalankan sistem kedaulatan lokal secara penuh. Sekolah-sekolah misi dan kantor pajak dibuka sebagai bagian dari upaya “sivilisasi” yang sebenarnya adalah alat penetrasi ideologi kolonial.
Penumpasan perlawanan di Bolaang Mongondow berhasil menghentikan aksi bersenjata, namun tidak mampu membungkam memori dan semangat penolakan yang terus bertahan dalam narasi lokal. Justru, kekerasan represif ini memicu ketidakpercayaan mendalam terhadap pemerintah kolonial, yang terus membayang-bayangi hubungan pusat-daerah di Sulawesi Utara hingga dekade-dekade berikutnya.
Dampak Perlawanan
1. Dampak Politik
Perlawanan rakyat dan bangsawan Bolaang Mongondow terhadap kolonialisme Belanda pada 1860-an membawa konsekuensi politik yang sangat mendalam dan jangka panjang. Salah satu dampak paling signifikan adalah pelemahan otoritas kerajaan Bolaang Mongondow secara sistematis oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah perlawanan berhasil ditumpas, otoritas raja sebagai pemimpin adat dan kepala pemerintahan lokal dipreteli secara bertahap.
Belanda kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengangkat figur “raja boneka”—yakni bangsawan lokal yang dianggap loyal atau bersedia bekerja sama dengan sistem kolonial. Meskipun secara simbolik masih disebut sebagai raja atau penguasa tradisional, kekuasaannya tidak lagi berbasis pada kedaulatan adat dan kemauan rakyat, melainkan pada surat keputusan dan pengawasan langsung dari pejabat Belanda seperti controleur atau resident.
Lebih jauh lagi, wilayah kerajaan secara administratif dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda, terutama ke dalam unit yang dikenal sebagai Afdeeling Manado—salah satu subdivisi wilayah pemerintahan Belanda di Sulawesi Utara. Dalam sistem ini, wilayah Bolaang Mongondow tidak lagi diperlakukan sebagai entitas kerajaan yang berdaulat, melainkan sebagai bagian dari struktur birokrasi kolonial yang terintegrasi, diatur dari pusat kekuasaan kolonial di Manado.
Perubahan ini tidak hanya menghapuskan otonomi politik, tetapi juga mengganti struktur pemerintahan lokal yang sebelumnya berbasis adat dan musyawarah menjadi sistem hirarkis kolonial. Jabatan-jabatan tradisional seperti mododatu, modonatu, atau penasihat adat lainnya perlahan dipinggirkan, diganti dengan pegawai administratif yang digaji oleh pemerintah kolonial dan tunduk pada hukum Belanda.
Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap struktur pemerintahan lokal merosot tajam. Raja dan pejabat istana tidak lagi dipandang sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan luar yang menindas. Kehilangan kedaulatan inilah yang menjadi warisan traumatis dari fase politik pasca-perlawanan, dan terus memengaruhi hubungan rakyat dengan kekuasaan formal hingga masa-masa setelah kemerdekaan.
2. Dampak Sosial dan Ekonomi
Setelah perlawanan di Bolaang Mongondow ditumpas oleh Belanda, wilayah ini mengalami perubahan besar dalam struktur sosial dan ekonomi. Perubahan ini bukan hanya akibat dari kekalahan militer, tetapi merupakan bagian dari strategi kolonial untuk mengintegrasikan masyarakat lokal ke dalam sistem ekonomi-politik Hindia Belanda yang lebih luas dan terpusat.
Dampak paling mencolok adalah perubahan dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah. Sebelumnya, tanah di Bolaang Mongondow dikelola secara komunal di bawah pengawasan tokoh adat dan sistem warisan lokal. Namun, setelah masuknya kontrol kolonial, tanah-tanah adat mulai diklasifikasikan ulang dan dicatat dalam sistem administrasi Belanda. Dalam proses ini, banyak lahan yang sebelumnya dikelola secara kolektif dialihkan pengelolaannya ke aparat kolonial atau pemodal Eropa, baik untuk eksploitasi hasil bumi, pembangunan jalan, atau penguasaan ekonomi strategis lainnya.
Masuknya sistem kolonial juga memperkenalkan ekonomi uang secara paksa. Sistem barter dan pertukaran dalam ikatan sosial yang telah lama berlaku di masyarakat lokal tergantikan oleh kewajiban membayar pajak dan kontribusi dalam bentuk uang tunai. Hal ini mendorong rakyat untuk bekerja sebagai buruh upahan di luar wilayahnya, seperti di perkebunan atau proyek kolonial, untuk memenuhi kewajiban tersebut. Disrupsi ini membuat struktur ekonomi tradisional runtuh dan ketergantungan terhadap pasar kolonial meningkat.
Selain itu, terjadi peminggiran terhadap tokoh adat dan pelapisan sosial yang baru berdasarkan kedekatan dengan kekuasaan kolonial. Tokoh-tokoh adat yang selama ini menjadi pemimpin moral dan penghubung antar-generasi kehilangan posisi dan legitimasi mereka. Sementara itu, muncul kelas baru yang terdiri dari pegawai pemerintah kolonial lokal, juru tulis, dan elite birokrat bumiputra yang loyal terhadap sistem kolonial. Relasi sosial pun berubah: dari relasi patronase adat yang bersifat timbal balik menjadi hubungan yang lebih subordinatif dan hierarkis di bawah struktur kolonial.
Akumulasi dari perubahan ini adalah terpecahnya solidaritas sosial dan meningkatnya fragmentasi antar kelompok masyarakat. Ketegangan antara pendukung tradisi dengan elite baru yang dekat dengan Belanda menjadi bagian dari dinamika sosial-politik yang membekas lama, bahkan hingga masa awal kemerdekaan.
Warisan Sejarah dan Relevansi Lokal
Meskipun perlawanan rakyat dan istana Bolaang Mongondow pada 1860-an berhasil dipadamkan secara militer, jejak sejarahnya tidak pernah benar-benar hilang dari kesadaran kolektif masyarakat lokal. Justru, kekalahan itu menjadi api yang terus menyala dalam narasi rakyat, menjadi sumber identitas, kebanggaan, dan refleksi atas pentingnya mempertahankan martabat lokal.
Peristiwa perlawanan ini tetap hidup dalam tradisi lisan, cerita rakyat, dan nyanyian adat yang diwariskan antar generasi di Bolaang Mongondow. Sosok raja yang memilih membela adat daripada tunduk sepenuhnya pada kolonial, atau para tokoh bangsawan dan rakyat biasa yang bergabung dalam perlawanan, digambarkan sebagai teladan keberanian dan integritas. Cerita-cerita ini tidak hanya menghibur, tetapi juga membentuk pandangan lokal terhadap nilai-nilai perjuangan, keadilan, dan solidaritas.
Lebih jauh, perlawanan ini menjadi simbol penting dari penolakan terhadap dominasi kekuasaan pusat—baik kolonial maupun pascakemerdekaan—atas hak-hak otonomi lokal. Pengalaman ditundukkan oleh kekuasaan luar mendorong masyarakat Bolaang Mongondow untuk membangun kembali kesadaran akan hak-hak adat, kepemilikan tanah, dan penghormatan terhadap struktur sosial tradisional. Ini terlihat, misalnya, dalam berbagai tuntutan pascareformasi mengenai pengakuan hak ulayat, pelestarian bahasa Mongondow, dan upaya pelibatan tokoh adat dalam pemerintahan daerah.
Selain itu, warisan perlawanan juga memberi inspirasi pada semangat regionalisme positif: sebuah kesadaran bahwa keutuhan nasional Indonesia tidak akan kokoh tanpa pengakuan terhadap keragaman sejarah dan martabat daerah-daerah yang pernah berdiri dengan kedaulatannya sendiri. Dalam konteks ini, perlawanan di Bolaang Mongondow bukan hanya soal sejarah konflik, tetapi juga pelajaran tentang pentingnya dialog antara pusat dan daerah, antara modernitas dan adat, antara kekuasaan dan kearifan lokal.
Mengenang perlawanan ini bukan sekadar melihat ke masa lalu, tetapi juga membangun jembatan pemahaman antara sejarah lokal dengan masa depan nasional yang lebih inklusif dan adil.
Perlawanan Agraria dan Politik Otonomi Lokal
Perlawanan di Bolaang Mongondow pada 1860-an tidak dapat dipandang semata sebagai insiden lokal atau bentuk perlawanan kecil terhadap kekuasaan kolonial. Jika ditelaah lebih dalam, peristiwa ini merefleksikan sebuah dinamika penting dalam sejarah Indonesia: pertarungan antara kekuasaan terpusat—dalam hal ini kolonialisme Belanda—dan hak-hak otonomi lokal yang berakar kuat dalam struktur adat dan agraria tradisional.
Secara historis, perlawanan Bolaang Mongondow merepresentasikan bentuk awal dari resistensi agraria: perlawanan terhadap klasifikasi lahan, pengenaan pajak hasil bumi, dan transformasi paksa atas sistem kepemilikan kolektif menjadi skema individual atau administratif kolonial. Tanah, yang bagi masyarakat Mongondow adalah warisan nenek moyang dan fondasi spiritual komunitas, dijadikan objek ekonomi semata oleh kekuasaan luar. Maka, ketika sistem pajak dan pendataan tanah diterapkan, bukan hanya ekonomi rakyat yang terganggu, tetapi juga tatanan dunia mereka yang paling mendasar.
Uniknya, bentuk resistensi yang muncul tidak selalu frontal atau militeristik. Sebagian besar perlawanan diawali dengan penolakan administratif dan simbolik, seperti menolak sensus, tidak mengindahkan pajak, hingga menjaga tanah komunal dari klaim kolonial. Ini menunjukkan bentuk perjuangan berbasis hukum adat dan hak-hak tradisional, yang memperlihatkan bahwa kesadaran politik masyarakat lokal telah tumbuh dengan cara yang berbeda dari daerah-daerah yang didominasi kerajaan besar seperti di Jawa.
Dalam konteks lebih luas, perlawanan ini juga merupakan salah satu akar dari ketegangan relasi pusat-daerah yang masih relevan hingga Indonesia modern. Campur tangan Belanda dalam penunjukan raja, pengurangan otonomi pemerintahan adat, dan penghapusan sistem distribusi tanah tradisional menciptakan residu sejarah yang panjang. Bahkan hingga masa pascakolonial, wilayah seperti Bolaang Mongondow terus menyuarakan pentingnya pengakuan atas kearifan lokal, tanah ulayat, dan partisipasi adat dalam politik daerah.
Perlawanan Bolaang Mongondow merupakan bagian penting dari sejarah nasional, bukan hanya karena keberaniannya, tetapi karena ia menjadi cermin dari persoalan struktural tentang kedaulatan lokal, keadilan agraria, dan sentralisme kekuasaan yang masih menjadi tantangan Indonesia hingga hari ini.
Dari Lereng Gunung ke Memori Bangsa
Perlawanan Bolaang Mongondow pada pertengahan abad ke-19 bukan hanya sebuah bab kecil dalam sejarah lokal Sulawesi Utara, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari mozaik besar perjuangan rakyat Nusantara melawan kolonialisme. Dari lereng gunung hingga lembah sungai yang sunyi, suara penolakan terhadap ketidakadilan dan penghinaan atas martabat adat menggema melalui tindakan simbolik maupun gerakan bersenjata. Wilayah yang mungkin sering luput dari narasi besar sejarah nasional ini justru menunjukkan keteguhan luar biasa dalam mempertahankan kehormatan dan hak hidup komunitas lokal.
Melalui kisah ini, kita diajak untuk merefleksikan ulang bagaimana sejarah Indonesia dibentuk bukan hanya oleh tokoh besar dari pusat kekuasaan, tetapi juga oleh rakyat biasa, raja kecil, dan tokoh adat di pedalaman yang memilih untuk mempertahankan nilai dan kedaulatannya, bahkan saat berhadapan dengan kekuatan kolonial yang masif.
Sejarah perlawanan Bolaang Mongondow mengajarkan bahwa kedaulatan bukan semata soal politik tinggi, tetapi juga soal tanah yang diwariskan, hukum yang dihormati, dan solidaritas yang dijaga dari generasi ke generasi. Maka, penting bagi kita hari ini untuk menggali kembali, mencatat, dan mengajarkan sejarah seperti ini, agar generasi muda tak hanya mengenal perjuangan yang tercetak di buku-buku arus utama, tetapi juga menghargai kisah perlawanan yang tumbuh dari akar rumput dan pegunungan Nusantara.
Bolaang Mongondow telah memberi kontribusi nyata dalam sejarah panjang penolakan terhadap kolonialisme. Kini, tugas kita adalah menempatkan kisah itu secara layak dalam memori bangsa, bukan sekadar sebagai catatan masa lalu, tetapi sebagai sumber nilai dan inspirasi untuk masa depan yang lebih adil, berdaulat, dan inklusif.