Perlawanan Raja-Raja Sumba, Sumbawa, dan Flores (1890–1930-an)

Jejak Tanah Timur dalam Bayang-Bayang Imperium

1. Gambaran Geografis dan Etnografis

Kepulauan Nusa Tenggara, yang mencakup pulau-pulau besar seperti Sumba, Sumbawa, dan Flores, terletak di antara dua poros penting dalam jaringan maritim Indonesia: barat (Jawa–Bali) dan timur (Maluku–Papua). Secara geografis, wilayah ini berada di kawasan Wallacea, yaitu zona transisi ekologis antara benua Asia dan Australia. Keunikan ini bukan hanya menciptakan keragaman hayati yang tinggi, tetapi juga menyuburkan kehidupan manusia yang sangat beragam dari sisi bahasa, budaya, dan sistem sosial.

Pulau Sumba memiliki bentang alam yang sebagian besar berupa perbukitan kapur dan padang rumput luas. Wilayah ini relatif kering dibandingkan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Karakteristik ini mendorong pola hidup masyarakat Sumba yang bersandar pada peternakan, terutama kuda dan kerbau, serta sistem sosial berbasis klan (kabihu) yang sangat kuat. Rumah-rumah adat yang menjulang tinggi (uma bokulu) dan ritus pemakaman megalitik menjadi simbol kekuatan budaya mereka.

Sumbawa, di sisi lain, terletak di antara Lombok dan Flores dan secara historis menjadi pusat kerajaan-kerajaan Islam, terutama Kesultanan Sumbawa dan Kesultanan Bima. Pulau ini memiliki lanskap pegunungan, dengan wilayah pesisir yang subur dan mendukung pertanian serta perdagangan maritim. Etnis Sumbawa (Samawa) dan Bima memiliki struktur politik yang tersentralisasi dengan pengaruh Islam yang kuat, namun tetap mempertahankan unsur adat yang berperan penting dalam kehidupan sosial mereka.

Sementara itu, Flores merupakan pulau yang panjang dan sempit, memanjang dari barat ke timur, dengan kontur geografi yang bergunung-gunung dan berlembah curam. Keragaman etnik di Flores sangat tinggi, bahkan antar desa yang berdekatan dapat berbeda bahasa. Beberapa kelompok utama di antaranya adalah etnis Manggarai, Ngada, Ende, Lio, Sikka, dan Lamaholot. Struktur sosial Flores sangat kompleks, memadukan sistem adat lokal dengan pengaruh kuat dari misi Katolik, terutama sejak kedatangan tarekat misionaris seperti Serikat Sabda Allah (SVD) pada akhir abad ke-19.

Topografi yang terjal, keterpencilan antar wilayah, serta kuatnya sistem adat menjadikan kawasan ini relatif sulit dikendalikan secara langsung oleh kekuasaan kolonial. Ketergantungan Belanda pada jalur laut dan jalur logistik terbatas menyebabkan pengaruh kekuasaan mereka sering hanya efektif di pusat-pusat administratif atau pesisir yang memiliki pos kontrol. Di daerah pedalaman, otoritas raja-raja lokal, pemuka adat, dan kepercayaan tradisional tetap dominan, yang kemudian menjadi fondasi penting dalam berbagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan.

Dengan kondisi geografis yang menantang dan tatanan sosial yang berakar kuat, masyarakat di Sumba, Sumbawa, dan Flores menunjukkan kemampuan bertahan yang luar biasa terhadap tekanan eksternal. Dalam konteks kolonialisme Belanda, keanekaragaman etnografis ini bukan hanya memperkaya kekayaan budaya Nusantara, tetapi juga menjadi medan pertempuran antara sistem nilai tradisional dan dominasi kekuasaan imperialis dari luar.

2. Kerajaan-Kerajaan Lokal: Struktur dan Otoritas

Di balik bentang alam yang keras dan bervariasi, masyarakat di Sumba, Sumbawa, dan Flores mengembangkan sistem kekuasaan tradisional yang khas, berakar dalam nilai adat, spiritualitas, dan struktur politik lokal yang terbentuk jauh sebelum datangnya kekuasaan kolonial. Ketiga pulau ini memiliki bentuk kerajaan atau otoritas lokal yang berbeda-beda, mencerminkan karakter sosiokultural masing-masing masyarakat.

Sumba: Kabihu, Marapu, dan Raja Simbolik

Di Pulau Sumba, struktur kekuasaan tidak terpusat seperti pada kerajaan-kerajaan Jawa atau Sumatera. Sebaliknya, kekuasaan tersebar dalam sistem kabihu, yaitu kelompok kekerabatan yang berbasis garis keturunan. Setiap kabihu memiliki tanah ulayat, rumah adat (uma bokulu), dan pemimpin adat (ratemang atau kabihu leader) yang bertugas mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan upacara keagamaan. Di atas struktur ini, terdapat raja-raja lokal yang disebut “Raja” atau “Umbu”, yang sering kali berfungsi sebagai penengah antar kabihu dan pelindung spiritual rakyatnya.

Dalam kosmologi Sumba, kekuasaan tidak semata-mata bersifat administratif, melainkan juga spiritual. Sistem kepercayaan Marapu, yang merupakan kepercayaan asli Sumba, menempatkan raja sebagai tokoh sakral yang bertugas menjaga keseimbangan antara alam, manusia, dan roh leluhur. Kekuasaan raja dijaga melalui ritus-ritus adat dan simbol-simbol keramat, seperti kubur batu (marapu-watu) dan benda pusaka warisan leluhur.

Sumbawa: Kesultanan dan Sentralisasi Kekuasaan

Berbeda dari Sumba, wilayah Sumbawa pada akhir abad ke-19 telah terbagi menjadi dua kekuasaan besar: Kesultanan Sumbawa dan Kesultanan Bima. Kedua kesultanan ini mengadopsi sistem pemerintahan yang lebih tersentralisasi dengan pengaruh kuat dari Islam dan struktur birokrasi yang mengikuti model kesultanan di bagian barat Nusantara. Sultan merupakan penguasa tertinggi, baik secara politik, hukum, maupun agama.

Dalam struktur internalnya, sultan dibantu oleh pejabat-pejabat seperti rato, jeneli, dan tumenggung, yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan, pengumpulan pajak, serta penegakan hukum. Wilayah-wilayah kekuasaan dibagi ke dalam distrik-distrik yang dikepalai oleh bangsawan setempat. Sistem ini menjadikan Sumbawa memiliki hirarki sosial yang cukup mapan, namun rentan terhadap infiltrasi dan manipulasi kolonial, terutama melalui pengangkatan elite lokal sebagai perpanjangan tangan pemerintahan Belanda.

Flores: Kepala Suku, Raja Adat, dan Intervensi Gereja

Pulau Flores memiliki dinamika kekuasaan yang kompleks dan sangat majemuk, seiring dengan keberagaman suku dan bahasa lokal. Secara umum, otoritas lokal dipimpin oleh kepala suku (mosa laki atau mosalaki) dan raja adat, yang kedudukannya diperoleh secara turun-temurun dalam garis keluarga tertentu. Kekuasaan ini bersifat kolektif dan berbasis pada musyawarah antar klan, namun tetap disakralkan dalam kerangka kepercayaan adat.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, posisi raja adat mulai mengalami transformasi akibat intervensi Belanda dan penyebaran agama Katolik oleh misi SVD. Para misionaris, dengan restu pemerintah kolonial, membantu membentuk struktur baru yang disebut “raja kontrak”, yaitu pemimpin lokal yang dipilih oleh Belanda untuk melayani kepentingan administrasi kolonial, bukan semata kepentingan rakyat. Fenomena ini menciptakan ketegangan antara otoritas adat yang berbasis konsensus dan otoritas formal yang dibentuk secara eksternal.


Posisi Raja sebagai Simbol Adat, Spiritual, dan Politik

Dalam ketiga wilayah ini, posisi raja—baik yang bersifat simbolik seperti di Sumba, sentralistik seperti di Sumbawa, maupun dualistik seperti di Flores—bukan hanya pemimpin administratif. Raja adalah penjelmaan dari nilai-nilai luhur masyarakat: pemersatu sosial, penjaga moral, pelindung ritus adat, dan penjaga hubungan dengan dunia roh atau spiritualitas lokal. Kehadiran raja menjadi manifestasi otoritas tradisional yang tidak dapat digantikan oleh struktur kolonial manapun.

Oleh karena itu, ketika intervensi Belanda mulai menggerus kekuasaan mereka—melalui tekanan administratif, militer, maupun budaya—para raja dan pemuka adat tidak hanya kehilangan kekuasaan politik, tetapi juga legitimasi sosial dan spiritual. Hal ini menjadi pemicu mendasar bagi munculnya perlawanan, karena bagi masyarakat Nusa Tenggara, menyerah kepada kekuasaan asing berarti memutus hubungan dengan warisan leluhur dan sistem kosmis yang telah mengatur hidup mereka selama berabad-abad.

Penulisan ini bertujuan untuk menempatkan perlawanan para raja dan masyarakat adat di wilayah Sumba, Sumbawa, dan Flores sebagai bagian integral dari narasi besar perjuangan anti-kolonial di Nusantara. Selama ini, sejarah nasional Indonesia cenderung berpusat pada wilayah barat dan tengah kepulauan, seperti Jawa, Sumatra, dan Bali, sementara dinamika politik dan sosial di wilayah timur kerap dikesampingkan atau hanya disebut secara sepintas. Padahal, wilayah Nusa Tenggara memiliki sejarah panjang dan kompleks tentang bagaimana kekuasaan lokal merespons kolonialisme dengan cara mereka sendiri—baik melalui senjata, negosiasi, maupun resistensi kultural.

Dengan mengangkat kembali kisah perlawanan di Nusa Tenggara, penulisan ini juga menghadirkan perspektif yang lebih utuh dan adil dalam memahami perjuangan bangsa Indonesia. Bahwa kemerdekaan bukanlah hasil perjuangan elite di kota-kota besar semata, melainkan juga buah dari darah dan nyawa yang tumpah di daerah-daerah yang jauh dari pusat, namun tidak kalah gigih dalam mempertahankan kedaulatan dan nilai-nilai leluhurnya.

Latar Belakang Historis dan Sosial

1. Penetrasi Kolonialisme Belanda ke Nusa Tenggara

Meskipun Kepulauan Nusa Tenggara telah dikenal sejak lama dalam peta perdagangan rempah dan pelayaran internasional, wilayah ini tidak segera menjadi prioritas utama dalam ekspansi awal kolonialisme Belanda. Sebagian besar perhatian Belanda sejak abad ke-17 terfokus pada pusat-pusat perdagangan strategis seperti Batavia, Maluku, dan pantai utara Jawa. Namun seiring melemahnya kekuasaan VOC dan masuknya pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang lebih terstruktur pada abad ke-19, perhatian terhadap wilayah timur—termasuk Nusa Tenggara—menjadi semakin intensif.

Pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, Belanda mulai melakukan ekspedisi militer secara sistematis ke wilayah-wilayah timur yang dianggap “liar” dan “belum sepenuhnya dijinakkan”. Dalam banyak laporan kolonial, Sumba, Sumbawa, dan Flores sering digambarkan sebagai daerah “bermasalah”, penuh dengan “perang suku”, perlawanan terhadap misi, dan ketidakpatuhan terhadap perjanjian dagang maupun perpajakan. Persepsi ini menjadi dasar legitimasi bagi Belanda untuk melakukan intervensi militer dan politik yang masif.

Ekspedisi militer ke Nusa Tenggara biasanya disertai dengan paksaan diplomatik berupa perjanjian-perjanjian sepihak yang dibuat dalam konteks ketimpangan kekuasaan. Di Sumba, misalnya, Belanda mulai memaksa penguasa lokal menandatangani kontrak dagang dan keamanan sejak dekade 1850-an, yang pada praktiknya membuka pintu bagi kontrol administratif dan ekonomi. Di Sumbawa, Kesultanan Sumbawa dan Bima lebih dahulu terikat dengan VOC sejak abad ke-17, namun bentuk pengawasan kolonial yang langsung baru terasa kuat pada akhir abad ke-19 ketika otoritas kolonial mulai menekan hak-hak istimewa sultan dan mengatur suksesi secara sewenang-wenang.

Setelah perjanjian-perjanjian ini ditegakkan, Belanda membentuk pos administrasi kolonial di titik-titik strategis, terutama di wilayah pesisir dan dataran rendah. Pos ini dipimpin oleh pejabat kolonial yang disebut kontrolir, yang memiliki kekuasaan luas atas urusan militer, pajak, dan hukum. Di Flores, kontrolir sering kali bekerja sama dengan misi Katolik untuk menanamkan pengaruh barat secara kultural, melalui sekolah dan misi agama.

Namun, kontrol kolonial di wilayah Nusa Tenggara tidak pernah sepenuhnya efektif. Karakteristik geografis yang bergunung-gunung, sistem sosial yang berbasis klan, dan kepercayaan adat yang kuat membuat masyarakat setempat tidak mudah tunduk. Otoritas raja-raja lokal dan pemimpin adat tetap memegang peranan utama dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan di daerah yang secara administratif sudah “dikuasai”, loyalitas rakyat kepada penguasa kolonial sangat lemah, dan berbagai bentuk resistensi terus bermunculan—baik dalam bentuk perlawanan terbuka maupun sabotase diam-diam.

Dalam banyak dokumen kolonial, tercermin frustrasi para pejabat Belanda yang menganggap wilayah ini sulit “dijinakkan”. Istilah seperti onwillige inlander (pribumi yang tidak patuh), wilde stammen (suku-suku liar), atau geheel ontoegankelijk gebied (wilayah yang sepenuhnya tak dapat diakses) kerap digunakan. Ketidakmampuan Belanda untuk menundukkan sepenuhnya wilayah ini menjadi indikasi bahwa proyek kolonialisme di Nusa Tenggara tidak berjalan mulus seperti yang diidealkan dalam laporan-laporan resmi. Justru, dari kegagalan-kegagalan inilah lahir benih-benih perlawanan yang akan menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan lokal.

2. Sistem Tanam Paksa dan Kerja Paksa di Wilayah Timur

Meskipun wilayah Nusa Tenggara relatif jauh dari pusat pemerintahan kolonial di Batavia, hal itu tidak menjadikannya bebas dari dampak kebijakan eksploitasi kolonial yang melanda Hindia Belanda sejak awal abad ke-19. Salah satu kebijakan paling mencolok adalah cultuurstelsel atau sistem tanam paksa, yang awalnya diterapkan secara ketat di Pulau Jawa sejak 1830. Seiring berjalannya waktu, sistem ini mengalami modifikasi dan “penyesuaian lokal” ketika diterapkan di wilayah timur seperti Sumba, Sumbawa, dan Flores—namun esensinya tetap sama: eksploitasi sumber daya dan tenaga kerja masyarakat lokal demi keuntungan pemerintah kolonial dan kongsi dagang Eropa.

Di Nusa Tenggara, tanam paksa tidak selalu berbentuk penanaman komoditas ekspor seperti kopi, tebu, atau nila secara langsung, tetapi lebih sering muncul dalam bentuk pengumpulan wajib hasil bumi lokal, seperti kuda, ternak, kapas, rotan, madu, serta hasil hutan lainnya. Rakyat diharuskan menyetor hasil tersebut dalam jumlah tetap setiap musim panen, tanpa mempertimbangkan kebutuhan internal atau hasil panen yang seringkali tidak menentu akibat iklim kering dan medan yang sulit. Kegagalan memenuhi kewajiban ini bisa berujung pada hukuman fisik atau penyitaan tanah dan ternak.

Di sisi lain, kerja paksa atau kerja rodi menjadi bentuk tekanan yang paling nyata dirasakan masyarakat. Masyarakat dipaksa mengerahkan tenaga tanpa bayaran untuk membangun infrastruktur yang diinginkan oleh pemerintah kolonial, seperti jalan raya, jembatan, pos militer, benteng, dan pelabuhan. Pembangunan tersebut tidak didasarkan pada kebutuhan lokal, melainkan untuk mendukung mobilisasi militer dan efisiensi pengumpulan pajak serta hasil bumi ke pusat-pusat kolonial. Sistem ini sangat membebani penduduk lokal, terutama karena pekerjaan dilakukan dalam kondisi keras: cuaca ekstrem, kekurangan makanan, dan pengawasan ketat oleh aparat kolonial atau kaki tangan lokal.

Di wilayah seperti Sumba Timur, masyarakat harus bekerja berminggu-minggu menggali parit dan membangun jalur lintas antarkabupaten di bawah pengawasan kontrolir kolonial. Di Flores, rakyat dari desa-desa di pegunungan sering dipaksa turun ke dataran untuk bekerja di proyek kolonial yang tidak mereka pahami tujuannya. Mereka juga diwajibkan menyediakan logistik dan akomodasi bagi tentara kolonial atau aparat sipil yang lewat, tanpa imbalan apa pun.

Apa yang disebut sebagai “cultuurstelsel gaya baru” di wilayah timur ini sebenarnya lebih brutal dan tidak terstruktur secara hukum dibandingkan yang diterapkan di Jawa. Tidak ada perlindungan hukum formal bagi pekerja rodi di Nusa Tenggara, karena wilayah ini dipandang sebagai “tanah liar” yang tunduk pada “pembinaan”. Kolonialisme memanfaatkan struktur lokal yang ada—raja kontrak, kepala kampung, dan elit adat yang kooperatif—untuk menekan rakyatnya sendiri. Dalam banyak kasus, penguasa lokal yang menolak kerja paksa dianggap membangkang, lalu digulingkan dan diganti dengan sosok yang lebih tunduk pada Belanda.

Selain tekanan fisik, sistem ini juga merusak struktur sosial masyarakat adat. Dalam banyak komunitas, kerja bersama sebelumnya merupakan bagian dari ritus gotong royong yang bersifat sukarela dan sakral. Namun dalam sistem kolonial, kerja dipaksa berubah menjadi kewajiban yang penuh penderitaan, tanpa makna komunal dan tanpa penghargaan. Kerja paksa menjauhkan rakyat dari tanah dan kampungnya, meretakkan solidaritas antar kelompok, serta menumbuhkan kebencian yang mendalam terhadap kekuasaan kolonial dan kolaboratornya.

Sistem tanam paksa dan kerja paksa di Nusa Tenggara memperlihatkan wajah kolonialisme yang tidak hanya menindas secara ekonomi, tetapi juga mencabik martabat dan tatanan hidup masyarakat adat. Ketidakadilan ini menjadi bara dalam sekam yang pada akhirnya menyulut berbagai bentuk perlawanan terbuka di awal abad ke-20.

3. Eksploitasi dan Resistensi Sosial

Seiring dengan makin dalamnya penetrasi kekuasaan kolonial Belanda ke wilayah Nusa Tenggara, tekanan terhadap masyarakat lokal tidak lagi terbatas pada bidang ekonomi dan tenaga kerja, tetapi juga merambah ranah budaya, spiritual, dan sosial-politik. Eksploitasi dalam konteks ini tidak hanya berarti pemerasan sumber daya, tetapi juga mencakup upaya sistematis untuk mengendalikan cara hidup, keyakinan, serta struktur sosial tradisional yang telah mengakar selama berabad-abad. Situasi ini memunculkan ketidakpuasan yang luas—bukan hanya di kalangan rakyat kecil, tetapi juga di antara elite lokal yang merasa kehilangan legitimasi dan martabatnya sebagai penjaga tatanan adat.

Ketidakpuasan terhadap Tekanan Ekonomi dan Budaya

Masyarakat adat di Sumba, Sumbawa, dan Flores pada dasarnya hidup dalam sistem yang berimbang antara tanah, kerja, dan ritus-ritus sosial. Ketika sistem kolonial mulai merombak hubungan ini dengan menjadikan tanah sebagai objek pajak dan hasil bumi sebagai komoditas wajib serah, struktur lama runtuh secara perlahan. Beban pajak, kerja paksa, serta mobilisasi sumber daya lokal tanpa kompensasi menjadikan kehidupan rakyat sangat tertekan. Rakyat harus meninggalkan ladang dan rumah demi proyek-proyek kolonial yang asing dan tak memberikan manfaat langsung bagi komunitas mereka.

Elite lokal yang sebelumnya dihormati karena perannya sebagai pemimpin spiritual dan pelindung adat pun mengalami degradasi kekuasaan. Banyak dari mereka dipaksa tunduk kepada keputusan kontrolir Belanda, kehilangan otonomi dalam urusan adat, dan hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan kolonial. Sementara sebagian kecil bangsawan memilih berkolaborasi demi mempertahankan posisi, sebagian lainnya merasa identitas dan tanggung jawab mereka sebagai penjaga budaya telah diinjak-injak, sehingga memilih jalan perlawanan.

Konflik antara Adat dan Nilai-Nilai Kolonial

Salah satu aspek paling mencolok dari penetrasi kolonial di wilayah ini adalah upaya sistematis untuk mengubah sistem kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat lokal, terutama melalui Kristenisasi dan pendidikan gaya Eropa. Di Flores dan sebagian wilayah Sumba, misi Katolik yang dibawa oleh Serikat Sabda Allah (SVD) dengan dukungan penuh dari pemerintah kolonial berperan besar dalam transformasi sosial yang seringkali bersifat koersif.

Proses Kristenisasi tidak selalu berlangsung secara damai. Banyak ritus adat yang dilarang atau dibatasi, termasuk pemujaan terhadap leluhur, praktik pemakaman megalitik, dan upacara pengorbanan hewan. Tempat-tempat sakral diruntuhkan, dan pemimpin adat yang menolak menerima agama baru dianggap “biadab” atau “penghalang kemajuan”. Dalam banyak kasus, misi agama digunakan sebagai alat pengawasan sosial, di mana laporan tentang “kemajuan iman” juga mencakup tingkat kepatuhan terhadap pemerintah kolonial.

Sementara itu, Belanda juga mempraktikkan politik pembagian wilayah kekuasaan untuk memecah otoritas adat dan mencegah terbentuknya kekuatan lokal yang besar. Raja-raja besar dipecah kekuasaannya menjadi “raja-raja kecil” atau kepala distrik, yang kemudian diikat dalam sistem kontrak administratif. Upaya ini menimbulkan konflik internal, karena batas-batas kekuasaan tradisional diacak-acak, dan rasa hormat antar komunitas sering kali berubah menjadi kecemburuan atau pertikaian. Hal ini melemahkan kohesi sosial masyarakat lokal dan menciptakan ruang yang lebih luas bagi intervensi kolonial.

Konflik antara adat dan nilai-nilai kolonial juga terlihat dalam pendidikan. Anak-anak muda dari elite lokal dikirim ke sekolah kolonial atau seminari misi, di mana mereka diajarkan untuk meninggalkan nilai-nilai adat dan menerima norma-norma Eropa. Hal ini menciptakan kesenjangan generasi, di mana generasi muda seringkali menjauh dari akar budaya mereka sendiri dan melihat orang tua atau pemimpin adat sebagai “primitif”. Namun dalam beberapa kasus, pendidikan kolonial justru menumbuhkan kesadaran kritis yang kelak menjadi benih nasionalisme.


Eksploitasi ekonomi dan penetrasi budaya kolonial menciptakan rasa krisis identitas dan hilangnya kedaulatan lokal. Dalam konteks inilah perlawanan tidak hanya dimaknai sebagai tindakan fisik terhadap penjajahan, tetapi juga sebagai resistensi terhadap penghapusan memori, keyakinan, dan struktur sosial yang membentuk identitas masyarakat Nusa Tenggara. Gelombang ketidakpuasan ini, yang muncul dari gabungan penderitaan fisik dan luka kultural, akhirnya memuncak dalam berbagai bentuk perlawanan terbuka yang tercatat sepanjang dekade 1890 hingga 1930-an.

 Dinamika Perlawanan di Sumba

1. Tokoh dan Wilayah Perlawanan

Pulau Sumba, dengan sistem sosial yang berbasis klan (kabihu) dan kepercayaan adat Marapu, menjadi salah satu wilayah yang paling aktif dalam merespons kehadiran kolonialisme Belanda melalui jalur perlawanan. Tidak seperti wilayah-wilayah lain yang memiliki struktur kerajaan terpusat, perlawanan di Sumba bersifat lebih terfragmentasi namun menyeluruh, menyebar dari desa-desa kecil hingga pusat-pusat kekuasaan lokal yang diorganisir oleh raja-raja adat. Perlawanan ini muncul sejak akhir abad ke-19 dan terus berlangsung hingga awal 1930-an, mencerminkan keberlanjutan resistensi dalam berbagai bentuk, baik terbuka maupun terselubung.

Salah satu wilayah yang menjadi pusat perlawanan penting adalah Kota Kanatang di Sumba Timur. Di sini, Raja Kanatang menjadi simbol perlawanan terhadap sistem kerja paksa dan upaya Belanda untuk mengendalikan sistem adat. Penolakan terhadap penyerahan hasil bumi, pemaksaan pembayaran pajak, serta intervensi terhadap otoritas ritual Marapu menjadi pemicu utama ketegangan. Raja Kanatang menolak keras pembentukan pemerintahan kolonial bergaya distrik dan menentang keras campur tangan Belanda dalam urusan adat dan pewarisan kepemimpinan.

Di bagian tengah pulau, wilayah Anakalang muncul sebagai pusat penting lainnya dalam perlawanan. Raja Anakalang, bersama pemimpin-pemimpin adat dari kabihu besar, berusaha mempertahankan kemandirian wilayahnya dari tekanan Belanda. Anakalang dikenal sebagai wilayah yang sangat kuat secara budaya, dengan tatanan kepercayaan Marapu yang dipraktikkan secara ketat dan ritus-ritus yang tidak dapat digantikan dengan struktur kolonial. Ketika Belanda memaksakan pembangunan jalan dan benteng di wilayah tersebut, rakyat dipaksa bekerja rodi tanpa kompensasi. Sebagai tanggapan, raja dan para pemuka adat menolak kerja paksa, dan dalam beberapa kasus, mengorganisir sabotase terhadap pos kolonial serta menyerang utusan Belanda yang datang ke desa-desa.

Perlawanan di Sumba juga terjadi secara sporadis dan tersebar, terutama di daerah pegunungan dan kawasan pedalaman. Masyarakat adat yang sangat menjunjung tinggi otonomi wilayah kabihu sering kali menyambut kedatangan pasukan Belanda dengan penolakan terbuka atau sembunyi-sembunyi menghindar dari proyek-proyek kolonial. Dalam banyak catatan Belanda, masyarakat Sumba digambarkan sebagai “keras kepala” dan “sulit dikendalikan”, mencerminkan kekuatan akar budaya yang tidak mudah diintervensi dari luar.

Menariknya, meskipun awalnya bersifat lokal dan terpisah-pisah, perlawanan di berbagai wilayah Sumba lambat laun menunjukkan kecenderungan konsolidatif. Para pemuka adat dan raja-raja yang sebelumnya tidak memiliki hubungan erat, mulai menyuarakan keresahan yang sama: hilangnya hak adat, kehancuran sistem Marapu, serta meningkatnya tekanan ekonomi akibat pajak dan kerja paksa. Dalam beberapa kesempatan, terjadi kerja sama antar kabihu untuk menolak perintah Belanda secara kolektif, baik dalam bentuk penolakan panen wajib maupun mangkir dari kerja paksa.

Meskipun tidak semua perlawanan tersebut terorganisir secara militer, daya tahan masyarakat Sumba dalam menolak kolonialisme berlangsung sangat lama. Beberapa kabihu terus menolak tunduk hingga awal 1930-an, bahkan ketika pasukan kolonial telah membangun benteng permanen dan mendirikan pusat administrasi. Ini menunjukkan bahwa resistensi terhadap penjajahan di Sumba tidak semata-mata bersifat fisik, tetapi juga merupakan penolakan kultural dan spiritual, sebagai bentuk perlindungan terhadap jati diri leluhur dan sistem kosmologis mereka yang telah berlangsung selama berabad-abad.

2. Bentuk Perlawanan

Perlawanan rakyat dan elite adat di Sumba terhadap kolonialisme Belanda tidak hanya hadir dalam bentuk penolakan simbolik atau retorika adat, tetapi juga dalam tindakan nyata yang mencerminkan keberanian dan tekad mempertahankan kedaulatan lokal. Dalam konteks ini, bentuk-bentuk perlawanan yang terjadi bersifat terbuka, terorganisir dalam jaringan adat, dan berlangsung dalam berbagai skala, mulai dari sabotase kecil hingga serangan bersenjata terhadap fasilitas kolonial.

Penolakan terhadap Penyerahan Hasil Bumi dan Tenaga Kerja

Salah satu bentuk perlawanan yang paling umum dan konsisten dilakukan masyarakat Sumba adalah penolakan terhadap kewajiban penyerahan hasil bumi, seperti kuda, kerbau, kapas, rotan, serta komoditas hutan yang diwajibkan oleh otoritas kolonial. Masyarakat Sumba memiliki tradisi pengelolaan hasil alam berdasarkan sistem adat, di mana panen dan sumber daya lainnya diperuntukkan bagi komunitas dan ritus keagamaan Marapu. Ketika Belanda mulai memaksakan sistem wajib serah dan mengalihkan kendali distribusi hasil bumi kepada pejabat kolonial, masyarakat menanggapi dengan perlawanan diam-diam—tidak menyerahkan hasil panen, menyembunyikan ternak, atau bahkan memindahkan lokasi ladang secara diam-diam ke hutan-hutan terpencil.

Demikian pula, perintah untuk mengirim tenaga kerja untuk proyek-proyek kolonial seperti pembangunan jalan, pos militer, atau pelabuhan, sering ditanggapi dengan penghindaran massal. Para pemuda dan laki-laki dewasa memilih melarikan diri ke daerah pegunungan atau hutan daripada tunduk kepada kerja rodi. Ada juga kabihu yang secara kolektif menolak mengirimkan orangnya, dan bersedia menerima hukuman sebagai bentuk solidaritas terhadap penolakan tersebut. Dalam beberapa kasus, kepala kampung atau raja lokal secara terang-terangan menyatakan ketidaksediaan mereka untuk menyerahkan rakyatnya, yang tentu saja memicu respons keras dari otoritas kolonial.

Pembakaran Pos Kolonial dan Penyergapan Utusan Belanda

Ketika tekanan kolonial meningkat, bentuk perlawanan berkembang menjadi lebih radikal dan langsung. Pembakaran pos kolonial menjadi simbol penolakan yang kuat dan bentuk sabotase yang dilakukan oleh kelompok-kelompok lokal, biasanya di malam hari atau ketika aparat kolonial sedang bergerak ke wilayah lain. Pos-pos yang berfungsi sebagai pusat administrasi, penyimpanan pajak hasil bumi, dan tempat tinggal kontrolir sering kali menjadi sasaran utama, karena dianggap sebagai lambang kekuasaan penjajah yang mengganggu tatanan adat.

Selain pembakaran, bentuk perlawanan yang paling berani adalah penyergapan terhadap utusan Belanda, baik berupa pasukan kecil maupun pejabat kolonial yang tengah melakukan perjalanan ke desa-desa. Taktik ini biasanya dilakukan di daerah pegunungan atau jalan sempit yang hanya diketahui oleh masyarakat lokal. Dalam banyak kasus, penyergapan dilakukan oleh kelompok pemuda adat yang sudah bersumpah dalam ritus Marapu untuk membela tanah leluhur hingga titik darah penghabisan. Serangan ini jarang berskala besar, tetapi dampaknya signifikan dalam menciptakan ketakutan dan ketidakpastian di kalangan aparat kolonial.

Belanda sering kali menyebut wilayah Sumba sebagai daerah yang “sukar ditundukkan” bukan karena kekuatan militernya, melainkan karena karakter perlawanan yang menyebar, tidak terpusat, dan didorong oleh kekuatan adat yang sulit dijinakkan. Kekuatan simbolik dari tindakan seperti menolak penyerahan hasil bumi atau membakar pos kolonial mencerminkan bahwa masyarakat Sumba memahami bahwa perlawanan bukan hanya soal menang atau kalah secara militer, tetapi juga soal mempertahankan harga diri, identitas, dan keberlangsungan sistem hidup yang diwariskan leluhur.

Perlawanan ini sering dipandang kecil dan “terbelakang” oleh aparat kolonial, namun dalam sudut pandang masyarakat lokal, tindakan-tindakan tersebut merupakan bagian dari perjuangan eksistensial. Mereka tidak berjuang demi perubahan sistem politik nasional—karena ide Indonesia belum mengakar—tetapi demi melindungi dunia mereka dari kehancuran, demi tanah, adat, dan Marapu.

3. Respons Belanda

Perlawanan yang menyebar di berbagai wilayah Sumba sepanjang akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 mendorong pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengambil langkah-langkah represif yang semakin intensif. Ketidakmampuan untuk menundukkan masyarakat Sumba melalui pendekatan administratif dan kontrak dagang membuat Belanda memilih jalur kekerasan sebagai solusi utama. Oleh karena itu, berbagai ekspedisi militer diluncurkan ke Sumba dalam rentang waktu dua dekade sebagai bagian dari strategi paksa untuk “menundukkan” wilayah yang dianggap bandel dan tidak terintegrasi.

Ekspedisi Militer Belanda ke Sumba 1901 dan 1910

Ekspedisi militer besar pertama ke Sumba dilakukan pada tahun 1901, yang dipimpin langsung oleh tentara kolonial (KNIL). Tujuan utama dari ekspedisi ini adalah untuk menghancurkan basis perlawanan yang berasal dari Sumba Timur, terutama dari wilayah Kanatang dan sekitarnya. Operasi ini dilakukan dengan pengerahan pasukan bersenjata lengkap, disertai kapal perang kecil untuk mendukung logistik dan penekanan dari pesisir. Ekspedisi ini mengakibatkan banyak korban jiwa, baik dari pihak lokal maupun pasukan kolonial, dan menghancurkan sejumlah kampung adat. Namun, hasilnya tidak sesuai harapan. Masyarakat setempat tidak mudah ditundukkan, dan setelah pasukan mundur, bentuk-bentuk resistensi kembali muncul.

Kegagalan ekspedisi 1901 untuk menstabilkan wilayah menyebabkan Belanda melancarkan ekspedisi kedua pada tahun 1910, kali ini dengan pendekatan yang lebih sistematis dan berjangka panjang. Dalam ekspedisi ini, Belanda menggunakan taktik “pembersihan” wilayah-wilayah yang dianggap sebagai pusat perlawanan. Mereka membakar rumah adat, menyita ternak, dan memaksa masyarakat untuk pindah ke pemukiman baru yang berada di bawah pengawasan langsung pos kolonial. Pasukan juga menargetkan para pemimpin adat dan raja-raja lokal yang dianggap menghasut perlawanan, baik untuk ditangkap, diasingkan, atau dijatuhkan martabatnya di hadapan rakyat.

Perjanjian Damai Semu dan Penggantian Raja-Raja

Setelah eskalasi kekerasan, Belanda mulai memperkenalkan strategi kompromi politik, yaitu menawarkan perjanjian damai kepada para raja dan pemimpin adat. Namun, perjanjian-perjanjian ini bersifat semu dan sepihak, karena disusun dengan syarat-syarat yang sangat menguntungkan kolonial dan tidak melibatkan musyawarah adat sebagaimana tradisi masyarakat Sumba. Dalam beberapa kasus, raja yang menandatangani perjanjian tidak lagi memiliki legitimasi sosial karena dianggap telah berkompromi dengan penjajah.

Ketika raja atau pemimpin adat menolak tunduk atau menandatangani perjanjian damai, Belanda melakukan penggantian paksa. Mereka menunjuk penguasa baru yang bersedia bekerja sama dengan kontrolir kolonial, meskipun tanpa dukungan adat yang sah. Sistem ini melahirkan fenomena “raja kontrak”, yaitu pemimpin lokal yang secara legal diakui Belanda tetapi secara adat dianggap tidak sah oleh masyarakatnya. Dalam beberapa kasus, raja kontrak bahkan bukan berasal dari kabihu terkemuka atau garis keturunan yang sah secara spiritual. Hal ini menimbulkan ketegangan dalam komunitas, dan pada beberapa wilayah, masyarakat menolak patuh terhadap raja kontrak, bahkan mengabaikan sepenuhnya keberadaannya.

Tindakan Belanda dalam mengganti dan mengatur ulang struktur kekuasaan lokal juga berdampak pada fragmentasi sosial dan kultural. Di beberapa wilayah, kabihu-kabihu yang sebelumnya bersatu dalam ikatan adat menjadi terpecah karena perbedaan sikap terhadap kekuasaan kolonial. Upaya Belanda untuk “membina” wilayah Sumba melalui kombinasi militer dan rekayasa politik pada akhirnya menciptakan kerapuhan sosial yang berlangsung lama, bahkan hingga masa pascakemerdekaan.

Respons Belanda terhadap perlawanan di Sumba, dengan kombinasi kekerasan militer dan kooptasi politik, mencerminkan pendekatan kolonial klasik yang mengabaikan kearifan lokal dan meremehkan struktur sosial-spiritual masyarakat adat. Meskipun berhasil membungkam perlawanan dalam jangka pendek, pendekatan ini justru meninggalkan luka kolektif dan ketidakpercayaan mendalam terhadap struktur pemerintahan kolonial yang kemudian diwarisi oleh rezim-rezim pasca-penjajahan.

Perlawanan di Sumbawa

1. Konteks Kesultanan Sumbawa

Kesultanan Sumbawa merupakan salah satu kerajaan Islam yang telah menjalin hubungan dengan VOC sejak abad ke-17. Namun, hubungan itu sejak awal bersifat ambivalen—terkadang penuh kerja sama, namun sering pula diwarnai kecurigaan dan konflik terselubung. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ketika kontrol kolonial Hindia Belanda mulai menguat, kesultanan ini menghadapi tekanan yang makin besar, baik secara politik, administratif, maupun budaya. Tekanan tersebut memunculkan resistensi, tidak hanya dari rakyat biasa, tetapi juga dari kalangan bangsawan yang menolak dominasi kolonial atas urusan internal istana.

Salah satu titik genting dalam hubungan Kesultanan Sumbawa dengan pemerintah kolonial adalah intervensi langsung Belanda dalam urusan suksesi sultan. Ketika seorang sultan mangkat atau diberhentikan, Belanda sering kali memaksakan calon yang dianggap loyal terhadap kepentingan kolonial, tanpa mengindahkan proses adat dan musyawarah dalam Dewan Bangsawan (Rato) yang secara tradisional memiliki kewenangan dalam pemilihan sultan baru. Tindakan ini menimbulkan ketegangan di kalangan elite istana, karena mengesampingkan legitimasi adat dan memperlemah kewibawaan kesultanan di mata rakyat.

Salah satu contohnya adalah ketika terjadi pergantian takhta pada akhir abad ke-19, di mana pihak Belanda secara aktif mendukung figur yang cenderung kompromistis dan siap membuka wilayahnya untuk sistem kerja paksa dan pemungutan pajak kolonial. Sebaliknya, para bangsawan tradisional yang mempertahankan nilai adat, menolak kerja rodi, atau berusaha menjaga otonomi internal, dianggap sebagai penghalang modernisasi dan dicap sebagai tokoh anti-kolonial.

Situasi ini menyebabkan polarisasi internal dalam istana, di mana terbentuk dua kubu yang saling bersaing: pertama, elite tradisional yang ingin mempertahankan martabat adat dan struktur lama; dan kedua, elite pro-Belanda yang melihat kerja sama kolonial sebagai jalan menuju stabilitas dan kekuasaan politik pribadi. Konflik ini tidak hanya terjadi dalam lingkup istana, tetapi juga berdampak luas ke masyarakat, karena masing-masing elite membawa serta pengaruhnya terhadap para kepala kampung dan rakyat jelata.

Polarisasi ini menciptakan suasana ketidakstabilan politik yang mendorong ketegangan antara kesetiaan terhadap sultan dan kesetiaan terhadap identitas budaya sendiri. Banyak rakyat merasa bahwa istana telah kehilangan fungsinya sebagai pelindung rakyat dan malah menjadi alat kekuasaan kolonial. Hal ini menyuburkan rasa frustasi dan membangkitkan potensi perlawanan yang bersifat kultural, sosial, dan bahkan fisik.

Meskipun Kesultanan Sumbawa tidak mengalami perlawanan bersenjata dalam skala besar seperti beberapa wilayah lain, bentuk resistensi sosial dan politik tetap berlangsung, terutama dalam bentuk penolakan terhadap kebijakan-kebijakan yang berasal dari Belanda. Para pemimpin lokal yang setia pada nilai-nilai adat berusaha mempertahankan tradisi hukum Islam dan adat Sumbawa dari intervensi hukum kolonial, serta menolak penguasaan penuh atas sumber daya alam yang sebelumnya dikelola secara komunal oleh masyarakat.

Perlawanan di Sumbawa tidak selalu berwujud perang terbuka, tetapi hadir dalam bentuk perjuangan mempertahankan martabat dan legitimasi lokal di tengah tekanan struktur kolonial yang mengglobal. Konflik internal istana, intervensi Belanda dalam proses suksesi, dan ketegangan antara elite tradisional dan kolaborator kolonial menjadi medan pertempuran politik yang menentukan arah kesultanan di era transisi kolonialisme menuju nasionalisme.

2. Gerakan Sosial dan Adat

Di tengah meningkatnya dominasi kolonial di Kesultanan Sumbawa pada awal abad ke-20, muncul berbagai bentuk gerakan sosial dan resistensi adat yang merefleksikan perlawanan terhadap dua hal sekaligus: kolonialisme Belanda dan kolaborasi elite lokal yang dianggap telah mengkhianati kepentingan rakyat. Gerakan ini tidak terstruktur seperti pemberontakan besar di Jawa atau Sumatra, tetapi memiliki dinamika khas: akar yang kuat dalam adat, serta keterlibatan kolektif antara bangsawan tradisional dan rakyat pedesaan.

Perlawanan Para Bangsawan terhadap Kolaborator

Sebagian besar bangsawan Sumbawa yang masih memegang teguh nilai-nilai adat melihat bahwa kolaborasi antara sultan atau pejabat tinggi dengan Belanda merupakan bentuk pelecehan terhadap kedaulatan budaya dan penghinaan terhadap struktur sosial lokal. Mereka menyadari bahwa kekuasaan istana semakin dikendalikan oleh kontrolir kolonial yang menggunakan kekuasaan administratif untuk memaksakan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan hukum adat.

Perlawanan para bangsawan tidak selalu dalam bentuk senjata, tetapi hadir dalam bentuk penolakan administratif, sabotase terhadap pelaksanaan kebijakan kolonial, serta penggalangan dukungan dari komunitas kampung. Beberapa bangsawan yang kecewa dengan sultan yang dianggap terlalu lunak terhadap Belanda memilih menarik diri dari istana dan membentuk pusat kekuasaan informal di wilayah-wilayah pedalaman. Mereka menjadi pemuka resistensi kultural dan spiritual, sering kali dikaitkan dengan tokoh agama atau keturunan wali yang memiliki pengaruh moral tinggi.

Bahkan di dalam lingkup istana, perpecahan mulai terlihat ketika kelompok bangsawan adat secara terbuka menentang pejabat yang ditunjuk Belanda. Dalam beberapa catatan Belanda, terjadi ketegangan antara kelompok bangsawan yang berusaha mempertahankan hukum Islam dan adat istiadat dalam pengambilan keputusan, dengan kelompok birokrat baru yang berpihak kepada pemerintah kolonial dan mulai memperkenalkan sistem hukum kolonial, termasuk hukum pajak, kewajiban kerja, serta aturan persewaan tanah.

Mobilisasi Rakyat Pedesaan: Penolakan Pajak dan Kerja Paksa

Bersamaan dengan perpecahan elite, terjadi pula gerakan akar rumput di kalangan rakyat pedesaan yang merasa langsung terdampak oleh kebijakan kolonial. Salah satu beban terberat yang ditanggung rakyat adalah pajak beras dan kewajiban menyerahkan hasil bumi dalam jumlah tetap, bahkan ketika panen buruk atau bencana melanda. Pajak ini tidak hanya dianggap tidak adil, tetapi juga merusak sistem ekonomi lokal yang sebelumnya berjalan secara komunal dan saling berbagi melalui musyawarah adat.

Rakyat mulai melakukan perlawanan pasif dan aktif. Penolakan terhadap pemungutan pajak dilakukan dengan cara menyembunyikan hasil panen, memindahkan ladang ke wilayah terpencil, atau tidak menghadiri panggilan kerja paksa. Para petani juga menolak membayar sewa atas tanah yang selama ini mereka kelola secara turun-temurun, karena dalam pandangan mereka, tanah adalah warisan leluhur, bukan properti yang bisa diukur dan dikenakan tarif oleh pemerintah kolonial.

Sebagian rakyat yang merasa dirampas haknya mulai bergabung dengan tokoh-tokoh bangsawan atau guru agama yang menyuarakan perlawanan terhadap sistem kolonial. Mereka membentuk komunitas-komunitas lokal yang tetap menjalankan hukum adat secara diam-diam dan menolak mengikuti perintah pejabat kolonial maupun raja kontrak. Gerakan ini, meskipun tidak terorganisir secara militer, memiliki semangat resistensi kolektif yang sulit dipadamkan karena berakar dalam nilai-nilai lokal yang sangat kuat.

Dalam beberapa kasus, aparat kolonial mengalami kesulitan menjalankan kebijakan karena adanya boikot luas dari penduduk. Seorang kontrolir Belanda pernah melaporkan bahwa “seolah-olah tidak ada lagi sultan di sini, karena rakyat lebih patuh pada pemimpin desa mereka daripada kepada raja yang kami angkat.” Pernyataan ini menggambarkan betapa kepercayaan terhadap otoritas formal kolonial telah runtuh, dan rakyat lebih memilih jalan adat daripada tunduk kepada sistem yang mereka anggap asing dan menindas.


Gerakan sosial dan perlawanan adat di Sumbawa adalah cerminan dari penolakan struktural terhadap kolonialisme, yang tidak hanya menghancurkan ekonomi rakyat, tetapi juga menyentuh fondasi spiritual dan budaya masyarakat lokal. Perlawanan ini membuktikan bahwa meskipun wilayah-wilayah seperti Sumbawa tidak mengangkat senjata secara besar-besaran, semangat pembebasan dan keberanian untuk menolak penindasan tetap menyala dalam tindakan sehari-hari masyarakatnya.

3. Penindakan dan Pecah Belah

Setelah menyadari bahwa perlawanan di Kesultanan Sumbawa tidak hanya datang dari rakyat, tetapi juga dari kalangan bangsawan dan elite adat yang menolak dominasi kolonial, pemerintah Hindia Belanda segera merespons dengan strategi klasik mereka: penindakan represif dan politik pecah belah (divide et impera). Tujuan utama dari strategi ini bukan hanya untuk menghentikan perlawanan secara langsung, melainkan juga untuk menghancurkan kohesi sosial-politik yang menjadi fondasi dari kekuatan adat lokal.

Pemisahan Wilayah Kekuasaan Adat

Langkah pertama yang diambil oleh Belanda adalah dengan membagi wilayah kekuasaan adat yang sebelumnya terpusat dalam struktur kesultanan menjadi unit-unit kekuasaan yang lebih kecil dan lebih mudah dikendalikan. Pembagian ini dilakukan tanpa mempertimbangkan batas-batas budaya, sejarah, dan ikatan genealogis masyarakat setempat. Desa-desa atau komunitas adat yang sebelumnya berada dalam satu kesatuan wilayah adat, dipisahkan dan dimasukkan ke dalam distrik-distrik baru yang langsung berada di bawah pengawasan pejabat kolonial.

Pemisahan ini tidak hanya bersifat geografis, tetapi juga administratif. Raja-raja kecil atau kepala distrik baru ditunjuk langsung oleh pemerintah kolonial, dan diberi kewenangan atas wilayah yang sebelumnya tidak mereka miliki secara adat. Proses ini menimbulkan ketegangan horizontal antar komunitas, karena struktur kekuasaan tradisional diabaikan, sementara loyalitas pejabat baru ini lebih condong kepada kontrolir Belanda daripada kepada rakyat yang mereka pimpin. Dalam banyak kasus, pemimpin adat yang masih memiliki legitimasi sosial diasingkan atau dikucilkan secara politik.

Akibat pemisahan ini, hubungan sosial antarwilayah menjadi retak, dan kerja sama antarkampung yang sebelumnya diikat oleh hukum adat dan hubungan kekeluargaan melemah. Hal ini dengan cepat menurunkan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir perlawanan bersama, karena tidak ada lagi titik pusat kekuasaan yang dapat mempersatukan rakyat.

Pembentukan “Sumbawa Kecil” dan Penguatan Pangreh Praja Kolonial

Langkah selanjutnya yang dilakukan Belanda adalah membentuk satuan-satuan pemerintahan lokal yang lebih kecil dan lemah secara politik, yang disebut oleh sebagian sejarawan sebagai “Sumbawa kecil”. Istilah ini tidak merujuk pada wilayah geografis yang menyusut secara literal, melainkan pada situasi di mana kekuasaan Kesultanan Sumbawa dipreteli, dibatasi ruang geraknya, dan dikerdilkan dari segi kewenangan maupun legitimasi. Sultan dijadikan simbol belaka, sementara kekuasaan riil dijalankan oleh pangreh praja, yaitu aparat birokrasi kolonial yang bekerja atas nama pemerintah Hindia Belanda.

Pangreh praja ini terdiri dari asisten residen, kontrolir, demang, hingga mantri polisi, yang bertugas memastikan bahwa kebijakan-kebijakan kolonial berjalan tanpa hambatan. Mereka dilengkapi dengan jaringan intel, tentara kolonial (KNIL), dan sistem hukum kolonial yang diterapkan secara paksa. Dalam banyak kasus, mereka juga bekerja sama dengan elite lokal baru yang diangkat tanpa proses adat, menciptakan birokrasi kolonial bercorak lokal yang sepenuhnya loyal kepada Batavia, bukan kepada rakyat.

Penguatan struktur pangreh praja ini menjadi pukulan telak bagi otonomi lokal. Banyak raja dan bangsawan kehilangan akses terhadap wilayah kekuasaan mereka, bahkan tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan hukum, pendidikan, dan keuangan di wilayahnya sendiri. Konsep kedaulatan yang sebelumnya bersandar pada kesatuan antara sultan dan rakyat berubah menjadi sistem hierarkis di mana sultan berada di bawah kendali pejabat kolonial.

Selain itu, melalui sistem administrasi baru ini, Belanda juga menerapkan strategi kontrol ideologis dan kultural. Di beberapa wilayah, sekolah-sekolah dibuka untuk membentuk elite pribumi yang berpikiran kolonial, sementara hukum adat dihapuskan atau digantikan oleh hukum sipil kolonial. Proses ini secara perlahan-lahan mengikis fondasi budaya masyarakat Sumbawa dan menanamkan mentalitas ketundukan terhadap otoritas luar.


Melalui strategi pemisahan wilayah kekuasaan adat dan pembentukan pemerintahan kolonial yang ketat, Belanda berhasil melumpuhkan kekuatan kolektif Kesultanan Sumbawa, mengubahnya dari pusat kekuasaan adat yang merdeka menjadi alat administratif dalam struktur kolonial Hindia Belanda. Namun, keberhasilan ini bukan tanpa biaya: ia menorehkan luka sejarah dalam memori kolektif rakyat, dan meninggalkan warisan disintegrasi sosial yang dampaknya masih terasa bahkan di masa setelah kemerdekaan.

Perlawanan di Flores

1. Keunikan Flores: Agama dan Kolonialisme

Pulau Flores memiliki lanskap perlawanan yang sangat khas dibandingkan dengan Sumba dan Sumbawa. Jika di dua wilayah sebelumnya dominasi kolonial tampil terutama dalam bentuk militer dan administratif, maka di Flores kekuasaan kolonial datang beriringan dengan misi agama Katolik, khususnya melalui kehadiran Societas Verbi Divini (SVD)—sebuah tarekat misionaris asal Jerman dan Austria yang mulai aktif di Flores sejak akhir abad ke-19. Dalam konteks ini, agama dan kolonialisme bukan dua entitas yang terpisah, melainkan saling bertaut dan dalam banyak kasus justru menjadi alat dominasi kultural dan sosial yang paling kuat.

Flores, yang sebelumnya memiliki sistem kepercayaan adat yang kuat—dengan pemujaan terhadap roh leluhur (nitu), ritus pertanian, dan struktur sosial berbasis suku dan klan—mengalami transformasi mendalam sejak kehadiran para misionaris. Misi Katolik hadir dengan dukungan penuh dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang melihat agama sebagai sarana “peradaban” dan “penjinakan” masyarakat pedalaman. SVD tidak hanya membangun gereja, tetapi juga sekolah, rumah sakit, dan sistem administrasi lokal, yang secara perlahan menggantikan otoritas adat yang telah berakar selama berabad-abad.

Dominasi Katolik di Flores bukan hanya berdampak pada tataran spiritual, tetapi juga memengaruhi relasi kekuasaan antara rakyat, pemimpin adat, dan pemerintah kolonial. Para pastor SVD sering kali bertindak sebagai penghubung langsung antara masyarakat dan pemerintah kolonial, dan dalam banyak kasus, mereka memiliki pengaruh lebih besar daripada pejabat kolonial sendiri. Dalam laporan-laporan Belanda, para pastor dianggap “jembatan efektif” dalam menyampaikan kebijakan pemerintah, sekaligus sebagai pengendali opini dan perilaku masyarakat.

Namun posisi gereja sebagai jembatan juga bersifat ambivalen. Di satu sisi, para misionaris berhasil membuka akses pendidikan dan kesehatan di wilayah-wilayah terpencil yang sebelumnya tidak tersentuh pemerintah. Banyak masyarakat lokal yang merasa bahwa sekolah Katolik adalah jalan menuju kemajuan, dan tidak sedikit yang meraih pendidikan hingga ke jenjang tinggi berkat jaringan misi SVD. Tetapi di sisi lain, proses ini sering kali dibarengi dengan penghapusan paksa terhadap ritus-ritus adat, penghancuran rumah ibadah lokal, dan pelecehan terhadap pemimpin adat yang menolak berpindah agama.

Dalam banyak kasus, agama dijadikan alat kolonial untuk menghapus perlawanan budaya. Ritus pengorbanan binatang, pemakaman tradisional, sistem hukum adat, dan tabu-tabu leluhur dianggap sebagai “takhayul” dan “penghambat kemajuan”. Para pemimpin adat yang menolak dibaptis sering dicap sebagai biang kerusuhan, dan masyarakat yang mempertahankan kepercayaan leluhur diperlakukan sebagai warga kelas dua. Hal ini menciptakan konflik laten antara kelompok Katolik baru dengan penganut adat yang masih mempertahankan sistem lama.

Peran gereja pun tidak netral. Dalam sejumlah wilayah seperti Manggarai, Ende, dan Lio, para pastor aktif menyarankan pembentukan kepala kampung baru, mendukung pemekaran wilayah yang lebih mudah diawasi, serta menyusun sistem pelaporan moral warga kepada pastor paroki. Secara tidak langsung, hal ini menciptakan struktur kekuasaan paralel, di mana otoritas adat tersingkir dan digantikan oleh kepala-kepala kampung Kristen yang lebih tunduk kepada aturan gereja dan pemerintah kolonial.

Namun demikian, tidak semua upaya ini berjalan mulus. Di banyak tempat, masyarakat lokal melakukan resistensi kultural—baik secara halus maupun terbuka. Mereka menyembunyikan ritus adat dan melaksanakannya secara diam-diam di hutan atau gua. Beberapa pemimpin adat melakukan sinkretisme, yaitu mencampur simbol Katolik dengan kepercayaan lokal untuk menghindari konflik langsung. Dalam beberapa kasus, terjadi pula penolakan terhadap misi Katolik, baik oleh pemimpin lokal maupun komunitas tertentu yang menolak digusur secara budaya.


Flores menjadi contoh nyata bagaimana kolonialisme tidak selalu hadir dalam bentuk senjata dan pasukan, melainkan juga dalam kuasa simbol dan keyakinan. Dominasi SVD di Flores memperlihatkan wajah kolonialisme yang bekerja melalui lembaga agama, pendidikan, dan moralitas, yang sering kali lebih efektif dalam mengendalikan masyarakat ketimbang kekuatan militer. Perlawanan di Flores karenanya bersifat lebih subtil—tidak selalu mengangkat senjata, tetapi mempertahankan makna dan identitas melalui bahasa, ritus, dan simbol budaya.

2. Wilayah dan Suku-Suku yang Terlibat

Pulau Flores merupakan salah satu wilayah dengan keragaman etnolinguistik paling tinggi di seluruh kepulauan Indonesia. Setiap wilayah di pulau ini dihuni oleh suku-suku yang memiliki bahasa, adat, dan struktur sosial-politik yang khas. Wilayah-wilayah seperti Manggarai, Ngada, Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka menjadi pusat dinamika sosial yang kompleks sepanjang masa kolonial. Dalam konteks perlawanan terhadap kolonialisme, setiap wilayah menunjukkan bentuk resistensinya sendiri, yang dipengaruhi oleh kondisi lokal dan interaksi mereka dengan pemerintah kolonial maupun misi Katolik.

Manggarai

Di wilayah barat Flores, suku Manggarai dikenal memiliki struktur sosial yang kuat, berbasis pada sistem mbaru (rumah adat) dan beo (kampung adat), yang terhubung dalam klan-klan patrilineal. Pemimpin adat disebut tu’a golo, dan keputusan-keputusan penting diambil melalui musyawarah. Ketika pemerintah kolonial dan misi Katolik masuk ke wilayah ini, mereka mengintervensi sistem kepemimpinan tradisional, dan mendirikan kampung-kampung baru yang dipimpin oleh kepala desa Kristen yang diangkat secara sepihak. Banyak masyarakat Manggarai yang menolak berpindah ke desa baru, dan melakukan perlawanan simbolik dengan mempertahankan ritus adat secara diam-diam, bahkan menolak datang ke gereja atau sekolah misi.

Ngada dan Bajawa

Wilayah Ngada, khususnya Bajawa, merupakan salah satu pusat aktivitas misi Katolik sejak awal abad ke-20. Namun, wilayah ini juga menyimpan salah satu bentuk resistensi adat yang paling kuat di Flores. Komunitas-komunitas adat di Ngada tetap mempertahankan ritus pemujaan leluhur (nitu) dan sistem rumah adat (sa’o) sebagai inti dari kehidupan sosial mereka. Ketika gereja melarang pengorbanan kerbau dalam upacara kematian dan merendahkan praktik-praktik adat sebagai penyembahan berhala, masyarakat melakukan sinkretisme—memadukan elemen Katolik dan adat agar ritus tetap dapat dijalankan. Di beberapa tempat, ketegangan ini memicu pengucilan pemuka adat, dan bahkan penahanan oleh aparat kolonial.

Ende dan Lio

Wilayah Ende dan Lio di bagian tengah Flores dikenal sebagai tanah kelahiran tokoh-tokoh penting pergerakan nasional seperti Sukarno, yang diasingkan ke sini pada 1934. Namun jauh sebelum itu, daerah ini telah menjadi medan pertempuran antara tradisi dan dominasi kolonial. Suku Lio memiliki sistem hukum adat (mosa laki) yang sangat kuat, dengan kepemimpinan yang tidak mudah diintervensi. Ketika Belanda dan misionaris mulai membentuk struktur kepala kampung dan sistem sekolah misi, banyak tokoh adat yang melawan dengan tidak menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah, dan menolak perintah wajib kerja yang dikeluarkan oleh kepala kampung hasil penunjukan kolonial. Penolakan ini sering berujung pada penangkapan, pengasingan, atau tekanan ekonomi terhadap komunitas yang dianggap “bandel”.

Sikka dan Larantuka

Di sisi timur Flores, wilayah Sikka dan Larantuka menunjukkan dinamika yang agak berbeda. Wilayah ini telah lebih dahulu terpapar agama Katolik sejak abad ke-16 melalui misi Portugis, dan memiliki komunitas Katolik yang sudah mapan sebelum masuknya misi SVD. Namun, justru karena kedekatannya dengan sistem kolonial dan gereja, muncul resistensi terhadap penghapusan otoritas raja tradisional Sikka dan penggabungan struktur adat ke dalam sistem pemerintahan kolonial. Raja Sikka dan bangsawan lokal sering kali berada dalam dilema antara mempertahankan sistem adat dan menjaga relasi baik dengan gereja Katolik yang mendominasi struktur sosial-politik.

Di Larantuka, yang pernah menjadi pusat Katolik timur Indonesia, konflik tidak hanya terjadi antara adat dan gereja, tetapi juga antara komunitas Kristen lama (warisan Portugis) dan umat baru hasil konversi SVD. Konflik ini, ditambah dengan intervensi kolonial dalam pemilihan kepala daerah, sering kali memicu perpecahan internal yang dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memperlemah resistensi kolektif.

Konflik Antar Suku dan Politik Pecah Belah

Salah satu dampak terbesar dari intervensi kolonial dan gereja adalah terjadinya konflik antar suku dan antar kampung, yang sebelumnya hidup berdampingan dalam sistem kekerabatan dan hukum adat. Belanda secara sadar menerapkan politik divide et impera dengan cara mengangkat pemimpin baru dari kelompok minoritas atau pesaing internal, serta memecah wilayah kekuasaan adat ke dalam distrik-distrik baru yang tak mencerminkan batas budaya.

Di beberapa tempat, suku-suku yang telah menerima Katolik dan bekerja sama dengan kolonial diberi akses lebih besar terhadap sumber daya, pendidikan, dan jabatan, sementara suku-suku yang mempertahankan adat dipinggirkan dan distigmatisasi sebagai “liar” atau “mundur”. Hal ini melahirkan ketegangan sosial yang memicu perkelahian, persaingan, dan pembalasan antarkelompok, yang berlangsung jauh melampaui masa kolonial.


Dengan demikian, wilayah-wilayah dan suku-suku di Flores bukan hanya terlibat dalam perlawanan terhadap kolonialisme secara langsung, tetapi juga terperangkap dalam konflik internal yang dipicu dan dimanipulasi oleh struktur kekuasaan kolonial dan gereja. Perlawanan mereka bersifat majemuk—ada yang melawan melalui upacara, ada yang melalui diam-diam menolak sekolah kolonial, dan ada pula yang mempertahankan sistem nilai dan kepemimpinan lokal secara terang-terangan.

3. Puncak Ketegangan dan Represi

Seiring dengan menguatnya pengaruh misi Katolik dan semakin intensifnya intervensi administrasi kolonial di Flores sepanjang paruh pertama abad ke-20, ketegangan antara masyarakat adat dan kekuasaan kolonial mencapai titik kulminasi pada dekade 1920-an. Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sebelumnya mengandalkan pendekatan lunak melalui misi dan pengangkatan elite lokal, mulai menunjukkan wajah represifnya secara terbuka, terutama di wilayah Flores Tengah—meliputi Ngada, Ende, Lio, dan sebagian Manggarai—yang dikenal paling keras mempertahankan adat.

Ekspedisi Militer Belanda ke Flores Tengah (1920-an)

Ketegangan yang terjadi sejak akhir abad ke-19 meletup menjadi aksi penolakan terang-terangan pada awal 1920-an. Puncaknya, pemerintah kolonial menganggap situasi di Flores Tengah sudah berada di luar kendali dan mengancam stabilitas politik. Sebagai respons, Belanda melancarkan serangkaian ekspedisi militer yang bertujuan menundukkan masyarakat adat yang dianggap “liar”, “tidak patuh”, dan “penghambat peradaban”.

Ekspedisi militer ke Flores tidak sebesar dan sebrutal operasi di Aceh atau Bali, tetapi memiliki karakter strategis dan sistematis. Tentara kolonial (KNIL) diterjunkan ke wilayah pegunungan dengan dukungan logistik dari kapal-kapal di pesisir selatan. Fokus utama operasi ini adalah kampung-kampung adat yang menolak pembentukan desa administratif, tidak mengirim anak ke sekolah kolonial, serta menolak masuk Katolik. Operasi militer ini juga menargetkan tokoh-tokoh adat yang dianggap penghasut, serta melakukan penghancuran rumah adat, penyitaan tanah, dan pengusiran paksa dari kampung tradisional ke desa baru yang berada di bawah pengawasan pemerintah dan misi.

Menurut laporan kolonial, operasi militer ini “berhasil” meredakan ketegangan, tetapi di lapangan, ia meninggalkan trauma sosial dan kerusakan tatanan budaya yang mendalam. Banyak kampung adat yang hilang dari peta karena dibakar atau dipindahkan. Rumah-rumah ritus (sa’o pu’u), pusat kehidupan spiritual masyarakat adat, dihancurkan. Selain itu, ekspedisi ini memperkuat posisi Belanda dan gereja sebagai pengendali penuh kehidupan sosial di wilayah Flores Tengah.

Penangkapan Tokoh Adat dan Pembentukan Sistem Pemerintahan Raja-Raja Kecil

Salah satu taktik yang digunakan Belanda pasca-ekspedisi adalah penangkapan dan pengasingan tokoh-tokoh adat yang selama ini menjadi pusat perlawanan. Pemuka adat yang dianggap membangkang ditangkap dan dikirim ke luar Flores—beberapa ke Sulawesi, beberapa ke Timor, dan sebagian besar dipenjarakan tanpa proses hukum yang adil. Di antara mereka terdapat tu’a golo (pemimpin kampung), mosa laki (penjaga ritus), dan bahkan guru adat yang menjadi panutan rakyat. Tanpa figur-figur ini, komunitas lokal kehilangan struktur kepemimpinan yang sah secara budaya.

Setelah menghancurkan otoritas tradisional, Belanda mengganti sistem pemerintahan lokal dengan model raja-raja kecil, yang dibentuk berdasarkan kontrak administratif. Para “raja baru” ini—yang sering kali tidak memiliki legitimasi adat—diangkat melalui rekomendasi kontrolir kolonial atau pastor misi, dan diberi kekuasaan administratif untuk mengatur pajak, kerja paksa, serta pengawasan terhadap pelaksanaan hukum kolonial. Sistem ini menciptakan hierarki buatan, di mana raja tidak lagi menjadi pemimpin spiritual, melainkan perpanjangan tangan negara penjajah.

Struktur pemerintahan baru ini dibagi ke dalam distrik-distrik kecil, yang disebut swapraja atau onderafdeling. Di masing-masing distrik, raja-raja kecil ini diberi fasilitas, pendidikan kolonial dasar, dan perlindungan dari KNIL. Mereka ditugaskan untuk menjaga ketertiban dan memastikan rakyat tunduk pada kebijakan negara, termasuk pengumpulan pajak, pengiriman anak ke sekolah kolonial, dan penegakan hukum sipil Eropa. Dalam praktiknya, banyak raja kontrak ini justru ditolak oleh rakyatnya sendiri, karena dianggap pengkhianat terhadap adat dan leluhur.

Selain itu, pembentukan pemerintahan raja-raja kecil juga memperkuat fragmentasi internal, karena wilayah-wilayah adat yang sebelumnya bersatu kini dipecah ke dalam unit-unit administratif baru yang tidak mempertimbangkan batas budaya atau sejarah. Politik ini secara efektif mematikan kemungkinan terbentuknya solidaritas kolektif antarsuku dalam menghadapi kolonialisme.


Dengan demikian, ekspedisi militer dan pembentukan sistem pemerintahan baru bukan hanya menumpas perlawanan secara fisik, tetapi juga menghancurkan pondasi kultural, spiritual, dan sosial masyarakat adat Flores. Kekuasaan kolonial tidak hanya hadir dalam bentuk senjata, tetapi juga dalam bentuk rekayasa sosial dan penggantian struktur kepemimpinan, yang dirancang untuk memutus ingatan kolektif rakyat akan otonomi dan nilai-nilai leluhur mereka.

Strategi Kolonial: Divide et Impera

1. Pemisahan Kekuasaan Tradisional

Salah satu strategi paling efektif dan sekaligus paling merusak yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di wilayah-wilayah seperti Sumba, Sumbawa, dan Flores adalah kebijakan divide et impera—politik pecah belah yang dirancang untuk menghancurkan kekuatan kolektif masyarakat adat dan menggantikannya dengan struktur kekuasaan buatan yang lebih mudah dikendalikan. Inti dari strategi ini terletak pada pemisahan kekuasaan tradisional yang sebelumnya bersifat komunal, otonom, dan menyatu dengan sistem nilai lokal.

Di banyak wilayah, kerajaan atau komunitas adat yang besar—yang memiliki satu figur pemimpin spiritual sekaligus politik—secara bertahap dibelah menjadi unit-unit kekuasaan kecil. Raja-raja utama yang dulu memiliki otoritas menyeluruh atas wilayah adatnya, kini harus berbagi atau bahkan menyerahkan kekuasaan kepada “raja-raja bawahan”, yang ditunjuk oleh otoritas kolonial. Penunjukan ini tidak berdasarkan garis keturunan, adat, atau musyawarah, tetapi murni karena kesediaan untuk bekerja sama dengan Belanda.

Contohnya, di Sumba, seorang raja besar yang sebelumnya memimpin beberapa kabihu atau klan, tiba-tiba harus menerima pembentukan kerajaan-kerajaan kecil (swapraja) di bawahnya, dengan masing-masing dipimpin oleh kepala distrik atau raja kontrak yang bertanggung jawab langsung kepada kontrolir Belanda. Sementara itu, otoritas sang raja besar dikerdilkan menjadi simbol semata—dipertahankan hanya sejauh ia berguna untuk menjaga ketenangan administratif.

Di Sumbawa dan Bima, kesultanan yang sebelumnya terstruktur dan terpusat juga dibelah kekuasaannya secara administratif. Sebagian wilayah kekuasaan adat diubah menjadi distrik-distrik sipil, yang dikepalai oleh pejabat kolonial atau elite lokal binaan Belanda. Sultan atau raja kehilangan otonomi dalam menentukan kebijakan, dan harus meminta izin pada residen atau asisten residen untuk keputusan-keputusan yang menyangkut wilayahnya sendiri.

Sementara di Flores, fragmentasi kekuasaan dilakukan dengan cara mengubah struktur sosial adat menjadi struktur administratif kolonial. Komunitas yang sebelumnya dipimpin oleh tu’a golo (kepala kampung adat) dan mosa laki (penjaga hukum ritus), kini digantikan oleh kepala desa yang diangkat melalui persetujuan pemerintah dan sering kali berada di bawah pengaruh gereja. Kekuasaan tidak lagi berasal dari musyawarah adat atau legitimasi leluhur, melainkan dari kontrak dan surat pengangkatan.

Tujuan utama dari fragmentasi ini adalah melemahkan ikatan solidaritas antarkelompok, serta menciptakan ketergantungan pada pemerintah kolonial sebagai satu-satunya pemegang otoritas sah. Dengan semakin banyaknya figur-figur lokal yang diberi kuasa secara sepihak oleh Belanda, tercipta persaingan internal antara para elite lokal: siapa yang paling patuh akan mendapat lebih banyak kekuasaan dan fasilitas. Situasi ini mendorong munculnya pengkhianatan, pengaduan, dan pertikaian politik lokal, yang sengaja dibiarkan bahkan dipelihara oleh Belanda agar masyarakat tidak pernah bersatu dalam satu suara perlawanan.

Sebagaimana ditulis dalam laporan kolonial, “lebih mudah mengendalikan sepuluh pemimpin kecil yang saling curiga satu sama lain, daripada menghadapi satu raja besar yang didukung sepenuhnya oleh rakyatnya.” Pernyataan ini mencerminkan inti dari strategi divide et impera, yakni memastikan bahwa setiap potensi kekuatan lokal akan dilumpuhkan dari dalam melalui konflik yang direkayasa.


Dengan demikian, pemisahan kekuasaan tradisional bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan alat kolonial untuk menghancurkan sistem nilai, tatanan sosial, dan solidaritas politik masyarakat lokal. Dalam jangka pendek, strategi ini memang berhasil menstabilkan kekuasaan kolonial. Namun dalam jangka panjang, ia meninggalkan warisan disintegrasi dan konflik lokal yang terus membayangi hingga masa pasca-kolonial.

2. Aliansi dengan Tokoh Lokal Pro-Kolonial

Dalam kerangka strategi divide et impera, selain memecah kekuasaan tradisional, pemerintah kolonial Belanda juga secara aktif membentuk aliansi dengan tokoh-tokoh lokal yang bersedia bekerja sama, atau bahkan menjadi bagian dari struktur kekuasaan kolonial. Aliansi ini tidak dibangun atas dasar kesetaraan atau pengakuan terhadap nilai-nilai lokal, melainkan sebagai alat kooptasi—untuk meredam perlawanan, mengawasi rakyat, dan melanggengkan dominasi kolonial dari dalam komunitas adat sendiri.

Pengangkatan Elite Pribumi sebagai Asisten Kontrolir atau Pejabat Sipil

Salah satu praktik paling umum dalam politik kolonial adalah pengangkatan elite pribumi sebagai bagian dari aparat kolonial, terutama sebagai asisten kontrolir, kepala distrik, demang, atau wedana. Orang-orang ini, meskipun secara budaya berasal dari komunitas lokal, diberi wewenang administratif yang tidak berdasarkan adat, tetapi berdasarkan penunjukan langsung dari otoritas Belanda.

Di Sumba, Sumbawa, dan Flores, banyak dari tokoh-tokoh ini berasal dari keluarga bangsawan kelas dua atau pemuka agama yang telah berpendidikan di sekolah misi atau sekolah pemerintah. Mereka dipilih bukan karena didukung rakyat, melainkan karena kesediaan mereka menjalankan perintah tanpa mempertanyakan kebijakan kolonial, termasuk pengumpulan pajak, pelaksanaan kerja paksa, dan penertiban adat lokal.

Para asisten kontrolir ini sering kali berdiri di antara dua dunia—secara lahiriah mereka masih mengenakan pakaian adat, namun dalam praktik kekuasaan mereka menggunakan logika dan struktur hukum kolonial. Dalam banyak kasus, mereka bahkan lebih represif daripada pejabat Belanda sendiri, karena ingin membuktikan loyalitas mereka dan menjaga kedudukan yang diberikan.

Sistem “Raja Kontrak” dan Pemberian Insentif Khusus

Salah satu mekanisme formalisasi aliansi ini adalah penerapan sistem “raja kontrak”. Di bawah sistem ini, pemerintah kolonial mengangkat seorang pemimpin lokal (biasanya dari kalangan bangsawan atau tokoh agama) untuk menjabat sebagai “raja” di wilayah tertentu, berdasarkan perjanjian tertulis (kontrak). Dalam kontrak itu tercantum kewajiban raja untuk mematuhi semua kebijakan pemerintah kolonial, serta menjalankan fungsi administratif seperti pemungutan pajak, pengelolaan tenaga kerja, dan pelaksanaan hukum sipil.

Sebagai imbalan, raja kontrak diberikan insentif khusus, antara lain:

  • Gaji tetap dari pemerintah Hindia Belanda
  • Hak istimewa atas kepemilikan tanah atau komoditas lokal
  • Akses ke pendidikan kolonial untuk anak-anak mereka
  • Perlindungan dari pasukan KNIL dan pengaruh gereja

Namun posisi ini sangat rentan. Jika seorang raja kontrak dianggap tidak lagi efektif atau terlalu dekat dengan adat yang “membahayakan stabilitas”, maka ia bisa sewaktu-waktu dicopot dan diganti. Oleh karena itu, raja-raja kontrak cenderung menjalankan kekuasaan dengan hati-hati dan cenderung represif, karena posisi mereka tidak ditentukan oleh rakyat, tetapi oleh pemerintah kolonial.

Dalam banyak masyarakat lokal, raja kontrak tidak memiliki legitimasi kultural, karena mereka bukan dipilih berdasarkan keturunan, kepercayaan rakyat, atau ritus adat. Bahkan di beberapa daerah, rakyat menolak menghadiri upacara yang dipimpin oleh raja kontrak, dan tetap melaksanakan ritus adat secara paralel atau sembunyi-sembunyi, dipimpin oleh pemuka adat yang sah secara tradisional. Dalam banyak kisah lisan di Flores dan Sumba, raja kontrak digambarkan sebagai “raja kertas” atau “raja Belanda”, bukan pelindung sejati masyarakat.


Dengan membentuk aliansi semu bersama elite lokal yang telah “dikolonialisasi”, pemerintah Hindia Belanda mampu menciptakan ilusi stabilitas, padahal yang terjadi adalah pengosongan makna kekuasaan tradisional dan penggantiannya dengan aparatus kekuasaan yang tidak berakar. Sistem ini tidak hanya memperlemah perlawanan, tetapi juga menciptakan struktur ketidakadilan baru di mana sebagian kecil elite menikmati hak istimewa, sementara mayoritas rakyat mengalami tekanan yang lebih berat dari dua sisi: penjajah asing dan pemimpin lokal kolaborator.

3. Militerisasi dan Propaganda

Selain strategi pemecahan kekuasaan dan kooptasi elite lokal, pemerintah kolonial Hindia Belanda juga menerapkan dua pilar kekuasaan tambahan yang saling melengkapi: militerisasi dan propaganda ideologis. Keduanya digunakan secara sistematis untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang menolak tunduk, serta untuk membentuk pola pikir baru yang loyal terhadap kekuasaan kolonial, terutama di kalangan generasi muda.

Penggunaan Tentara Kolonial Pribumi untuk Menundukkan Wilayah Saudara

Salah satu praktik kolonial yang paling menyakitkan secara moral dan sosial adalah penggunaan tentara kolonial pribumi—yakni anggota KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) yang direkrut dari wilayah Nusantara sendiri—untuk menyerang, mengintimidasi, atau menindas komunitas-komunitas lokal yang dianggap “membangkang”.

Di Sumba, Sumbawa, dan Flores, pemerintah kolonial kerap menggunakan pasukan pribumi dari luar daerah (misalnya dari Ambon, Jawa, atau Sulawesi) yang telah terintegrasi dalam struktur militer kolonial untuk menaklukkan wilayah yang masih menunjukkan resistensi. Namun dalam beberapa kasus, pemuda lokal juga direkrut dan dijadikan tentara bayaran, baik secara sukarela maupun paksa. Mereka dilatih, dipersenjatai, dan ditugaskan untuk menjaga keamanan distrik, menyerang kampung adat, atau mengawal proyek kerja paksa.

Tragisnya, ini menciptakan konflik horizontal di dalam komunitas, di mana seorang pemuda dari kampung tertentu bisa saja menjadi alat kolonial yang menindas kampung tetangganya—atau bahkan keluarganya sendiri. Dalam banyak kisah lisan di Flores dan Sumba, bekas anggota pasukan kolonial dianggap “telah kehilangan roh adat” atau “menjual darah leluhur”. Fenomena ini menyebabkan fragmentasi sosial yang mendalam, serta trauma kolektif yang diwariskan lintas generasi.

Militerisasi bukan hanya soal senjata. Dalam praktik sehari-hari, militer digunakan untuk menjaga ketakutan kolektif, agar rakyat tidak berani membangkang terhadap pajak, kerja paksa, atau larangan adat. Dalam banyak kasus, pos-pos militer ditempatkan di dekat rumah adat, pusat ritus, atau tempat keramat sebagai bentuk simbolis dari dominasi kolonial atas kepercayaan lokal.

Penggunaan Sekolah dan Gereja untuk Menyebarkan Nilai Loyalis Kolonial

Jika militer digunakan untuk menundukkan fisik rakyat, maka sekolah dan gereja digunakan untuk menaklukkan kesadaran. Sejak awal abad ke-20, Belanda secara intensif membangun jaringan sekolah rakyat (Hollands Inlandsche School, Sekolah Ongko Dua, dan Ongko Satu) di wilayah-wilayah timur Indonesia. Di Flores khususnya, proses ini berjalan paralel dengan pendidikan Katolik yang diselenggarakan oleh misi Societas Verbi Divini (SVD).

Kurikulum sekolah kolonial dirancang untuk membentuk generasi muda yang patuh, terampil, tetapi tidak kritis terhadap kekuasaan kolonial. Mereka diajarkan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai seperti ketertiban, hierarki, dan pengagungan terhadap pemerintahan Belanda. Para guru—baik dari kalangan Belanda maupun pribumi loyalis—berfungsi sebagai agen penyebar ideologi kolonial, menekankan pentingnya disiplin, kerja keras, dan loyalitas kepada negara.

Di sisi lain, gereja memainkan peran yang sama kuatnya, khususnya di Flores dan sebagian Sumba. Para pastor tidak hanya menjadi pemimpin rohani, tetapi juga penentu moralitas dan hukum sosial. Ajaran Katolik disampaikan bersamaan dengan doktrin tentang pentingnya tunduk kepada otoritas sipil dan meninggalkan kepercayaan leluhur yang dianggap sesat. Upacara adat, tarian tradisional, dan ritus pemakaman dilarang atau dimodifikasi agar sesuai dengan nilai-nilai gereja dan pemerintahan.

Kombinasi antara sekolah dan gereja menciptakan sistem kontrol kultural yang sangat efektif. Generasi muda yang terdidik secara kolonial sering kali dipisahkan secara psikologis dan ideologis dari komunitas adat mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, mereka menjadi penghubung antara aparat kolonial dan komunitas adat, dan akhirnya berkembang menjadi birokrat atau raja kontrak. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang mulai menginternalisasi superioritas budaya Barat, dan memandang adat sendiri sebagai sesuatu yang memalukan atau “primitif”.


Dengan militerisasi dan propaganda ideologis ini, kolonialisme tidak hanya menguasai tanah dan tenaga, tetapi juga mengendalikan cara berpikir dan berperasaan masyarakat lokal. Jika kekerasan fisik memutus perlawanan, maka kekerasan simbolik melalui pendidikan dan agama memutus memori—mengasingkan masyarakat dari sejarah dan jati dirinya sendiri.

Dampak Jangka Pendek dan Panjang

1. Kekalahan Fisik, Tapi Bukan Total

Perlawanan raja-raja dan masyarakat adat di Sumba, Sumbawa, dan Flores terhadap kolonialisme Belanda pada dasarnya memang mengalami kekalahan secara militer dan administratif. Namun kekalahan ini tidak serta-merta berarti penaklukan total, karena dalam banyak aspek—budaya, spiritualitas, dan kesadaran kolektif—semangat perlawanan tetap hidup dan menjadi fondasi penting dalam pembentukan identitas lokal yang bertahan hingga pascakemerdekaan.

Konsolidasi Kekuasaan Kolonial

Secara jangka pendek, salah satu dampak utama dari represi kolonial adalah konsolidasi kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Nusa Tenggara. Setelah serangkaian ekspedisi militer dan penggulingan tokoh-tokoh adat, Belanda berhasil membentuk struktur kekuasaan yang stabil menurut logika kolonial. Pos-pos administrasi diperkuat, sistem pemerintahan sipil dan militer diperluas, serta aparat lokal (raja kontrak, demang, kepala distrik) ditanamkan di hampir semua wilayah strategis.

Di mata Belanda, wilayah-wilayah yang sebelumnya “liar” kini telah berhasil “dijinakkan”. Namun proses ini bukan sekadar administratif—ia juga bersifat simbolik. Penempatan bendera kolonial di pusat kampung, kehadiran gereja di dekat rumah adat, dan berdirinya sekolah-sekolah gaya Barat menjadi lambang bahwa kekuasaan kolonial tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga telah merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Berakhirnya Sistem Kerajaan Independen

Dampak struktural yang paling nyata dari perlawanan yang dipadamkan adalah berakhirnya sistem kerajaan tradisional yang independen. Raja-raja dan pemimpin adat yang sebelumnya memiliki kekuasaan penuh atas wilayah dan rakyatnya, kini hanya berfungsi sebagai pelaksana kebijakan pemerintah kolonial. Mereka tidak lagi memiliki kewenangan untuk menjalankan hukum adat secara mandiri, tidak memiliki pasukan sendiri, dan bahkan tidak bebas menentukan urusan spiritual atau ritus kampung.

Sistem kerajaan yang bersifat otonom digantikan oleh struktur administrasi kolonial, dengan pembagian wilayah ke dalam onderafdeling, distrik, dan desa, sesuai dengan kebutuhan kontrol dan efisiensi pemerintahan Hindia Belanda. Dalam sistem ini, raja bukan lagi penjaga moral masyarakat, tetapi pejabat administrasi negara, yang harus melapor kepada kontrolir atau residen, dan bertindak sesuai garis komando dari Batavia.

Konsekuensinya, legitimasi raja di mata rakyat pun melemah. Banyak masyarakat adat yang mulai mengabaikan otoritas simbolik raja, dan justru kembali mengandalkan pemimpin adat informal—seperti kepala kampung, mosa laki, atau guru adat—yang masih memegang teguh nilai-nilai leluhur meskipun tanpa pengakuan resmi dari pemerintah.


Walaupun secara fisik dan struktural kekuasaan kolonial berhasil menundukkan banyak wilayah di Nusa Tenggara, kekalahan ini tidak bersifat total. Ingatan akan perlawanan, penderitaan di bawah kerja paksa, pemaksaan agama dan pendidikan, serta pengkhianatan para raja kontrak, tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat. Ingatan ini menjadi modal kultural yang sangat penting ketika gelombang nasionalisme mulai menyebar di Indonesia pada awal abad ke-20—dan dalam banyak kasus, semangat perlawanan lokal di masa kolonial menjadi fondasi nasionalisme akar rumput yang sejati.

2. Transformasi Sosial

Selain dampak politik dan administratif, perlawanan terhadap kolonialisme dan strategi penaklukan Belanda di Nusa Tenggara juga menghasilkan transformasi sosial yang signifikan, khususnya dalam struktur masyarakat, sistem nilai, dan dinamika kekuasaan lokal. Proses ini berlangsung bertahap, namun terus-menerus, menciptakan pergeseran besar dalam relasi antarkelompok, peran otoritas adat, serta cara pandang masyarakat terhadap pendidikan, agama, dan kekuasaan.

Munculnya Elite Baru Terdidik (Hasil Pendidikan Zending/Misi)

Salah satu konsekuensi dari dominasi kolonial dan misi keagamaan di wilayah Sumba, Sumbawa, dan terutama Flores adalah munculnya kelompok elite baru: generasi muda yang memperoleh pendidikan formal dari sekolah-sekolah pemerintah dan misi Katolik (zending). Sekolah-sekolah ini mengajarkan baca-tulis, aritmetika dasar, serta doktrin-doktrin moral kolonial yang menekankan disiplin, kepatuhan, dan kerja keras. Meskipun kurikulumnya terbatas dan dikendalikan oleh kolonialisme, pendidikan ini membuka ruang mobilitas sosial baru bagi sebagian kecil masyarakat lokal.

Para lulusan sekolah zending ini kemudian menempati posisi strategis sebagai guru, juru tulis, petugas pos, kepala kampung, atau bahkan raja kontrak, yang sebelumnya hanya bisa diisi oleh elite tradisional berbasis keturunan. Mereka mulai memainkan peran penting dalam administrasi pemerintahan kolonial, menjadi jembatan antara Belanda dan masyarakat lokal, sekaligus menggantikan sebagian fungsi pemuka adat yang sebelumnya memegang kendali sosial secara penuh.

Di Flores, misalnya, para pemuda lulusan seminari dan sekolah misi kemudian menjadi tokoh penting dalam perkembangan nasionalisme dan keagamaan di kemudian hari. Namun dalam konteks kolonial, mereka sering masih terikat pada nilai-nilai yang ditanamkan oleh sistem pendidikan Belanda—termasuk persepsi bahwa adat adalah “primitif” dan harus ditinggalkan demi kemajuan. Hal ini menyebabkan kesenjangan pandangan antara generasi tua yang memegang adat dan generasi muda yang terdidik secara Barat.

Pergeseran Nilai Adat ke Arah Nilai Barat (Khususnya di Flores)

Flores adalah wilayah di mana transformasi nilai terjadi dengan sangat tajam, terutama karena pengaruh kuat misi Katolik yang bekerja intensif sejak akhir abad ke-19. Dalam banyak komunitas, nilai-nilai adat yang sebelumnya menjadi penyangga utama kehidupan sosial mengalami tekanan hebat dari ajaran agama, sistem pendidikan, dan kebijakan administratif kolonial.

Ritus-ritus adat seperti upacara penguburan megalitik, persembahan kepada leluhur, pembacaan hukum adat, dan hukum waris tradisional secara perlahan digantikan oleh tata cara gereja dan hukum sipil kolonial. Bahkan dalam urusan rumah tangga dan perkawinan, pengaruh misi sangat dominan, karena pastor dan pengadilan kolonial mulai mengambil alih peran pemuka adat dalam meresmikan ikatan sosial.

Simbol-simbol adat seperti pakaian upacara, senjata pusaka, atau rumah adat (sa’o) mulai digantikan oleh seragam sekolah, salib, dan bangunan bergaya Eropa. Anak-anak didorong untuk menggunakan nama baptis Eropa, mengikuti pelajaran agama, dan hidup sesuai dengan etika Kristen. Dalam proses ini, terjadi dekonstruksi nilai-nilai tradisional, di mana segala hal yang berbau adat dicap sebagai takhayul, bodoh, atau tidak sesuai dengan “peradaban”.

Namun perubahan ini tidak berlangsung tanpa resistensi. Banyak komunitas tetap mempertahankan simbol dan ritus adat secara terselubung, menciptakan bentuk sinkretisme kultural, di mana unsur-unsur Katolik diserap ke dalam upacara adat agar tetap dapat dijalankan tanpa konflik dengan pihak gereja. Misalnya, upacara kematian tradisional digabungkan dengan misa arwah Katolik, atau tokoh adat diberikan peran semi-religius dalam perayaan gereja lokal.

Walau begitu, tak dapat dipungkiri bahwa arus transformasi nilai telah menggeser orientasi masyarakat, terutama di Flores, dari orientasi kosmologis-leluhur menuju orientasi moral-modern yang bersandar pada agama Katolik dan nilai-nilai kolonial. Di Sumba dan Sumbawa, perubahan ini terjadi lebih lambat dan bersifat selektif, namun tetap menunjukkan gejala serupa, terutama di daerah-daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan kolonial atau pos misi.


Secara keseluruhan, transformasi sosial ini menandai babak baru dalam sejarah masyarakat Nusa Tenggara, di mana sistem nilai lokal tidak lagi menjadi satu-satunya referensi dalam membentuk tatanan hidup. Munculnya elite terdidik dan bergesernya nilai adat menuju nilai-nilai barat menciptakan dinamika baru: antara modernitas dan tradisi, antara kemajuan dan akar budaya. Konflik dan dialog antara keduanya akan terus mewarnai perjalanan sejarah wilayah ini, bahkan hingga hari ini.


3. Memori Kolektif dan Sejarah Lisan

Meskipun secara militer dan administratif perlawanan rakyat dan raja-raja lokal di Sumba, Sumbawa, dan Flores berhasil ditekan oleh kolonialisme Belanda, semangat perlawanan tersebut tidak pernah benar-benar padam. Ia bertahan dan terus hidup dalam bentuk yang lebih halus namun mendalam: melalui memori kolektif dan warisan lisan, serta ritus-ritus adat yang sarat makna simbolik. Dalam konteks masyarakat Nusa Tenggara yang sebagian besar memiliki tradisi lisan yang sangat kuat, perlawanan terhadap kolonialisme justru mendapatkan tempat terhormat dalam ingatan budaya.

Kisah tentang Perlawanan Diturunkan Secara Lisan

Di berbagai kampung dan komunitas adat di Sumba, Sumbawa, dan Flores, cerita-cerita tentang keberanian para raja, pemimpin adat, dan rakyat biasa dalam menghadapi kekuasaan kolonial terus diceritakan dari generasi ke generasi. Kisah ini tidak selalu hadir dalam bentuk kronologi sejarah seperti dalam buku pelajaran, melainkan dalam bentuk cerita rakyat, syair adat, tembang ritual, hingga dongeng anak-anak.

Misalnya di Sumba, kisah tentang Raja Kanatang atau pemimpin-pemimpin kabihu yang menolak kerja paksa dan menyerang pos Belanda masih menjadi bagian dari narasi adat yang disampaikan dalam forum musyawarah, upacara adat, atau saat anak-anak berkumpul di rumah adat (uma bokulu). Demikian pula di Sumbawa, nama-nama bangsawan yang menolak tunduk kepada sultan kolaborator atau kontrolir Belanda diabadikan dalam pantun, nasihat, atau pidato adat (barzanji lokal).

Di Flores, terutama di wilayah seperti Ngada dan Lio, cerita tentang bagaimana kampung adat dibakar karena menolak sekolah kolonial atau bagaimana mosa laki (penjaga ritus adat) ditangkap karena menolak dibaptis masih menjadi bagian dari identitas komunitas. Cerita-cerita ini tidak hanya menyampaikan peristiwa, tetapi juga nilai: tentang kehormatan, keberanian, pengorbanan, dan ketaatan pada leluhur.

Melalui tradisi lisan ini, masyarakat lokal membangun narasi alternatif terhadap sejarah resmi, yang sering kali menyingkirkan perlawanan lokal dari panggung utama. Di dalam narasi rakyat, para pemimpin adat bukan sekadar “pengacau” atau “pemberontak”, tetapi pahlawan sejati yang mempertahankan martabat, adat, dan tanah warisan leluhur.

Perlawanan Simbolik Dilestarikan dalam Ritus Adat

Selain melalui cerita, perlawanan terhadap kolonialisme juga dilestarikan dalam bentuk simbolik dan ritual, terutama dalam ritus-ritus adat yang terus dijalankan hingga hari ini. Banyak upacara adat di Nusa Tenggara yang, di balik makna spiritualnya, juga menyimpan ingatan simbolik atas penderitaan dan perlawanan masa lalu.

Contohnya di Sumba, terdapat upacara adat seperti Pasola yang tidak hanya merupakan permainan tradisional antar-kabihu, tetapi juga memiliki dimensi historis sebagai bentuk latihan perang dan simbol pertumpahan darah demi kehormatan. Dalam beberapa komunitas, upacara pemanggilan roh leluhur atau penguburan megalitik disertai narasi tentang raja atau pejuang yang gugur dalam mempertahankan tanahnya dari kolonial.

Di Flores, upacara tahunan seperti Penti (di Manggarai) atau Sa’o Ngaza (di Ngada) selain memuat dimensi pertanian dan spiritualitas, juga menjadi ruang publik bagi komunitas untuk mengenang leluhur yang berjuang mempertahankan adat dari intervensi luar. Dalam pembacaan doa, pembakaran kemenyan, atau tarian perang, terkandung pesan yang mengikat identitas kolektif dengan sejarah perlawanan mereka.

Perlawanan simbolik ini memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Ia bukan hanya bentuk pelestarian budaya, tetapi juga cara masyarakat menegaskan eksistensi dan martabat mereka di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang terus mengikis nilai-nilai lokal. Bahkan bagi generasi muda, upacara adat menjadi jembatan emosional untuk memahami bahwa leluhur mereka bukan sekadar subjek kolonial, tetapi pelaku sejarah yang aktif dan berani.


Dengan demikian, meskipun kolonialisme berhasil menghapus banyak jejak fisik dari sistem kerajaan dan struktur kekuasaan lokal, ia gagal membunuh ingatan. Melalui tradisi lisan dan ritual adat, semangat perlawanan tetap diwariskan sebagai identitas kolektif, sebagai pengingat bahwa tanah yang mereka pijak dan adat yang mereka pegang adalah hasil dari perjuangan yang tidak mudah. Di situlah, sejarah hidup dan terus bergerak, bukan di dalam buku, tetapi di dalam jiwa komunitas.

4. Inspirasi Nasionalisme

Meski perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Sumba, Sumbawa, dan Flores pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 sebagian besar berujung pada kekalahan secara militer dan administrasi, api perjuangan tidak benar-benar padam. Ia terus menyala dalam bentuk ingatan, nilai, dan kebanggaan terhadap keberanian leluhur, dan kelak menjadi sumber inspirasi yang menyuburkan kesadaran nasionalisme di era 1940-an.

Perlawanan Lokal sebagai Benih Kesadaran Politik Baru

Bagi masyarakat di Nusa Tenggara, khususnya generasi yang tumbuh di antara tahun 1920-an hingga 1940-an, kisah-kisah perlawanan terhadap Belanda tidak hanya menjadi kenangan pahit, tetapi juga sumber motivasi dan pembentukan identitas kolektif. Mereka menyaksikan atau mendengar langsung bagaimana orang tua dan kakek-nenek mereka mempertahankan kampung, adat, dan tanah dari intervensi kolonial yang membabi buta. Kekalahan fisik tidak menyurutkan kebanggaan, bahkan memperkuat rasa keterikatan terhadap tanah air dan nilai-nilai keadilan.

Ketika ide tentang Indonesia sebagai satu bangsa mulai tersebar lewat radio, surat kabar, guru sekolah, dan pengaruh para tokoh pergerakan yang dibuang ke wilayah timur (seperti Soekarno yang diasingkan ke Ende pada 1934–1938), kisah perlawanan lokal menemukan konteks barunya dalam semangat nasionalisme. Masyarakat mulai menyadari bahwa perjuangan mereka selama ini—meskipun bersifat lokal dan adat—ternyata adalah bagian dari perlawanan besar terhadap sistem penjajahan yang menindas seluruh bangsa.

Dalam pengertian ini, nasionalisme di wilayah timur Indonesia tidak lahir dari ide-ide politik Barat semata, tetapi juga dari pengalaman langsung melawan ketidakadilan. Nasionalisme tidak datang sebagai konsep asing, tetapi sebagai kelanjutan alami dari semangat mempertahankan adat, tanah, dan martabat leluhur.

Keturunan Raja dan Pemimpin Adat Menjadi Tokoh Pergerakan

Proses transformasi ini semakin kuat karena banyak keturunan raja, bangsawan adat, dan elite lokal terdidik yang kemudian bergabung dengan gerakan kebangsaan Indonesia. Anak-anak dari keluarga yang dulu mengalami tekanan langsung dari kolonial, banyak yang memperoleh pendidikan di sekolah misi atau sekolah negeri, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi di Jawa atau kota besar lainnya. Dari sana, mereka menyerap ide-ide kebangsaan dan kembali ke daerah dengan semangat baru.

Di Flores, misalnya, banyak anak raja atau keluarga bangsawan yang menjadi pegawai negeri, guru, pastor, wartawan, dan aktivis, yang kemudian berperan penting dalam membentuk opini publik pro-kemerdekaan. Di Sumbawa dan Bima, beberapa bangsawan muda menjadi penghubung antara masyarakat adat dan struktur administrasi negara Indonesia setelah 1945, memfasilitasi integrasi wilayah-wilayah itu ke dalam Republik Indonesia.

Bahkan di Sumba yang relatif lambat dalam hal pendidikan formal, muncul tokoh-tokoh lokal dari keluarga pemimpin adat yang kemudian menjadi penggerak integrasi Sumba ke dalam negara Indonesia, sekaligus mempertahankan eksistensi nilai-nilai lokal di bawah payung kemerdekaan nasional.

Proses ini menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia bukan sekadar gerakan urban elite di Jawa, tetapi juga dihidupi dan diperjuangkan oleh masyarakat pinggiran yang sejak awal telah melawan bentuk penjajahan dalam rupa kerja paksa, pajak paksa, perusakan adat, dan kekuasaan kolaboratif.


Dengan demikian, perlawanan raja-raja dan rakyat lokal di Sumba, Sumbawa, dan Flores tidak boleh dipandang sebagai “kegagalan lokal yang terpencil”, melainkan sebagai fondasi historis dari nasionalisme akar rumput, yang mengakar dalam pengalaman, bukan sekadar teori. Dari luka masa lalu, lahir kesadaran bahwa kemerdekaan bukan sekadar kemauan elite, tapi hak yang diperjuangkan oleh semua anak bangsa—termasuk mereka yang dahulu melawan di tanah terpencil demi martabat leluhur.


Relevansi Sejarah Perlawanan Lokal

Perlawanan raja-raja dan masyarakat adat di Sumba, Sumbawa, dan Flores selama periode 1890–1930-an membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia tidak tumbuh dari ruang hampa, apalagi semata-mata dari pusat-pusat kota di Jawa. Ia juga tidak lahir hanya dari gagasan-gagasan akademik di sekolah elite kolonial. Nasionalisme juga tumbuh dari akar lokal—dari kampung-kampung yang dibakar, dari rumah adat yang diruntuhkan, dari rakyat yang menolak tunduk kepada ketidakadilan dan penjajahan.

Keteguhan masyarakat Nusa Tenggara dalam mempertahankan adat, tanah, dan kedaulatan spiritual mereka, meski harus berhadapan dengan senapan dan strategi politik kolonial, merupakan manifestasi paling awal dari kesadaran kemerdekaan. Perlawanan itu mungkin tidak selalu menggunakan istilah “Indonesia” atau “bangsa”, tetapi secara nyata mencerminkan perjuangan untuk martabat, kebebasan, dan otonomi, nilai-nilai fundamental yang menjadi inti dari semangat kemerdekaan.

Maka, menempatkan perlawanan di Sumba, Sumbawa, dan Flores dalam peta sejarah nasional bukan hanya soal keadilan akademik, tetapi pengakuan atas kontribusi nyata dari masyarakat yang selama ini dianggap berada di pinggiran. Mereka bukan sekadar objek sejarah, tetapi subjek yang aktif, cerdas, dan berani dalam menghadapi hegemoni kekuasaan asing.

Rekonstruksi Sejarah Terpinggirkan

Selama ini, historiografi Indonesia kerap terpusat pada wilayah barat—Jawa, Sumatra, dan Bali—sementara sejarah timur Indonesia, khususnya Nusa Tenggara, sering hanya muncul sebagai catatan kaki atau pelengkap narasi besar. Namun melalui penggalian arsip, sejarah lisan, ritus adat, dan kajian antropologi, kini kita tahu bahwa wilayah timur memiliki dinamika historis yang kaya, kompleks, dan tak kalah penting.

Penting bagi generasi hari ini untuk melakukan rekonstruksi sejarah yang inklusif dan seimbang, yang tidak hanya mengagungkan pusat-pusat kekuasaan lama, tetapi juga menghormati perlawanan lokal yang penuh risiko dan pengorbanan. Hal ini penting bukan hanya untuk keutuhan sejarah nasional, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan diri dan harga diri masyarakat lokal terhadap warisan sejarah mereka sendiri.

Dengan mengakui dan menuliskan ulang perlawanan lokal sebagai bagian integral dari sejarah bangsa, kita turut membangun rasa kebangsaan yang lebih merata, tidak lagi didominasi oleh satu narasi tunggal, tetapi sebagai mozaik besar dari beragam pengalaman perlawanan, termasuk dari pulau-pulau di timur yang selama ini terabaikan.

Reflektif: Dari Resistensi Lokal Menuju Integrasi Nasional

Apa yang dilakukan oleh para raja, pemuka adat, dan rakyat Sumba, Sumbawa, dan Flores pada masa kolonial mungkin tidak mereka pahami sebagai bagian dari “proyek kebangsaan Indonesia”. Namun resistensi mereka terhadap ketidakadilan, perusakan adat, dan eksploitasi kolonial adalah bentuk nyata dari kesadaran akan hak dan martabat, yang menjadi jiwa dari gerakan kemerdekaan bangsa ini.

Dari perlawanan yang bersifat lokal, lahir kesadaran kolektif yang lebih luas—kesadaran bahwa penjajahan adalah musuh bersama, dan bahwa kebebasan tidak bisa dipisahkan dari harga diri budaya. Maka, integrasi wilayah-wilayah timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah anugerah, melainkan hasil dari sejarah panjang perjuangan mereka sendiri.

Warisan dari perlawanan ini bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dihayati sebagai pelajaran hidup: bahwa perjuangan untuk keadilan, kedaulatan, dan identitas adalah tugas yang tak pernah selesai. Di tengah tantangan modernitas dan globalisasi, semangat para leluhur dari tanah Nusa Tenggara tetap relevan—menjadi penjaga nilai-nilai lokal dalam wajah Indonesia yang majemuk.