Gerakan Sarekat Islam (1912)

Dari Solidaritas Dagang Menuju Perlawanan Politik Rakyat Kecil

Awal abad ke-20 menandai babak penting dalam sejarah kolonial Hindia Belanda, ketika kesenjangan sosial dan ekonomi antara penguasa kolonial, kelompok elite non-pribumi, dan rakyat bumiputra mencapai titik akut. Masyarakat pribumi, terutama dari kalangan pedagang kecil, petani, buruh, dan santri, hidup dalam kondisi termarjinalkan secara sistematis. Dalam sistem ekonomi kolonial, para pengusaha pribumi kerap mengalami diskriminasi dalam akses pasar, permodalan, dan perlindungan hukum. Sementara itu, posisi dominan kelompok Tionghoa dalam distribusi barang-barang kebutuhan pokok seperti batik dan bahan makanan menciptakan friksi sosial yang tidak jarang melahirkan ketegangan antar golongan.

Dalam konteks inilah muncul sebuah inisiatif dari kalangan pedagang Muslim di Solo untuk membangun kekuatan bersama melalui ikatan solidaritas ekonomi yang dilandasi nilai-nilai Islam. Gerakan ini pertama kali diwujudkan dalam bentuk Sarekat Dagang Islam (1905), yang digagas oleh Haji Samanhudi. Tujuannya sederhana namun strategis: memperkuat posisi pedagang batik pribumi agar mampu bersaing dalam pasar yang tidak adil, serta melindungi anggota dari tekanan ekonomi yang berat. Namun dalam perkembangannya, gerakan ini tidak hanya berhenti pada isu perdagangan.

Tahun 1912 menjadi titik penting ketika organisasi ini direorganisasi dan diperluas menjadi Sarekat Islam, dengan sosok H.O.S. Tjokroaminoto sebagai tokoh sentral. Di bawah kepemimpinannya, Sarekat Islam berkembang menjadi organisasi massa terbesar pertama di Hindia Belanda, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, rakyat kecil—petani, buruh, pedagang, santri—terlibat aktif dalam gerakan politik yang terorganisasi. Dengan struktur organisasi modern, jangkauan nasional, serta semangat keislaman yang menjadi basis moral dan sosial, Sarekat Islam membuka jalan bagi lahirnya nasionalisme berbasis massa.

Tidak seperti Budi Utomo yang bersifat elit dan kultural, Sarekat Islam tampil sebagai gerakan rakyat yang menyuarakan aspirasi kaum bawah secara langsung. Organisasi ini memadukan kepentingan ekonomi, identitas keagamaan, dan semangat anti-kolonial ke dalam satu wadah perjuangan. Maka, Sarekat Islam tidak hanya penting dalam sejarah politik Islam di Indonesia, tetapi juga dalam membangun tradisi nasionalisme populis yang menyentuh akar rumput.

Pendahuluan gerakan ini menandai kebangkitan kesadaran baru—bahwa Islam, ekonomi, dan nasionalisme dapat berjalan beriringan dalam menghadapi ketidakadilan kolonial. Sarekat Islam menjadi cikal bakal perjuangan kolektif rakyat kecil, sekaligus meletakkan dasar bagi dinamika politik keumatan yang terus berlanjut dalam sejarah Indonesia modern.


Latar Belakang Sosial dan Ekonomi

1. Ketimpangan Ekonomi dan Diskriminasi

Pada awal abad ke-20, sistem ekonomi kolonial Hindia Belanda ditandai oleh struktur yang sangat tidak adil dan bersifat eksploitatif. Dalam sistem ini, masyarakat bumiputra berada di posisi paling bawah—baik dalam hal akses ekonomi, perlindungan hukum, maupun peluang mobilitas sosial. Sementara perusahaan-perusahaan besar milik Belanda menguasai sektor industri dan perkebunan, jaringan distribusi barang-barang kebutuhan pokok dikuasai oleh pedagang perantara, khususnya dari komunitas Tionghoa, yang telah lama mendapatkan tempat istimewa dalam kebijakan ekonomi kolonial.

Di sektor perdagangan batik, misalnya—sektor yang vital bagi masyarakat Jawa—pengusaha pribumi seringkali tidak mampu bersaing secara adil. Mereka menghadapi tekanan dari pedagang Tionghoa yang memiliki keunggulan dalam hal modal, jaringan dagang, dan akses ke produk-produk impor. Banyak di antara pengusaha batik bumiputra harus bergantung pada pemasok Tionghoa yang menetapkan harga tinggi dan memonopoli distribusi. Situasi ini menciptakan ketegangan sosial dan rasa frustasi yang mendalam di kalangan pedagang kecil pribumi, yang merasa tersisih dalam tanahnya sendiri.

Lebih dari itu, sistem peradilan kolonial dan akses perbankan yang timpang memperparah kondisi ketidakadilan ini. Pengusaha pribumi tidak memiliki kemudahan untuk mendapatkan kredit usaha atau perlindungan hukum yang memadai ketika terjadi sengketa. Penguasa kolonial cenderung memihak pemilik modal besar atau kelompok yang lebih “terorganisasi” secara administratif dan politik, seperti kelompok Tionghoa dan Eropa. Di sisi lain, pengusaha bumiputra seringkali tidak memahami sistem hukum modern atau bahkan tidak diakui secara formal oleh sistem tersebut.

Diskriminasi ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga berakar dari ketimpangan sosial dan rasial yang mengakar dalam struktur kolonial. Masyarakat bumiputra diposisikan sebagai warga kelas tiga, tanpa hak politik, dan hanya dilihat sebagai tenaga kerja atau objek ekonomi. Mereka tidak memiliki representasi dalam struktur kekuasaan, dan keluhan mereka terhadap ketidakadilan ekonomi sering diabaikan.

Dalam konteks inilah, mulai muncul kesadaran di kalangan pengusaha kecil dan pedagang Muslim untuk membentuk solidaritas. Bukan hanya sebagai strategi bertahan hidup secara ekonomi, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan pasif terhadap dominasi sistem kolonial dan etnis lain yang diuntungkan oleh sistem tersebut. Kesadaran ini menjadi benih bagi lahirnya Sarekat Dagang Islam, yang kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam—organisasi massa yang menjadi tonggak awal perjuangan ekonomi-politik rakyat kecil.

Dengan demikian, ketimpangan ekonomi dan diskriminasi sistemik terhadap pengusaha pribumi menjadi latar belakang yang sangat penting bagi munculnya gerakan Sarekat Islam. Ini bukan semata soal perdagangan atau sentimen etnis, tetapi cerminan dari ketegangan struktural antara rakyat bumiputra dan sistem kolonial yang secara sistematis menindas dan menghambat potensi mereka untuk berkembang secara merdeka.

1.2. Munculnya Solidaritas Ekonomi Islam

Sebagai reaksi atas ketimpangan dan tekanan ekonomi yang dirasakan oleh pengusaha pribumi, khususnya pedagang batik di kawasan Jawa Tengah, mulai muncul inisiatif untuk membangun solidaritas ekonomi berbasis komunitas. Inisiatif ini berangkat dari kebutuhan praktis, tetapi dalam prosesnya, membentuk sebuah kesadaran kolektif yang lebih luas dan berdimensi sosial-keagamaan.

Salah satu tokoh penting dalam babak awal ini adalah Haji Samanhudi, seorang pengusaha batik Muslim di Solo. Ia menyadari bahwa pedagang bumiputra, jika terus berjalan sendiri-sendiri, akan sulit menghadapi dominasi pedagang perantara, terutama dari kalangan Tionghoa yang lebih terorganisasi dan memiliki akses ekonomi lebih luas. Maka, pada tahun 1905, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah perkumpulan pedagang batik Muslim yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan memberikan perlindungan kolektif bagi anggotanya.

Meskipun pada awalnya tidak memiliki struktur organisasi yang kompleks, SDI menjadi wadah penting untuk mengembangkan solidaritas antar pedagang Muslim, terutama melalui penguatan nilai-nilai kepercayaan, kejujuran, dan etika bisnis yang didasarkan pada ajaran Islam. Dalam masyarakat yang mayoritas Muslim, nilai agama menjadi kekuatan pemersatu yang efektif, tidak hanya dalam hubungan spiritual, tetapi juga dalam praktik sosial dan ekonomi. Islam dipandang tidak sekadar sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga panduan hidup yang mengatur hubungan antar manusia dalam muamalah, termasuk urusan perdagangan.

Nilai-nilai Islam inilah yang kemudian menjadi perekat sosial utama di antara anggota Sarekat Dagang Islam. Mereka saling memperkuat dalam jaringan dagang, memberi bantuan dalam kondisi kesulitan, dan mulai membangun kesadaran bahwa permasalahan yang mereka hadapi bukanlah permasalahan pribadi semata, tetapi masalah struktural yang membutuhkan solusi kolektif. Dari sinilah muncul embrio kesadaran politik dan sosial, bahwa rakyat kecil Muslim harus bersatu, membela kepentingan bersama, dan perlahan-lahan mengambil peran dalam membentuk masa depan masyarakat mereka sendiri.

Di luar konteks dagang, SDI juga memainkan peran penting dalam membangun rasa percaya diri di kalangan umat Islam yang selama ini dipinggirkan dalam sistem kolonial. Dengan menjadi bagian dari organisasi, anggota tidak hanya mendapatkan perlindungan ekonomi, tetapi juga mendapatkan identitas baru sebagai bagian dari kekuatan sosial yang terorganisasi. Semangat kebersamaan ini menjadi pondasi penting yang kelak memungkinkan organisasi ini berkembang menjadi gerakan nasional yang lebih luas.

Munculnya Sarekat Dagang Islam menandai fase awal kebangkitan umat Islam bumiputra dalam merespons penindasan kolonial dan dominasi ekonomi etnis lain. Meski masih bersifat lokal dan sektoral, SDI telah menanamkan benih yang akan tumbuh menjadi kekuatan besar bernama Sarekat Islam—sebuah gerakan nasional yang menjangkau lintas kelas, wilayah, dan bahkan ideologi, serta menjadi motor utama perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan kolonial.

Pendirian Sarekat Islam (1912)

1. Peran H.O.S. Tjokroaminoto dan Reorganisasi

Tahun 1912 menjadi titik balik dalam sejarah gerakan Islam dan politik bumiputra di Hindia Belanda. Setelah berdiri sebagai perkumpulan pedagang lokal yang berpusat di Solo, Sarekat Dagang Islam mengalami perkembangan pesat baik dalam jumlah anggota maupun dalam cakupan kegiatan. Namun, loncatan terbesar dalam transformasi organisasi ini terjadi ketika Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, seorang intelektual Muslim terdidik dari Surabaya, mulai terlibat aktif dalam kepemimpinan dan reorganisasi organisasi.

H.O.S. Tjokroaminoto tidak hanya dikenal sebagai orator ulung, tetapi juga sebagai pemikir dan organisator yang visioner. Di bawah kepemimpinannya, organisasi yang semula berfokus pada isu dagang dan ekonomi, diubah menjadi gerakan sosial-politik yang menyuarakan aspirasi rakyat kecil secara lebih luas dan sistematis. Ia menyadari bahwa ketimpangan ekonomi yang dialami umat Islam bumiputra tidak bisa dipisahkan dari sistem kolonial yang menindas. Oleh karena itu, perjuangan tidak cukup dilakukan dalam ruang dagang semata, tetapi harus memasuki ruang politik dan pendidikan.

Visi Tjokroaminoto adalah menjadikan Sarekat Islam sebagai kekuatan moral, sosial, dan politik yang berakar pada nilai-nilai Islam, namun bersifat modern, rasional, dan terorganisir. Ia memperluas keanggotaan organisasi dari sekadar pedagang menjadi mencakup buruh, petani, guru, santri, dan semua umat Islam bumiputra. Melalui berbagai ceramah, surat kabar, dan pertemuan umum, ia mulai membentuk identitas kolektif baru bagi umat Islam sebagai bagian dari bangsa yang tertindas, namun memiliki potensi untuk bangkit secara terhormat.

Dengan semangat reorganisasi dan ekspansi ini, Sarekat Islam resmi didaftarkan sebagai organisasi yang sah di mata pemerintah kolonial pada tahun 1912, dengan markas besar di Surabaya. Pengesahan ini memberi legitimasi hukum bagi gerakan tersebut, sekaligus membuatnya menjadi organisasi modern pertama di Hindia Belanda yang memiliki struktur kepengurusan nasional, sistem cabang, dan program kerja yang luas. Dalam waktu singkat, Sarekat Islam menyebar ke berbagai kota di Jawa dan luar Jawa, menjaring ribuan anggota dan membentuk jaringan sosial-politik yang belum pernah terjadi sebelumnya di kalangan bumiputra.

Transformasi dari Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam mencerminkan pergeseran penting dalam dinamika gerakan nasional Indonesia, dari gerakan berbasis etnis dan kelas sosial tertentu menuju gerakan kebangsaan yang menjangkau lintas lapisan. Dengan membawa semangat keislaman sebagai kekuatan pemersatu dan perlawanan, Tjokroaminoto menjadikan Sarekat Islam bukan hanya alat perjuangan ekonomi, tetapi kendaraan awal kesadaran nasional dan perlawanan politik rakyat kecil terhadap kolonialisme.

2. Penyebaran dan Struktur Organisasi

Setelah disahkan sebagai organisasi resmi pada tahun 1912, Sarekat Islam (SI) mengalami pertumbuhan luar biasa dalam waktu yang relatif singkat. Di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto dan dukungan dari tokoh-tokoh Muslim lokal, jaringan SI menyebar ke berbagai kota di seluruh Pulau Jawa, mulai dari Surabaya, Solo, Yogyakarta, Semarang, hingga Cirebon dan Bandung. Tidak lama kemudian, cabang-cabang SI mulai berdiri pula di luar Jawa, seperti di Sumatra Barat, Sumatra Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, mencerminkan daya tarik organisasi ini di kalangan umat Islam bumiputra yang mengalami penindasan serupa di seluruh Hindia Belanda.

Salah satu kekuatan utama Sarekat Islam terletak pada sistem keanggotaannya yang inklusif dan terbuka. Berbeda dengan organisasi-organisasi sebelumnya yang cenderung elitis dan terbatas pada kalangan terdidik, SI membuka diri bagi seluruh rakyat kecil Muslim, termasuk pedagang, petani, buruh, guru, santri, dan tokoh agama. SI tidak menekankan latar belakang pendidikan atau status sosial, melainkan mengedepankan solidaritas umat dan kesamaan nasib di bawah penjajahan. Karena itu, organisasi ini dengan cepat menjelma menjadi gerakan massa terbesar di Hindia Belanda pada dekade 1910-an hingga awal 1920-an, dengan jumlah anggota yang diperkirakan mencapai ratusan ribu.

Untuk mengelola organisasi sebesar ini, SI mengembangkan struktur organisasi modern yang sistematis dan efisien. Setiap cabang memiliki pengurus sendiri, yang bertanggung jawab kepada kepengurusan pusat. Kongres-kongres daerah dan nasional diselenggarakan secara berkala sebagai forum musyawarah dan pengambilan keputusan, yang menunjukkan kematangan dalam budaya organisasi dan tata kelola. Dalam kongres, disusun program kerja, dibahas isu-isu politik dan sosial yang dihadapi umat, serta disampaikan rekomendasi perjuangan ke depan.

Kongres nasional pertama SI yang diselenggarakan di Surabaya pada tahun 1913 menandai pentingnya organisasi ini sebagai kekuatan kolektif umat Islam di Hindia Belanda. Dalam kongres tersebut, para peserta menegaskan visi Sarekat Islam untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil secara damai, memperkuat pendidikan, dan menolak ketidakadilan dalam sistem kolonial. Selain itu, kongres juga menegaskan nilai-nilai persatuan umat (ukhuwah islamiyah), yang menjadi landasan moral sekaligus strategi politik untuk mengonsolidasikan kekuatan sosial umat Islam dalam menghadapi penjajahan.

Penyebaran SI yang cepat dan luas menunjukkan betapa besar kebutuhan akan wadah perjuangan yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat secara nyata. Sarekat Islam tidak hanya memberi ruang partisipasi bagi mereka yang selama ini terpinggirkan, tetapi juga menjadi simbol harapan bahwa umat Islam dapat bersatu, berorganisasi, dan berjuang bersama untuk keadilan dan martabat.

Tujuan dan Program Perjuangan

1. Ekonomi dan Emansipasi Sosial

Sejak awal kemunculannya, Sarekat Islam (SI) tidak hanya dimaksudkan sebagai alat mobilisasi politik, tetapi juga sebagai sarana pemberdayaan ekonomi dan sosial rakyat kecil, terutama umat Islam bumiputra yang selama ini hidup dalam tekanan struktural kolonial. Salah satu tujuan utama SI adalah melindungi kepentingan ekonomi para pedagang bumiputra, yang selama bertahun-tahun mengalami diskriminasi, baik dari sistem kolonial maupun dominasi kelompok dagang lain, seperti perantara-perantara non-pribumi.

SI memandang bahwa pembangunan ekonomi yang mandiri merupakan syarat mutlak bagi kemerdekaan sejati, baik secara individu maupun bangsa. Oleh karena itu, organisasi ini mengupayakan berbagai cara untuk menguatkan posisi ekonomi rakyat, khususnya pedagang Muslim. Salah satu caranya adalah dengan menentang keras sistem monopoli dagang dan rente kolonial yang selama ini menjerat pengusaha kecil. Monopoli harga, ketergantungan pada pedagang besar, serta praktik riba dan rente dianggap sebagai bentuk penjajahan ekonomi yang merampas hak rakyat untuk berkembang secara adil.

Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, SI mendorong terbentuknya koperasi dan jaringan dagang mandiri antar anggota, yang berbasis pada prinsip tolong-menolong dan kejujuran dalam semangat Islam. Melalui koperasi, anggota SI dapat mengakses barang dagangan dengan harga lebih terjangkau, memperoleh bantuan permodalan dari sesama anggota, dan secara kolektif melindungi diri dari eksploitasi pasar. Koperasi bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga alat emansipasi, yang mengajarkan nilai-nilai kesetaraan, solidaritas, dan kemandirian ekonomi.

Selain aspek ekonomi, Sarekat Islam juga sangat menekankan pendidikan sebagai instrumen emansipasi sosial. SI mendirikan sekolah-sekolah dan menyelenggarakan kursus-kursus untuk anggota-anggotanya, termasuk dalam bidang baca-tulis, agama, dagang, dan pengetahuan umum. Tujuan dari upaya ini adalah mengangkat martabat rakyat melalui ilmu pengetahuan, karena kebodohan dianggap sebagai salah satu faktor utama yang membuat rakyat mudah diperdaya dan dieksploitasi.

Sementara itu, perniagaan Islam juga dipromosikan sebagai model ekonomi yang bermoral, berlandaskan pada etika muamalah dalam Islam. Prinsip-prinsip seperti kejujuran, keadilan, larangan riba, dan tanggung jawab sosial dipandang sebagai alternatif dari sistem kapitalis kolonial yang eksploitatif. Dengan mengembangkan model ekonomi yang sesuai syariat, SI bukan hanya menawarkan solusi praktis, tetapi juga membentuk kesadaran budaya dan spiritual baru di kalangan umat.

Program ekonomi dan sosial Sarekat Islam menjadi fondasi penting dalam memperkuat posisi politik organisasi. Ia menunjukkan bahwa perjuangan melawan penjajahan tidak selalu harus dimulai dari arena kekuasaan, tetapi bisa dibangun dari basis ekonomi rakyat, dari pasar-pasar tradisional, koperasi-koperasi kecil, dan kelas menengah Muslim yang selama ini terpinggirkan. Inilah bentuk awal dari perlawanan struktural yang mengakar di masyarakat, dan yang kelak menjadi model perjuangan bagi banyak organisasi Islam dan nasionalis setelahnya.

2. Politik dan Kesadaran Kebangsaan

Selain fokus pada ekonomi dan sosial, Sarekat Islam (SI) juga memainkan peran besar dalam membangkitkan kesadaran politik rakyat bumiputra—sebuah kesadaran yang tidak hanya menyadari ketidakadilan kolonial, tetapi juga mulai menuntut perubahan sistemik secara terbuka dan terorganisir.

Sejak reorganisasi tahun 1912, terutama di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, SI dengan jelas menyatakan bahwa ketertindasan rakyat pribumi bukan hanya akibat kelemahan ekonomi, tetapi merupakan konsekuensi langsung dari struktur kolonialisme yang menindas secara sistematis. Ketimpangan hukum, pengabaian hak politik, dan eksploitasi tenaga kerja menjadi bukti nyata dari ketidakadilan sistemik yang harus dilawan melalui kesadaran kolektif.

Sarekat Islam menjadi pionir dalam penggunaan komunikasi massa sebagai sarana mobilisasi politik. Dalam setiap ceramah umum, rapat akbar, maupun kongres, Tjokroaminoto dan para pemimpin cabang SI menyampaikan pidato-pidato yang membangkitkan semangat rakyat. Isi pidato mereka tidak sekadar religius, tetapi juga mengandung kritik sosial-politik yang tajam, dibungkus dalam narasi moral Islam dan kesetaraan manusia. “Barang siapa ingin menjadi pemimpin, maka hendaklah ia mencintai rakyatnya,” menjadi semangat yang sering didengungkan Tjokro untuk menghubungkan Islam dengan keadilan sosial.

Selain pidato, surat kabar seperti Oetoesan Hindia menjadi alat penting untuk menyebarkan gagasan. Melalui tulisan-tulisan tajam dan mudah dipahami rakyat, SI menyadarkan publik bumiputra akan hak-hak politik mereka, mengabarkan perkembangan gerakan, serta mendorong rakyat untuk bangkit dari keterbelakangan. Tulisan-tulisan tersebut juga menjadi ajang pendidikan politik, sekaligus propaganda yang mendorong rasa percaya diri kolektif.

Dakwah keagamaan pun menjadi medium efektif, karena banyak tokoh SI berasal dari kalangan ulama atau dekat dengan pesantren. Melalui pengajian dan ceramah keagamaan, nilai-nilai Islam disampaikan dalam kaitannya dengan keadilan, persamaan derajat, dan pentingnya perjuangan kolektif melawan penindasan. Islam menjadi fondasi moral yang menghidupkan semangat perlawanan tanpa kekerasan.

Berbeda dari gerakan-gerakan radikal yang lahir kemudian, SI menempuh jalur perlawanan damai dan legal. Mereka mengajukan tuntutan politik secara sistematis, seperti mendesak adanya wakil bumiputra dalam lembaga legislatif kolonial, menuntut perluasan hak pendidikan, dan meminta reformasi hukum agar rakyat mendapat perlakuan setara. Meskipun respons pemerintah kolonial seringkali represif dan penuh kecurigaan, SI tetap bertahan dengan pendekatan konstitusional, menjadikannya salah satu pelopor perjuangan politik legal di Hindia Belanda.

Apa yang dilakukan Sarekat Islam dalam bidang politik bukan hanya membangun organisasi, tetapi lebih dalam lagi: membangun kesadaran kebangsaan. Di tengah masyarakat yang sebelumnya tercerai-berai oleh etnis, kelas sosial, dan wilayah, SI menanamkan gagasan bahwa rakyat Hindia Belanda, khususnya umat Islam, memiliki nasib dan cita-cita bersama sebagai satu bangsa yang tertindas dan harus merdeka.

Dengan cara ini, Sarekat Islam menjadi batu loncatan penting menuju lahirnya nasionalisme Indonesia. Bukan nasionalisme eksklusif, tetapi nasionalisme yang bertumpu pada aspirasi rakyat kecil, yang memperjuangkan keadilan bukan hanya untuk elite, tetapi untuk semua anak negeri.

Pengaruh dan Basis Kekuatan

1. Jangkauan Sosial dan Massa Rakyat

Salah satu faktor terpenting yang membedakan Sarekat Islam (SI) dari organisasi pergerakan sebelumnya adalah kemampuannya menjangkau massa rakyat secara luas dan lintas kelas sosial. Jika Budi Utomo lebih elitis dan terbatas pada kaum priyayi serta pelajar, SI justru mengakar kuat di lapisan masyarakat bawah—di kalangan pedagang kecil, petani, buruh, santri, hingga kyai-kyai kampung.

Dengan latar belakang sebagai organisasi yang tumbuh dari dunia perdagangan dan keagamaan, SI memiliki daya tarik yang besar di tengah kekosongan representasi politik rakyat bumiputra. Rakyat kecil yang selama ini terpinggirkan dalam sistem kolonial melihat SI bukan hanya sebagai wadah perlawanan, tetapi juga sebagai tempat berlindung dan menyalurkan harapan. Tidak ada persyaratan pendidikan tinggi atau keturunan bangsawan untuk bergabung, cukup menjadi umat Islam yang peduli akan nasib bangsanya. Hal ini menjadikan SI sebagai organisasi paling inklusif dan egaliter pada masanya.

Data sejarah menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara 1912 hingga pertengahan 1920-an, SI berkembang pesat menjadi organisasi massa terbesar di Hindia Belanda. Diperkirakan jumlah anggotanya mencapai ratusan ribu hingga lebih dari dua juta orang, dengan cabang-cabang yang tersebar di hampir seluruh wilayah utama, dari Jawa hingga Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam konteks pra-Sumpah Pemuda, tidak ada organisasi lain yang mampu menyatukan umat Islam dari latar belakang sosial yang beragam dalam satu gerakan yang solid seperti SI.

Salah satu kekuatan kultural SI adalah hubungannya yang erat dengan tokoh-tokoh agama lokal, terutama kyai dan ulama pesantren. Para kyai memainkan peran penting sebagai penggerak di akar rumput—mereka tidak hanya memfasilitasi dakwah dan pengajian, tetapi juga menjadi pemimpin lokal cabang-cabang SI. Dengan karisma dan pengaruh spiritual mereka, para kyai mampu menghubungkan nilai-nilai agama dengan semangat perjuangan politik dan sosial. Hal ini menjadikan SI bukan hanya organisasi politik dalam arti modern, tetapi juga gerakan sosial-keagamaan yang hidup dalam keseharian masyarakat Muslim.

Selain kyai, tokoh-tokoh lokal seperti guru, penghulu, dan pedagang terkemuka juga menjadi simpul jaringan organisasi. Mereka menjadi juru bicara SI di tingkat desa dan kota kecil, menyebarkan gagasan keadilan, persatuan umat, dan semangat anti-penindasan dengan bahasa yang dekat dengan rakyat. Perpaduan antara struktur formal dan jaringan informal ini menjadikan SI sebagai organisasi yang sangat fleksibel dan tangguh, mampu bertahan bahkan di tengah tekanan politik dari pemerintah kolonial.

Keterlibatan lintas kelas dalam Sarekat Islam juga memperkuat identitas kolektif umat Islam sebagai satu kesatuan sosial-politik yang memiliki aspirasi bersama. Di dalam SI, petani dan pedagang duduk sejajar, buruh dan santri bergandengan, membentuk komunitas baru yang tidak semata-mata ditentukan oleh kelas ekonomi, melainkan oleh kesamaan nilai dan cita-cita. Inilah salah satu pencapaian penting dari SI: membangun solidaritas horizontal dalam masyarakat yang sebelumnya tercerai-berai.

Dengan basis kekuatan massa yang besar, kepemimpinan religius, dan jaringan sosial yang luas, Sarekat Islam memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran nasional yang berbasis rakyat. SI bukan hanya organisasi, tetapi simbol harapan bahwa umat Islam, dan rakyat bumiputra secara umum, mampu bangkit dan bersatu untuk memperjuangkan hak dan martabatnya sendiri.

2. Basis Ideologis Islam dan Anti-Kolonial

Salah satu kekuatan fundamental Sarekat Islam (SI) terletak pada ideologi keislaman yang menjadi tulang punggung gerakan ini. Islam tidak hanya dijadikan identitas formal atau simbol pemersatu, tetapi dijadikan sebagai landasan etis, sosial, dan politik dalam perjuangan menghadapi penjajahan. Berbeda dengan organisasi kebangsaan yang lahir dari inspirasi sekuler atau pendidikan Barat, SI lahir dari rahim umat, berakar kuat pada ajaran agama dan nilai-nilai tradisi keagamaan masyarakat bumiputra.

Dalam konteks ini, Islam diposisikan sebagai panduan moral dan spiritual dalam membangun solidaritas rakyat. Nilai-nilai seperti keadilan (‘adl), persaudaraan (ukhuwwah), amanah, dan tolong-menolong dijadikan dasar dalam menata organisasi dan menggerakkan massa. Perjuangan SI tidak dimaknai sebagai semata-mata perebutan kekuasaan, melainkan sebagai kewajiban moral dan pengabdian kepada Tuhan dalam membela kaum yang lemah dan tertindas.

Melalui pendekatan ini, SI mengajarkan bahwa melawan ketidakadilan bukanlah bentuk pemberontakan anarkis, melainkan bagian dari ibadah kolektif. Hal ini sangat penting karena menjadikan politik sebagai sesuatu yang suci, bukan sekadar strategi kekuasaan, dan mampu menyentuh hati rakyat di tingkat akar rumput. Dalam setiap pidato dan tulisan tokoh-tokohnya, terutama H.O.S. Tjokroaminoto, ajaran Islam dijadikan kerangka konseptual untuk menyusun cita-cita masyarakat yang adil dan beradab, bebas dari dominasi asing.

Selain itu, SI juga bersikap kritis terhadap dominasi budaya Barat yang masuk melalui kolonialisme. Meskipun tidak anti-modernitas, SI menolak mentah-mentah sikap merendahkan tradisi lokal dan memaksakan nilai-nilai asing kepada masyarakat bumiputra. SI menolak gaya hidup hedonistik, individualistik, dan sekuler yang ditanamkan oleh kolonialisme, dan menggantinya dengan model kehidupan Islami yang kolektif, beradab, dan bermartabat.

Dalam garis perjuangannya, SI juga menunjukkan sikap politik anti-kolonial yang tegas. Meskipun strategi yang ditempuh lebih banyak bersifat damai dan legal, semangat penolakan terhadap struktur kolonial tetap menjadi intisari dari gerakan ini. Ketika pemerintah kolonial memperlakukan rakyat bumiputra sebagai warga kelas tiga, SI menyerukan bahwa setiap manusia setara di hadapan Allah dan memiliki hak untuk hidup merdeka. Dalam retorika keagamaannya, ketundukan hanya diberikan kepada Tuhan, bukan kepada penjajah.

Yang menarik, SI juga berhasil memainkan peran sebagai jembatan antara Islam tradisional dan semangat modernitas. Organisasi ini menjangkau kalangan pesantren dan ulama tradisional di satu sisi, serta merangkul kalangan terdidik dan modernis di sisi lain. Dengan demikian, SI membangun basis ideologis yang tidak memecah umat Islam antara yang konservatif dan progresif, melainkan menyatukannya dalam kerangka perjuangan kolektif melawan kolonialisme.

Dalam banyak hal, SI adalah cikal bakal Islam politik di Indonesia yang pertama dan terbesar. Namun lebih dari sekadar gerakan politik, SI adalah gerakan kultural dan spiritual yang menjadikan Islam sebagai kekuatan pembebas. Ia membuktikan bahwa agama bukan penghalang kemajuan, melainkan sumber energi moral dalam menegakkan keadilan dan menolak penindasan.

Konflik Internal dan Radikalisasi

1. Perpecahan Internal: Sayap Moderat vs Radikal

Seiring dengan meluasnya pengaruh dan basis massa Sarekat Islam (SI) di seluruh Hindia Belanda, organisasi ini menghadapi tantangan serius dari dalam: konflik ideologis antara kelompok moderat dan kelompok radikal. Perpecahan internal ini tidak hanya mencerminkan dinamika intelektual dan politik SI, tetapi juga mencerminkan realitas sosial yang tengah berkembang—yaitu lahirnya berbagai aliran pemikiran modern yang menawarkan visi perjuangan rakyat bumiputra dengan pendekatan yang sangat berbeda.

Sekitar tahun 1917–1921, sejumlah tokoh muda dalam tubuh SI mulai terpengaruh oleh ideologi Marxis dan Komunisme Internasional, yang masuk ke Hindia Belanda melalui organisasi Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang didirikan oleh Henk Sneevliet. Tokoh-tokoh seperti Semaun, Darsono, dan Alimin yang awalnya aktif dalam SI, mulai mendorong agenda perjuangan kelas yang bersifat revolusioner. Mereka membentuk fraksi kiri dalam tubuh organisasi, yang kemudian dikenal sebagai Sarekat Islam Merah.

Di sisi lain, kelompok moderat yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto, Agus Salim, dan tokoh-tokoh senior lainnya mempertahankan posisi nasionalis-Islam moderat yang menekankan perjuangan melalui jalan damai, pendidikan, dan organisasi politik legal. Kelompok ini disebut sebagai Sarekat Islam Putih, dan tetap memegang teguh prinsip bahwa Islam harus menjadi fondasi moral dan ideologis gerakan nasional. Mereka menolak komunisme karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan berpotensi mengarah pada kekacauan sosial.

Perbedaan paling mencolok antara kedua kubu ini terletak pada strategi perjuangan dan basis ideologi:

  • SI Merah mendorong perjuangan kelas secara radikal, termasuk penggunaan kekuatan massa buruh dan tani untuk melakukan mogok, agitasi politik, bahkan revolusi sosial. Mereka percaya bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai melalui penggulingan sistem kolonial dan kapitalisme secara total. Islam, bagi sebagian dari mereka, ditempatkan di bawah ideologi kelas.
  • SI Putih menekankan pendekatan gradual dan damai melalui jalur pendidikan, ekonomi mandiri, dan advokasi hukum. Mereka percaya bahwa nasionalisme Islam dapat bersanding dengan modernitas tanpa harus menanggalkan identitas keislaman. Perjuangan mereka berakar pada moralitas, etika sosial, dan dakwah yang mencerahkan.

Perpecahan ini mulai memanas ketika fraksi kiri menggunakan SI sebagai kendaraan untuk menyebarkan ide komunisme di kalangan rakyat, terutama buruh dan tani. Hal ini membuat kepemimpinan pusat SI khawatir bahwa organisasi akan kehilangan arah perjuangannya yang berlandaskan Islam. Pada Kongres Nasional SI di Madiun tahun 1921, konflik ini mencapai puncaknya. Tjokroaminoto akhirnya mengambil langkah tegas dengan memisahkan SI dari pengaruh komunis.

Puncaknya, pada tahun 1923, Sarekat Islam secara resmi memecah diri: kelompok radikal membentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) secara terbuka, sementara kelompok moderat merestrukturisasi diri menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) yang secara konsisten menolak ideologi komunis dan tetap berdiri di atas fondasi Islam nasionalis.

Perpecahan internal ini, meskipun melemahkan secara organisasi, menjadi pelajaran penting dalam sejarah gerakan nasional Indonesia. Sarekat Islam menjadi ruang pertemuan awal dari berbagai gagasan besar—Islamisme, nasionalisme, sosialisme, dan komunisme—yang kelak akan membentuk wajah ideologi politik Indonesia di abad ke-20. Dengan kata lain, konflik internal SI bukan hanya perebutan pengaruh, tetapi refleksi dari dinamika pemikiran bangsa yang sedang mencari jati diri di bawah bayang-bayang penjajahan.

2. Pengaruh Komunisme dan Perpecahan 1920-an

Memasuki dekade 1920-an, Sarekat Islam (SI) tidak lagi hanya menghadapi tantangan eksternal dari pemerintah kolonial, tetapi juga ketegangan internal yang semakin tajam akibat infiltrasi ideologi Komunisme. Pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI), yang lahir dari transformasi kelompok radikal dalam tubuh SI, mulai meresap ke dalam struktur dan basis akar rumput organisasi. Proses ini membawa dampak besar dalam melemahkan konsistensi ideologis SI dan mengguncang fondasi keorganisasiannya.

Infiltrasi PKI bermula dari strategi para tokohnya—seperti Semaun, Darsono, dan Alimin—yang memanfaatkan reputasi dan jaringan luas SI untuk menyebarluaskan gagasan Marxis di kalangan buruh, petani, dan kaum miskin kota. Mereka membentuk sel-sel kader komunis di dalam cabang-cabang SI, terutama di daerah yang memiliki konsentrasi tenaga kerja tinggi, seperti Semarang, Surabaya, dan wilayah pesisir utara Jawa. Dengan memanfaatkan isu ketimpangan sosial dan ketidakpuasan terhadap kolonialisme, mereka mampu menarik simpati sebagian anggota SI yang miskin dan frustrasi.

Pada tahap awal, kepemimpinan pusat SI di bawah H.O.S. Tjokroaminoto mencoba menengahi ketegangan ideologis ini dengan memberikan ruang diskusi. Namun, ketika fraksi kiri semakin agresif dan terang-terangan menggunakan platform SI untuk propaganda revolusioner, jalan tengah menjadi tidak mungkin. Apalagi, ideologi Komunisme yang menolak agama sebagai dasar perjuangan politik bertentangan langsung dengan prinsip Sarekat Islam sebagai gerakan berbasis nilai-nilai keislaman.

Konflik ini memuncak pada Kongres Nasional SI di Madiun tahun 1921, ketika kubu moderat yang dipimpin Tjokroaminoto akhirnya menegaskan pemisahan dari kelompok komunis. Kelompok radikal kemudian mendirikan Sarekat Islam Merah, yang menjadi sayap massa dari Partai Komunis Indonesia (PKI), sementara kubu Islam moderat mereorganisasi diri menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada tahun 1923, dengan orientasi yang lebih nasionalis dan religius.

Perpecahan ini membawa konsekuensi serius terhadap kekuatan SI secara keseluruhan. Basis massa terbelah, struktur organisasi melemah, dan semangat solidaritas Islam yang menjadi fondasi awal gerakan mengalami erosi. PSI, meskipun tetap aktif, kehilangan daya tarik massa dalam skala besar karena sebagian pendukungnya telah bergeser ke arah PKI yang menjanjikan revolusi cepat dan perubahan radikal.

Di sisi lain, SI Merah yang pro-komunis juga menghadapi tekanan keras dari pemerintah kolonial, terutama setelah pemberontakan komunis tahun 1926–1927. Banyak kadernya ditangkap atau dibuang ke kamp pengasingan seperti Boven Digoel. Akibatnya, gerakan komunis sempat lumpuh, dan Sarekat Islam sebagai entitas historis turut kehilangan pengaruh strategisnya.

Dengan demikian, dekade 1920-an menjadi titik balik penurunan SI. Dari organisasi massa terbesar dan paling berpengaruh pada awal abad ke-20, SI terpecah dan terfragmentasi menjadi dua kutub ideologis yang bertentangan. Konflik internal ini memperlihatkan rapuhnya persatuan dalam tubuh gerakan rakyat ketika menghadapi tarik-menarik ideologi besar dunia.

Meski demikian, warisan SI tetap hidup dalam berbagai bentuk gerakan politik, baik Islamis, nasionalis, maupun sosialis, yang kelak mengisi ruang sejarah pergerakan Indonesia menuju kemerdekaan.

Warisan dan Pengaruh Jangka Panjang

1. Kontribusi terhadap Pergerakan Nasional

Meski Sarekat Islam (SI) mengalami fragmentasi dan penurunan pengaruh menjelang akhir 1920-an, peran historisnya dalam membentuk fondasi pergerakan nasional Indonesia tidak dapat disangkal. Sebagai organisasi modern pertama yang memiliki basis massa luas, SI membuka jalan bagi keterlibatan rakyat kecil dalam arus politik nasional. Dalam konteks Hindia Belanda yang penuh ketimpangan, SI menjadi tonggak penting yang membuktikan bahwa kaum bumiputra—terutama dari kalangan pedagang, petani, buruh, dan santri—mampu mengorganisir diri dan berpartisipasi aktif dalam perjuangan kolektif.

Salah satu warisan terpenting SI adalah keberhasilannya dalam menjadikan Islam sebagai basis gerakan kebangsaan. Islam tidak lagi sekadar identitas kultural atau ritual keagamaan, tetapi diartikulasikan sebagai kekuatan sosial-politik yang membela keadilan, menolak penindasan, dan memperjuangkan martabat bangsa. SI adalah pelopor nasionalisme yang berakar pada moralitas agama, yang tidak bertentangan dengan cita-cita modern, tetapi justru menguatkannya melalui dimensi spiritual dan etis.

Bentuk nasionalisme yang dibangun oleh SI bersifat inklusif namun berakar. Ia menyatukan berbagai kelas sosial dalam satu ikatan solidaritas umat. Nasionalisme SI bukan nasionalisme elitis, melainkan nasionalisme massa, yang pertama kali menggerakkan rakyat bawah dalam skala nasional. Sebelum Sumpah Pemuda 1928 menegaskan persatuan Indonesia sebagai identitas bersama, SI sudah lebih dahulu mempraktikkannya dalam jaringan organisasi yang luas, lintas daerah dan kelas sosial.

Kontribusi lainnya adalah dalam hal kaderisasi tokoh-tokoh bangsa. Alumni dan pengaruh SI banyak mewarnai organisasi-organisasi berikutnya yang menjadi bagian penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia:

  • Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII): Kelanjutan dari garis moderat SI, PSII tetap menjadi kekuatan politik Islam hingga masa pergerakan kemerdekaan dan awal kemerdekaan RI.
  • Nahdlatul Ulama (NU): Sebagian tokoh pesantren yang sempat berafiliasi dengan SI kemudian berperan dalam mendirikan NU tahun 1926, sebagai respons terhadap modernisme Islam dan untuk memperkuat basis keagamaan tradisional.
  • Muhammadiyah: Meski berbeda secara asal-usul, Muhammadiyah tumbuh dalam semangat yang sejajar dengan SI, yaitu pembaruan Islam yang progresif, terorganisir, dan berbasis umat. Banyak aktivis dan kader Muhammadiyah yang terinspirasi oleh kesadaran sosial-politik yang lebih awal dikembangkan oleh SI.

SI juga menjadi model bagi gerakan politik yang berbasis nilai, bukan hanya kepentingan kekuasaan. Ia memperkenalkan etika perjuangan politik yang memadukan akhlak, keadilan sosial, dan pengabdian kepada rakyat. Dalam dunia politik kontemporer Indonesia yang sering terjebak dalam pragmatisme, warisan idealisme SI menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya visi dan prinsip dalam berpolitik.

Dengan demikian, Sarekat Islam bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pilar awal gerakan kebangsaan yang mengakar dalam jiwa umat. Ia mengukir jejak penting dalam proses pembentukan identitas nasional Indonesia—sebuah identitas yang plural, namun bersatu dalam semangat keadilan dan kemerdekaan.

2. Inspirasi bagi Gerakan Islam Modern

Warisan Sarekat Islam (SI) tidak berhenti pada masa kolonial. Gagasan-gagasan besar yang pernah digagas oleh SI—tentang pentingnya kesatuan umat, keadilan sosial, dan peran Islam dalam membela rakyat kecil—terus hidup dan berkembang dalam berbagai bentuk gerakan Islam modern Indonesia. SI menjadi sumber inspirasi ideologis dan organisatoris bagi generasi berikutnya dalam membangun gerakan Islam yang progresif, partisipatif, dan transformatif.

Salah satu warisan paling nyata SI adalah pengaruhnya dalam pembentukan partai-partai politik Islam di Indonesia setelah kemerdekaan. Konsep tentang Islam sebagai kekuatan sosial-politik yang sah dan demokratis menjadi dasar lahirnya sejumlah partai besar:

  • Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), didirikan tahun 1945, merupakan kelanjutan dari semangat SI dalam memperjuangkan aspirasi politik umat Islam secara modern dan terorganisasi. Banyak tokoh Masyumi, seperti Mohammad Natsir, terinspirasi oleh visi Islam politik yang telah lebih dahulu diperjuangkan oleh Tjokroaminoto.
  • Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang berdiri tahun 1973 sebagai hasil fusi beberapa partai Islam, juga mewarisi garis perjuangan umat yang menekankan pentingnya sinergi antara agama dan kehidupan politik nasional.
  • Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan sejumlah partai Islam kontemporer lainnya juga, dalam praktiknya, sering mengacu pada model organisasi dan militansi kultural SI, khususnya dalam penguatan basis massa, pendidikan kader, serta program sosial-ekonomi umat.

SI juga mewariskan model organisasi umat yang menyatukan tiga pilar penting: ekonomi, agama, dan politik. SI bukan hanya organisasi politik atau keagamaan semata, melainkan gerakan sosial yang menyentuh berbagai aspek kehidupan umat. Program koperasi, pendidikan, dan advokasi hukum yang pernah dikembangkan SI menjadi model yang kemudian banyak diadopsi oleh ormas-ormas Islam masa kini seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan Al Irsyad. Model organisasi yang terpadu dan responsif terhadap kebutuhan umat ini menunjukkan kematangan visi SI jauh melampaui zamannya.

Secara moral dan ideologis, SI meninggalkan warisan pemikiran dan etika perjuangan yang sangat penting dalam sejarah Islam Indonesia. Ia mengajarkan bahwa Islam adalah kekuatan pembebasan, bukan hanya dalam ranah spiritual, tetapi juga dalam menghadapi penindasan sosial dan politik. Tjokroaminoto dan para pemimpin SI menanamkan semangat bahwa politik Islam harus berakar pada nilai-nilai keadilan, kejujuran, solidaritas, dan kesantunan. Mereka menolak politik kebencian dan kekerasan, dan memilih jalur politik etis dan konstruktif sebagai jalan perjuangan.

Nilai-nilai ini tetap relevan di tengah tantangan zaman modern, di mana umat Islam dihadapkan pada globalisasi, ketimpangan ekonomi, dan erosi nilai-nilai sosial. Keseimbangan antara idealisme dan realisme, antara identitas keislaman dan keterbukaan terhadap modernitas, yang dulu diperjuangkan SI, masih menjadi agenda besar bagi gerakan Islam kontemporer.

Akhirnya, Sarekat Islam bukan hanya lembar sejarah yang selesai dibaca, tetapi cermin bagi perjalanan panjang umat Islam Indonesia dalam mencari bentuk peradaban yang adil dan bermartabat. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, mengajarkan bahwa Islam bukanlah hambatan kemajuan, melainkan motor penggerak kebangkitan bangsa.

Sarekat Islam: Dari Umat Menuju Bangsa

Sarekat Islam (SI) menempati posisi istimewa dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Ia bukan hanya organisasi modern pertama yang memiliki basis massa luas, tetapi juga simbol kebangkitan rakyat kecil dan Islam sebagai kekuatan sosial-politik yang sah dan terhormat di tengah hegemoni kolonialisme. Dalam konteks awal abad ke-20, ketika ketidakadilan ekonomi dan politik masih mencengkeram kehidupan rakyat bumiputra, SI tampil sebagai jembatan antara penderitaan dan harapan, antara umat yang tertindas dan gagasan tentang bangsa yang merdeka.

Dari sebuah perkumpulan dagang kecil di Solo, SI berevolusi menjadi kekuatan politik rakyat, yang tidak hanya memperjuangkan nasib pedagang batik, tetapi juga membela hak-hak kaum tani, buruh, santri, dan seluruh lapisan masyarakat yang selama ini tak bersuara. Dengan fondasi Islam yang kokoh, SI menyusun model perjuangan yang memadukan dakwah, pendidikan, ekonomi, dan mobilisasi massa secara modern dan terorganisasi. Ia menjadi ruang belajar politik, kaderisasi kepemimpinan, dan artikulasi cita-cita kemerdekaan, jauh sebelum Indonesia menjadi republik.

Lebih dari sekadar organisasi, SI membangun kesadaran kolektif baru bahwa bangsa Indonesia tidak ditakdirkan untuk tunduk. SI memperkenalkan nilai persaudaraan lintas kelas, pentingnya solidaritas umat, dan keharusan untuk menolak dominasi asing bukan dengan kekerasan, tetapi dengan akal sehat, moralitas, dan organisasi yang kuat. Dari sinilah SI menjadi jembatan historis antara tradisi keagamaan dan nasionalisme modern, membuka jalan bagi lahirnya gerakan-gerakan besar berikutnya—baik yang berbasis Islam, nasionalis, maupun sosialis.

Meskipun kemudian mengalami perpecahan dan kemunduran, warisan SI tetap hidup. Ia menjadi pelajaran penting tentang kekuatan ide dan organisasi, tentang perlunya kesatuan dalam keragaman strategi, serta tentang pentingnya keberanian untuk berpikir dan bergerak melampaui batas zaman. Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, Sarekat Islam adalah suara pertama yang berseru lantang dari bawah: kita harus bangkit, dan kita mampu bangkit — bersama.