Perang Diponegoro (1825–1830), yang menggambarkan perjuangan Pangeran Diponegoro melawan kolonial Belanda, serta kaitannya dengan warisan militer Mataram. mencakup latar belakang politik dan spiritual, strategi gerilya, struktur pasukan, tokoh penting, serta dampak perang terhadap sistem kolonial Belanda dan masyarakat Jawa.
Sejarah Perang Diponegoro (1825–1830)
Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825–1830) meletus di Jawa pada masa kolonial Hindia-Belanda. Konflik besar ini dipicu oleh ketegangan sosial-politik dan spiritual di Jawa setelah runtuhnya kedaulatan Keraton Mataram. Pada awal abad ke-19, perjanjian Giyanti (1755) telah membagi Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, sementara kekuasaan Eropa makin mencengkeram dengan kebijakan Daendels dan Raffles yang melucuti otoritas raja-raja Jawa. Belanda mencampuri urusan internal keraton, misalnya memaksa Sultan H.B. II membayar ganti rugi perang VOC dan ikut campur penunjukan Sultan baru. Penduduk Jawa (santri dan petani) mulai merasakan tekanan: pajak tinggi, monopoli produksi, serta intervensi di urusan agama dan adat yang tradisional. Perubahan hubungan Jawa–Belanda pasca-era VOC membuat keraton tak lagi berdaulat dan menjadi bawahan kolonial.
Secara spiritual, banyak orang Jawa menganggap situasi itu sebagai perang agama (“perang suci” atau perang sabil) menentang kekuatan kafir Belanda. Semangat jihad ini berakar pada tradisi Islam Mataram abad ke-17 seperti di masa Sultan Agung. Istilah Sabilillah dan peran sosok “Ratu Adil” kembali digemakan: Pangeran Diponegoro sendiri kelak dinyatakan sebagai pemimpin agama (sultan dan khalifah Islam di Jawa) oleh pendukungnya. Seluruh latar belakang inilah yang memunculkan gabungan pemikiran religius-politik dan rakyat jelata yang hendak mempertahankan kedaulatan Jawa dari pendudukan Belanda.
Penyebab dan Motivasi Pangeran Diponegoro
Pangeran Harya Diponegoro (1785–1855) adalah anak sulung Sultan H.B. III (Yogyakarta) yang terpilih. Ia adalah keturunan bangsawan Jawa dan ulama, cucu Sunan Ngampel Denta, dengan latar belakang keluarga santri yang kuat. Namun keislaman Diponegoro membara ketika menyaksikan intervensi Belanda di internal keraton Yogya: Ratu Ageng dan Patih Danurejo IV yang dekat dengan Belanda memaksakan proyek jalan tanpa izin di tanah leluhurnya (Desa Tegalrejo), yang dianggap penghinaan besar bagi keluarga keraton. Insiden itu membuat Diponegoro marah: ia menebang patok jalan yang dipasang tentara Belanda dan menggantinya dengan tombak, sebagai simbol perlawanan. Ketidakpuasan bertambah dengan beban pajak rakyat yang berat, monopoli ekonomi oleh Tionghoa, serta dekadensi moral di dalam istana – misalnya intervensi Smissaert (residen Belanda) yang memaksa penobatan Sultan Hamengkubuwana V pada 1823 dengan cara menghina adat Jawa (tempat patih smissaert duduk di singgasana Sultan). Situasi itu menyebabkan Diponegoro mundur dari tugas sebagai wali Sultan bersama Pangeran Mangkubumi karena menolak pengelolaan keuangan yang merugikan keraton dan menguntungkan Belanda.
Lebih jauh, tekad spiritual juga memengaruhi keputusan Diponegoro berperang. Dalam Babad Dipanagara (autobiografinya), ia menegaskan bahwa perlawanan ini adalah perang suci menegakkan Islam dan keadilan melawan kekuatan kafir. Ribuan santri, kyai, bahkan keluarga keraton – termasuk kyai terkenal seperti Kiai Mojo dari Surakarta – bergabung di pihaknya, menjadikan dipimpin seperti raja keraton Islam di Jawa bagian selatan. Mereka membakar semangat berperang dengan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga perang Diponegoro dihayati sebagai jihad melawan penjajahan. Sementara itu, tokoh santri lain seperti Kiai Imam Rafi’ah (Bagelen) dan Kiai Hasan Basori (Banyumas) tersebar di berbagai daerah menjadi pendukung utama perang sabil ini. Gabungan latar belakang klasik priyayi (keagamaan dan bangsawan) dengan pemberdayaan rakyat tani dan elemen santri inilah yang membuat Perang Diponegoro unik sebagai perlawanan sosial-religius berskala luas.
Strategi Gerilya Diponegoro dan Dukungan Pesantren
Setelah deklarasi perang pada 20 Juli 1825, Diponegoro segera menerapkan taktik gerilya klasik Jawa. Pasukannya dibagi menjadi batalyon-batalyon kecil (dengan nama-nama seperti Turkiya, Arkiya, dll.) yang gesit dan berpindah-pindah. Markas awal Pasukan Diponegoro di Gua Selarong (selatan Yogyakarta) cepat kosong saat Belanda menyerbu; Sang Pangeran dan laskar menyelinap ke tempat aman dan baru kembali menyerang setelah musuh meninggalkan lokasi. Dalam taktik ini, medan dan cuaca dipakai sebagai “senjata” utama. Serangan besar dilakukan pada musim hujan agar pasukan Belanda terhambat jalan berlumpur dan terjangkit penyakit (malaria, disentri). Fenomena alam tropis ini sering melemahkan logistik Belanda, memaksa mereka memohon gencatan senjata atau menunda operasi besar.
Jaringan dukungan pesantren dan desa menjadi tulang punggung perjuangan. Rakyat pedesaan menyuplai makanan, senjata tradisional (keris, tombak bambu, kayu gelondongan), bahkan senjata api rampasan dari musuh. Pendanaan perang awalnya dikumpulkan dari sumbangan emas, permata, dan uang yang diberikan oleh kaum bangsawan dan priyayi Jawa yang berpihak pada Diponegoro. Selain itu, “pusat industri senjata” tersebar di desa-desa (misalnya Kota Gede di dekat Yogya terkenal membuat peluru dan peralatan logistik). Pertahanan wilayah pun diorganisasi mirip pemerintahan keraton di lapangan: Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan “Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin” di Plered, dengan Kerta Pengalasan dan pasukan benteng sebagai penahan serangan Belanda.
Pesantren dan para ulama memainkan peran kunci. Ulama kharismatik seperti Kiai Mojo (Surakarta), Kiai Kuweron, dan banyak murid pesantren di daerah (ratusan kiai dan ulama bergabung) menyediakan legitimasi religius dan jaringan komunikasi rahasia. Laskar jihad ini menggunakan sandi khusus: misalnya di Blitar para pengikut Diponegoro menanam pohon sawo kecik di depan rumah sebagai tanda rahasia bahwa mereka bagian dari pasukan sang Pangeran. Kodifikasi semacam ini (sandi “sawo,” akronim sufu fakum yang berarti “rangkai barisan”) memudahkan koordinasi antarunit tersembunyi. Dukungan kuat rakyat desa memungkinkan pasukan Diponegoro berpindah markas dengan cepat; saat Belanda meninggalkan satu daerah, markas itu segera dihuni kembali laskar Jawa. Semangat “perang sabil” (gempuran keimanan) juga mempercepat moral laskar. Pasukan pribumi dikenal bergerak cepat dan lincah berkat motivasi religius tersebut. Dengan pola hit-and-run, serangan mendadak dan penyergapan atas jalur logistik Belanda, Diponegoro menimbulkan kerugian besar kepada armada Hindia-Belanda yang lebih besar secara kuantitas.
Pasukan Belanda dan Taktik Kontra-Gerilya
Pasukan Belanda (KNIL) pada saat Perang Jawa awalnya terdiri dari sekitar 6.148 tentara Eropa dan 5.734 tentara pribumi (dipimpin 369 perwira). Dua tahun kemudian jumlah KNIL meningkat menjadi lebih dari 21.000 personel. Belanda menggunakan formasi militer modern: infanteri bersenjata lengkap, kavaleri, dan artileri sebagai senjata andalan dalam peperangan terbuka. Mereka membangun benteng dan lini logistik untuk menekan perlawanan. Aksi frontal tentara besar-besaran terjadi di banyak titik: jika pagi hari Belanda merebut desa, malamnya pasukan Diponegoro seringkali merebut balik atau menyergap pasukan mundur.
Merkeveld De Kock, yang menjadi Gubernur Jenderal dan Panglima KNIL sejak 1827, mengubah strategi secara signifikan. Untuk menghadapi gerilya Diponegoro, ia menerapkan Benteng Stelsel: membangun lini benteng kecil yang saling terhubung dengan kawat duri dan pasukan mobile agar pasukan gerilya Jawa terisolasi. Benteng-benteng ini diletakkan di ujung-ujung daerah yang telah dikuasai KNIL, bertujuan menyekat ruang gerak musuh dan memaksa mereka ke wilayah terbatas. Selain itu, Belanda aktif menyebarkan mata-mata dan provokator di pedesaan untuk memecah belah kelompok Diponegoro. Mereka bahkan mengeluarkan maklumat hadiah 50.000 gulden bagi siapa pun yang menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati, sebagai incitement besar.
Pertempuran pun menjadi sangat mahal; Perang Diponegoro menelan korban besar di kedua belah pihak. Populasi Jawa merosot tajam dengan sekitar 200.000 jiwa tewas, sementara pasukan Belanda kehilangan kurang lebih 8.000 orang Eropa dan 7.000 serdadu pribumi. Kejatuhan pasukan Belanda juga ditunjukkan oleh kedatangan bala bantuan: pada puncak perang tahun 1827 jumlah tentara KNIL memuncak lebih dari 23.000 serdadu, suatu jumlah yang sangat besar untuk wilayah Jawa Tengah saat itu. Dari sudut militer, Perang Jawa merupakan perang skala modern pertama di Indonesia: menggabungkan perang terbuka (front langsung) dan perang gerilya (hit-and-run, pengadangan) secara bersamaan. Belanda juga memperlihatkan aspek psikis: selain gencatan senjata sesaat, mereka menekankan taktik “polisi-militer” dan teknis intelijen untuk membongkar jaringan DIP dan menekan keluarga sang Pangeran.
Kronologi Peperangan Utama
Perang Diponegoro berlangsung selama hampir lima tahun. (1) Peristiwa pembuka terjadi 20 Juli 1825 di Tegalrejo, Yogyakarta, ketika pasukan Diponegoro melawan patroli Belanda yang hendak memasang patok demarkasi jalan baru. Setelah insiden itu, Diponegoro mundur ke Gua Selarong dan mulai menyebarkan sihir perang: dia memerintahkan Genderang Perang ditiup pada 21 Juli 1825, resmi memulai peperangan Jawa. Pasukan pribumi segera menggelar serangan secara sporadis di wilayah Kedu dan Bagelen (sekitar Purworejo–Wonosobo).
(2) Pada awal 1826 pasukan Diponegoro merebut beberapa benteng Belanda kecil dan melancarkan serangan di dataran Kedu. Salah satu episode penting adalah serangan besar Belanda ke benteng Plered (Kuto Merah) pada 9 Juni 1826; pertahanan Diponegoro yang kuat di bawah Kerta Pengalasan (pangkalan barisan) berhasil menahan gempuran tersebut. Setelah serangan gagal itu, sang Pangeran memindahkan strategi pertahanan ke Daksa dan Sambirata (sungai Gede Barat). Musim gugur 1826 menjadi kemenangan bagi Diponegoro: pasukannya melakukan serangan mendadak (ambush) atas pasukan Hindia-Belanda yang bergerak dari Daksa menuju Yogya dan menghancurkan mereka secara tuntas. Pada Oktober 1826, laskar Diponegoro merebut kemenangan di Gawok, meski Pangeran sendiri tertembak dan harus beristirahat di lereng Merapi. Setelah itu dibangun keraton baru di Sambirata, walaupun Belanda sempat menyerbu, namun Diponegoro kembali lolos. Perang sempat berhenti sementara setelah gencatan senjata 10 Oktober 1827, namun perundingan damai tidak berhasil menghasilkan kesepakatan apa pun.
(3) Sejak akhir 1827 Perang Padri (Sumatera Barat) mengakhiri pengalihan pasukan Belanda ke Jawa. Namun di tahun-tahun berikutnya (1828–1829) kondisi pasukan Diponegoro mulai melemah. Pada 12 Oktober 1828 Belanda menangkap Kiai Madja, salah satu pemimpin spiritual pemberontakan, dan keesokan harinya memukul mundur Sentot Prawirodirdjo (panglima andalan yang kemudian berbalik membelot ke Belanda). Istri Diponegoro, RA Ratnaningsih, dan satu putranya juga tertangkap pada Oktober 1829, menambah tekanan pada laskar Jawa. Di daerah Bagelen sendiri, Sentot sempat bertempur dan merebut beberapa pos, namun akhirnya kalah. Konflik makin brutal ketika sikap antisiong dipicu; pasukan Diponegoro menyerang komunitas Tionghoa di pesisir Jawa Tengah karena alasan ekonomi dan agama, menyebabkan kekerasan antar-etnis yang menambah penderitaan sipil.
(4) Fase akhir perang berlanjut dengan perundingan yang akhirnya berubah menjadi jebakan. Pertengahan Februari 1830 Diponegoro setuju bertemu delegasi Belanda yang dipimpin Kolonel Jan Baptiste Cloëdren di Bagelen Barat. Ia mengirim perwakilan ulama untuk menjamin keamanan perundingan ramah dan berpuasa bersama selama bulan Ramadan. Di Magelang bulan Ramadan (25 Feb–27 Mar 1830), terjadi serangkaian pertemuan akrab antara Diponegoro dan Jenderal De Kock yang berpura-pura meredakan konflik. De Kock sempat menghadiahkan seekor kuda serta uang muka f 10.000 untuk pasukan Diponegoro, bahkan mengizinkan istri dan anak-anak Diponegoro datang sebagai tamu. Namun ketika Idul Fitri 28 Maret 1830 tiba, De Kock menjeratnya: atas nama damai, ia menahan Pangeran Diponegoro, dan suasana langsung berubah tegang. Setelah Diponegoro keras menuntut pengakuan Belanda sebagai Sultan dan tokoh agama Islam di Jawa Selatan (permintaan yang ditolak De Kock), ia akhirnya tidak diizinkan pulang. Pangeran Diponegoro dan para pengiringnya ditangkap oleh satuan tulungan Belanda di Magelang pada 28 Maret 1830, bertepatan Hari Raya Idul Fitri.
Pasca-tangkapan, sisa pasukan Diponegoro menyerah dengan syarat personil lainnya dibebaskan. Diponegoro diasingkan ke Manado (Sulawesi Utara) pada April 1830 dan kemudian ke Makassar hingga wafat tahun 1855. Perang Jawa resmi berakhir, memastikan kemenangan Belanda.
Dampak dan Pengaruh Perang
Perang Diponegoro memiliki dampak luas bagi struktur kekuasaan dan masyarakat Jawa. Bagi kolonial Belanda, kemenangan menghancurkan sisa kedaulatan keraton Jawa. Pemerintah kolonial memperkuat cengkeramannya: pasca-1830 keraton Yogya dan Surakarta tidak lagi diakui berdaulat, melainkan hanya sebagai birokrasi bawahan yang harus tunduk pada persetujuan pejabat Belanda dalam segala urusan. Pengaruh feodalisme Jawa melemah drastis; kepemilikan tanah dikuasai pemerintah kolonial dan petani dirangkap dalam sistem pajak baru. Selain itu, biaya perang Diponegoro sangat besar: sumber Belanda mencatat pengeluaran 25 juta gulden antara 1831–1877 (setara lebih dari 11 triliun dolar AS sekarang) untuk memadamkan sisa-sisa pemberontakan dan membangun infrastruktur pertahanan. Struktur administrasi Hindia Belanda pasca-perang pun disentralisasi total, menandakan era baru dominasi Eropa di Jawa.
Dampak sosial ekonomi bagi rakyat biasa juga dahsyat. Diperkirakan sekitar 200.000 penduduk Jawa tewas, belum termasuk korban luka atau yang kelaparan akibat langkanya pangan. Luas lahan pertanian rusak parah karena pertempuran dan kebakaran desa (diperkirakan seperempat lahan). Pasca perang, populasi Yogyakarta menyusut hingga hanya sekitar setengahnya dari sebelum perang. Penderitaan sipil kian bertambah oleh konflik antaretnis: pasukan Diponegoro kerap menyerang etnis Tionghoa yang dianggap kolaborator pemerintah kolonial, memicu pembantaian di berbagai daerah. Hubungan sosial di Jawa selatan sempat retak; misalnya peristiwa tragis di Bagelen, di mana penduduk Jawa membantai kaum Tionghoa secara membabi buta.
Setelah perang, rakyat Jawa terutama petani hidup dalam trauma berkepanjangan. Desa-desa hancur, rumah-rumah terbakar, dan banyak penduduk kehilangan mata pencaharian. Otoritas Belanda kian kejam mengawasi daerah pedalaman; muncul sistem kontrole yang melekat di kepengurusan desa. Meski begitu, jiwa perlawanan revolusioner dari Perang Diponegoro membekas dalam ingatan kolektif Indonesia sebagai cerminan semangat anti-kolonial hingga abad berikutnya.
Warisan Mataram Islam dan Konsep Kepemimpinan Sakral
Strategi perang dan ideologi Perang Diponegoro sangat dipengaruhi oleh tradisi Kerajaan Mataram Islam abad ke-17. Seperti Sultan Agung (Giri Kedaton), Diponegoro memanfaatkan taktik gerilya Jawa—menyerang secara tak terduga dan menggunakan medan serta faktor alam sebagai kekuatan. Gelar agung yang diambilnya, “Sayyidin Panatagama Kalifatulah ing Tanah Jawa” (“Pemimpin Agama dan Khalifah Allah di Tanah Jawa”), mencerminkan keinginannya meneruskan warisan sakral Mataram Islam. Gelar ini menyerukan dirinya sebagai penerus mandat sultan-sultan Mataram terdahulu, sekaligus simbol aspirasi Ratu Adil – pemimpin adil yang ditunggu oleh rakyat. Dalam konsep Jawa Islam tradisional, seorang raja juga pemimpin agama; sikap dan taktik Diponegoro memang merujuk ke peran mistik dan sakral seorang raja-pejuang.
Akar religius Islam juga tampak dalam penyebutan Perang Diponegoro sebagai perang sabil (perang melawan kafir). Kyai-kyai dan santri sering menggelar doa dan wirid sebelum bertempur; semangat jihad terpatri kuat dalam pasukan. Sejarawan mencatat bahwa pasukan pribumi Diponegoro berperang dengan keyakinan penuh “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” – “sejengkal bumi akan dipertahankan hingga mati”. Semangat sabilillah ini sama seperti kesalehan Sultan Agung saat ia menolak suap VOC dengan sebatan toya karat, dan keyakinan bakal jadi “pejuang suci” di Mata Allah.
Di sisi taktik, banyak peneliti mencatat kesinambungan teknik gerilya Diponegoro dengan yang dipakai kerajaan Jawa sebelumnya. Pola berpindah-pindah, markas yang disamarkan, penyergapan di ruas jalan, dan benteng kecil di desa mirip catatan Mataram sebelum-sebelumnya. Bahkan dalam buku “Sejarah Indonesia” disebut Perang Diponegoro mengintegrasikan taktik militer modern dengan warisan klasik Jawa, menambahkan dimensi psikis (provokasi dan spionase) yang belum pernah dipraktikkan pada masa Sultan Agung. Dengan demikian, Perang Diponegoro sering dianggap puncak ‘warisan Mataram’: menggabungkan ideologi kerajaan Islam (pemimpin sakral, jihad) dengan taktik gerilya tradisional Jawa serta perkembangan militer kolonial Barat.
Perang Diponegoro menegaskan kembali sentimen kedaulatan Jawa dan kerinduan rakyat akan pemimpin berkarisma sakral. Meskipun akhirnya gagal militer, perjuangan Diponegoro menjadi simbol perlawanan adat-religius melawan kolonialisme. Gerakan ini melanjutkan narasi besar bahwa keraton Mataram (sejak Sultan Agung) tetap relevan sebagai sumber inspirasi perjuangan, berujung pada semangat kemerdekaan Indonesia abad selanjutnya.
📚 DAFTAR REFERENSI
🔸 Sumber Primer & Klasik
- Babad Diponegoro – Autobiografi Pangeran Diponegoro, disusun tahun 1831–1832. (Naskah asli: Perpustakaan Nasional RI)
- Kronik Belanda (Arsip Kolonial Hindia-Belanda) – Surat kabar, laporan militer, dan memoar tentara Belanda abad ke-19 (diakses melalui KITLV Leiden dan ANRI)
- De Kock, Hendrik Merkus. Memorie mengenai Perang Jawa. Arsip Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, 1830.
🔸 Buku & Monograf Akademik
- Carey, Peter B.R. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV Press, 2007.
- Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press, 2008.
- Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Vol. 2. Jakarta: Gramedia, 1996.
- Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: LP3ES, 1984 (untuk konteks lanjutan pasca Perang Diponegoro).
- Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912–1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
🔸 Jurnal & Artikel Ilmiah
- Miksic, John. “Diponegoro and the Politics of Islamic Jihad in Java.” Indonesia Circle, Vol. 57, 1992.
- Muljana, Slamet. “Diponegoro dan Jihad Tanah Jawa.” Jurnal Sejarah Universitas Indonesia, Vol. 3, 1982.
- Pranoto, Bambang. “Perang Jawa dan Transformasi Strategi Gerilya Nusantara.” Jurnal Humaniora UGM, Vol. 25 No. 1, 2013.
- Santosa, Heru. “Perang Jawa dalam Perspektif Geo-Strategi.” Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 No. 2, 2020.
🔸 Ensiklopedia & Sumber Daring
- Wikipedia Bahasa Indonesia:
- Historia.id – “Jejak Perang Diponegoro dan Pemberontakan Terbesar di Jawa”, 2019.
- Kompas.com – “Perang Diponegoro: Kronologi, Strategi, dan Penangkapan”, 2021.
- Perpustakaan Nasional RI – Digitalisasi naskah Babad Diponegoro (edisi aksara Jawa & terjemahan).