Perang Trunajaya Mataram Islam Melawan VOC (1674–1680)

Perang Mataram Islam vs VOC dalam Perang Trunajaya (1674–1680), mencakup latar belakang politik dan sosial, tokoh utama seperti Amangkurat I, Raden Trunajaya, dan Raden Kajoran, jalannya pertempuran besar, peran VOC dalam membantu Mataram, serta konsekuensi politiknya.

Latar Belakang Politik dan Sosial Mataram di Masa Amangkurat I

Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Mataram di bawah Sultan Amangkurat I (r. 1646–1677) mengalami gejolak serius. Amangkurat I dikenal zalim dan otoriter, menumpas oposisi dengan kekerasan. Ia berusaha konsolidasi kekuasaan secara sentralistik: menghapus hak otonomi bupati dan kerabat, memusatkan administrasi dan keuangan, serta membunuh siapa saja yang dicurigai bakal menentang. Kebijakan represif ini – termasuk dugaan pembantaian terhadap ulama dan bangsawan yang menentang – menimbulkan ketidakpuasan luas. Salah satu contoh keganasannya, menurut sumber modern, adalah ”Amangkurat I memerintah Mataram dengan kejam, otoriter”.

Sikap dekatnya dengan VOC juga berpengaruh sosial-politik. Berbeda dengan Sultan Agung (ayahnya) yang memerangi VOC, Amangkurat I justru merapat ke VOC sejak awal pemerintahannya untuk memfasilitasi perdagangan dan memudahkan penerimaan pajak beras. Ia menghapus monopoli beras kerajaan demi kelancaran perdagangan dengan VOC. Akibatnya, masyarakat Jawa melihat kerajaan semakin kompromistis terhadap Belanda. Popularitas dinasti Mataram menurun karena ”sifatnya yang kejam, semena-mena, serta terlalu dekat dengan VOC”. Keadaan politik demikian memicu pemberontakan-pemberontakan kecil, seperti pemberontakan Pangeran Alit (adik Amangkurat) pada 1648. Pun, tingginya ketidakpuasan rakyat dan elit menyebabkan munculnya gerakan pemberontakan besar di era berikutnya (pemberontakan Trunajaya). Sejarawan M. C. Ricklefs menegaskan bahwa upaya-upaya sentralisasi Amangkurat I justru ”menghasilkan pemberontakan terbesar abad ke-17”, yang akhirnya meruntuhkan dinasti dan memaksa campur tangan VOC.

Munculnya Pemberontakan Raden Trunajaya

Pemberontakan Trunajaya berakar pada ketegangan antar-bangsa dan kekecewaan pribadi terhadap Amangkurat I. Raden Trunajaya sendiri adalah seorang bangsawan Madura (kelak bergelar Panembahan Maduretna) yang menyimpan dendam kuat: ayahnya, seorang penguasa Madura bernama Mas Mohammad, dibunuh atas perintah Amangkurat I pada 1656. Akibatnya, Trunajaya meninggalkan istana Plered dan mengasing ke pesanggrahan Kajoran (di Jawa Tengah). Di Kajoran inilah Trunajaya bertemu dengan Raden Kajoran, seorang leluhur ulama dan bangsawan Mataram yang juga marah dengan politik keji Amangkurat I. Alur sejarah mencatat bahwa Raden Kajoran — yang dulunya menikah dengan anggota dinasti Mataram dan memegang nama besar keluarga Kajoran — menjadi mertuanya. Dalam lingkup inilah Trunajaya mendapatkan dukungan awal, termasuk tiga putra Kajoran, seperti Raden Wirakusuma, yang kemudian memimpin serangan ke kraton Mataram.

Pendukung etnis Madura dan Makassar sangat menentukan keberhasilan awal pemberontakan. Madura, kampung halaman Trunajaya, sejak lama di bawah hegemoni Mataram tapi tidak pernah benar-benar akur. Setelah Sultan Agung menaklukkan Madura, jabatan raja Madura diwariskan pada keturunan Cakraningrat I dan selanjutnya pada Cakraningrat II. Raden Trunajaya merupakan keponakan Cakraningrat II. Sifat amarah Trunajaya atas perlakuan Mataram tersebut digabung dengan propaganda keluarga Kajoran yang kuat mempengaruhi keturunan ulama dan bangsawan. Secara luas ia menggalang dukungan rakyat Jawa (khususnya wilayah pesisir) dan warga Madura. Dukungan Makassar masuk setelah kekalahan Kesultanan Gowa (Makassar) oleh VOC (Perang Makassar 1666–1669). Ribuan pasukan Makassar yang menolak kekuasaan Belanda melarikan diri ke Jawa Timur. Mereka tertarik bergabung dengan pemberontakan Trunajaya, terutama di bawah komando Karaeng Galesong (putra Sultan Hasanuddin dari Gowa).

Persekutuan antara Trunajaya, Kajoran, serta pasukan Madura dan Makassar menjadikan pemberontakan berskala besar. M. C. Ricklefs mencatat penguasaan teknologi militer tak beda jauh antara pasukan pribumi dan VOC, karena orang Jawa sudah mahir membuat bubuk mesiu dan senapan sejak 1620-an. Artinya, kekuatan pemberontak mendapatkan tambahan militan terlatih dari Makassar. Bukti kongkritnya: pada tahun 1675 Trunajaya mengadakan pakta nikah dengan Karaeng Galesong. Pengkondisian pernikahan itu ditanggapi Galesong dengan mengerahkan pasukannya menyerbu pesisir timur Jawa. Hasilnya, pada akhir 1675 kedua tokoh ini berhasil merebut kota-kota pesisir penting seperti Gresik dan Surabaya bersama pasukannya. Kemenangan awal ini memperluas basis Trunajaya dan menginsiasi fase pemberontakan berikutnya.

Jalannya Pemberontakan Trunajaya (1674–1680)

Kronologi pemberontakan Trunajaya sangat dinamis. Berikut garis besar kejadiannya:

  • 1674–1675 (Mulai dan Kemenangan Awal). Pemberontakan dimulai dengan serangan Makassar-Madura dari Demung (Jawa Timur). Serangan 1674 ke Gresik sempat dipukul mundur, tetapi setahun berikutnya (1675) Trunajaya bersekutu dengan Karaeng Galesong dan raider Makassar. Mereka berhasil memecah kekuatan loyalis. Dengan kekuatan 9.000 pasukan gabungan Makassar–Madura, Trunajaya menyeberang ke Jawa pada September 1676, menyeberang dari Madura ke Jawa bersama Galesong. Sebuah pasukan besar loyalis Mataram – yang jumlahnya ”jauh lebih besar” menurut Ricklefs – dikalahkan total dalam Pertempuran Gegodog pada Oktober 1676 di dekat Tuban. Kekalahan besar ini membuka jalan pemberontak menguasai hampir seluruh Jawa pesisir utara, termasuk pelabuhan utama Pasuruan hingga Tuban. Dengan kepercayaan diri tinggi, Trunajaya kemudian mengambil gelar Panembahan Maduretna, sementara Galesong diberi gelar Adipati Anom, menegaskan kesetiaan mereka.
  • Mei–Juni 1677 (Serangan Balasan VOC dan Penjarahan Plered). Menghadapi krisis, Amangkurat I akhirnya memohon bantuan VOC. Kontrak aliansi VOC–Mataram ditandatangani Februari–Maret 1677, pada akhirnya VOC mengirim armada besar. Pada Mei 1677, pasukan VOC pimpinan Cornelis Speelman mendatangi Surabaya, yang telah menjadi ibukota cadangan Trunajaya. VOC berhasil mengusir Trunajaya dari Surabaya, yang memaksa Trunajaya mundur ke pedalaman, mendirikan benteng baru di Kediri. Namun, hanya sebulan kemudian, pemberontak balik menyerang Plered (ibukota Mataram di Jawa Tengah). Pada Juni 1677, Trunajaya dan panglima-panglimanya menjarah habis istana Plered. ”Ibukota dirampok, seluruh kas kerajaan dibawa lari, dan Raja Amangkurat I yang sudah sakit kritis meninggal dalam pengungsian”. Kejatuhan Plered dan wafatnya Amangkurat I meninggalkan kekosongan kekuasaan, mengguncang legitimasi kerajaan Mataram.
  • Oktober 1677 (Bangkitnya Amangkurat II dan Perjanjian Jepara). Pangeran Mahkota Raden Mas Rahmat naik takhta sebagai Amangkurat II, namun situasinya genting: tanpa pasukan dan harta karun, ia terpaksa bersekutu sepenuhnya dengan VOC. Pada Oktober 1677 di Jepara, Amangkurat II menandatangani Perjanjian Jepara dengan VOC (diwakili Speelman). Isi utama perjanjian itu sangat memberatkan Mataram: Amangkurat II menjanjikan membayar biaya perang (sekitar 310.000 reaal dan ribuan ton beras) dan menggadaikan wilayah pantai utara Jawa kepada VOC sebagai jaminan. Setelah perjanjian, Amangkurat segera bersekutu dengan VOC, meski harus menyerahkan kota pelabuhan Jepara, Semarang, Salatiga, dan hak monopoli perdagangan berharga (tekstik, opium, gula) kepada VOC.
  • Kampanye Kediri (1678). Setelah pengaturan aliansi, VOC memprioritaskan menumpas pusat kekuatan Trunajaya di Kediri. Pada pertengahan 1678, VOC mengirim pasukan tambahan dengan komandan baru, Kapten Anthonio Hurdt (mantan gubernur Ambon) yang diberi gelar admiral perangnya. VOC juga melibatkan sekutu Bugis (Arung Palakka) yang sebelumnya bertempur bersama VOC melawan Gowa. Pada November 1678 pasukan VOC-Mataram (dibagi tiga kolom) menyerbu Kediri dari beberapa jalur darat. Pasukan kombinasi itu akhirnya memukul mundur pertahanan Trunajaya. Tanggal 25 November 1678, pasukan Amangkurat II bersama VOC berhasil merebut benteng Kediri. Dalam serangan itu keraton Trunajaya dijarah, dan bahkan kas kerajaan (yang ditawan Trunajaya setelah penjarahan Plered) hangus direbut kembali. Trunajaya berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di pegunungan.
  • Akibat Kekalahan Trunajaya (1679–1680). Pasca-kehilangan Kediri, kekuatan pemberontak mulai terpuruk. Banyak ketua pasukan dan aliansi Trunajaya yang tersingkir atau berkhianat. Karaeng Galesong awalnya sempat kembali bergabung dengan VOC tetapi lalu berpaling lagi, hingga akhirnya melarikan diri dari pasukan VOC pada Oktober 1679. Menjelang akhir 1679, pasukan VOC-Mataram memburu sisa Trunajaya di Jawa Timur. Trunajaya yang kehabisan cadangan dan makanan terpaksa menyerah pada akhir Desember 1679. Ia ditawan oleh VOC pada 25 Desember 1679. Namun, saat dihadirkan pada acara resmi penguasa (Amangkurat II), Trunajaya ditikam dan dibunuh oleh sang raja pada tanggal 2 Januari 1680. Dengan matinya Trunajaya, pemberontakan secara teknis berakhir – meski situasi politik Mataram masih kacau (pemberontakan Pangeran Puger, adik Amangkurat II, berlanjut hingga 1681).

Keterlibatan VOC: Bantuan, Syarat, dan Motivasi

VOC mendapatkan kesempatan emas selama pemberontakan Trunajaya. Motivasi ekonomi dan politik VOC di Jawa sangat besar. Pulau Jawa adalah tumpuan utama pasokan beras ke Batavia dan juga sumber kayu bangunan kapal VOC. Ketika Mataram terancam runtuh, VOC khawatir pasokan pangan dan kayu ke Batavia terputus. Sejarawan Ricklefs menekankan: “Hal-hal penting tentang Mataram yang mengikat orang-orang VOC pada Mataram adalah beras dan kayu”. Dengan demikian, membantu Mataram yang dilanda krisis dianggap strategis bagi kepentingan dagang Belanda.

Namun, bantuan VOC tidak gratis. Kesepakatan Jepara 1677 mengharuskan Amangkurat II menanggung biaya perang VOC dalam jumlah sangat besar. Di samping 310.000 reaal dan ribuan ton beras awal, VOC melalui serangkaian perjanjian selanjutnya menagih segala biaya militer sejak 1676. Saat Amangkurat II mengajukan pemberontakan, ia terpaksa menerima syarat VOC secara penuh: menyerahkan kota pantai utara Jawa sebagai jaminan pembayaran perang. Syarat komprehensif dituliskan bahwa pantai utara Jawa ”mulai Karawang sampai ujung timur” diikat oleh VOC sebagai jaminan pelunasan biaya perang. Selain itu, wilayah pesisir utama Jepara, Semarang, dan jalur perdagangan diserahkan VOC. Atas bantuan ini, Amangkurat II bahkan menggadaikan sebagian kerajaannya—tanah strategis maupun monopoli dagang—pada VOC. Kondisi ini mirip ”menjual diri” ke Belanda; dengan kata lain, persekutuan itu lebih menguntungkan VOC.

Secara politik, VOC berhasil memperoleh hegemoninya di Jawa. Setelah perjanjian Jepara, VOC ditempatkan sebagai pengawal Mataram. VOC tidak hanya memobilisasi pasukan untuk kampanye militer (500–900 tentara VOC dan ribuan sekutu Bugis pada 1678), tetapi juga menempatkan garnisun di kota-kota utama dan mendirikan benteng di Kartasura (ibu kota baru Mataram) pascaperang. Motivasi VOC lebih luas lagi: mempertahankan pengaruh dagang, mewujudkan monopoli (misalnya monopoli tekstil, opium, gula dalam perjanjian), serta menciptakan klien politik di Jawa sebagai perpanjangan kepentingan Hindia Belanda.

Peran Tokoh Utama

Beberapa tokoh kunci mempengaruhi dinamika konflik ini:

  • Amangkurat I (Sultan Mataram, r.1646–1677): Penguasa yang otoriter dan kejam, penyebab munculnya kegemparan pemberontakan. Kebijakannya yang represif menciptakan musuh di kalangan bangsawan (seperti Pangeran Alit, Adipati Anom/Pangeran Pekik yang memberontak) serta di kalangan rakyat. Ia juga bertanggung jawab atas pembunuhan tokoh penting (misalnya Pangeran Pekik dan keluarga pada 1668). Amangkurat I mencontohkan pemerintahan berbasis kekerasan; saat kerajaannya diserang Trunajaya, ia gagal mempertahankan Plered dan akhirnya meninggal dalam pelarian.
  • Amangkurat II (Raden Mas Rahmat, r.1677–1703): Putra Amang I yang naik takhta saat krisis. Sosoknya lemah dan sangat bergantung pada VOC. Peran utamanya adalah menstabilkan takhta dengan bantuan Belanda. Ia menandatangani kontrak Jepara, membayar VOC dan menyerahkan wilayah, sehingga VOC-lah yang menuntun kembali kekuasaannya. Amangkurat II digambarkan sebagai “sunan berhati lemah, mudah dipengaruhi” Belanda. Setelah berkuasa, ia menghadapi pemberontakan baru (seperti Pangeran Puger) serta tuntutan utang perang. Dampak terbesar pemerintahannya adalah Mataram menjadi semi-boneka VOC dan berhutang besar (sekitar 2,5 juta gulden pada 1683).
  • Raden Trunajaya: Pendiri dan pemimpin pemberontakan. Sebagai bangsawan Madura yang dendam, Trunajaya memiliki kemampuan militer dan kharisma untuk mengorganisasi pasukan Madura, Jawa, dan Makassar. Ia mengangkat gelar Maduretna (Penguasa Madura) pada 1676 dan menjadi simbol perlawanan. Trunajaya berkoalisi dengan Karaeng Galesong (Makassar) lewat ikatan pernikahan, dan merebut banyak wilayah timur hingga Jawa Tengah. Pada akhir perang, Trunajaya menyerah kepada VOC akhir 1679 (resmi ditangkap 25 Des 1679) tetapi kemudian dieksekusi oleh Amangkurat II pada 2 Januari 1680. Eksekusi ini menandai akhir pemberontakannya.
  • Kapten Anthonio Hurdt (VOC): Komandan VOC yang memimpin kampanye darat melawan Trunajaya sejak pertengahan 1678. Berpengalaman sebagai gubernur Ambon, Hurdt ditunjuk menjadi panglima pasukan ekspedisi VOC ke Jawa. Ia memimpin sekitar 1.400 pasukan VOC bersama pasukan pendukung dari Surabaya dalam operasi penaklukan Kediri. Meskipun tidak berpengalaman di Jawa, Hurdt memadukan strategi VOC (alun ke Kediri) dengan saran Amangkurat II agar pasukan dibagi tiga kolom. Kolaborasi Hurdt–Amangkurat ini berhasil menewaskan pemberontakan Trunajaya dengan penyerangan langsung ke bentengnya di Kediri.

Di samping mereka, perlu dicatat peran sekutu seperti Karaeng Galesong (pemimpin Makassar, sekutu Trunajaya) yang memimpin pasukan Makassar pertama ke Jawa, serta Arung Palakka (salah satu panglima Bugis sekutu VOC) yang memberikan ribuan prajurit Bugis pada pihak Belanda.

Strategi Militer dan Teknologi Senjata

Pasukan yang terlibat memadukan taktik lokal dan asing pada era senjata api awal. Kekayaan taktis dan senjata kedua belah pihak cukup seimbang:

  • Pasukan Mataram–VOC: Tentara Amangkurat II campuran antara pasukan keraton Mataram dan pasukan VOC profesional. Pasukan Mataram utama adalah warga sipil bersenjata ringan (pedang, lembing) serta sedikit kavaleri elit (terdiri dari warok Ponorogo). Mereka memanfaatkan meriam dan senapan tanika (misalnya senapan sundut dan karabin) yang telah dipelajari sejak Sultan Agung. VOC menambah keunggulan disiplin dengan membawa pasukan Eropa dan Asia berlatih baik di medan tempur. Setiap tentara VOC berperlengkapan lengkap: pedang, senapan, pocong bubuk mesiu, granat, serta karung amunisi. VOC unggul dalam logistik dan formasi berbaris (bergerak perlahan bersama kereta supply panjang), memungkinkan operasi lintas pulau tanpa kelaparan. Pada intinya, Victor Ha-eq pasukan Mataram-VOC menggunakan taktik tradisional Jawa yang berpadu senjata api abad ke-17.
  • Pasukan Trunajaya dan sekutunya: Inti pasukannya adalah gabungan rakyat Madura, pasukan Makassar, dan beberapa bangsawan Jawa pemberontak. Mereka juga memiliki meriam (perunggu dan besi) dan sejumlah kavaleri bersenjata berat (dilengkapi baju zirah rantai). Trunajaya mendirikan beberapa benteng di sepanjang Sungai Brantas untuk pertahanan pasca-Kediri. Teknologi senjata Trunajaya tak kalah: sumber menegaskan ”tidak ada perbedaan teknologi signifikan” antara pasukan Javanese rebel dengan VOC pada periode ini. Artinya, prajurit Jawa sudah menguasai pembuatan bedil dan meriam lokal. Taktik pemberontak umumnya berupa penyerangan cepat ke pusat-pusat pelabuhan dan perang gerilya di pegunungan saat terdesak. Kemenangan di Gegodog 1676 menunjukkan efektivitas pasukan gabungan ini dalam bentrokan terbuka. Namun, saat dikepung oleh pasukan besar Mataram–VOC, mereka melemah oleh kekurangan suplai dan kalah jumlah.
  • Strategi Koalisi VOC–Mataram: Pasukan gabungan VOC–Mataram menerapkan strategi pengepungan dan penyerangan terpadu. Misalnya, dalam kampanye Kediri 1678, Amangkurat II dan Hurdt memecah pasukan menjadi tiga kolom yang mengambil rute tidak langsung. Tujuannya agar pasukan melewati lebih banyak wilayah, mengesankan pihak-pihak yang ragu, dan merebut dukungan lokal. Taktik ini berhasil memperbesar kekuatan campuran ketika pasukan itu berbaris ke Kediri. Pertempuran senjata api berskala besar pun berlangsung: Trunajaya yang sempat memiliki meriam meriam besar sempat melumpuhkan sebagian pasukan VOC dengan tembakan artileri, namun pada akhirnya VOC memanfaatkan keunggulan taktis dan jumlah prajurit untuk menyerbu.

Kekalahan Trunajaya dan Eksekusinya (1680)

Setelah serangkaian kemenangan VOC–Mataram, Trunajaya akhirnya terpojok. Pada awal 1680, tinggal sedikit pemimpin pemberontak yang bebas. Trunajaya menyerah kepada pasukan VOC di wilayah Jawa Timur sekitar akhir Desember 1679. Ia diperlakukan sebagai tahanan terhormat oleh VOC pada awalnya. Namun pada kunjungan resmi amsal, Amangkurat II tiba-tiba menikam Trunajaya – mengklaim korban mencoba membunuhnya – dan pasukan keraton menyelesaikan eksekusinya pada 2 Januari 1680. Insiden ini menandai kematian resmi pemimpin pemberontakan Trunajaya. Dengan tiadanya lagi pimpinan pusat, sisa-sisa pasukan rebel cepat luluh. Secara teknis, Pemberontakan Trunajaya berakhir setelah penangkapan dan kematian beliau.

Dampak Jangka Panjang terhadap Mataram dan VOC

Hasil konflik ini mengubah wajah kekuasaan di Jawa. Bagi Mataram, akibatnya sangat merugikan:

  • Kerusakan dan perpindahan ibukota: Istana Plered yang dihancurkan kemudian ditinggalkan. Amangkurat II membangun Keraton Kartasura pada akhir 1680 sebagai ibukota baru (dengan benteng VOC di dalam kompleksnya). Perpindahan mencerminkan runtuhnya simbol kekuatan Mataram lama.
  • Kehilangan kedaulatan dan utang besar: Keterlibatan VOC membuat Mataram menanggung beban ekonomi berat. Selain wilayah-wilayah kustodian pantai utara (dari Karawang ke timur Jawa) yang dipindah tangan pada VOC, utang perang menumpuk. Pada 1682 terungkap utang Mataram melebihi 1,5 juta real (sekitar lima kali kekayaan kerajaan). Amangkurat II bahkan harus memenuhi ketentuan utang awal sebesar 2,5 juta gulden atas biaya perang. Utang ini membuat Mataram tergantung ekonomi pada VOC hingga puluhan tahun kemudian.
  • Dominasi VOC di Jawa: Kemenangan VOC dalam perang ini memantapkan posisi Belanda di Jawa. VOC mendapatkan akses penuh ke pelabuhan kunci (Semarang, Jepara, Salatiga) dan monopoli dagang yang menjadikan Mataram bergantung. Selain itu, VOC mendirikan benteng dan garnisun permanen di Kartasura, bertindak sebagai “penjaga” raja. Konsekuensinya, pemimpin Jawa selanjutnya cenderung dicocokkan dengan kepentingan VOC, dan kebijakan VOC berpengaruh besar dalam perpolitikan Jawa pasca-perang.
  • Perubahan struktur kekuasaan dalam Mataram: Konflik meninggalkan celah kekuasaan dalam kerajaan. Sejak awal, muncul persaingan di istana: Pangeran Puger (adik Amang II) sempat memproklamasikan diri sebagai raja di Plered hingga kalah 1681. Setelah Amang II mangkat (1703), perebutan takhta antara keturunannya (Amangkurat III) dan Pangeran Puger (Pakubuwono I) pecah menjadi Perang Suksesi Jawa I (1704–1708). VOC terlibat kembali, kali ini mendukung Pakubuwono, sehingga konflik internal Mataram beralih ke pertarungan pro- dan anti-VOC.
  • Pengaruh sosial dan pajak: VOC menerapkan sistem pajak baru. Pendapatan ritus-intelek dikuasai VOC, warung-akun pajak dagang dikurangi untuk VOC. Monopoli dagang mempersempit ruang ekonomi Mataram. Keberadaan VOC pun memicu rasa nasionalisme Jawa kelak, memacu pemberontakan baru (contoh: pemberontakan Untung Surapati 1686).

Pemberontakan Trunajaya menandai awal penurunan besar-besaran kekuasaan Mataram dan naiknya dominasi VOC di Jawa. Kesultanan Mataram yang semula kekuatan terkuat di Pulau Jawa, pascaperang ini perlahan menjadi negara boneka Belanda, kehilangan bagian luas tanah utara dan terikat utang. VOC, sebaliknya, semakin kokoh mengatur politik pedalaman Jawa, memasuki abad kolonialisme dengan pijakan kuat berkat sengketa ini.


📚 Daftar Referensi

  1. Ricklefs, M. C. (1993). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Macmillan, London.
  2. de Graaf, H. J. & Pigeaud, T. G. T. (1976). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Grafitipers.
  3. Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. Yale University Press.
  4. Lombard, Denys (1990). Nusa Jawa: Silang Budaya 2 – Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia.
  5. Houben, V. J. H. & Kolff, D. H. A. (1988). Between Town and Hinterland: Social and Economic Aspects of Early Indonesian Urbanization. KITLV Press.
  6. Andaya, Leonard Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (1660–1700). The Hague: M. Nijhoff.
  7. Pigeaud, T. G. T. (1967–1975). Java in the 17th Century: A Study of Babad Literature. The Hague: Martinus Nijhoff.
  8. Babad Tanah Jawi. Berbagai versi cetak ulang dan transkripsi manuskrip. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
  9. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Kontrak VOC – Mataram, Arsip Jepara 1677.
  10. Kumar, Ann (1976). Surapati: Man and Legend – A Study of Three Babad Traditions. Canberra: Research School of Pacific Studies, Australian National University.
  11. Regee, J. E. (2008). VOC dan Ekspansi Kolonial di Jawa Abad XVII. Leiden: KITLV Press.
  12. Carey, Peter (1992). Orang Jawa dan VOC. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  13. Schrieke, B. (1957). Indonesian Sociological Studies. The Hague: W. van Hoeve.

About administrator