Perang Jawa II (Perang Geger Pacinan, 1740–1743)

Perang Jawa II, yang dikenal pula sebagai Perang Geger Pacinan, merupakan salah satu episode paling kompleks dan berdarah dalam sejarah Nusantara pada abad ke-18. Konflik ini tidak hanya mempertemukan kekuatan militer, tetapi juga menyatukan berbagai kepentingan sosial, politik, ekonomi, dan etnis dalam sebuah ledakan besar perlawanan terhadap kekuasaan kolonial VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Latar belakang peristiwa ini berkaitan erat dengan kemunduran Dinasti Mataram pasca-Perjanjian Giyanti, ketika posisi politik kerajaan terus melemah akibat ketergantungan pada VOC dan berbagai konflik internal. Situasi politik Jawa saat itu ditandai oleh fragmentasi kekuasaan, krisis legitimasi, dan ketegangan antara bangsawan, rakyat desa, serta penguasa istana yang semakin kehilangan otoritas spiritual dan militer.

Di sisi lain, Batavia (kini Jakarta), sebagai pusat kekuasaan VOC, tengah menghadapi ledakan populasi dan ketegangan sosial-ekonomi, terutama dengan komunitas Tionghoa. Etnis Tionghoa yang telah lama menjadi penggerak ekonomi Batavia mulai dipandang curiga oleh otoritas kolonial. Kebijakan pemaksaan pemukiman ulang dan deportasi paksa, serta ketidakadilan dalam perlakuan pajak dan hukum, memicu ketegangan yang pada akhirnya meledak menjadi pembantaian massal terhadap warga Tionghoa di Batavia pada Oktober 1740. Peristiwa ini menjadi pemicu langsung solidaritas perlawanan antara komunitas Tionghoa yang tersisa dan berbagai elemen masyarakat Jawa yang sudah lama menaruh dendam pada VOC.

Perang Geger Pacinan menjadi penting karena ia merupakan gabungan antara konflik etnis (Tionghoa vs VOC), pemberontakan rakyat (anti-kolonial), dan krisis suksesi politik di tubuh Dinasti Mataram. Dalam konteks ini, muncul tokoh sentral seperti Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), cucu dari Amangkurat III, yang tampil sebagai simbol perlawanan dan pemulihan legitimasi politik dinasti lama.

Tulisan ini bertujuan untuk mengurai secara sistematis akar-akar konflik Geger Pacinan, tokoh-tokoh utama yang terlibat, jalannya perang yang berlangsung di berbagai wilayah Jawa, serta implikasi besarnya terhadap kekuasaan VOC, Dinasti Mataram, dan solidaritas etnis di Nusantara. Dengan demikian, peristiwa ini tidak hanya menjadi catatan tragedi dan kekerasan, tetapi juga pelajaran penting dalam membaca dinamika penjajahan dan perlawanan rakyat di masa silam.

Latar Belakang Konflik

a. Ketegangan Ekonomi dan Sosial di Batavia

Pada awal abad ke-18, Batavia menjadi pusat aktivitas dagang VOC yang paling penting di Asia Tenggara. Namun, di balik kemegahan benteng dan pelabuhannya, kota ini menyimpan bom waktu sosial akibat kebijakan kolonial yang eksploitatif dan diskriminatif. Salah satu komunitas yang paling terdampak adalah etnis Tionghoa, yang saat itu jumlahnya meningkat pesat karena kedatangan imigran dari daratan Tiongkok.

Komunitas Tionghoa dikenal sebagai tulang punggung ekonomi kota. Mereka terlibat aktif dalam sektor perdagangan, pengolahan gula, dan pertukangan. Namun keberhasilan ekonomi ini justru menimbulkan kecurigaan dan ketegangan dari pihak VOC. Otoritas kolonial khawatir terhadap potensi politik dan kekuatan finansial warga Tionghoa, yang dianggap sulit dikendalikan dan semakin berani menuntut haknya.

VOC mulai menerapkan berbagai kebijakan represif terhadap warga Tionghoa: pajak yang mencekik, pengawasan ketat terhadap aktivitas harian, dan pembatasan ruang gerak. Salah satu langkah paling kontroversial adalah kebijakan pemindahan paksa (deportasi) terhadap warga Tionghoa “gelap” ke daerah-daerah lain seperti Ceylon dan Afrika Selatan. Kebijakan ini dilakukan secara sepihak dan brutal, sering kali tanpa bukti kuat. Mereka yang dituduh “tanpa izin” ditangkap, ditahan, dan dikirim paksa dengan kapal, yang sering kali berujung pada kematian di laut.

Selain itu, diskriminasi struktural terjadi dalam sistem hukum dan birokrasi. Pengadilan kolonial kerap memihak kepada warga Eropa dan Belanda, sementara orang Tionghoa tidak mendapatkan hak pembelaan yang adil. Dalam masyarakat yang semakin stratifikasi, komunitas Tionghoa menjadi korban scapegoating politik dan ekonomi, dianggap sebagai “orang luar” yang harus dikendalikan meskipun mereka telah lama menetap dan berkontribusi pada kota.

Akibat dari ketegangan ini, muncul gejolak dan keresahan luas di antara komunitas Tionghoa. Muncul rumor akan adanya pemberontakan atau sabotase dari pihak mereka, yang kemudian dibesar-besarkan oleh pemerintah VOC untuk melegitimasi tindakan represif. Dalam suasana penuh kecurigaan dan ketakutan, kebijakan yang semula bersifat administratif berkembang menjadi kekerasan terbuka.

Kondisi ini menjadi api dalam sekam yang menyulut tragedi besar pada Oktober 1740, ketika VOC melancarkan pembantaian massal terhadap warga Tionghoa Batavia. Sekitar 10.000 orang terbunuh dalam peristiwa ini, menandai awal dari gelombang perlawanan Tionghoa yang akan meluas ke berbagai wilayah Jawa, dan menjadi bagian penting dari apa yang kita kenal sebagai Perang Geger Pacinan.


b. Pembantaian Tionghoa 1740

Puncak dari ketegangan antara pemerintah kolonial VOC dan komunitas Tionghoa di Batavia terjadi pada bulan Oktober 1740. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai pembantaian Tionghoa 1740—sebuah tragedi kemanusiaan yang menjadi titik balik dalam sejarah kolonialisme di Jawa.

Situasi menjadi semakin tegang ketika mulai beredar desas-desus bahwa VOC akan mendeportasi secara massal warga Tionghoa ke wilayah-wilayah seberang, terutama ke Sri Lanka dan Afrika Selatan. Warga Tionghoa yang telah lama tinggal dan membangun kehidupan di Batavia merasa dikhianati dan terancam. Ketakutan mereka beralasan: banyak yang telah melihat kerabat dan rekan mereka ditangkap secara paksa dan tidak pernah kembali. Di tengah ketidakpastian, beberapa kelompok Tionghoa bersenjata mulai melakukan aksi protes dan perlawanan kecil-kecilan, termasuk pembakaran pabrik gula milik Belanda.

VOC, yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, merespons dengan kebijakan militer yang ekstrem. Pada 9 Oktober 1740, VOC secara resmi melancarkan aksi pembantaian terbuka terhadap komunitas Tionghoa di Batavia. Dengan dalih pemberontakan, pasukan kolonial menyerbu permukiman-permukiman Tionghoa di luar tembok kota, terutama di kawasan Meester Cornelis dan Glodok. Rumah-rumah dibakar, warga yang tidak bersenjata dibantai, dan banyak yang ditangkap hanya karena identitas etnis mereka.

Diperkirakan lebih dari 10.000 orang Tionghoa tewas dalam pembantaian ini, termasuk perempuan dan anak-anak. Para korban dibunuh dengan kejam, sementara sebagian lainnya melarikan diri ke arah timur, menyusuri pesisir utara Jawa menuju Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya. Gelombang pelarian besar-besaran ini menyebarkan berita kekejaman VOC ke seluruh pulau Jawa, menggugah solidaritas di kalangan rakyat pribumi yang juga telah lama menaruh ketidakpuasan terhadap kekuasaan kolonial.

Pelarian-pelarian inilah yang kemudian menjadi penggerak awal dari pemberontakan berskala luas di Jawa, membentuk koalisi bersama para bangsawan lokal dan rakyat desa. Mereka menyatukan kekuatan di bawah berbagai pemimpin perlawanan, salah satunya Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), cucu Amangkurat III, yang kemudian menjadi simbol perlawanan anti-VOC yang melampaui sekat etnis dan agama.

Dengan demikian, pembantaian Tionghoa 1740 bukan hanya tragedi etnis, tetapi juga pemicunya lahirnya solidaritas anti-kolonial, yang akan meledak dalam Perang Geger Pacinan 1740–1743, melibatkan seluruh pesisir utara Jawa dan wilayah pedalaman Mataram.

c. Solidaritas Pribumi dan Akar Anti-VOC

Pembantaian brutal terhadap komunitas Tionghoa di Batavia pada 1740 tidak hanya menciptakan gelombang pelarian, tetapi juga memicu gelombang kemarahan dan simpati di kalangan rakyat dan bangsawan pribumi Jawa. Peristiwa berdarah tersebut dengan cepat menyebar melalui jalur dagang dan sosial, membangkitkan kesadaran kolektif bahwa VOC bukan hanya kekuatan asing yang rakus, tetapi juga ancaman nyata terhadap kemanusiaan dan martabat lokal.

Di berbagai wilayah pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Pekalongan, Demak, hingga Semarang, rakyat pribumi mulai menunjukkan sikap solidaritas terhadap para pengungsi Tionghoa. Mereka diberi perlindungan, logistik, bahkan tempat berlindung di desa-desa. Tindakan ini bukan hanya didorong oleh nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga oleh sentimen anti-kolonial yang telah lama tumbuh akibat eksploitasi dan campur tangan VOC dalam urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan lokal.

Salah satu faktor kunci yang memperkuat aliansi ini adalah munculnya Raden Mas Garendi, cucu dari Amangkurat III (raja Mataram yang sebelumnya diturunkan dan dibuang oleh VOC). Ia memiliki garis keturunan sah dari Dinasti Mataram dan dipandang sebagai simbol sah kedaulatan yang dirampas. Ketika pasukan Tionghoa dan rakyat Jawa bersatu, mereka mengangkat Garendi sebagai raja tandingan dan memberinya gelar “Sunan Kuning.” Ini adalah langkah politik dan simbolik yang sangat penting: perlawanan bukan lagi sekadar reaksi etnis atau spontan, melainkan sebuah gerakan nasional berbasis keadilan dan legitimasi kekuasaan.

Kesediaan berbagai lapisan masyarakat Jawa untuk bergabung dengan pasukan pemberontak memperlihatkan bahwa keresahan terhadap VOC sudah mengakar. Banyak bangsawan lokal, bupati, dan tokoh desa yang merasa dikesampingkan oleh kebijakan VOC turut memberikan dukungan logistik, informasi, dan pasukan. Bahkan beberapa wilayah di sekitar Mataram dan Kartasura secara terbuka berpihak kepada perlawanan, mengubah perlawanan lokal menjadi perang regional.

Solidaritas antara komunitas Tionghoa dan pribumi Jawa ini merupakan fenomena langka dan penting dalam sejarah perlawanan Nusantara. Ia menunjukkan bahwa identitas etnis bukanlah penghalang bagi perlawanan bersama terhadap penindasan struktural. Justru dari tragedi muncul kekuatan moral dan politik baru: aliansi lintas budaya, agama, dan kelas sosial yang bersatu melawan kolonialisme.

Dengan bersatunya kekuatan rakyat dan bangsawan lokal di bawah panji Sunan Kuning, Perang Geger Pacinan pun berubah menjadi perlawanan sistematis yang menantang dominasi VOC secara langsung, tidak hanya di Batavia, tetapi juga di jantung politik Jawa, yaitu Mataram.

Tokoh-Tokoh Sentral

a. Raden Mas Garendi (Sunan Kuning)

Dalam pusaran Perang Geger Pacinan, salah satu tokoh paling menonjol dan simbolis adalah Raden Mas Garendi, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kuning. Ia bukan hanya pemimpin politik simbolik, tetapi juga manifestasi dari perlawanan rakyat terhadap dominasi kolonial VOC di tanah Jawa.

Garendi merupakan cucu dari Amangkurat III, raja Mataram yang diturunkan dan diasingkan oleh VOC pada awal abad ke-18 setelah Perang Takhta Mataram (Perang Jawa I). Sebagai keturunan langsung dari dinasti Mataram, Garendi memiliki legitimasi genealogis dan spiritual yang diakui oleh sebagian besar rakyat Jawa, terutama kelompok-kelompok yang kecewa terhadap dinasti penguasa yang dianggap tunduk pada VOC, seperti Pakubuwana II.

Dalam konteks Perang Geger Pacinan, Garendi menjadi tokoh pemersatu antara dua kekuatan besar: komunitas Tionghoa yang melarikan diri dari pembantaian di Batavia, dan rakyat serta bangsawan Jawa yang menyimpan luka atas intervensi kolonial selama bertahun-tahun. Pasukan Tionghoa yang marah dan terorganisir membutuhkan figur kepemimpinan lokal yang sah dan diterima oleh masyarakat Jawa. Sementara rakyat Jawa memerlukan simbol restorasi kejayaan Mataram yang bebas dari campur tangan Belanda.

Atas dasar itu, para pemimpin perlawanan mengangkat Raden Mas Garendi sebagai raja tandingan dengan gelar “Sunan Kuning”. Gelar ini memiliki makna penting: “Sunan” merujuk pada posisi raja atau pemimpin spiritual, sedangkan “Kuning” diduga merujuk pada warna identitas kekaisaran atau penanda kekuasaan sah.

Di bawah panji Sunan Kuning, gerakan perlawanan memperoleh keabsahan moral dan politik. Ia menjadi ikon perjuangan yang menginspirasi rakyat untuk tidak tunduk pada kekuasaan asing, dan mendorong beberapa wilayah untuk secara terbuka membelot dari penguasa resmi (Pakubuwana II) yang didukung VOC.

Meskipun secara militer Garendi tidak tercatat sebagai jenderal utama, peran simboliknya sangat vital. Ia memperkuat semangat perjuangan, menjadi alat legitimasi politik pemberontakan, serta memicu kekhawatiran VOC terhadap kemungkinan kebangkitan kembali kekuasaan Mataram lama yang independen.

Sunan Kuning bukan hanya pemimpin politik bayangan, tetapi juga cerminan dari harapan rakyat akan kembalinya kedaulatan dan keadilan di tengah penjajahan dan fragmentasi elite. Perannya menjadi titik sentral dalam memahami kompleksitas Perang Geger Pacinan—sebuah perlawanan yang menyatukan dendam sejarah, perjuangan etnis, dan klaim atas keadilan dinasti.

b. Para Panglima Tionghoa

Salah satu kekuatan pendorong utama di balik Perang Geger Pacinan adalah para panglima Tionghoa, yakni para pemimpin militer dari komunitas Tionghoa yang berhasil melarikan diri dari pembantaian Batavia tahun 1740. Mereka bukan hanya korban yang selamat, melainkan juga pemimpin yang segera mengonsolidasikan kekuatan, merancang perlawanan bersenjata, dan membentuk aliansi dengan kelompok-kelompok pribumi Jawa yang juga menentang VOC.

Para panglima ini, seperti Khe Pandjang, Ni Hoe Kong, dan beberapa nama lainnya (yang sering kali tidak tercatat lengkap dalam sumber kolonial), memiliki latar belakang militer, organisasi perdagangan, atau kepemimpinan komunitas yang kuat. Mereka memiliki keunggulan dalam strategi gerilya perkotaan, logistik perdagangan, serta jaringan komunikasi yang telah lama mereka bangun dalam komunitas Tionghoa di pesisir utara Jawa.

Setelah peristiwa pembantaian Batavia, mereka tidak hanya melarikan diri demi menyelamatkan diri, tetapi juga membawa semangat balas dendam dan perlawanan ideologis terhadap VOC. Sesampainya di wilayah seperti Semarang, Pekalongan, dan Demak, mereka mulai merekrut pasukan, mempersenjatai diri, dan membangun koalisi dengan tokoh-tokoh lokal yang kecewa terhadap dominasi VOC, termasuk para bupati, prajurit keraton, dan petani desa.

Peran mereka sangat signifikan dalam mempercepat militerisasi gerakan perlawanan, karena selain memiliki motivasi kuat, mereka juga mahir mengatur suplai logistik, membangun benteng pertahanan, dan menggunakan struktur komunitas untuk mobilisasi massa. Beberapa dari mereka bahkan memimpin penyerangan terhadap pos-pos VOC di pesisir, termasuk serangan ke Semarang dan sekitarnya.

Para panglima Tionghoa juga mampu menyelaraskan strategi militer mereka dengan kepentingan politik lokal, misalnya dengan mendukung Raden Mas Garendi sebagai simbol pemersatu perlawanan. Mereka menyadari pentingnya legitimasi lokal agar gerakan tidak dianggap “pemberontakan asing,” melainkan sebagai perlawanan bersama antara rakyat Jawa dan Tionghoa terhadap kolonialisme.

Lebih jauh, para panglima ini berperan dalam menghapus sekat etnis melalui kerja sama langsung di medan perang. Komando mereka tidak hanya berisi orang Tionghoa, tetapi juga rakyat pribumi, termasuk para prajurit Mataram yang membelot. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun awalnya berangkat dari luka etnis, gerakan ini berubah menjadi gerakan lintas identitas yang bersatu dalam tujuan politik: menggulingkan kekuasaan VOC.

Meski pada akhirnya perlawanan mereka dipadamkan secara brutal oleh VOC, nama-nama para panglima ini menjadi simbol keteguhan dan keberanian komunitas Tionghoa dalam sejarah Nusantara. Mereka membuktikan bahwa meskipun berada dalam posisi teraniaya, kekuatan solidaritas dan kepemimpinan yang terorganisir mampu mengguncang dominasi kolonial hingga ke jantung kekuasaannya.

c. VOC dan Jenderal Van Imhoff

Dalam menghadapi gelombang perlawanan besar-besaran yang meletus sejak tragedi pembantaian Tionghoa 1740, VOC segera mengambil langkah militer dan politik yang sangat keras. Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff, perusahaan dagang yang juga bertindak sebagai kekuatan kolonial ini menerapkan strategi “penumpasan total,” yang menggabungkan kekuatan senjata, operasi psikologis, dan politik adu domba.

Van Imhoff memandang pemberontakan ini bukan hanya sebagai ancaman keamanan lokal, tetapi sebagai ancaman eksistensial bagi otoritas VOC di seluruh Nusantara. Ia segera mengonsolidasikan pasukan dari Batavia, Maluku, dan bahkan merekrut tentara bayaran dari luar Jawa untuk memperkuat operasi militer. Benteng-benteng pertahanan diperkuat, patroli laut ditingkatkan, dan jalur logistik ke pos-pos VOC dijaga ketat.

Namun, kekuatan militer semata tidak cukup. Van Imhoff juga menerapkan strategi politik pecah-belah (divide et impera) yang selama ini menjadi senjata ampuh VOC di Nusantara. Ia memanfaatkan keretakan di antara kelompok perlawanan, serta antara bangsawan Jawa, rakyat desa, dan komunitas Tionghoa. Rumor, sogokan, dan ancaman digunakan untuk memisahkan para pemimpin lokal dari gerakan perlawanan. Beberapa bupati digoda dengan jabatan atau janji amnesti, sementara tokoh desa diintimidasi agar tidak memberi bantuan logistik kepada pemberontak.

Salah satu taktik kunci Van Imhoff adalah mengisolasi kepemimpinan Sunan Kuning dan memutus jalur komunikasi antar wilayah pemberontak. Serangan bertubi-tubi ke pusat-pusat konsentrasi pasukan Tionghoa–Jawa dilakukan dengan brutal, termasuk penghancuran desa-desa yang diduga memberi perlindungan. VOC juga melakukan serangan balasan dengan sistem bumi hangus, yang menargetkan logistik, lumbung pangan, dan tempat persembunyian musuh.

Selain itu, VOC tidak segan menggunakan propaganda etnis, dengan menyebarkan ketakutan bahwa perlawanan Tionghoa akan membahayakan kaum pribumi, atau sebaliknya, bahwa para bangsawan hanya memperalat warga Tionghoa. Tujuannya adalah menciptakan krisis kepercayaan di antara pihak-pihak yang telah bersatu dalam perlawanan. Dalam beberapa kasus, strategi ini berhasil memecah barisan dan melemahkan moral.

Langkah Van Imhoff membuahkan hasil dalam jangka pendek: pusat-pusat perlawanan berhasil dilumpuhkan, Sunan Kuning tertangkap, dan pemberontakan terurai. Namun biaya politik dan kemanusiaan sangat besar. Rakyat menderita, kepercayaan antar komunitas runtuh, dan VOC kehilangan simpati luas, bahkan dari kalangan elit lokal yang sebelumnya netral atau mendukung.

Dengan demikian, Van Imhoff bukan hanya tokoh militer kolonial, tetapi juga arsitek dominasi kolonial melalui manipulasi politik dan pemecahan aliansi rakyat. Perannya dalam Perang Geger Pacinan memperjelas bagaimana kekuasaan kolonial tidak hanya berdiri di atas meriam dan benteng, tetapi juga di atas rekayasa konflik dan penghancuran solidaritas lokal.

Jalannya Perang (1740–1743)

a. Serangan Awal dan Perebutan Kota

Perang Geger Pacinan meletus dengan kecepatan dan skala yang mengejutkan VOC. Hanya beberapa minggu setelah tragedi pembantaian etnis Tionghoa di Batavia, para penyintas yang melarikan diri segera bergabung dengan elemen-elemen pribumi yang anti-VOC, membentuk koalisi bersenjata yang terorganisir. Mereka tidak hanya membalas dendam, tetapi juga melancarkan serangan strategis terhadap pos-pos VOC di wilayah pesisir dan pedalaman Jawa Tengah.

Kota-kota penting seperti Semarang, Jepara, Demak, Kudus, dan bahkan Kartasura menjadi target utama pasukan gabungan Tionghoa–Jawa. Serangan dimulai dari arah barat, kemudian menyebar secara simultan ke timur dan selatan. Keunggulan gerakan ini terletak pada kemampuan mobilisasi cepat, dukungan lokal yang kuat, dan pengetahuan medan dari para pemberontak.

Di Semarang, pusat administratif VOC di Jawa Tengah, pasukan pemberontak sempat mengepung kota dan memutus jalur suplai dari Batavia. Jepara dan Kudus, sebagai pelabuhan penting, berhasil diduduki untuk sementara, memperlihatkan kerapuhan pertahanan VOC di luar Batavia. Di Demak dan sekitarnya, dukungan rakyat dan petani sangat kuat, sehingga banyak lumbung pangan dan logistik dikuasai pemberontak.

Serangan terbesar dan paling simbolis terjadi di Kartasura, ibu kota Mataram kala itu. Pasukan pemberontak berhasil mendesak masuk ke pusat kekuasaan, memaksa Pakubuwana II dan pejabat VOC mundur dan mengungsi. Kartasura yang semula menjadi benteng kekuasaan VOC dan raja boneka berubah menjadi pusat perlawanan rakyat, meski hanya untuk sementara. Kejatuhan kota ini mengejutkan dunia kolonial: VOC kehilangan legitimasi, dan kekuasaan kerajaan Mataram runtuh secara simbolik.

Keberhasilan serangan awal ini menjadi puncak euforia perlawanan, dan menandai bahwa koalisi rakyat tidak bisa dianggap sebagai gangguan kecil, tetapi sebagai ancaman revolusioner. Banyak wilayah pesisir utara Jawa berubah haluan, dan pasukan VOC kehilangan pengaruh di banyak titik penting, terutama karena keterbatasan logistik dan kurangnya dukungan dari rakyat.

Namun, keberhasilan ini juga menimbulkan respons brutal dari VOC. Setelah kekalahan dan penarikan diri dari beberapa kota, VOC memobilisasi seluruh sumber daya militernya, mengirim bala bantuan besar dari Batavia dan luar Jawa. Mereka segera bersiap melancarkan serangan balasan sistematis, yang akan mengubah arah perang dalam waktu singkat.

b. Perlawanan Terorganisir dan Dukungan Pribumi

Keberhasilan serangan awal pasukan gabungan Tionghoa dan Jawa tidak hanya bersifat militer, tetapi juga politik dan sosial. Setelah merebut beberapa kota penting di pesisir utara Jawa, termasuk Semarang, Kudus, dan Demak, perlawanan mulai berkembang menjadi gerakan yang lebih terorganisir, melibatkan elemen-elemen pribumi dari berbagai latar belakang—petani, prajurit, bangsawan anti-VOC, hingga kalangan ulama dan tokoh adat.

Di pedesaan, rakyat desa menyumbangkan tenaga, makanan, dan perlindungan logistik kepada pasukan pemberontak. Ketimpangan ekonomi akibat kebijakan monopoli VOC sebelumnya telah menciptakan kemarahan yang mendalam di kalangan petani dan pedagang kecil. Maka ketika perlawanan meletus, banyak dari mereka secara sukarela mendukung perjuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Lebih signifikan lagi adalah dukungan dari para bupati dan bangsawan lokal, terutama mereka yang sebelumnya kecewa terhadap kekuasaan raja Mataram yang pro-Belanda (Pakubuwana II). Beberapa bupati secara terbuka membelot dan mengalihkan loyalitasnya kepada pihak pemberontak, melihat bahwa VOC mulai kehilangan kekuatan dan kredibilitas di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya.

Momentum perlawanan mencapai puncaknya ketika pasukan pemberontak berhasil memasuki wilayah Keraton Kartasura, yang selama ini menjadi pusat kekuasaan Pakubuwana II. Dalam peristiwa dramatis ini, raja yang dianggap sebagai boneka VOC melarikan diri, dan pusat pemerintahan Mataram untuk sementara berada di bawah kendali para pemberontak. Sunan Kuning (Raden Mas Garendi) kemudian diproklamasikan sebagai raja baru, mewakili koalisi antara bangsawan Mataram garis lama dan pasukan rakyat.

Simbolisme perebutan Kartasura sangat besar: ini bukan sekadar kemenangan militer, tetapi penolakan total terhadap hegemoni VOC dan restorasi martabat Jawa. Kartasura menjadi semacam pusat pemerintahan alternatif, meskipun tidak sempat membentuk struktur birokrasi yang stabil karena situasi perang yang terus berkembang.

Perlawanan ini semakin menunjukkan bahwa VOC bukan hanya menghadapi satu kelompok etnis yang memberontak, melainkan sebuah gelombang revolusi rakyat lintas kelas dan etnis, yang bersatu oleh kepentingan bersama: membebaskan Jawa dari cengkeraman kolonialisme. Namun demikian, kondisi logistik yang rapuh, koordinasi yang belum sempurna, serta datangnya bala bantuan besar VOC dari Batavia mulai mengancam keberlangsungan keberhasilan ini.

c. Puncak: Penguasaan Kartasura dan Penobatan Sunan Kuning

Puncak dari Perang Geger Pacinan terjadi ketika Kartasura, pusat kekuasaan Kesultanan Mataram, jatuh sepenuhnya ke tangan pasukan gabungan Tionghoa dan pribumi. Serangan ke Kartasura dilakukan secara sistematis dan efektif, memanfaatkan kelemahan pertahanan internal dan krisis legitimasi yang melanda pemerintahan Pakubuwana II, raja yang dianggap sebagai alat politik VOC.

Setelah raja dan para pejabat pro-VOC melarikan diri dari keraton, kekosongan kekuasaan segera diisi oleh para pemimpin perlawanan, yang bertindak cepat untuk mengukuhkan legitimasi politik alternatif. Di tengah dukungan rakyat dan para bangsawan garis keras anti-Belanda, Raden Mas Garendi—cucu dari Amangkurat III dan pewaris darah Dinasti Mataram lama—secara resmi dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sunan Kuning.

Penobatan Sunan Kuning menjadi simbol besar dalam perjuangan rakyat. Ia bukan hanya pengganti Pakubuwana II, tetapi simbol dari pemulihan kehormatan kerajaan, perlawanan terhadap penjajahan, dan rekonsiliasi antara berbagai elemen masyarakat—orang Tionghoa, bangsawan Jawa, rakyat desa, dan bahkan mantan prajurit keraton yang kecewa terhadap pemerintahan lama.

Di Kartasura, untuk waktu yang singkat, suasana euforia kemenangan dan solidaritas mengalir. Peristiwa ini dirayakan sebagai kebangkitan kembali tatanan Jawa yang bebas dari pengaruh VOC, sebuah “restorasi dinasti” yang diharapkan akan memulihkan kedaulatan sejati Mataram.

Namun di balik kemenangan ini, terdapat juga tantangan besar yang segera mengintai. Meskipun Kartasura telah dikuasai, kekuatan logistik, persenjataan, dan sistem pemerintahan belum cukup stabil. Tidak ada dukungan dari kerajaan-kerajaan besar lainnya, dan VOC—yang telah kehilangan muka dan wilayah strategis—mulai menyiapkan serangan balasan besar-besaran.

Euforia ini pun berumur pendek. Meski secara simbolik menjadi puncak perlawanan, penguasaan Kartasura tidak cukup lama untuk membentuk sistem kekuasaan baru. Persatuan yang rapuh, serangan gencar dari VOC, dan terbatasnya logistik serta koordinasi menjadi faktor-faktor yang akan membalikkan keadaan dalam waktu singkat.

Penobatan Sunan Kuning tetap tercatat dalam sejarah sebagai salah satu momen paling berani dalam melawan kolonialisme VOC, dan sebagai puncak harapan kolektif rakyat Jawa dan Tionghoa untuk memulihkan tatanan yang adil dan merdeka.

d. Serangan Balasan VOC dan Akhir Perlawanan (1742–1743)

Setelah kehilangan banyak wilayah penting di Jawa Tengah dan jatuhnya Kartasura ke tangan pasukan pemberontak, VOC menyadari bahwa situasi telah memasuki krisis yang mengancam eksistensi kolonial di Jawa. Maka dimulailah salah satu operasi militer terbesar VOC sepanjang abad ke-18: pengiriman bala bantuan besar-besaran dari Batavia, Maluku, bahkan luar Nusantara. Di bawah komando langsung para perwira senior seperti De Clercq dan jenderal pilihan Van Imhoff, armada tempur dikerahkan untuk merebut kembali kekuasaan yang hilang.

Strategi utama yang diterapkan adalah taktik bumi hangus (scorched earth). Desa-desa yang diduga membantu pemberontak dibakar habis, lumbung pangan dihancurkan, dan warga sipil disiksa atau dibantai sebagai bentuk teror psikologis. Kota-kota yang pernah dikuasai pasukan gabungan Tionghoa–Jawa seperti Kudus, Demak, dan Jepara menjadi sasaran pembalasan brutal. Rakyat yang awalnya mendukung perlawanan mulai gentar, sebagian menyerah karena kelaparan dan trauma.

Di saat bersamaan, VOC juga memanfaatkan strategi pecah-belah, menyusupkan provokator, menyuap bupati dan bangsawan untuk menarik dukungan dari Sunan Kuning. Taktik ini efektif: mulai muncul perpecahan internal dalam tubuh perlawanan. Beberapa panglima Jawa kembali berpihak ke VOC, sementara para pemimpin Tionghoa terpecah pendapat soal strategi gerilya atau pertahanan terbuka.

Persatuan yang sebelumnya menjadi kekuatan utama berubah menjadi kelemahan. Koordinasi terganggu, jalur suplai diputus, dan Kartasura—yang menjadi simbol kemenangan pemberontak—mulai terisolasi.

Akhirnya, pada tahun 1742–1743, setelah serangan darat dan pengepungan sistematis, Kartasura jatuh kembali ke tangan VOC. Sunan Kuning dan sisa pasukannya terpaksa mundur ke pedalaman dan akhirnya lenyap dari panggung sejarah, baik karena dibunuh, ditangkap, atau melarikan diri.

Meskipun perlawanan rakyat berhasil mengguncang kekuasaan VOC secara serius dan mencatat banyak kemenangan awal, operasi balasan VOC yang brutal, terorganisir, dan manipulatif berhasil membalikkan keadaan. Namun, kemenangan VOC diraih dengan biaya besar: hilangnya kepercayaan rakyat, kerugian ekonomi, dan melemahnya kontrol atas beberapa wilayah pedalaman yang tetap gelisah.

Perang Geger Pacinan pun berakhir, namun bekasnya terus terasa di tubuh politik Jawa dan relasi antar-etnis di Nusantara. VOC menang secara militer, tetapi kekalahan moral dan luka sosial akibat kekejaman mereka menjadi bahan bakar perlawanan di masa depan.

Strategi Politik dan Militer

Perang Geger Pacinan (1740–1743) menampilkan pertarungan asimetris antara kekuatan rakyat gabungan dan kekuatan kolonial yang terorganisir. Di satu sisi, pasukan pemberontak Tionghoa dan Jawa menggunakan taktik gerilya dan mobilisasi komunitas desa, sementara di sisi lain, VOC memanfaatkan kekuatan teknologi, logistik, dan politik adu domba.

a. Strategi Pasukan Pemberontak

Pada awal perlawanan, kekuatan pemberontak sangat mengandalkan mobilisasi cepat, keakraban dengan medan, dan dukungan rakyat desa. Basis-basis mereka tersebar di wilayah pesisir dan pedalaman Jawa Tengah dan Timur, memanfaatkan jalur pertanian, sungai, dan hutan untuk pergerakan pasukan. Taktik gerilya diterapkan secara fleksibel, menyerang pos-pos VOC secara mendadak, lalu menghilang sebelum sempat dibalas.

Kelebihan utama mereka adalah dukungan rakyat, baik dalam bentuk logistik, informasi, maupun tenaga tempur. Selain itu, pengetahuan lokal dan semangat anti-VOC membuat perlawanan ini memiliki daya pukul yang kuat pada tahap awal.

b. Strategi VOC

VOC merespons dengan menggabungkan kekuatan militer reguler dan strategi politik halus. Strategi klasik mereka, “divide et impera” (pecah-belah dan kuasai), dijalankan dengan cara menyuap bangsawan lokal, menjanjikan kedudukan kepada bupati-bupati, dan menyusupkan agen ke dalam kubu perlawanan.

Dalam hal logistik, VOC memiliki keunggulan armada laut, suplai senjata modern, dan komunikasi cepat dengan Batavia dan luar negeri. Mereka mampu mendatangkan pasukan tambahan dan memperkuat benteng dalam waktu singkat. Mobilitas militer dan kemampuan pengepungan dalam skala besar menjadi pembeda utama.

c. Retaknya Koordinasi Pasukan Pemberontak

Meskipun perlawanan awal sangat efektif, keretakan muncul ketika kemenangan awal tidak segera diikuti oleh struktur komando yang jelas. Para panglima Tionghoa memiliki jaringan komando sendiri, sementara pemimpin Jawa seperti Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) lebih banyak dipandang sebagai simbol politik. Ketidaksepakatan strategi, kurangnya sistem logistik terpadu, dan tidak adanya sistem administrasi pemerintahan membuat perlawanan kehilangan arah.

Ketiadaan kesatuan komando menyebabkan pemberontakan mudah digoyahkan oleh infiltrasi VOC. Bupati-bupati dan bangsawan yang awalnya mendukung pemberontakan mulai berbalik arah, tergiur atau tertekan oleh janji/jebakan VOC. Kondisi ini mempercepat keruntuhan moral pasukan dan memicu desersi.

d. Pengkhianatan dan Kekalahan Bertahap

Seiring waktu, perlawanan kehilangan banyak pos strategis. Pengkhianatan sebagian elite, terutama dari kalangan bangsawan Jawa, menjadi faktor krusial kekalahan. Beberapa pemimpin lokal menyerahkan informasi penting kepada VOC atau bahkan membuka jalur masuk ke wilayah yang semula dikuasai perlawanan.

VOC secara sistematis menaklukkan kembali kota-kota penting dan menumpas titik perlawanan satu per satu. Kemenangan VOC bukan hanya karena kekuatan senjata, tetapi karena keberhasilan mereka menghancurkan kesatuan politik dan kepercayaan antarkelompok perlawanan.

Dampak dan Warisan Sejarah?

a. Bagi VOC

Perang Geger Pacinan berakhir dengan kemenangan militer di pihak VOC, namun kemenangan itu jauh dari mutlak. Dalam kenyataannya, konflik ini justru mengguncang fondasi kekuasaan VOC di Jawa dan memperlihatkan betapa rentannya dominasi kolonial ketika dihadapkan dengan pemberontakan lintas etnis dan kelas.

VOC memang berhasil merebut kembali Kartasura dan mengusir para pemberontak, tetapi biaya perang sangat besar. Mereka harus mendatangkan ribuan pasukan tambahan, memperkuat benteng-benteng pesisir, serta mendanai operasi militer selama lebih dari tiga tahun. Semua ini membebani kas VOC yang saat itu sudah menurun akibat korupsi internal dan perang-perang lain di Asia.

Selain itu, meskipun secara fisik menang, VOC kehilangan kepercayaan dan legitimasi di mata rakyat. Kekejaman mereka dalam pembantaian orang Tionghoa di Batavia (1740) telah menciptakan luka sosial yang dalam. Banyak rakyat Jawa dan kelompok elite lokal mulai melihat VOC bukan sebagai mitra dagang, tetapi sebagai kekuatan kolonial yang brutal dan tidak dapat dipercaya.

Perang ini juga menimbulkan sikap paranoid dan represif di dalam tubuh VOC, terutama terhadap dua kelompok:

  1. Etnis Tionghoa, yang setelah pemberontakan ini diawasi ketat, dibatasi geraknya, dan diasingkan ke perkampungan-perkampungan khusus. Banyak dari mereka dilarang menetap di kota-kota penting tanpa izin khusus.
  2. Bangsawan Jawa, yang mulai dicurigai sebagai potensial pemberontak. VOC semakin membatasi kekuasaan simbolik raja-raja Mataram, dan secara sistematis mengubah mereka menjadi raja boneka yang dikontrol oleh perjanjian dan tekanan militer.

Singkatnya, meski VOC menang secara militer, mereka kalah secara politik dan sosial. Perang ini menunjukkan bahwa stabilitas kolonial tidak bisa dibangun di atas ketakutan dan darah. Dan dalam jangka panjang, Geger Pacinan berkontribusi pada kemunduran legitimasi VOC di Nusantara, yang puncaknya adalah kebangkrutan lembaga tersebut pada akhir abad ke-18.

b. Bagi Dinasti Mataram

Perang Geger Pacinan turut mempercepat keruntuhan politik Dinasti Mataram, yang pada awal abad ke-18 telah mulai menunjukkan tanda-tanda disintegrasi. Meskipun Dinasti ini secara formal masih memerintah dari Kartasura, kekuasaannya setelah perang menjadi semakin simbolik dan kehilangan legitimasi di mata rakyat.

Kekacauan selama perang, terutama saat Kartasura jatuh ke tangan pasukan pemberontak dan kemudian direbut kembali oleh VOC, menciptakan persepsi bahwa raja tidak lagi menjadi pusat otoritas dan pelindung rakyat. Ketergantungan raja terhadap VOC untuk merebut kembali keratonnya menandakan bahwa kekuasaan sejati tidak lagi berada di tangan bangsawan Jawa, melainkan di tangan kolonial.

Setelah perang, Pakubuwana II tetap berkuasa, tetapi secara de facto ia adalah penguasa boneka. Semua keputusan penting diambil atas izin atau tekanan dari VOC. Peran raja sebagai pemersatu, panglima perang, dan penjamin tatanan kejawen melemah drastis.

Kartasura, sebagai pusat pemerintahan, juga kehilangan wibawa spiritual dan politik. Banyak bangsawan dan rakyat mulai mempertanyakan legitimasi keraton yang telah direbut, dihancurkan, dan kemudian “dipulihkan” oleh kekuatan asing. Trauma ini berkontribusi pada meningkatnya ketegangan internal di tubuh istana, terutama antara golongan bangsawan tua dan muda, serta antara pusat dan daerah.

Kondisi ini menciptakan fondasi rapuh menuju perpecahan besar Dinasti Mataram, yang akan terjadi sekitar satu dekade kemudian dalam bentuk Perjanjian Giyanti (1755). Perjanjian ini memecah Kesultanan Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, menandai berakhirnya Mataram sebagai kekuatan politik tunggal di Jawa.

Dengan demikian, Perang Geger Pacinan adalah titik balik penting: dari kekuasaan raja yang masih memiliki kuasa teritorial dan moral, menjadi raja-raja yang terpecah dan dikendalikan penuh oleh kepentingan kolonial. Dinasti Mataram takluk bukan hanya oleh kekuatan senjata, tetapi oleh runtuhnya fondasi legitimasi, kepercayaan rakyat, dan kemandirian politik.

c. Bagi Komunitas Tionghoa dan Rakyat Jawa

Perang Geger Pacinan (1740–1743) meninggalkan luka mendalam tidak hanya dalam bidang politik, tetapi juga dalam tatanan sosial dan relasi antaretnis di Nusantara. Komunitas Tionghoa dan rakyat Jawa, sebagai pihak yang paling terdampak, mengalami perubahan besar dalam status sosial, psikologis, dan arah pergerakan mereka di masa depan.

Salah satu dampak terbesar adalah gelombang pengungsian besar-besaran. Ribuan orang Tionghoa yang selamat dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke daerah pesisir utara Jawa seperti Semarang, Lasem, Demak, dan Jepara. Namun, setelah pemberontakan dikalahkan, banyak dari mereka kembali menjadi target represi. Migrasi paksa, pengusiran, dan pemisahan pemukiman etnis pun terjadi. VOC menerapkan kebijakan pemukiman paksa (kamp interniran), menjauhkan warga Tionghoa dari pusat-pusat kekuasaan dan ekonomi strategis.

Di sisi lain, baik komunitas Tionghoa maupun rakyat Jawa mengalami trauma kolektif atas kekejaman kolonial. Kekejaman VOC—mulai dari pembantaian massal, bumi hangus desa, hingga pengkhianatan elite lokal—membentuk ingatan panjang tentang betapa bahayanya kekuasaan kolonial yang tidak terkendali. Ketakutan ini menjadi warisan psikologis yang memengaruhi sikap masyarakat terhadap otoritas asing di generasi berikutnya.

Namun di balik penderitaan itu, perang ini juga mencatat sesuatu yang monumental dalam sejarah perjuangan bangsa: lahirnya bentuk awal solidaritas lintas etnis. Dalam konteks ini, rakyat Jawa dan orang Tionghoa berjuang bersama-sama melawan kekuasaan kolonial. Raden Mas Garendi sebagai pemimpin Jawa dan para panglima Tionghoa membentuk koalisi perlawanan yang, meski gagal secara militer, telah membuktikan bahwa identitas etnis bisa ditanggalkan demi tujuan bersama: kebebasan dan keadilan.

Solidaritas ini menjadi cikal bakal pola perjuangan multietnis yang kelak akan muncul kembali dalam bentuk organisasi modern pada abad ke-20, seperti Sarekat Islam yang merangkul pedagang Tionghoa, atau kolaborasi pejuang lintas suku dalam masa revolusi kemerdekaan.

Dengan kata lain, Perang Geger Pacinan adalah titik awal penting dalam sejarah kebangsaan Nusantara, bukan hanya karena skala kekacauannya, tetapi karena ia mengungkapkan potensi persatuan rakyat dari latar belakang berbeda dalam menghadapi penindasan yang sama.

Warisan Sejarah dan Relevansi

Perang Geger Pacinan (1740–1743) meninggalkan warisan kompleks dalam sejarah Indonesia—bukan sekadar catatan peperangan, melainkan sebagai refleksi tentang tragedi kemanusiaan, solidaritas lintas etnis, dan dampak kolonialisme terhadap jantung sosial dan politik Nusantara.

Pertama-tama, Geger Pacinan adalah simbol kelam dari kekejaman kolonial dan kegagalan tatanan multietnis yang dikhianati oleh kebijakan rasis dan manipulatif. Pembantaian ribuan orang Tionghoa oleh VOC di Batavia tahun 1740 menjadi salah satu contoh paling tragis dari genosida kolonial di Asia Tenggara. Kekejaman itu menandai pergeseran dari sekadar kontrol dagang menjadi praktik kekuasaan yang brutal dan sistematis.

Namun, di balik tragedi itu, muncul pula sinar solidaritas yang jarang ditemukan dalam sejarah pra-modern: rakyat Tionghoa dan pribumi Jawa bahu-membahu dalam satu barisan perlawanan. Fakta bahwa seorang bangsawan Jawa (Raden Mas Garendi) diangkat sebagai raja oleh koalisi perlawanan yang mayoritas beretnis Tionghoa adalah simbol awal dari embrio nasionalisme plural. Ini menunjukkan bahwa rasa ketertindasan bisa melampaui batas budaya, agama, atau ras, dan memunculkan gagasan tentang perjuangan kolektif.

Dari sisi politik, Geger Pacinan menjadi bukti nyata betapa kolonialisme tidak hanya menjajah wilayah, tapi juga merusak struktur sosial-politik lokal. Dinasti Mataram melemah, kepercayaan antar-komunitas terpecah, dan sistem pemerintahan menjadi semakin tergantung pada intervensi VOC. Pengalaman ini menjadi peringatan keras tentang bahaya manipulasi etnis dan pengkhianatan elite terhadap kepentingan rakyat.

Dalam konteks Indonesia masa kini, perang ini sangat relevan. Ia menjadi pelajaran historis tentang pentingnya menjaga toleransi, keadilan sosial, dan menolak politisasi etnis atau agama. Konflik yang dimulai dari diskriminasi dan ketidakadilan ekonomi bisa berkembang menjadi bencana nasional jika tidak ditangani dengan adil dan bijaksana.

Oleh karena itu, memasukkan Geger Pacinan dalam pendidikan kebangsaan bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi juga untuk membangun kesadaran sejarah terhadap isu-isu sensitif seperti ras, etnisitas, dan kekuasaan. Peristiwa ini harus menjadi bagian dari narasi anti-diskriminasi, sekaligus pengingat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia lahir dari perjuangan bersama, lintas darah dan budaya.


Ketika Sejarah Mengajarkan Persatuan Melawan Penindasan

Perang Jawa II (Geger Pacinan 1740–1743) merupakan salah satu episode paling mengguncang dalam sejarah Nusantara. Ia bukan sekadar pemberontakan militer, melainkan ledakan kemarahan kolektif terhadap kekuasaan kolonial yang dibangun di atas diskriminasi, ketimpangan, dan kekejaman. Pembantaian ribuan orang Tionghoa di Batavia menjadi pemicu tragedi yang menyebar hingga ke jantung politik Jawa, mengguncang istana Kartasura dan menciptakan ketakutan yang menyelimuti seluruh Jawa Tengah dan Timur.

Meski pemberontakan berhasil dipadamkan secara militer, VOC tidak pernah benar-benar menang secara moral. Kekuasaannya bertahan bukan karena legitimasi rakyat, melainkan karena pengkhianatan, politik pecah belah, dan kekerasan brutal. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa kekuasaan kolonial tidak tumbuh dari keadilan, melainkan dari manipulasi dan dominasi yang menindas.

Namun di tengah reruntuhan sejarah itu, ada satu hal yang harus terus dikenang: solidaritas antara rakyat Tionghoa dan pribumi Jawa. Dalam kondisi tertindas, mereka membentuk koalisi perlawanan yang lintas agama, ras, dan bahasa—sebuah embriologi dari semangat kebangsaan Indonesia yang akan tumbuh di masa-masa selanjutnya.

Maka, mengenang Perang Jawa II bukan hanya mengenang kekejaman masa lalu, tetapi juga menegaskan pentingnya persatuan, keadilan sosial, dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan—apa pun wajahnya. Sejarah ini harus hidup, bukan untuk membuka luka, tapi untuk membangun kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan hanya akan berarti jika dilandasi oleh solidaritas yang melampaui perbedaan.

About administrator