Perang Jawa III (Perang Mangkubumi / 1746–1755)

Pertengahan abad ke-18 merupakan masa kritis bagi tatanan politik dan sosial di Jawa, khususnya dalam lingkup Kesultanan Mataram. Usai geger besar bernuansa etnis dan politik yang dikenal sebagai Perang Jawa II atau Geger Pacinan (1740–1743), struktur kekuasaan Mataram semakin rapuh. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang semula hanya sebagai mitra dagang, kini tampil sebagai aktor utama dalam menentukan arah kekuasaan kerajaan.

Kondisi ini melahirkan kekecewaan yang meluas di kalangan bangsawan dan rakyat. Pakubuwana II, raja Mataram saat itu, dinilai terlalu tunduk pada kepentingan VOC, bahkan menyerahkan sebagian kedaulatan keraton kepada kekuasaan asing. Dalam konteks ini, muncul dua tokoh sentral perlawanan:

  • Pangeran Mangkubumi, adik raja yang menolak penyerahan kedaulatan dan merasa terzalimi atas hak-haknya,
  • dan Raden Mas Said, pemuda bangsawan yang karismatik dan militan, yang kelak dikenal sebagai Mangkunegara I.

Keduanya bersatu dalam perjuangan panjang yang dikenal sebagai Perang Jawa III (1746–1755) atau Perang Mangkubumi. Perang ini bukan sekadar perebutan takhta, melainkan konflik ideologis tentang kedaulatan, harga diri kerajaan, dan penolakan terhadap dominasi kolonial.

Tulisan ini bertujuan untuk:

  • Menelusuri akar konflik yang melatarbelakangi perang,
  • Menggambarkan tokoh-tokoh sentral dan dinamika persekutuan mereka,
  • Merekam jalannya perlawanan bersenjata dan strategi VOC,
  • Serta menganalisis implikasi besar dari Perjanjian Giyanti (1755) yang membelah Mataram secara permanen dan menjadi tonggak penting dalam sejarah politik Jawa.

Dengan mengkaji peristiwa ini secara mendalam, kita diajak untuk memahami bagaimana perpecahan internal dan intervensi asing dapat mengubah lanskap kekuasaan lokal, serta bagaimana tokoh-tokoh tertentu tampil sebagai simbol perjuangan atas harga diri dan keadilan.

Latar Belakang Konflik

a. Ketidakpuasan terhadap Pakubuwana II dan VOC

Setelah tragedi Geger Pacinan berakhir, posisi Pakubuwana II sebagai Raja Mataram menjadi semakin bergantung pada dukungan VOC, bukan lagi pada kekuatan internal keraton atau loyalitas rakyat. Sebagai penguasa yang dinilai lemah secara militer dan diplomatik, Pakubuwana II lebih memilih jalur kompromi dengan VOC untuk mempertahankan tahtanya. Namun keputusan-keputusan politiknya justru memperbesar ketegangan internal dalam istana.

Puncak dari ketundukan itu terlihat jelas saat Pakubuwana II menyerahkan sebagian besar kekuasaan politik dan administrasi Mataram kepada VOC pada tahun 1743. Dalam perjanjian yang diteken di Semarang, ia tidak hanya mengakui VOC sebagai pelindung, tetapi juga menyerahkan hak atas wilayah pesisir utara Jawa, termasuk Jepara, Demak, dan Rembang. Perjanjian tersebut dianggap oleh banyak pihak sebagai pengkhianatan terhadap martabat dan kedaulatan kerajaan.

Akibatnya, kekecewaan meluas di kalangan bangsawan, pangeran, dan prajurit istana. Mereka memandang bahwa kekuasaan raja tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat maupun tradisi politik Jawa yang menempatkan raja sebagai pusat moral dan spiritual. Apalagi, setiap keputusan penting kini seolah harus mendapat restu dari VOC—yang tidak memiliki akar budaya atau legitimasi dalam sistem kekuasaan tradisional Mataram.

VOC pun semakin berani dalam mencampuri urusan internal keraton, seperti penunjukan pejabat, urusan pajak, hingga pengaturan wilayah. Praktik ini menyulut perasaan terhina dan terzalimi di kalangan elite lokal. Maka, dari bara ketidakpuasan ini mulai muncul gelombang oposisi, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Pangeran Mangkubumi, yang menolak tunduk dan siap memperjuangkan kedaulatan Mataram.

b. Pangeran Mangkubumi dan Tuntutan Keadilan

Di tengah meningkatnya dominasi VOC dalam urusan internal Mataram, Pangeran Mangkubumi tampil sebagai sosok yang kritis terhadap kebijakan raja dan intervensi Belanda. Sebagai adik kandung Pakubuwana II, Mangkubumi tidak hanya memiliki kedudukan tinggi dalam keraton, tetapi juga memiliki basis dukungan politik yang luas di kalangan bangsawan dan prajurit.

Salah satu pemicu utama ketegangan adalah penolakan VOC terhadap hak Mangkubumi atas daerah Sukawati (di wilayah sekarang Jawa Tengah bagian timur). Daerah ini sebelumnya telah dijanjikan oleh Pakubuwana II sebagai bentuk penghargaan atas jasa Mangkubumi dalam membantu menumpas pemberontakan. Namun, ketika Mangkubumi hendak mengambil alih wilayah tersebut, VOC menghalangi klaimnya dengan alasan bahwa wilayah itu termasuk dalam kawasan yang telah diserahkan kepada mereka melalui perjanjian 1743.

Penolakan ini memicu kemarahan Pangeran Mangkubumi. Bagi sang pangeran, masalah ini bukan hanya soal wilayah, melainkan tentang kehormatan, keadilan, dan legitimasi kekuasaan raja. Ia menilai bahwa keputusan Pakubuwana II untuk menyerahkan sebagian besar wilayah Mataram kepada VOC merupakan tindakan sepihak dan tidak sah, karena tidak melalui musyawarah keluarga kerajaan dan tanpa pertimbangan terhadap kepentingan rakyat.

Pangeran Mangkubumi menolak tunduk pada kebijakan yang dibuat di bawah tekanan VOC dan menegaskan bahwa dirinya tidak mengakui legitimasi perjanjian tersebut. Ia mulai menarik diri dari pusat kekuasaan, membangun jaringan loyalis, dan mempersiapkan perlawanan terbuka terhadap dominasi VOC dan rezim pro-Belanda di Kartasura.

Dengan semakin banyaknya bangsawan dan tokoh lokal yang kecewa pada raja, Pangeran Mangkubumi menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan dan pengkhianatan dari dalam. Ia menuntut keadilan bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk menjaga marwah Mataram dan tradisi kekuasaan Jawa yang dianggap telah dilecehkan.

c. Aliansi Strategis dengan Raden Mas Said

Ketegangan antara Pangeran Mangkubumi dan VOC semakin berkembang menjadi konflik terbuka ketika ia menjalin aliansi strategis dengan Raden Mas Said, seorang bangsawan muda yang telah lebih dahulu terlibat dalam perlawanan terhadap VOC dan rezim pro-Belanda. Mas Said, yang dikenal juga sebagai Pangeran Sambernyawa, merupakan cucu Amangkurat IV dan telah lama dikenal sebagai panglima gerilya yang tak kenal kompromi.

Pertemuan dua tokoh ini menandai persatuan dua kekuatan besar perlawanan: satu dari garis legitimasi kerajaan (Mangkubumi), dan satu dari kekuatan militer rakyat (Mas Said). Aliansi mereka bukan sekadar taktis, tetapi juga simbolik—memadukan hak waris sah atas takhta Mataram dengan kekuatan moral dan militer dari bawah.

Bagi Mas Said, bergabung dengan Mangkubumi memperkuat posisi politiknya dan memperluas jaringan dukungan, terutama dari kalangan bangsawan yang masih loyal pada struktur lama Mataram. Sementara bagi Mangkubumi, aliansi ini menyediakan akses terhadap pasukan-pasukan rakyat gerilya yang telah teruji dalam berbagai pertempuran kecil melawan VOC.

Kerja sama keduanya berlangsung erat selama beberapa tahun awal perang. Mereka menyerang garnisun VOC, menguasai desa-desa strategis, dan bahkan beberapa kali mengancam pusat kekuasaan Kartasura. Pasukan gabungan ini menggunakan taktik gerilya, manuver cepat, dan dukungan rakyat desa untuk melawan pasukan VOC yang lebih unggul dalam senjata dan logistik, tapi lemah dalam memahami medan dan dinamika lokal.

Aliansi ini menjadi fondasi utama dari Perang Jawa III, yang berlangsung selama hampir satu dekade. Meskipun akhirnya arah perjuangan mereka akan berpisah—dengan Mangkubumi menempuh jalan diplomasi dan Mas Said terus berperang—kerja sama ini tetap dikenang sebagai momen langka penyatuan kekuatan kerajaan dan rakyat melawan dominasi asing.

Tokoh-Tokoh Utama

a. Pangeran Mangkubumi (kelak Sultan Hamengkubuwana I)

Pangeran Mangkubumi, nama kecilnya Bendara Raden Mas Sujana, adalah adik kandung dari Pakubuwana II, raja Mataram yang banyak bergantung pada VOC. Sebagai anggota keluarga inti keraton, Mangkubumi dibesarkan dalam tradisi aristokratik Jawa yang kuat, menguasai strategi pemerintahan, ilmu kebatinan, serta seni politik kejawen yang memadukan kekuasaan, spiritualitas, dan legitimasi rakyat.

Kedudukannya dalam keraton tidak hanya simbolis, tetapi juga strategis. Ia pernah dipercaya menangani urusan penting kerajaan, termasuk masalah pertahanan dan pengelolaan wilayah. Namun, seiring meningkatnya pengaruh VOC dalam setiap aspek pemerintahan, Mangkubumi semakin merasa bahwa kehormatan dan kedaulatan Mataram telah dijual oleh kakaknya sendiri.

Pandangan politiknya tegas: VOC bukan sekadar mitra dagang, melainkan penjajah yang ingin menghancurkan tatanan kekuasaan lokal. Mangkubumi menolak tunduk pada perjanjian yang dibuat Pakubuwana II dengan VOC, karena dianggap dilakukan di bawah tekanan dan tidak mencerminkan kehendak rakyat Jawa maupun prinsip leluhur.

Mangkubumi memperjuangkan gagasan bahwa raja sejati adalah pemegang daulat rakyat dan penjaga kosmos Jawa, bukan sekadar boneka kolonial. Pandangan ini menjadi dasar perjuangannya: bahwa Mataram harus kembali berdiri sebagai kerajaan berdaulat penuh, dan VOC harus dipaksa keluar dari ruang-ruang kekuasaan lokal.

Saat ia kemudian memimpin perlawanan bersenjata, Mangkubumi tidak hanya tampil sebagai pemberontak, tetapi juga simbol ideal raja Jawa: bijak, berani, dan berpihak pada rakyat. Pada akhirnya, perjuangannya akan membuka jalan bagi pendirian Kesultanan Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti 1755, dan ia menjadi raja pertama dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I—salah satu tokoh paling penting dalam sejarah Nusantara.

b. Raden Mas Said (kelak Mangkunegara I)

Raden Mas Said, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, adalah salah satu tokoh militer paling legendaris dalam sejarah Jawa abad ke-18. Ia merupakan cucu Amangkurat IV, sehingga masih memiliki darah bangsawan Mataram, tetapi kehidupannya lebih banyak dihabiskan di luar istana—di medan perang, hutan, dan desa-desa tempat ia membangun basis gerilya perlawanan terhadap VOC dan kekuasaan istana yang tunduk pada Belanda.

Mas Said memulai perjuangannya sejak muda, bahkan sebelum pecahnya Perang Mangkubumi, ketika ia kecewa terhadap istana Kartasura yang dianggap mengkhianati rakyat. Ketika tragedi Geger Pacinan masih membekas, ia mengorganisir pasukan-pasukan rakyat, petani, dan prajurit lokal yang terusir untuk melawan VOC secara mandiri. Keberaniannya dalam mengatur serangan mendadak, membakar gudang logistik musuh, dan membebaskan desa dari kontrol kolonial membuatnya ditakuti oleh Belanda.

Sebutan “Sambernyawa”, yang berarti “Penyambar Nyawa,” disematkan karena reputasinya sebagai panglima gerilya yang sulit ditangkap dan selalu muncul di saat musuh lengah. Ia tidak hanya cerdas secara taktis, tetapi juga membangun hubungan kuat dengan rakyat kecil, memberi mereka perlindungan dan harapan terhadap sistem yang adil.

Saat bersekutu dengan Pangeran Mangkubumi, Mas Said melihat peluang besar untuk membentuk front persatuan antara kaum bangsawan yang sah dan pasukan rakyat yang sudah lama bertempur. Meski pada akhirnya jalur politik mereka akan berpisah—Mangkubumi memilih berdamai lewat Perjanjian Giyanti, sedangkan Mas Said tetap melawan—ia tidak pernah menyerahkan idealismenya.

Hingga akhirnya, pada tahun 1757, setelah melihat perlunya stabilitas di Jawa, Mas Said menyepakati perjanjian Salatiga dan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta, menjadi Mangkunegara I. Namun, warisannya sebagai simbol pemimpin perlawanan rakyat tetap hidup: seorang bangsawan yang memilih jalan perang rakyat, mempertahankan martabat, dan menolak kompromi terhadap penjajahan.

c. VOC dan Pakubuwana II

Setelah Perang Geger Pacinan (1740–1743), VOC berusaha keras mengonsolidasikan kekuasaan politiknya di Jawa, terutama melalui intervensi dalam urusan suksesi dan pemerintahan Keraton Kartasura. Dalam konteks ini, Pakubuwana II menjadi sosok yang sangat penting bagi kepentingan kolonial Belanda, karena ia bersedia menjalin hubungan dekat dengan VOC demi mempertahankan tahtanya.

VOC menggunakan strategi klasik “divide et impera”—memecah dan menguasai. Mereka mendukung Pakubuwana II sebagai “raja boneka”, yakni penguasa yang secara nominal memiliki otoritas atas Mataram, tetapi semua keputusan penting, terutama yang menyangkut pertahanan, perdagangan, dan wilayah, dikendalikan atau disetujui terlebih dahulu oleh pejabat VOC.

Strategi ini tampak jelas dalam Perjanjian 1743, di mana Pakubuwana II secara sepihak menyerahkan sebagian besar wilayah Mataram kepada VOC, termasuk pelabuhan-pelabuhan penting dan daerah strategis di pesisir utara Jawa. Perjanjian ini ditandatangani tanpa persetujuan keluarga kerajaan lainnya, termasuk Pangeran Mangkubumi, dan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan Jawa.

Dengan perjanjian ini, keraton menjadi sangat tergantung pada kekuatan kolonial, tidak hanya secara militer tapi juga dalam hal finansial dan legitimasi. VOC mendirikan garnisun permanen di sekitar keraton, menempatkan penasihat-penasihat politik, dan mengawasi langsung arus pajak dan hasil bumi dari wilayah kerajaan.

Situasi ini menciptakan ketegangan mendalam dalam tubuh bangsawan Jawa. Banyak pangeran, seperti Mangkubumi dan Raden Mas Said, menganggap bahwa Pakubuwana II telah kehilangan legitimasi moral sebagai raja, karena lebih melayani kepentingan VOC ketimbang menjaga martabat kerajaan dan kesejahteraan rakyat.

Bagi VOC, Pakubuwana II hanyalah alat politik untuk menjaga stabilitas formal, tetapi bukan mitra sejajar. Ketika perlawanan meletus, VOC berupaya keras mempertahankan pengaruhnya dengan mengirim pasukan besar, menggunakan taktik diplomasi koersif, dan memecah aliansi oposisi.

Dengan kata lain, peran VOC dalam Perang Mangkubumi adalah cerminan dari kolonialisme terselubung, di mana kekuasaan lokal digunakan untuk melegitimasi dominasi asing, dan konflik internal kerajaan dieksploitasi untuk memperkuat cengkeraman kolonial.


Jalannya Perang Jawa III (1746–1755)

a. Awal Pemberontakan

Perang Jawa III atau yang dikenal sebagai Perang Mangkubumi dimulai pada tahun 1746, ketika Pangeran Mangkubumi secara terbuka menolak perintah VOC untuk menyerahkan daerah Sukawati yang merupakan haknya berdasarkan perjanjian internal istana. Penolakan ini bukan semata-mata persoalan wilayah, melainkan menjadi simbol ketidaksetujuan atas dominasi VOC dalam urusan dalam negeri kerajaan Mataram.

Ketegangan dengan VOC mencapai puncaknya ketika Mangkubumi menilai bahwa Pakubuwana II tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai raja yang merdeka, dan lebih tunduk pada tekanan kolonial. Ia pun angkat senjata, bukan hanya untuk mempertahankan haknya, tetapi untuk mengembalikan kedaulatan Mataram dari kendali asing.

Gerakan Mangkubumi mendapatkan dukungan luas dari rakyat, terutama petani dan prajurit yang kecewa terhadap pajak berat, tekanan ekonomi, dan ketidakadilan istana. Beberapa bangsawan dan ulama lokal juga mulai bergabung dengannya, melihat perlawanan ini sebagai perjuangan suci melawan penindasan luar.

Pusat kekuatan Mangkubumi awalnya berada di wilayah pedalaman Yogyakarta dan sekitarnya, daerah yang secara geografis menguntungkan untuk strategi gerilya. Ia membangun jaringan komunikasi dan logistik melalui desa-desa, dan mendirikan struktur komando yang terorganisir. Pasukan-pasukannya dikenal disiplin dan loyal, sering disebut sebagai pasukan rakyat yang dipimpin oleh raja sejati.

Pemberontakan ini tidak berlangsung spontan, tetapi terorganisir dan memiliki ideologi yang kuat: membebaskan Mataram dari dominasi VOC dan mengembalikan nilai-nilai kejawen serta martabat raja sebagai pemegang wahyu kekuasaan, bukan sebagai bawahan kolonial.

Awal pemberontakan ini segera menggemparkan wilayah Jawa bagian tengah dan timur, memaksa VOC untuk mengirim bala bantuan dalam jumlah besar dan menyiapkan strategi perang jangka panjang.

b. Operasi Militer dan Strategi Gerilya

Setelah deklarasi pemberontakan, Pangeran Mangkubumi bersama sekutunya Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) melancarkan serangkaian operasi militer yang terencana dan efektif, dengan taktik utama berupa perang gerilya dan mobilisasi rakyat desa. Mereka menargetkan daerah-daerah strategis yang berada di bawah kendali VOC dan raja pro-Belanda, Pakubuwana II.

Pasukan gabungan ini melakukan serangan mendadak (hit-and-run) ke kota-kota penting dan pos militer VOC di wilayah Banyumas, Bagelen, Mataram Timur, dan sebagian wilayah Yogyakarta. Setiap kemenangan bukan hanya berarti penguasaan wilayah, tetapi juga semakin menguatkan legitimasi politik Mangkubumi sebagai pemimpin alternatif yang lebih sah di mata rakyat.

Keberhasilan mereka menaklukkan sebagian besar pedalaman Jawa tidak lepas dari kombinasi tiga kekuatan:

  1. Kecerdasan militer Mangkubumi dalam strategi jangka panjang dan penempatan pasukan.
  2. Ketangkasan Raden Mas Said dalam medan tempur dan teknik gerilya.
  3. Dukungan luas rakyat, yang tidak hanya menyediakan logistik dan perlindungan, tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan perlawanan itu sendiri.

VOC sangat kesulitan menghadapi pola gerilya ini karena:

  • Mereka tidak mengenal medan Jawa sebaik pasukan rakyat.
  • Jalur logistik mereka panjang dan rawan disergap.
  • Simpati masyarakat terhadap pemberontak membuat mereka kehilangan informasi dan mata-mata lokal.

Pada puncaknya, wilayah kekuasaan Pakubuwana II semakin terdesak, dan VOC harus mengerahkan biaya militer sangat besar untuk mempertahankan stabilitas. Bahkan keraton Kartasura pernah kembali berada dalam ancaman jatuh ke tangan pemberontak, sebagaimana yang pernah terjadi saat Geger Pacinan.

Namun, kendati unggul secara moral dan taktis di pedalaman, gerakan ini kesulitan menembus kota-kota besar di pesisir yang dilindungi garnisun VOC dan angkatan laut Belanda.

Kampanye militer ini menjadi bukti bahwa kekuatan rakyat dengan strategi cerdas dapat menggoyahkan dominasi kolonial, bahkan ketika lawan memiliki teknologi dan logistik lebih unggul.

c. Ketegangan Berlanjut dan Melemahnya VOC

Memasuki tahun-tahun terakhir konflik (1753–1755), VOC mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan—baik dari sisi militer maupun finansial. Operasi militer besar-besaran yang dilakukan untuk menekan pemberontakan Mangkubumi dan Raden Mas Said menghabiskan sumber daya sangat besar, sementara hasilnya tidak signifikan. Wilayah pedalaman tetap dikuasai oleh pemberontak, dan semangat perlawanan tidak kunjung padam.

VOC menghadapi krisis keuangan internal: biaya logistik, gaji serdadu bayaran, dan kerugian ekonomi akibat gangguan jalur perdagangan membuat situasi mereka semakin sulit. Di sisi lain, kondisi geografis dan dukungan lokal yang kuat terhadap pihak Mangkubumi menjadikan upaya militer VOC tidak efektif dan mahal.

Di tengah tekanan perang berkepanjangan, muncul ketegangan internal dalam tubuh VOC sendiri. Banyak petinggi di Batavia dan Amsterdam mulai meragukan keberlanjutan strategi militer di Jawa. Beberapa kalangan menyerukan perlunya jalan damai, terutama karena konflik ini juga menurunkan kepercayaan rakyat Jawa terhadap stabilitas politik kerajaan di bawah pengaruh VOC.

Pada saat yang sama, Pakubuwana II wafat pada 1749, dan sebelum meninggal ia sempat menyerahkan kekuasaan Mataram sepenuhnya kepada VOC. Langkah ini malah memperkeruh legitimasi politik istana di mata rakyat, karena menjadikan kerajaan sebagai alat formal penjajah. Hal ini semakin menguatkan posisi politik Mangkubumi, yang dianggap mewakili garis sah dan merdeka dari pengaruh asing.

Dalam situasi ini, VOC mulai mempertimbangkan negosiasi dengan Pangeran Mangkubumi, untuk mengakhiri konflik secara politik. Tekanan ini juga datang dari beberapa bangsawan Jawa, yang lelah oleh perang berkepanjangan dan menginginkan stabilitas.

Ketegangan di lapangan tetap tinggi, tetapi fokus perlahan bergeser dari perang terbuka ke diplomasi dan perundingan, membuka jalan bagi Perjanjian Giyanti yang kelak menjadi penutup formal Perang Jawa III.


Perjanjian Giyanti (1755)

a. Latar Negosiasi

Setelah hampir satu dekade perang yang melelahkan dan penuh ketidakpastian, VOC menghadapi dilema besar: tetap melanjutkan konflik dengan biaya tinggi, atau mencari solusi damai yang tetap menguntungkan secara politik. Dalam konteks inilah, lahir gagasan untuk melakukan negosiasi dengan Pangeran Mangkubumi, tokoh utama perlawanan yang dianggap paling rasional dan berpengaruh.

VOC menyadari bahwa mengalahkan Mangkubumi secara militer bukan hal mudah, sementara mempertahankan dominasi atas Mataram menjadi prioritas utama mereka. Maka, solusi terbaik bagi VOC adalah membagi kekuasaan agar kontrol atas kerajaan tetap ada meski dalam bentuk terbagi.

Negosiasi ini dimediasi oleh sejumlah tokoh penting, termasuk:

  • Nicolaas Hartingh, pejabat tinggi VOC di Jawa yang menjadi aktor utama dalam diplomasi damai.
  • Bangsawan istana dan kelompok elite Jawa yang sudah lelah dengan perang dan ingin stabilitas.
  • Utusan Pangeran Mangkubumi sendiri yang membawa syarat-syarat martabat, bukan sekadar konsesi politik.

Pangeran Mangkubumi, meskipun berhasil secara militer, juga memahami bahwa perang berkepanjangan akan menguras rakyat dan legitimasi. Ia tidak melihat kekuasaan sebagai ambisi pribadi, melainkan alat untuk menegakkan kedaulatan Jawa yang sejati. Maka ketika VOC menyetujui tuntutan-tuntutan yang dianggap pantas, ia menerima jalur negosiasi, bukan sebagai kekalahan, melainkan sebagai kemenangan strategis dan martabat politik.

Pada awal 1755, setelah beberapa pertemuan dan pertukaran naskah, kedua belah pihak sepakat untuk menandatangani perjanjian yang kelak dikenal sebagai Perjanjian Giyanti, dinamakan dari tempat penandatanganannya di desa Giyanti, sebelah timur Yogyakarta.

b. Isi Pokok Perjanjian

Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 merupakan tonggak penting dalam sejarah politik Jawa, karena secara resmi membagi Kesultanan Mataram menjadi dua entitas politik yang berdiri sejajar tetapi berada di bawah pengaruh kuat VOC. Pembagian ini merupakan solusi kompromi antara keinginan VOC mempertahankan kontrol dan tuntutan Pangeran Mangkubumi atas hak kekuasaan yang sah.

Isi pokok dari perjanjian tersebut mencakup:

  1. Pembentukan Kesultanan Yogyakarta
    Pangeran Mangkubumi secara resmi diakui sebagai penguasa wilayah barat Mataram dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Ia berhak mendirikan pemerintahan sendiri dengan ibu kota baru yang kelak menjadi Yogyakarta. Wilayah kekuasaan Yogyakarta mencakup daerah strategis dan produktif di bagian barat kerajaan.
  2. Kasunanan Surakarta Diperkuat
    Di sisi lain, Pakubuwana III tetap diakui sebagai penguasa Kasunanan Surakarta, yang melanjutkan garis kekuasaan Pakubuwana II, namun lebih banyak dipengaruhi dan dikendalikan oleh VOC. Ia tetap menjadi simbol legitimasi Mataram lama yang lebih “loyal” terhadap kepentingan kolonial.
  3. VOC sebagai Mediator dan Pengawas
    VOC berperan sebagai “penengah” dan penjamin stabilitas, namun secara tersirat menempatkan kedua penguasa sebagai mitra subordinat. VOC juga mengatur pembagian pendapatan, sistem perdagangan, dan pengawasan terhadap kegiatan politik luar kedua kerajaan.
  4. Raden Mas Said Tidak Dilibatkan
    Salah satu poin penting dan kontroversial dari perjanjian ini adalah tidak dilibatkannya Raden Mas Said (kelak Mangkunegara I) dalam proses negosiasi. Padahal, ia adalah sekutu utama Mangkubumi dan tokoh yang paling militan dalam perlawanan. Ketidakhadiran ini menimbulkan ketegangan dan kelak memicu negosiasi lanjutan yang menghasilkan Kadipaten Mangkunegaran (1757) sebagai bentuk kompromi berikutnya.

Dengan demikian, Perjanjian Giyanti bukan hanya kesepakatan politik, tetapi juga awal dari fragmentasi kekuasaan Jawa secara resmi. Ini menjadi preseden penting dalam politik kolonial: VOC tidak perlu menjajah secara langsung, cukup dengan mengendalikan raja dan membelah kekuasaan dari dalam.

c. Reaksi dan Konsekuensi Langsung

Perjanjian Giyanti segera menimbulkan reaksi beragam dari para pihak yang terlibat dalam Perang Jawa III. Pangeran Mangkubumi, yang kini bergelar Sultan Hamengkubuwana I, menerima perjanjian tersebut sebagai solusi damai yang mengakhiri perang panjang dan menjamin pengakuan politik serta wilayah kekuasaan yang sah. Ia mulai membangun pusat kekuasaannya di Yogyakarta, yang segera menjadi pusat budaya dan politik baru di bagian barat Mataram.

Namun, tidak semua pihak menyambut perjanjian itu dengan antusias. Raden Mas Said, sekutu utama Mangkubumi dalam perjuangan anti-VOC, merasa dikhianati dan tersingkir dari proses negosiasi. Ia menilai bahwa perjanjian tersebut mengabaikan perjuangannya dan bahkan melegitimasi dominasi VOC atas kerajaan-kerajaan Jawa. Karena itu, Mas Said menolak isi perjanjian dan melanjutkan perlawanan bersenjata, kini sebagai kekuatan oposisi tunggal terhadap Kasunanan dan VOC.

Dalam dua tahun setelah Giyanti (1755–1757), Mas Said kembali melakukan serangkaian operasi militer gerilya di wilayah timur Surakarta. Meskipun mendapatkan simpati sebagian rakyat, kekuatannya mulai terkikis karena isolasi politik dan berkurangnya dukungan dari kalangan elite.

Situasi akhirnya mencapai titik kompromi baru ketika VOC dan Kasunanan Surakarta menyadari bahwa menaklukkan Mas Said sepenuhnya tidak realistis. Maka pada tahun 1757, melalui Perjanjian Salatiga, Mas Said diakui sebagai penguasa wilayah otonom dengan gelar Mangkunegara I, dan wilayah kekuasaannya dikenal sebagai Kadipaten Mangkunegaran.

Dengan demikian, konsekuensi langsung dari Perjanjian Giyanti bukan hanya pembagian dua kerajaan besar, tetapi juga fragmentasi lebih lanjut dengan munculnya kekuasaan ketiga dalam bentuk kadipaten yang otonom secara internal namun tetap berada di bawah pengawasan VOC.

Perjanjian Giyanti dan pembentukan Mangkunegaran menandai berakhirnya Perang Jawa III, tetapi sekaligus membuka babak baru dalam politik fragmentasi dan kolonialisasi terselubung di tanah Jawa.

Strategi Politik dan Perlawanan

Perang Jawa III (1746–1755) tidak hanya menjadi panggung konflik bersenjata, tetapi juga ajang uji kecerdikan politik lokal melawan kekuatan kolonial. Dalam konflik ini, strategi dan pola perlawanan yang diusung Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said menunjukkan kompleksitas taktik gerilya, legitimasi tradisional, dan kekuatan akar rumput yang mampu menyaingi superioritas teknologi dan organisasi VOC.

1. Kekuatan Militer Mangkubumi dan Dukungan Akar Rumput

Sebagai bangsawan utama dan saudara raja, Pangeran Mangkubumi memiliki legitimasi tradisional yang kuat, yang membuatnya mudah menarik simpati dari bupati, bangsawan daerah, dan lapisan rakyat yang kecewa terhadap dominasi VOC. Ia menggunakan struktur patronase Jawa dan jaringan kekuasaan tradisional untuk membangun kekuatan militer yang solid. Dukungan rakyat pedesaan, baik secara logistik maupun sebagai prajurit sukarela, menjadi salah satu pilar kekuatan perlawanan ini.

Selain itu, Mangkubumi memanfaatkan wacana keadilan dan kedaulatan sebagai narasi utama perjuangan, menjadikan dirinya sebagai representasi “Jawa sejati” yang ingin menyelamatkan negeri dari pengaruh asing dan raja boneka yang tunduk pada VOC.

2. Keunggulan Logistik dan Mobilitas Gerilya Raden Mas Said

Di sisi lain, Raden Mas Said berperan sebagai komandan militer revolusioner. Ia bukan hanya ahli dalam strategi tempur konvensional, tetapi juga master dalam perang gerilya, memanfaatkan medan pedalaman Jawa, pengetahuan lokal, serta kecepatan mobilisasi pasukan. Ia dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, bergerak cepat dari satu daerah ke daerah lain, membakar pos-pos VOC, memutus jalur suplai, dan membangun basis pertahanan yang sulit dijangkau.

Mas Said bahkan mengembangkan sistem logistik alternatif yang berbasis komunitas dan kekerabatan desa-desa lokal, membuat pergerakannya nyaris otonom dari jalur pasokan tradisional. Dalam beberapa pertempuran, ia berhasil memukul mundur pasukan VOC meski kalah secara teknologi dan jumlah.

3. Ketidaksiapan VOC Menghadapi Perang Panjang di Pedalaman

VOC, meskipun memiliki kekuatan artileri dan pasukan bayaran, tidak siap menghadapi perang asimetris di medan pedalaman Jawa. Mereka terbiasa menghadapi musuh dalam perang konvensional dan kota-kota pelabuhan, bukan perlawanan yang terdesentralisasi, cair, dan dipimpin oleh tokoh-tokoh dengan dukungan rakyat luas.

VOC juga mengalami kesulitan logistik, keuangan, dan moral, terlebih setelah trauma dari Perang Geger Pacinan sebelumnya (1740–1743) yang menguras sumber daya. Terlebih, korupsi internal, perpecahan strategi, serta minimnya pemahaman atas budaya dan sistem politik Jawa membuat posisi VOC semakin rapuh di tengah perlawanan yang berlarut-larut.

Dampak dan Implikasi

a. Bagi Dinasti Mataram

Perang Jawa III yang diakhiri dengan Perjanjian Giyanti (1755) menjadi titik balik paling menentukan dalam sejarah Dinasti Mataram. Dampak utamanya adalah pecahnya kekuasaan Mataram menjadi dua entitas politik yang sah dan diakui VOC: yaitu Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwana I, dan Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwana III. Pembelahan ini tidak hanya bersifat geografis, tetapi juga ideologis, administratif, dan kultural, menciptakan dualisme kekuasaan yang berkelanjutan hingga masa kini.

Peristiwa ini menandai akhir supremasi politik tunggal di Jawa yang sebelumnya diupayakan oleh Sultan Agung dan keturunannya. Legitimasi kekuasaan kini terbagi, dan otonomi Mataram sebagai satu kesatuan kerajaan hilang, karena kedua kerajaan baru harus tunduk pada pengawasan dan persetujuan VOC dalam berbagai urusan kenegaraan, termasuk pengangkatan raja, hubungan luar negeri, hingga kebijakan fiskal.

Selain itu, trauma politik dari perpecahan ini turut mewarnai sistem kekuasaan lokal, di mana setiap pusat kerajaan mulai lebih fokus pada kelangsungan dinasti masing-masing daripada upaya penyatuan Jawa kembali. Akibatnya, dinamika politik Jawa pasca-Giyanti cenderung terfragmentasi dan defensif terhadap perubahan.

Dalam jangka panjang, pembagian ini juga membuka jalan bagi lahirnya entitas ketiga, yaitu Kadipaten Mangkunegaran (1757) oleh Raden Mas Said, menambah kompleksitas tata kekuasaan di wilayah Mataram lama. Dengan tiga pusat kekuasaan yang saling berkompromi dalam bayang-bayang kekuatan kolonial, kesatuan politik Jawa semakin melemah, dan jalan bagi kolonialisme menjadi kian terbuka.

b. Bagi VOC

Bagi VOC, hasil dari Perang Jawa III merupakan kemenangan politis sekaligus kompromi strategis. Di satu sisi, VOC berhasil meredam perlawanan berskala besar yang dipimpin oleh tokoh-tokoh dengan legitimasi kuat, seperti Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Namun, kemenangan ini tidak diraih melalui dominasi penuh, melainkan dengan mengakui sebagian tuntutan lawan, khususnya melalui pengakuan atas Kesultanan Yogyakarta sebagai entitas yang sah dan merdeka secara terbatas.

Perjanjian Giyanti menandai awal kebijakan kolonial VOC yang berbasis pada strategi “pecah-belah administratif” (divide et impera): membagi kekuasaan lokal menjadi beberapa pusat otoritas yang saling bersaing dan bergantung pada restu VOC untuk bertahan. Daripada menaklukkan secara frontal, VOC kini menggunakan pendekatan kooperatif-manipulatif untuk mengontrol Jawa, yaitu:

  • Menyokong raja atau penguasa yang setia,
  • Menyuplai bantuan militer atau logistik dengan imbalan politik,
  • Memanfaatkan konflik internal untuk memperkuat posisi sebagai penengah,
  • Menetapkan syarat politik dalam bentuk perjanjian sepihak atau kontrak panjang.

Meskipun tetap dominan, VOC kini tidak lagi bertindak sebagai penguasa absolut, melainkan sebagai penjaga keseimbangan kekuasaan, yang secara sistematis menciptakan ketergantungan struktural kerajaan-kerajaan Jawa terhadap otoritas kolonial.

Ironisnya, kemenangan ini juga menjadi awal dari beban administratif dan keuangan. Munculnya lebih banyak pusat kekuasaan lokal menyebabkan kompleksitas dalam pengawasan, pembiayaan, dan diplomasi, yang pada akhirnya turut mempercepat kemunduran finansial VOC menjelang akhir abad ke-18.


c. Bagi Rakyat Jawa dan Tatanan Sosial

Dampak dari Perang Jawa III tidak hanya terasa di tingkat elite, tetapi juga meninggalkan pengaruh besar terhadap masyarakat Jawa secara luas. Konflik ini menggugah kesadaran masyarakat tentang bahaya dominasi asing dan pentingnya kedaulatan politik serta budaya lokal. Meskipun secara formal kekuasaan Mataram terpecah, identitas kejawaan justru mengalami penguatan melalui proses-proses perlawanan dan reorganisasi sosial.

Pertama, munculnya Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran tidak hanya menghadirkan entitas politik baru, tetapi juga pusat-pusat kebudayaan dan pendidikan. Di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana I membangun sistem pemerintahan dan tradisi intelektual yang kuat, termasuk arsitektur keraton, sastra Jawa klasik, dan sistem pendidikan tradisional. Di Mangkunegaran, Raden Mas Said (Mangkunegara I) menciptakan budaya militer dan tata kelola feodal yang mandiri, yang menjadi teladan kepemimpinan lokal.

Kedua, pengalaman panjang menghadapi VOC dan konflik internal istana melahirkan kesadaran rakyat terhadap peran politik mereka sendiri. Banyak petani, santri, dan prajurit lokal mulai menyadari bahwa kedaulatan bukan hanya urusan raja, tetapi juga tanggung jawab kolektif dalam mempertahankan harga diri bangsa. Ini menjadi akar ideologis awal bagi munculnya gerakan rakyat di abad ke-19, seperti Perang Diponegoro.

Namun di sisi lain, masyarakat juga harus menghadapi fragmentasi identitas dan loyalitas, terutama akibat pembelahan kerajaan dan strategi VOC yang sengaja memelihara konflik horizontal. Masyarakat dipecah antara loyalitas kepada Surakarta, Yogyakarta, atau bahkan Mangkunegaran, sementara struktur sosial mulai terpolarisasi antara priyayi yang pro-VOC dan rakyat yang tersisih dari wacana kekuasaan.

Dengan demikian, Perang Jawa III menjadi penanda transisi dari kerajaan pusat yang tunggal ke tatanan Jawa yang majemuk, namun juga menumbuhkan kesadaran politik dan kultural yang kelak menjadi fondasi penting dalam perjuangan nasional di masa depan.

Warisan Sejarah dan Relevansi

Perang Mangkubumi (1746–1755) menjadi salah satu momen paling penting dalam sejarah politik dan kebudayaan Jawa. Konflik ini bukan sekadar perebutan takhta, tetapi simbol perjuangan bangsawan yang berpihak pada rakyat, yang menolak dominasi kekuatan asing—dalam hal ini, VOC—atas urusan dalam negeri. Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said mewakili tipe kepemimpinan yang tidak hanya mempertahankan garis keturunan, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial, kedaulatan, dan harga diri bangsa.

Dari perspektif wacana kontemporer, perang ini memiliki relevansi tinggi terhadap isu-isu kedaulatan nasional dan perlawanan terhadap hegemoni asing. Mangkubumi tidak menolak modernisasi, tapi menolak model kekuasaan yang dibentuk melalui kooptasi kolonial. Sikap ini penting dalam menafsirkan ulang semangat perlawanan pada era modern, di mana intervensi kekuatan asing bisa tampil dalam bentuk ekonomi, budaya, atau politik global.

Di sisi lain, Perjanjian Giyanti, meskipun secara politik memecah Mataram, justru melahirkan dinamika baru dalam dunia kebudayaan Jawa. Yogyakarta dan Surakarta tumbuh menjadi pusat seni, hukum, arsitektur, dan administrasi tradisional yang masih hidup hingga kini. Lahirnya institusi seperti Keraton Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Kasunanan Surakarta turut memperkaya mozaik budaya Nusantara yang tetap menjadi sumber identitas dan inspirasi nasional.

Mengingat besarnya dampak politik dan budaya dari perang ini, maka Perang Mangkubumi layak dikenang sebagai titik balik dalam sejarah politik Jawa, yang menjadi pengantar menuju era baru tata kekuasaan dan kesadaran kolektif. Melalui warisan ini, kita dapat belajar pentingnya kompromi yang adil, perlawanan yang berprinsip, serta kekuatan kebudayaan dalam menghadapi tekanan kekuasaan eksternal.


Perpecahan yang Membangkitkan Kesadaran Kolektif

Perang Jawa III atau yang lebih dikenal sebagai Perang Mangkubumi, adalah episode besar dalam sejarah Nusantara yang menggambarkan bagaimana perlawanan bersenjata dan konflik internal istana bisa membentuk ulang struktur kekuasaan secara mendalam. Perang ini tidak hanya berujung pada Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua kekuatan baru—Yogyakarta dan Surakarta—melainkan juga menandai berakhirnya supremasi kerajaan tunggal di Jawa, serta awal dari dominasi kolonial yang lebih terstruktur dan halus.

Perjanjian yang lahir dari konflik ini menyiratkan strategi klasik kolonialisme: pecah dan kuasai (divide et impera), di mana kekuasaan dipisah untuk menghindari konsentrasi perlawanan. Namun di balik semua itu, lahirlah juga kesadaran kolektif akan pentingnya kedaulatan lokal, yang ditunjukkan oleh figur-figur seperti Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, yang berjuang bukan hanya demi dinasti, tetapi juga demi rakyat dan tanah air.

Dari kisah ini, kita diajak untuk merenungkan bahwa kesatuan dan loyalitas terhadap kepentingan rakyat adalah benteng utama dalam menghadapi tekanan luar. Ketika elite politik tercerai dan tunduk pada kekuatan asing, maka kedaulatan mudah tergadaikan. Namun ketika sejarah dipelajari dengan jujur, ia menjadi cermin bagi bangsa—mengajarkan kita tentang nilai keberanian, solidaritas, dan kecintaan pada tanah air.

Perang Mangkubumi bukan sekadar konflik bersenjata, tetapi tonggak penting dalam perjalanan menuju nasionalisme Indonesia. Maka, mengenang dan memaknai sejarah ini adalah bagian dari merawat ingatan kolektif dan memperkuat pijakan masa depan.

About administrator