Pada abad ke-17, kawasan Nusantara berada dalam era transisi besar dalam peta geopolitik dan ekonomi maritim Asia Tenggara. Di tengah dinamika itu, Kesultanan Gowa, dengan pusat kekuasaan di Makassar, menjelma sebagai salah satu kekuatan maritim terbesar dan paling progresif di wilayah timur Indonesia. Kesultanan ini bukan sekadar kerajaan lokal, melainkan pusat perdagangan internasional yang terbuka bagi pelaut, pedagang, dan misionaris dari berbagai bangsa: Portugis, Inggris, Arab, Melayu, Tionghoa, hingga Jawa dan Bugis. Makassar dikenal sebagai pelabuhan bebas, tempat pertukaran komoditas dan gagasan, yang menjadikannya ancaman sekaligus incaran bagi kekuatan kolonial yang tengah tumbuh: Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
VOC, didirikan oleh pemerintah Belanda pada awal abad ke-17, memiliki ambisi untuk menguasai perdagangan rempah di Asia, terutama Maluku dan sekitarnya. Dalam pandangan dagang VOC, keberadaan pelabuhan bebas seperti Makassar merusak sistem monopoli mereka yang keras dan terpusat. VOC memandang Makassar sebagai duri dalam daging, karena tidak hanya menjadi tempat transit rempah-rempah yang seharusnya dikendalikan Belanda, tetapi juga karena Makassar memberikan perlindungan bagi para pesaing VOC seperti Portugis dan pedagang bebas lainnya.
Kesultanan Gowa di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin (memerintah 1653–1669) tampil sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni kolonial VOC. Ia bukan hanya seorang pemimpin kerajaan, tetapi juga negarawan ulung dan komandan militer yang dihormati lawan maupun kawan. Ia mengedepankan prinsip kedaulatan maritim dan perdagangan bebas sebagai hak kerajaan yang merdeka, serta menolak dominasi asing di wilayah kekuasaannya. Dalam konteks itulah, perseteruan antara Gowa dan VOC tidak hanya menjadi konflik lokal, melainkan representasi dari benturan ideologis antara kemerdekaan lokal dengan imperialisme global.
Perang Makassar yang berlangsung antara tahun 1666 hingga 1669 merupakan puncak dari ketegangan tersebut. Perang ini tidak hanya melibatkan Gowa dan VOC, melainkan juga mencerminkan kompleksitas aliansi dan permusuhan antar-kerajaan lokal di Sulawesi dan sekitarnya. Keterlibatan Arung Palakka, bangsawan Bugis dari Bone yang menjadi sekutu VOC setelah konflik internal dengan Gowa, menambah lapisan konflik horizontal dalam dinamika perang ini. Pertempuran sengit terjadi di darat dan laut, dan benteng Somba Opu menjadi simbol perlawanan yang terakhir sebelum akhirnya jatuh ke tangan Belanda.
Tujuan penulisan bagian ini adalah untuk mengurai secara sistematis dan kronologis latar belakang konflik, peristiwa-peristiwa kunci dalam jalannya perang, strategi dan taktik militer, serta peran tokoh-tokoh sentral seperti Sultan Hasanuddin, Cornelis Speelman, dan Arung Palakka. Selain itu, tulisan ini juga akan membahas dampak jangka pendek maupun jangka panjang dari Perang Makassar, baik terhadap konfigurasi kekuasaan lokal di Sulawesi, posisi VOC dalam perdagangan Asia Tenggara, maupun dalam narasi besar perjuangan anti-kolonial di Nusantara.
Dengan memahami Perang Makassar sebagai bagian dari perjuangan mempertahankan kedaulatan lokal terhadap ekspansi kolonial asing, kita dapat melihat bahwa perjuangan Sultan Hasanuddin dan rakyat Gowa bukanlah perlawanan sporadis, melainkan bagian dari kesadaran politik dan identitas bangsa yang ingin berdiri merdeka di tanahnya sendiri.
Latar Belakang Konflik
a. Posisi Strategis Makassar
Makassar, yang terletak di pesisir barat daya Pulau Sulawesi, telah lama menjadi salah satu simpul penting dalam jaringan pelayaran dan perdagangan maritim Asia Tenggara. Pada abad ke-17, wilayah ini berkembang menjadi pelabuhan internasional yang strategis, menghubungkan jalur pelayaran antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan bahkan Asia Timur serta anak benua India. Letaknya yang berada di jalur silang antara timur dan barat Nusantara menjadikan Makassar sebagai pintu gerbang perdagangan rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala dari Kepulauan Maluku, yang sangat diburu oleh pedagang Eropa, Arab, India, dan Tiongkok.
Kesultanan Gowa, yang berpusat di Makassar, memahami sepenuhnya potensi letak geografis ini. Di bawah kepemimpinan para raja termasuk Karaeng Matoaya dan kemudian Sultan Hasanuddin, Gowa mengembangkan infrastruktur pelabuhan yang maju, memperkuat armada laut, serta menjalin hubungan dagang dengan berbagai bangsa tanpa memandang asal-usul atau agama mereka. Pelabuhan Makassar menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia, menciptakan suasana kosmopolitan yang khas dan menjadikan kota ini sebagai melting pot budaya maritim Asia Tenggara.
Salah satu pilar kekuatan Gowa terletak pada kebijakan terbuka yang dijalankan oleh penguasa-penguasa Makassar. Gowa tidak menerapkan pembatasan perdagangan seperti yang dilakukan oleh VOC, melainkan justru mendorong masuknya pedagang dari berbagai wilayah. Tidak ada monopoli dagang; semua bangsa diizinkan berdagang secara bebas selama mereka mematuhi hukum pelabuhan dan membayar bea masuk yang telah ditetapkan. Dengan prinsip ini, Gowa menjadi tempat pelarian dan perlindungan bagi pedagang yang tertindas oleh sistem monopoli VOC, terutama mereka yang ingin menghindari pengawasan ketat di Batavia dan Ambon.
Kebijakan ini membuat Makassar berkembang pesat bukan hanya sebagai pusat perdagangan, tetapi juga sebagai pusat kebebasan ekonomi dan politik di tengah meningkatnya dominasi kolonial Belanda. VOC melihat hal ini sebagai ancaman serius terhadap upaya mereka menguasai perdagangan rempah di Asia Tenggara. Pasalnya, rempah-rempah yang semestinya hanya boleh dibeli melalui jalur VOC di Maluku, sering kali lolos dan sampai ke pasar bebas Makassar, kemudian didistribusikan ke berbagai penjuru dunia oleh para pedagang swasta. Praktik ini merugikan VOC secara langsung, baik dari sisi ekonomi maupun legitimasi kekuasaan.
Sebagai pelabuhan bebas dan pusat kekuatan maritim, Makassar juga membina hubungan erat dengan berbagai komunitas pelaut dan penguasa lokal lainnya di Nusantara. Pengaruh Kesultanan Gowa merambat jauh hingga ke kepulauan kecil di Nusa Tenggara, Maluku, dan bahkan sebagian wilayah Kalimantan dan Papua. Perdagangan bukan hanya menjadi fondasi ekonomi, tetapi juga alat diplomasi dan perluasan pengaruh politik.
Dengan kekuatan armada laut yang besar dan pelabuhan internasional yang terbuka, Makassar menjadi benteng terakhir perdagangan bebas di timur Nusantara yang belum tunduk pada kekuasaan VOC. Kombinasi antara lokasi geografis strategis, kebijakan ekonomi terbuka, dan kepemimpinan yang tegas menjadikan Gowa sebagai kekuatan besar yang menjadi target utama VOC. Maka, konflik yang kemudian dikenal sebagai Perang Makassar tidak dapat dipahami hanya sebagai perseteruan regional, melainkan sebagai benturan dua visi besar: kebebasan maritim lokal melawan monopoli kolonial yang agresif.
b. VOC dan Ambisi Monopoli
Didirikan pada tahun 1602, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda merupakan kongsi dagang berskala raksasa yang tidak hanya memiliki kewenangan ekonomi, tetapi juga kekuasaan militer dan politik. Di Asia Tenggara, VOC bertindak sebagai wakil resmi pemerintah Belanda dengan hak untuk membuat perjanjian, membentuk garnisun militer, memungut pajak, hingga berperang demi melindungi dan memperluas kepentingan dagangnya. Sejak awal, orientasi utama VOC adalah menguasai sumber dan jalur perdagangan rempah-rempah, terutama pala, cengkeh, dan fuli yang berpusat di Kepulauan Maluku.
Untuk mencapai tujuannya, VOC tidak sekadar bersaing secara ekonomi, tetapi secara aktif menciptakan sistem monopoli ketat yang didukung oleh kekuatan militer. Monopoli ini mengharuskan semua hasil bumi tertentu—terutama rempah—untuk dijual hanya kepada VOC dengan harga yang ditentukan sepihak. Untuk itu, VOC membentuk jaringan pos dagang dan benteng di titik-titik strategis seperti Ambon, Banda Neira, dan Batavia. Mereka memaksa penguasa lokal untuk menandatangani kontrak dagang eksklusif dan menghancurkan sistem perdagangan bebas yang telah berakar selama berabad-abad di wilayah Nusantara.
VOC melihat pelabuhan Makassar sebagai rintangan utama terhadap cita-cita monopoli ini. Sebagai pusat perdagangan bebas, Makassar tetap membuka diri terhadap semua bangsa—termasuk Portugis, pedagang Asia, dan bahkan pelaut swasta Belanda non-VOC—yang terus menjual atau membeli rempah-rempah di luar pengawasan VOC. Ini menyebabkan bocornya pasokan rempah yang seharusnya dikontrol secara eksklusif oleh VOC. Rempah-rempah dari Maluku yang berhasil diselundupkan atau dijual bebas melalui Makassar kemudian menyebar ke pasar dunia, melemahkan kendali harga VOC dan mengurangi laba yang diharapkan.
VOC mencoba mengatasi masalah ini secara diplomatis pada awalnya. Mereka mengirimkan utusan dan membuat sejumlah perjanjian dengan penguasa Makassar, termasuk yang dilakukan pada masa Raja Karaeng Matoaya. Namun, setiap kali perjanjian dibuat, selalu muncul tafsir berbeda antara VOC dan Gowa—terutama karena VOC menuntut eksklusivitas yang tidak sesuai dengan prinsip dagang terbuka yang dipegang oleh Kesultanan Gowa. Ketegangan terus meningkat, terutama setelah Sultan Hasanuddin naik tahta pada tahun 1653 dan memperkuat kebijakan kedaulatan pelabuhan.
VOC menganggap Makassar bukan hanya pesaing ekonomi, melainkan juga ancaman strategis terhadap proyek kolonial jangka panjang mereka. Ketegangan ini tidak berdiri sendiri, tetapi berkembang dalam konteks konflik yang lebih luas, seperti persaingan dengan Portugis dan Inggris, serta pembangkangan dari berbagai kerajaan lokal yang mulai jengah dengan eksploitasi dan kekerasan VOC. Dengan latar ini, VOC beralih dari pendekatan diplomatik ke strategi militer secara terbuka. Mereka mulai membentuk aliansi dengan musuh-musuh tradisional Gowa seperti Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka, yang memiliki kepentingan tersendiri dalam menundukkan Makassar.
Dengan begitu, Perang Makassar bukan hanya upaya VOC mengamankan jalur dagang, tetapi juga menjadi manifestasi dari ambisi monopoli yang mengabaikan kedaulatan lokal dan prinsip keadilan dagang. Dalam konflik ini, VOC tidak segan menggunakan kekuatan militer besar, taktik adu domba, dan blokade maritim untuk menaklukkan Gowa dan menghancurkan tatanan perdagangan bebas yang selama ini menopang kekuatan ekonomi Makassar.
Konflik antara VOC dan Kesultanan Gowa mencerminkan pertarungan dua prinsip ekonomi yang saling bertentangan: VOC dengan sistem monopoli imperialis berbasis kekerasan, dan Gowa dengan semangat perdagangan maritim terbuka dan otonom. Inilah benih utama dari Perang Makassar yang akan meletus secara terbuka pada tahun 1666.
c. Hubungan VOC dengan Kerajaan Lain
Dalam upaya menguasai jalur perdagangan dan memperluas dominasi di kawasan timur Nusantara, VOC tidak hanya mengandalkan kekuatan militer Eropa, tetapi juga strategi politik lokal yang licik dan manipulatif. Salah satu taktik paling efektif yang digunakan oleh VOC adalah politik aliansi dan adu domba (divide et impera), yakni membentuk hubungan dengan kerajaan-kerajaan lokal yang memiliki konflik internal atau ketegangan historis dengan kekuatan dominan di suatu wilayah. Di Sulawesi Selatan, kerajaan yang menjadi target utama VOC adalah Kesultanan Gowa, dan untuk menundukkannya, Belanda menjalin hubungan erat dengan musuh-musuh lama Gowa seperti Bone, Tallo, dan Soppeng.
Kerajaan Bone, yang merupakan pusat kekuatan etnis Bugis, memiliki sejarah konflik panjang dengan Kesultanan Gowa. Ketika Gowa memperluas pengaruhnya ke wilayah Bugis pada paruh pertama abad ke-17, banyak bangsawan dan rakyat Bone yang terusir dan terpaksa hidup dalam pelarian. Salah satu tokoh penting dalam konteks ini adalah Arung Palakka, bangsawan Bone yang melarikan diri ke Batavia setelah pemberontakan Bugis terhadap Gowa pada 1660 dipadamkan secara brutal. Di Batavia, Arung Palakka kemudian menjalin hubungan erat dengan VOC dan membentuk pasukan yang sebagian besar terdiri dari orang Bugis pengungsi. Ia menjadi sekutu kunci VOC dalam kampanye militer melawan Gowa, dengan janji akan mengembalikan kejayaan Bone dan menuntut balas atas penderitaan rakyat Bugis di bawah kekuasaan Gowa.
Selain Bone, VOC juga bersekutu dengan Kerajaan Tallo, yang secara geografis sangat dekat dengan Makassar namun secara politik kerap berselisih dengan pusat kekuasaan Gowa. Ketegangan internal antara bangsawan Tallo dan Gowa dimanfaatkan VOC untuk memperluas pengaruh mereka. Soppeng, kerajaan kecil lain di wilayah Bugis, ikut terseret dalam orbit koalisi anti-Gowa yang dibentuk VOC dengan cermat. Dalam berbagai pertemuan diplomatik dan kesepakatan rahasia, VOC menjanjikan perlindungan, keuntungan dagang, dan bahkan pengembalian wilayah kekuasaan kepada kerajaan-kerajaan ini, asalkan mereka bersedia membantu menghancurkan dominasi Gowa.
Aliansi-aliansi ini menjadi pondasi politik lokal yang mendukung invasi VOC ke Makassar pada tahun 1666. Strategi ini memberikan VOC keunggulan geografis dan logistik, karena mereka mendapatkan pasukan lokal yang mengenal medan tempur, serta justifikasi politik untuk menyerang Gowa atas nama pembebasan kerajaan-kerajaan yang “ditindas”.
Di sisi lain, VOC sempat menjalin beberapa perjanjian awal dengan Kesultanan Gowa sejak awal abad ke-17. Misalnya, pada masa Raja Karaeng Matoaya, telah terjadi sejumlah kesepakatan dagang yang memungkinkan VOC mendirikan pos perdagangan terbatas di Makassar. Namun, seiring waktu, tafsir atas perjanjian-perjanjian ini kerap menimbulkan ketegangan. VOC menuntut interpretasi eksklusif yang mendekati monopoli, sedangkan Gowa tetap berpegang pada prinsip perdagangan terbuka. Ketika Sultan Hasanuddin naik tahta, ia menolak memperpanjang atau memperketat kesepakatan yang merugikan kedaulatan pelabuhan Makassar. Dalam pandangan Gowa, VOC telah melanggar semangat awal perjanjian dengan bertindak sepihak dan memaksakan kontrol.
VOC memanfaatkan ketegangan ini sebagai dalih diplomatik untuk melancarkan serangan militer. Mereka menuduh Gowa melanggar kesepakatan dan membahayakan stabilitas dagang. Padahal, pelanggaran justru banyak dilakukan oleh VOC sendiri melalui blokade maritim, intimidasi kapal-kapal asing, dan pembangunan kekuatan militer di sekitar wilayah Gowa tanpa persetujuan.
Dengan memanfaatkan konflik lama antar-kerajaan dan menjadikan Arung Palakka sebagai simbol perjuangan “anti-penindasan”, VOC mampu membentuk koalisi luas yang akhirnya mengguncang stabilitas Gowa dari dalam dan luar. Perang yang akan meletus pada 1666 bukanlah sekadar pertempuran antara VOC dan Makassar, tetapi sebuah konflik multi-dimensi yang menyatukan dendam politik, ambisi kolonial, dan perubahan besar dalam tatanan kekuasaan maritim Nusantara.
Tokoh Utama: Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin adalah salah satu tokoh paling ikonik dalam sejarah perjuangan Nusantara melawan kolonialisme, khususnya di kawasan timur Indonesia. Ia dikenal luas bukan hanya karena peran sentralnya dalam Perang Makassar (1666–1669), tetapi juga karena integritas, kepemimpinan, dan semangat juangnya yang tak kenal kompromi terhadap dominasi asing. Julukannya yang terkenal, “Ayam Jantan dari Timur”, mencerminkan kegagahannya dalam pertempuran serta kegigihannya membela kedaulatan Makassar melawan kekuatan kolonial VOC.
Biografi Singkat: Latar Belakang, Pendidikan, dan Naik Tahta
Sultan Hasanuddin lahir sekitar tahun 1631 dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang, putra dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sejak kecil, ia dididik dalam lingkungan istana yang kental dengan nilai-nilai kepemimpinan, strategi militer, serta ajaran Islam. Pendidikan keagamaannya cukup kuat, yang kelak membentuk pandangan moral dan etisnya dalam memimpin kerajaan. Ia juga mendapat pelatihan dalam ilmu pemerintahan, diplomasi, dan seni perang—ilmu yang penting bagi seorang putra mahkota dalam kerajaan maritim yang besar dan berpengaruh seperti Gowa.
Ia naik tahta pada tahun 1653, menggantikan ayahnya yang mangkat. Pada saat itu, Gowa merupakan salah satu kekuatan utama di Nusantara bagian timur, dengan pengaruh politik dan ekonomi yang meluas ke Maluku, Nusa Tenggara, bahkan sebagian Kalimantan dan Papua. Meski usianya masih tergolong muda, Sultan Hasanuddin segera menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin yang tegas, cerdas, dan memiliki semangat kebangsaan yang tinggi dalam membela martabat rakyat dan tanah airnya.
Karakter dan Kepemimpinan
Kepemimpinan Sultan Hasanuddin ditandai oleh ketegasan dalam diplomasi, keberanian dalam peperangan, dan kecermatan dalam melihat ancaman kolonialisme. Ia tidak mudah diintimidasi oleh kekuatan asing dan selalu menjaga martabat Gowa sebagai kerajaan yang merdeka. Dalam pergaulan internasional, Sultan Hasanuddin dikenal sebagai sosok yang bersahabat dan terbuka terhadap bangsa lain, namun sangat keras terhadap segala bentuk dominasi dan intervensi asing dalam urusan dalam negeri Makassar.
Sultan Hasanuddin juga memiliki visi politik yang jelas. Ia memahami bahwa VOC bukan sekadar pedagang, melainkan kekuatan kolonial yang sedang membangun cengkeramannya atas tanah dan rakyat Nusantara. Karena itu, ia menolak semua upaya Belanda untuk memaksakan monopoli dagang, yang bertentangan dengan sistem pelabuhan bebas yang dianut Gowa selama berabad-abad. Ia lebih memilih bertempur habis-habisan daripada menyerahkan kedaulatan Makassar kepada kekuatan asing.
Dalam hal militer, Sultan Hasanuddin dikenal sebagai ahli strategi yang cakap. Ia memperkuat benteng Somba Opu, memperluas armada laut, serta mempersiapkan sistem pertahanan yang kompleks untuk menghadapi kemungkinan invasi Belanda. Ia juga memiliki kemampuan retorika dan kharisma tinggi yang mampu membangkitkan semangat perlawanan di kalangan bangsawan, prajurit, dan rakyat biasa.
Julukan “Ayam Jantan dari Timur” dan Maknanya
Julukan “Ayam Jantan dari Timur” diberikan oleh lawan-lawan Belandanya karena keberaniannya dalam bertempur dan konsistensinya dalam menolak penaklukan. Dalam budaya Eropa, julukan semacam ini menunjukkan penghormatan terhadap musuh yang tangguh—sebuah bentuk pengakuan atas kekuatan karakter dan ketangguhan militer Sultan Hasanuddin.
Sebutan ini juga memiliki makna simbolik yang mendalam. Ayam jantan adalah simbol kewaspadaan, keberanian, dan kesiapsiagaan. Sultan Hasanuddin memang dikenal sebagai pemimpin yang tidak pernah lengah terhadap ancaman kolonial, dan selalu siap bangkit untuk mempertahankan negeri. Di sisi lain, istilah “dari Timur” menegaskan asal-usul geografisnya sebagai pahlawan besar dari bagian timur Nusantara—wilayah yang sering dipinggirkan dalam narasi sejarah kolonial.
Pandangannya terhadap Kolonialisme dan Politik Regional
Sultan Hasanuddin bukan hanya seorang raja yang berpikir lokal, melainkan negarawan yang memahami dinamika politik regional. Ia melihat kolonialisme VOC sebagai ancaman bukan hanya bagi Gowa, tetapi juga bagi seluruh Nusantara. Oleh karena itu, perjuangannya tidak sebatas membela wilayah sendiri, melainkan juga mempertahankan prinsip kebebasan maritim bagi seluruh kerajaan di Indonesia timur.
Ia sangat menyadari bahwa VOC memanfaatkan konflik internal antar-kerajaan untuk memperluas pengaruhnya. Karena itu, Sultan Hasanuddin berupaya membangun solidaritas politik dengan kerajaan-kerajaan tetangga, meski tidak selalu berhasil karena jurang kepentingan dan trauma historis. Ia juga menolak segala bentuk perjanjian yang berpotensi menyerahkan hak-hak dagang atau politik Gowa kepada VOC, meskipun itu berarti harus menghadapi peperangan besar.
Dalam pandangan Sultan Hasanuddin, kemerdekaan sebuah bangsa atau kerajaan tidak dapat dinegosiasikan demi keuntungan ekonomi sesaat. Perlawanan terhadap VOC adalah manifestasi dari prinsip bahwa kedaulatan tidak boleh diperjualbelikan, dan bahwa rakyat Nusantara memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa intervensi kekuatan asing.
4. Jalannya Perang Makassar
a. Tahap Awal (1666–1667)
Perang Makassar secara resmi dimulai pada tahun 1666, tetapi bibit konflik sudah ditabur sejak satu dekade sebelumnya, ketika VOC mulai menegaskan dominasinya di wilayah timur Nusantara. Setelah berbagai upaya diplomatik gagal meredam ketegangan antara Kesultanan Gowa dan VOC, pemerintah pusat VOC di Batavia memutuskan untuk melancarkan ekspedisi militer besar-besaran guna menundukkan Makassar dan mengakhiri sistem perdagangan bebas yang mengganggu monopoli mereka atas rempah-rempah.
Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Cornelis Speelman, seorang komandan militer berpengalaman dan agresif, yang sangat memahami strategi VOC dalam menjinakkan kerajaan-kerajaan lokal melalui gabungan kekuatan senjata, diplomasi, dan manipulasi politik internal. Speelman diberi mandat luas: memaksa Sultan Hasanuddin tunduk pada kehendak VOC, atau jika perlu, menghancurkan kekuatan militer dan benteng pertahanan Makassar.
Armada VOC berangkat dari Batavia menuju timur pada pertengahan tahun 1666, membawa pasukan reguler Belanda, tentara bayaran Eropa, serta pasukan lokal dari Bone dan wilayah Bugis lainnya yang telah bergabung dalam koalisi anti-Gowa di bawah komando Arung Palakka. Koalisi ini tidak hanya memberikan kekuatan militer tambahan bagi VOC, tetapi juga legitimasi politik lokal, karena diposisikan sebagai upaya “membebaskan” kerajaan-kerajaan Bugis dari dominasi Gowa—narasi yang dikembangkan secara cermat oleh propaganda VOC.
Sesampainya di perairan Sulawesi, ekspedisi Speelman langsung memulai manuver militer dan diplomatik secara bersamaan. Di satu sisi, mereka melakukan serangkaian blokade terhadap jalur pelayaran ke dan dari pelabuhan Makassar, dengan tujuan melemahkan ekonomi Kesultanan Gowa dan menekan Sultan Hasanuddin agar bersedia berunding di bawah kondisi yang ditentukan VOC. Di sisi lain, Speelman mencoba menghubungi faksi-faksi internal dalam istana Gowa yang diperkirakan tidak sepenuhnya loyal kepada Sultan Hasanuddin, untuk memecah kekuatan internal kerajaan.
Namun, Sultan Hasanuddin merespons dengan sikap yang sangat tegas. Ia tidak mengakui legitimasi pasukan VOC untuk mencampuri urusan Gowa, dan menolak seluruh ultimatum yang dikirim oleh Speelman. Di saat yang sama, ia memerintahkan penguatan posisi militer di benteng-benteng utama, terutama di Benteng Somba Opu, serta memperkuat patroli laut di sekitar pelabuhan dan pulau-pulau kecil yang menjadi jalur distribusi logistik.
Bentrokan pertama pecah di sejumlah titik strategis di pesisir barat daya Sulawesi, terutama di wilayah pesisir antara Makassar dan Bone. Pasukan VOC dan sekutu lokal mereka melakukan serangan cepat ke kampung-kampung yang dianggap menjadi pos perbekalan Gowa. Dalam beberapa kasus, mereka melakukan tindakan represif terhadap penduduk sipil yang dianggap mendukung Gowa. Perang ini pun tidak hanya menjadi pertempuran antara dua kekuatan formal, tetapi juga perang psikologis dan moral, di mana warga sipil turut menjadi korban.
Meski VOC berhasil meraih beberapa kemenangan kecil di awal pertempuran, mereka mengalami kesulitan dalam merebut benteng-benteng utama Gowa yang dibangun dengan arsitektur pertahanan yang canggih. Benteng Somba Opu, misalnya, dirancang dengan dinding tebal dari batu bata dan batu karang, serta dilengkapi meriam-meriam besar dan pasukan elit yang loyal langsung kepada Sultan. Sultan Hasanuddin sendiri turun langsung ke medan laga, memberi semangat kepada pasukannya dan menolak untuk meninggalkan Makassar walau situasi semakin genting.
Pada akhir tahun 1667, kedua belah pihak mengalami kelelahan setelah berbulan-bulan saling serang dan bertahan. Speelman kemudian mendorong untuk dilakukan perundingan damai, namun tentu saja dengan syarat-syarat yang sangat berat bagi Gowa. Dalam konteks ini, tercapailah Perjanjian Bongaya yang menandai akhir tahap awal perang. Meskipun Sultan Hasanuddin secara formal menandatangani perjanjian tersebut pada Desember 1667, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perjanjian itu tidak serta merta mengakhiri konflik. Bagi Sultan Hasanuddin dan rakyat Gowa, perjanjian itu adalah hasil paksaan dan tidak sah secara moral maupun politik—sehingga perlawanan akan terus berlanjut di tahap berikutnya.
b. Perjanjian Bongaya (1667)
Setelah pertempuran yang melelahkan sepanjang tahun 1666 hingga akhir 1667, situasi militer Kesultanan Gowa semakin terdesak. Meski semangat perlawanan rakyat dan pasukan Gowa tetap tinggi, kekuatan aliansi VOC yang dipimpin Cornelis Speelman bersama Arung Palakka dari Bone serta kerajaan-kerajaan sekutu lainnya berhasil mempersempit ruang gerak Gowa secara perlahan namun sistematis. Dalam kondisi tekanan militer dan diplomatik yang sangat berat, Sultan Hasanuddin akhirnya dipaksa untuk mengikuti perundingan damai yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Bongaya, dinamai dari tempat diadakannya, yaitu di Bongaya (sekarang bagian dari wilayah Makassar).
Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 18 November 1667, dan merupakan salah satu perjanjian paling keras dan menghina yang pernah diterima sebuah kerajaan lokal di Nusantara pada abad ke-17. Meski diklaim sebagai “perdamaian”, sesungguhnya isi perjanjian ini adalah bentuk nyata dari penaklukan dan pemaksaan kehendak kolonial VOC terhadap Gowa.
Isi Perjanjian: Syarat-syarat Keras bagi Makassar
Perjanjian Bongaya mengandung sejumlah pasal yang sangat merugikan dan menghancurkan kedaulatan Kesultanan Gowa, di antaranya:
- Pengakuan penuh terhadap monopoli VOC atas perdagangan di wilayah Gowa, terutama rempah-rempah, dan larangan berdagang dengan bangsa Eropa lainnya seperti Portugis dan Inggris.
- Penutupan pelabuhan Makassar dari semua kapal non-VOC, termasuk pelarangan terhadap pedagang bebas yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Makassar.
- Penyerahan seluruh benteng di luar Benteng Somba Opu kepada VOC atau sekutu-sekutunya, dan pembongkaran sebagian besar sistem pertahanan Gowa.
- Pengakuan kekuasaan Arung Palakka atas Kerajaan Bone, serta pemulihan status Bone sebagai kerajaan yang merdeka dari dominasi Gowa.
- Pelepasan wilayah-wilayah taklukan Gowa, termasuk di wilayah Bugis dan sekitarnya, yang secara historis merupakan bagian dari hegemoni Gowa.
- Keharusan Sultan Hasanuddin untuk tunduk pada pengawasan VOC, termasuk dalam urusan perdagangan luar negeri dan urusan politik tertentu.
Secara de facto, isi perjanjian ini tidak hanya melumpuhkan kekuatan militer dan ekonomi Gowa, tetapi juga mengubah Kesultanan Gowa dari kerajaan maritim yang merdeka menjadi wilayah yang dikendalikan VOC secara tidak langsung.
Penolakan dan Perlawanan Sultan Hasanuddin
Meskipun Sultan Hasanuddin akhirnya menandatangani Perjanjian Bongaya—kemungkinan besar sebagai langkah strategis untuk menunda kehancuran total—perlawanan dari pihak Gowa tidak berhenti. Bagi Sultan dan rakyat Makassar, perjanjian ini adalah hasil tekanan militer sepihak yang tidak pernah dimaksudkan sebagai bentuk kesepakatan sukarela. Hasanuddin menyadari bahwa menandatangani perjanjian di bawah todongan meriam bukanlah kekalahan final, tetapi jeda untuk menyusun kekuatan kembali.
Tak lama setelah perjanjian ditandatangani, Sultan Hasanuddin memutuskan untuk mengabaikan sebagian besar isi perjanjian, terutama yang berkaitan dengan monopoli dagang dan penyerahan benteng. Ia kembali membangun sistem pertahanan, memperkuat Benteng Somba Opu, dan menggalang kekuatan dari rakyat dan sisa-sisa sekutu setia yang tidak menyerah kepada VOC. Di sisi lain, banyak bangsawan Gowa yang juga menolak isi perjanjian, dan memilih untuk tetap setia kepada Sultan dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka.
VOC menyadari bahwa meskipun mereka telah memenangkan diplomasi di atas kertas, mereka belum sepenuhnya menguasai medan tempur. Kegagalan Sultan Hasanuddin untuk mematuhi isi perjanjian dipandang sebagai bentuk pemberontakan. Karena itu, Speelman dan Arung Palakka segera menyiapkan gelombang serangan lanjutan untuk menghancurkan Gowa secara total. Maka dimulailah tahap kedua dari Perang Makassar, yang akan berlangsung jauh lebih brutal dan menentukan nasib Kesultanan Gowa dalam sejarah Nusantara.
Perjanjian Bongaya pada akhirnya menjadi simbol dari politik kekerasan yang dibungkus dalam diplomasi kolonial, serta bukti bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak hanya terjadi di medan perang, tetapi juga dalam upaya mempertahankan kedaulatan hukum dan kehormatan kerajaan.
c. Puncak Perang dan Serangan Balasan (1668–1669)
Penandatanganan Perjanjian Bongaya pada akhir 1667 bukannya mengakhiri konflik, melainkan menjadi pemicu eskalasi yang lebih besar. Sultan Hasanuddin, yang menandatangani perjanjian dalam keadaan tertekan, segera menyadari bahwa konsekuensi dari kesepakatan itu sangat merusak kedaulatan Gowa. Alih-alih mematuhinya, ia memutuskan untuk mengabaikan sebagian besar klausul perjanjian dan mempersiapkan perlawanan lanjutan. Dengan dukungan penuh rakyat Makassar, ia memperkuat kembali sistem pertahanan, memobilisasi pasukan, dan memperbaiki benteng-benteng utama, terutama Benteng Somba Opu, sebagai pusat pertahanan terakhir.
Pengepungan Benteng Somba Opu
Benteng Somba Opu, terletak di tepi Sungai Jeneberang, adalah benteng terbesar dan terkuat milik Kesultanan Gowa. Dibangun dengan teknik pertahanan maritim yang canggih, benteng ini memiliki dinding tebal dari batu bata dan batu karang, serta dilengkapi banyak meriam dan menara pengawas. Sultan Hasanuddin memusatkan seluruh kekuatan Gowa di sini, menjadikannya sebagai benteng terakhir pertahanan dan simbol perlawanan nasional.
VOC, yang merasa dikhianati karena Gowa tidak menjalankan isi perjanjian, segera melancarkan serangan balasan berskala penuh pada awal 1668. Mereka memperkuat koalisi dengan pasukan Bone di bawah Arung Palakka, serta mendapatkan tambahan logistik dan pasukan dari Batavia dan Ambon. Armada VOC mengepung Makassar dari laut, sementara pasukan darat bergerak perlahan mengepung benteng dan memutus jalur logistik dari pedalaman.
Strategi Pertempuran dan Keberanian Rakyat Makassar
Perlawanan dari rakyat dan pasukan Gowa di bawah pimpinan langsung Sultan Hasanuddin berlangsung sangat sengit dan heroik. Pertempuran berlangsung selama berbulan-bulan, dengan intensitas tinggi. Pasukan Gowa tidak hanya terdiri dari prajurit istana, tetapi juga rakyat sipil yang secara sukarela turut bertempur untuk mempertahankan kemerdekaan kerajaan. Dalam berbagai catatan Belanda, mereka menyebut perlawanan ini sebagai salah satu bentuk ketangguhan dan keberanian luar biasa dari sebuah kerajaan pribumi di Nusantara.
Sultan Hasanuddin menerapkan strategi bertahan aktif, memanfaatkan struktur benteng yang tangguh sambil melakukan serangan balik secara sporadis terhadap posisi VOC. Perang gerilya di luar benteng juga terus digencarkan oleh pejuang-pejuang Gowa yang menyerang konvoi suplai VOC dan mengganggu pergerakan pasukan darat mereka. Meski dikepung, semangat rakyat tidak pernah padam.
Namun, posisi Makassar semakin sulit. Blokade laut VOC yang ketat membuat suplai logistik dan makanan ke dalam benteng semakin terputus. Kondisi dalam benteng memburuk—kelaparan, penyakit, dan kekurangan senjata mulai menghantui para pejuang dan rakyat sipil yang bertahan. Meski demikian, Sultan Hasanuddin tetap bertahan dan menolak menyerah hingga titik terakhir.
Kekuatan Militer VOC dan Aliansinya
VOC memanfaatkan superioritas teknologinya—meriam jarak jauh, kapal perang modern, dan pasukan bayaran bersenjata lengkap. Namun yang paling menentukan adalah kekuatan aliansi lokal, terutama dari Arung Palakka yang sangat mengenal medan dan memiliki dendam sejarah terhadap Gowa. Pasukan Bone tidak hanya membantu secara fisik, tetapi juga memberi informasi strategis tentang kelemahan posisi Gowa.
Tekanan militer dari dua sisi—laut dan darat—membuat posisi Gowa kian rapuh. VOC membombardir Benteng Somba Opu dengan meriam berat dari laut, sementara pasukan Bone menyerang dari daratan tinggi dan jalur belakang benteng. Setelah hampir dua tahun pengepungan dan pertempuran tanpa henti, kondisi di dalam benteng benar-benar tak tertahankan lagi.
Akhir Perang dan Jatuhnya Somba Opu pada Juni 1669
Akhirnya, pada bulan Juni 1669, Benteng Somba Opu jatuh ke tangan VOC dan sekutunya. Kota Makassar diluluhlantakkan. Banyak bangunan dibakar, rakyat dibantai, dan sisa-sisa kekuatan militer Gowa dihancurkan. Sultan Hasanuddin, yang sudah jatuh sakit dan kelelahan fisik akibat peperangan yang berkepanjangan, akhirnya mengundurkan diri dari tahta. Ia menyerahkan tampuk pemerintahan kepada penerusnya, dan wafat tidak lama kemudian, meninggalkan jejak sejarah sebagai pahlawan sejati Nusantara.
Kekalahan ini menandai berakhirnya kekuasaan Kesultanan Gowa sebagai kekuatan maritim independen, dan membuka jalan bagi dominasi penuh VOC di kawasan timur Nusantara. Benteng Somba Opu dihancurkan oleh VOC untuk mencegah kebangkitan kembali Gowa, dan VOC membangun benteng barunya sendiri, Fort Rotterdam, di atas reruntuhan sejarah Gowa yang megah.
Namun, semangat perlawanan Sultan Hasanuddin tidak pernah padam. Ia dikenang oleh rakyat sebagai pemimpin yang tidak tunduk pada kekuasaan asing, dan perjuangannya menjadi simbol kedaulatan, keberanian, dan harga diri bangsa Nusantara dalam menghadapi kolonialisme.
Dampak Perang Makassar
a. Kekalahan dan Pengasingan
Kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar tidak hanya menjadi titik balik dalam sejarah kerajaan itu sendiri, tetapi juga membuka lembaran baru dalam peta politik dan kolonialisme di Nusantara bagian timur. Jatuhnya Benteng Somba Opu pada Juni 1669 menandai runtuhnya salah satu kekuatan maritim terbesar di kawasan ini dan menjadi simbol kekalahan tragis sebuah kerajaan yang selama berabad-abad mempertahankan kedaulatan politik dan kebebasan ekonominya.
Pengunduran Diri Sultan Hasanuddin
Setelah kekalahan di medan perang, Sultan Hasanuddin—dalam keadaan sakit dan secara moral terpukul—memilih untuk mengundurkan diri dari tahta. Meskipun secara resmi perjanjian damai telah dibuat sebelumnya, pengunduran dirinya adalah bentuk penolakan simbolik terhadap kekuasaan VOC yang mulai mengendalikan pemerintahan dan wilayah Gowa secara tidak langsung. Ia menolak menjadi penguasa boneka atau raja bayangan di bawah kontrol perusahaan dagang asing.
Setelah turun tahta, Sultan Hasanuddin mengasingkan diri secara politik dan menarik diri dari kehidupan publik. Ia wafat pada tahun 1670 dalam usia yang relatif muda, dan dikenang sebagai seorang pemimpin besar yang memilih kehormatan dan prinsip daripada tunduk kepada kekuasaan asing. Nama dan perjuangannya terus hidup dalam memori kolektif rakyat Makassar dan bangsa Indonesia, dan kelak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.
Peran Bone dan Arung Palakka dalam Kemenangan VOC
Salah satu faktor paling penting dalam kekalahan Gowa adalah keterlibatan aktif Kerajaan Bone, khususnya di bawah pimpinan Arung Palakka. Sebagai mantan bangsawan Bone yang pernah mengalami penindasan di bawah kekuasaan Gowa, Arung Palakka memanfaatkan kesempatan ini untuk membalas dendam politik dan memulihkan kekuasaan Bugis. Ia menjadi sekutu utama VOC dalam kampanye militer melawan Makassar dan berperan sebagai pemimpin pasukan darat dari pihak aliansi.
Arung Palakka bukan hanya simbol balas dendam, tetapi juga menjadi instrumen utama VOC dalam melanggengkan kontrol mereka atas wilayah Sulawesi Selatan. Setelah kemenangan atas Gowa, VOC memberikan penghargaan besar kepada Arung Palakka dengan mengangkatnya sebagai Raja Bone, dan memberikan keleluasaan politik kepada Bone untuk memperluas pengaruhnya atas kerajaan-kerajaan Bugis lain. Dalam praktiknya, hal ini menciptakan hegemoni baru, di mana Bone—dengan dukungan VOC—menjadi kekuatan dominan, sementara kerajaan-kerajaan lain dipaksa tunduk atau kehilangan otonomi mereka.
Namun, keberhasilan Arung Palakka bukan tanpa konsekuensi. Pemerintahannya sebagai Raja Bone dikenal otoriter dan represif, terutama terhadap sisa-sisa loyalis Gowa. Banyak rakyat Makassar yang memilih meninggalkan tanah kelahiran mereka dan bermigrasi ke wilayah-wilayah lain di Nusantara, bahkan hingga ke wilayah barat seperti Kalimantan dan Sumatra, dalam suatu eksodus politik dan sosial besar-besaran. Diaspora Makassar ini kelak akan memainkan peran penting dalam penyebaran budaya, agama, dan keterampilan maritim orang-orang Sulawesi di wilayah-wilayah lain di Indonesia dan Asia Tenggara.
Kemenangan VOC dan Bone atas Gowa menjadi titik awal dari tatanan kolonial baru di Indonesia timur. VOC tidak hanya memonopoli perdagangan, tetapi juga menyusun struktur kekuasaan lokal melalui pemihakan pada kelompok-kelompok tertentu. Sistem ini bertahan selama lebih dari satu abad dan menciptakan ketegangan laten antar-etnis dan antar-kerajaan yang dampaknya terasa hingga jauh ke masa kolonial Belanda dan bahkan kemerdekaan Indonesia.
Dengan demikian, kekalahan Kesultanan Gowa tidak hanya menandai akhir dari satu perang besar, tetapi juga mengubah lanskap politik, sosial, dan budaya di Sulawesi dan Nusantara secara keseluruhan. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana konflik internal, ditambah intervensi asing yang terorganisir, dapat menghancurkan sebuah kekuatan besar yang sebelumnya tangguh dan berdaulat.
b. Dominasi VOC di Sulawesi
Kemenangan VOC dalam Perang Makassar bukan sekadar keberhasilan militer, melainkan awal dari dominasi politik dan ekonomi yang mendalam di wilayah Indonesia Timur. Dengan ditaklukkannya Kesultanan Gowa, satu-satunya kekuatan besar yang selama ini mampu menahan ekspansi VOC, Belanda akhirnya berhasil mengonsolidasikan kendali mereka atas jalur perdagangan strategis dari Maluku hingga ke pesisir barat daya Sulawesi.
VOC Menjadi Kekuatan Dominan di Indonesia Timur
Pasca-Perang Makassar, VOC secara de facto dan de jure menjadi penguasa tertinggi di kawasan timur Nusantara. Meski tidak secara langsung memerintah melalui sistem kolonial total seperti yang dilakukan pada masa Hindia Belanda di kemudian hari, VOC mengendalikan jalur perdagangan, pelabuhan, dan struktur kekuasaan lokal melalui sistem monopoli, perjanjian politik, dan penempatan pasukan di titik-titik strategis.
Salah satu tindakan pertama yang dilakukan VOC adalah menghancurkan benteng-benteng Gowa, termasuk merobohkan sebagian besar Benteng Somba Opu, dan kemudian membangun benteng baru, Fort Rotterdam, sebagai pusat militer dan administratif mereka di Makassar. Benteng ini menjadi simbol kehadiran permanen VOC di Sulawesi Selatan dan pos penting dalam jaringan pertahanan kolonial di Asia Tenggara.
VOC juga menempatkan residen atau perwakilan tetap di Makassar untuk mengawasi aktivitas pemerintahan lokal, perdagangan, dan pelayaran. Melalui kontrol atas pelabuhan dan laut, VOC dapat menentukan siapa yang boleh berdagang, apa yang boleh dijual, dan ke mana barang-barang harus dikirim. Sistem pengawasan ini membuat kerajaan-kerajaan lokal tidak lagi merdeka secara ekonomi dan politik, karena semua kebijakan harus melalui persetujuan VOC.
Di luar Sulawesi Selatan, VOC juga memperkuat pengaruhnya di Maluku, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah Kalimantan dan Papua, dengan menjadikan Makassar sebagai pusat logistik dan operasi. Runtuhnya Gowa membuka jalur ekspansi tanpa perlawanan, sehingga VOC bisa memperluas kontrolnya tanpa gangguan dari kerajaan besar lokal seperti sebelumnya.
Melemahnya Pengaruh Gowa dan Sistem Perdagangan Bebas
Salah satu dampak terbesar dari kemenangan VOC adalah runtuhnya sistem perdagangan bebas yang sebelumnya menjadi ciri khas Makassar dan wilayah timur Nusantara. Selama berabad-abad, pelabuhan Makassar telah menjadi tempat berlabuhnya kapal dari berbagai bangsa—Portugis, Inggris, Arab, Cina, Melayu, dan pelaut-pelaut lokal dari Bugis, Buton, Mandar, hingga Maluku. Sistem ini memungkinkan pertukaran komoditas secara luas dan terbuka, serta mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat yang tidak bergantung pada satu otoritas tunggal.
Setelah VOC berkuasa, sistem ini dihapus secara sistematis. Perdagangan hanya diperbolehkan melalui jalur yang disetujui VOC, dengan harga dan kuota yang ditentukan oleh perusahaan. Barang-barang dari Maluku, terutama rempah-rempah, harus dijual kepada VOC dengan harga murah, sementara barang-barang Eropa dijual kembali kepada penduduk lokal dengan harga tinggi. Perdagangan bebas dilarang keras, dan pelanggaran terhadap aturan VOC dapat berujung pada penyitaan kapal, penjara, atau hukuman mati.
Kesultanan Gowa, yang dulu menjadi pelindung utama sistem perdagangan bebas ini, kini berubah menjadi kerajaan yang kehilangan otoritas maritim dan ekonomi. Wilayah kekuasaannya menyempit, pengaruh politiknya melemah, dan bangsawan-bangsawan Gowa banyak yang kehilangan peran atau dipaksa tunduk pada tatanan baru yang ditetapkan VOC dan sekutunya. Banyak keluarga bangsawan dan pedagang Makassar yang terpaksa bermigrasi ke wilayah lain seperti Kalimantan, Riau, dan Semenanjung Malaka, membawa serta budaya dan jaringan dagang mereka.
Kehancuran Gowa juga menandai pergeseran besar dalam keseimbangan kekuatan politik Nusantara timur, dari sistem multipolar yang dinamis menjadi struktur kekuasaan terpusat di bawah kontrol VOC. Dalam jangka panjang, dominasi ini menyiapkan jalan bagi ekspansi kolonial Belanda di abad ke-18 dan 19, ketika VOC digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda yang lebih birokratis dan militeristik.
Dengan demikian, kemenangan VOC atas Gowa tidak hanya mengakhiri satu perang, tetapi mengakhiri satu era sejarah maritim Nusantara, ketika kerajaan-kerajaan lokal masih memiliki kedaulatan untuk mengatur perdagangan dan jalur laut mereka sendiri.
c. Perubahan Sosial dan Politik
Kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar membawa dampak sosial dan politik yang sangat luas dan berjangka panjang. Perubahan tidak hanya terjadi dalam tatanan kekuasaan, tetapi juga menyentuh struktur masyarakat, pola migrasi, dan dinamika budaya yang membentuk wajah baru Indonesia timur pada masa-masa selanjutnya. VOC, sebagai kekuatan kolonial dominan, memanfaatkan momentum ini untuk membentuk ulang sistem sosial-politik lokal agar selaras dengan kepentingan kolonial mereka, sehingga membuka jalan bagi bentuk kolonialisasi yang lebih sistematis dan berakar dalam.
Arus Migrasi dan Diaspora Makassar
Salah satu dampak sosial paling signifikan dari kekalahan Gowa adalah terjadinya gelombang migrasi besar-besaran dari wilayah Makassar ke berbagai daerah di Nusantara. Banyak bangsawan, pedagang, ulama, dan rakyat biasa yang tidak mau hidup di bawah kontrol VOC dan Bone memilih meninggalkan tanah kelahirannya. Mereka bermigrasi ke wilayah-wilayah yang masih relatif bebas dari kontrol kolonial, seperti Kalimantan (Banjarmasin, Kutai), Riau, pesisir timur Sumatra, Nusa Tenggara, bahkan hingga ke Johor dan Pattani.
Gelombang migrasi ini menciptakan komunitas diaspora Makassar di berbagai wilayah. Para perantau ini membawa serta budaya, bahasa, adat istiadat, dan tradisi maritim yang kuat. Mereka kerap menjalin hubungan erat dengan komunitas Bugis dan Mandar yang juga melakukan migrasi serupa. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi kekuatan politik dan ekonomi baru di tempat tujuan, seperti menjadi panglima laut, penguasa pelabuhan, atau pemuka agama.
Diaspora Makassar ini juga menjadi penyebar Islam yang tangguh dan berpengaruh. Ulama-ulama Makassar yang bermigrasi berperan penting dalam memperkuat Islam di wilayah baru, sekaligus menjaga identitas budaya Makassar dalam konteks lintas daerah. Maka, walaupun secara teritorial Gowa melemah, pengaruh kultural dan ideologisnya justru menyebar lebih luas, meninggalkan jejak yang terasa hingga kini.
Perubahan Struktur Kekuasaan Lokal
Dengan dihancurkannya kekuatan Gowa dan pengangkatan Arung Palakka sebagai Raja Bone oleh VOC, struktur kekuasaan di Sulawesi Selatan berubah drastis. Jika sebelumnya Gowa memegang dominasi atas kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar lainnya, kini Bone muncul sebagai kerajaan hegemonik di bawah bayang-bayang VOC. Kekuasaan yang dulu bersifat kolektif dan kompetitif berubah menjadi lebih sentralistik, dengan Bone sebagai pelaksana kebijakan VOC di lapangan.
Perubahan ini tidak selalu diterima dengan sukarela oleh masyarakat lokal. Banyak rakyat dan bangsawan Gowa yang dipaksa tunduk, kehilangan hak-hak politik, atau bahkan diasingkan. Struktur pemerintahan VOC juga mulai diterapkan secara bertahap: pengawasan atas raja-raja lokal, penunjukan pejabat penghubung (opzichters), dan penerapan sistem perjanjian baru yang mengikat secara politik dan ekonomi.
Perubahan ini menciptakan ketegangan yang mendalam. Hubungan antar-suku dan antar-kerajaan yang sebelumnya didasarkan pada ikatan kekerabatan, perdagangan, dan persekutuan tradisional mulai tergantikan oleh hubungan hirarkis kolonial. VOC mendikte arah politik lokal dengan menjadikan sebagian bangsawan sebagai sekutu, dan sebagian lain sebagai ancaman yang harus ditekan. Hal ini melahirkan fragmentasi politik internal yang menghambat solidaritas regional dalam menghadapi kolonialisme.
Awal Kolonialisasi VOC yang Lebih Sistematis di Indonesia Timur
Setelah Perang Makassar, VOC mulai menerapkan bentuk kolonialisasi yang lebih sistematis dan berlapis di kawasan timur Nusantara. Wilayah yang sebelumnya tidak sepenuhnya berada di bawah pengaruh VOC kini secara aktif diintegrasikan ke dalam sistem kendali mereka. Ini bukan hanya soal kontrol dagang, tetapi juga mencakup kendali militer, administratif, dan sosial.
VOC membentuk jaringan garnisun dan pos pengawasan di berbagai titik strategis: selain di Fort Rotterdam (Makassar), mereka juga menguatkan basis di Ambon, Banda Neira, dan Ternate. Dari sini, mereka memantau jalur pelayaran dan memaksa kerajaan-kerajaan lokal untuk menandatangani kontrak dagang eksklusif. Mereka juga menerapkan sistem tanda izin berlayar (pas), bea cukai paksa, dan pembatasan mobilitas kapal-kapal lokal.
Sementara itu, dalam masyarakat, VOC mulai menerapkan sistem hukum kolonial, mencampuri urusan adat, dan mempengaruhi kebijakan keagamaan dengan membatasi gerakan ulama yang dianggap melawan. Sistem pajak juga mulai dikenalkan secara perlahan di beberapa wilayah yang tunduk langsung pada kekuasaan Belanda.
Meskipun VOC belum menerapkan kolonialisme penuh sebagaimana di abad ke-19, namun fondasinya sudah diletakkan dengan kuat setelah Perang Makassar. Dengan berakhirnya kekuasaan Gowa, tidak ada lagi kekuatan lokal besar di timur Nusantara yang mampu secara efektif menantang VOC secara terbuka selama lebih dari satu abad ke depan.
Analisis Strategi dan Politik
Perang Makassar adalah salah satu konflik paling kompleks dan monumental dalam sejarah Nusantara pra-kolonial. Ia bukan sekadar perang antara dua kekuatan—Kesultanan Gowa dan VOC—tetapi juga merupakan cerminan dari benturan dua paradigma besar: kedaulatan maritim lokal melawan ekspansi kolonial korporatis yang disokong kekuatan militer dan politik global. Untuk memahami mengapa perang ini berakhir dengan kekalahan Gowa dan kemenangan VOC, perlu dianalisis secara mendalam strategi militer, logistik, serta politik aliansi yang diterapkan oleh kedua pihak.
Analisis Militer Sultan Hasanuddin dan VOC
Sultan Hasanuddin dikenal sebagai pemimpin yang visioner dan tegas dalam pertahanan. Ia menyadari bahwa kekuatan maritim Gowa adalah benteng utama melawan ambisi kolonial asing. Oleh karena itu, ia mengembangkan sistem pertahanan berlapis yang memanfaatkan benteng-benteng strategis, seperti Benteng Somba Opu, serta memperkuat angkatan laut Gowa dengan armada kapal tradisional yang gesit dan pasukan pelaut yang terlatih.
Strategi militer Gowa mengandalkan penguasaan wilayah pesisir dan laut, pertahanan kuat di garis depan, serta taktik gerilya dalam mengganggu logistik musuh. Dalam banyak kesempatan, Gowa mampu menghambat pergerakan VOC dan sekutunya dengan serangan mendadak, sabotase jalur suplai, dan keunggulan medan.
Namun, di sisi lain, VOC datang dengan doktrin militer modern berbasis teknologi dan organisasi Eropa. Mereka membawa meriam jarak jauh, kapal bersenjata, dan struktur komando yang disiplin. Komandan seperti Cornelis Speelman berpengalaman dalam mengepung dan menaklukkan wilayah kolonial di berbagai belahan dunia. Mereka menerapkan strategi pengepungan jangka panjang, blokade ekonomi, dan pemaksaan perjanjian diplomatik sebagai instrumen militer.
VOC juga unggul dalam mobilisasi militer lintas wilayah, mengerahkan pasukan dari Batavia, Ambon, bahkan dari Eropa, serta memanfaatkan tenaga prajurit bayaran dan pasukan lokal dari Bone dan sekutunya.
Perbandingan Kekuatan dan Logistik Kedua Pihak
Dari sisi kekuatan militer:
- Gowa memiliki jumlah pasukan besar dan struktur pertahanan tangguh, namun sebagian besar masih berbasis senjata tradisional (tombak, panah, keris, meriam lokal).
- VOC lebih unggul dalam hal persenjataan modern, amunisi berlimpah, dan sistem logistik lintas samudra yang mendukung operasi jangka panjang.
Logistik menjadi salah satu titik lemah Gowa. Blokade laut VOC menyebabkan kelangkaan pangan, amunisi, dan logistik vital, terutama selama pengepungan Somba Opu. Sebaliknya, VOC mampu menyuplai pasukan mereka dengan logistik dari pos-pos terdekat dan dari kapal-kapal yang terus berdatangan dari Batavia.
Dalam hal komando, Sultan Hasanuddin memimpin langsung pasukannya dan mendapat dukungan penuh dari rakyat dan bangsawan lokal. Namun struktur ini memiliki keterbatasan dalam koordinasi luas. Sementara itu, VOC memiliki komando terpusat dengan koordinasi antara pasukan laut dan darat, serta jaringan komunikasi yang lebih modern.
Politik Divide et Impera VOC melalui Aliansi Lokal
Salah satu keunggulan terbesar VOC bukan hanya kekuatan senjata, tetapi strategi politik “divide et impera” (pecah belah dan kuasai) yang diterapkan secara sistematis. VOC tidak menghadapi Gowa secara frontal sebagai satu kekuatan tunggal, melainkan memecahnya menjadi konflik internal dan eksternal, lalu memanfaatkannya.
Mereka bersekutu dengan Arung Palakka dan kerajaan Bone, yang sebelumnya pernah mengalami represi dari Gowa. Dengan membingkai kampanye militer sebagai “pembebasan Bone” dari penjajahan Gowa, VOC mendapatkan dukungan militer, legitimasi moral di mata sebagian rakyat Bugis, dan pemahaman medan lokal yang sangat krusial.
Aliansi ini diperluas ke kerajaan Tallo, Soppeng, dan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya yang memiliki ketegangan historis dengan Gowa. Dengan memanfaatkan ketidakpuasan lokal, VOC menciptakan koalisi anti-Gowa yang efektif, dan mengubah perang ini menjadi konflik multidimensi, bukan lagi sekadar perang antara kerajaan lokal dan kekuatan asing.
Strategi ini jauh lebih berbahaya daripada kekuatan militer langsung karena mampu menggerogoti struktur sosial dan kesetiaan internal Gowa, mempercepat kehancurannya dari dalam. Ketika Gowa menghadapi tekanan dari luar dan dalam secara bersamaan, ditambah dengan blokade ekonomi dan keunggulan senjata lawan, posisi mereka menjadi tak tertahankan.
Dalam kesimpulan strategi-politik, VOC tidak menang hanya karena meriam dan kapal besi, tetapi karena mereka menciptakan perang asimetris yang menjebak Gowa di antara kekuatan senjata, blokade ekonomi, dan pengkhianatan politik. Sementara Sultan Hasanuddin, meskipun brilian secara militer dan tegas dalam prinsip, tidak memiliki dukungan regional yang cukup kuat untuk membendung gelombang kolonialisme yang datang bersama kompleksitas intrik politik internasional.
Warisan Sejarah dan Relevansi Masa Kini
Perang Makassar bukan hanya bagian dari sejarah konflik antara kerajaan lokal dan kekuatan kolonial, melainkan juga warisan perjuangan yang terus hidup dalam memori kolektif bangsa Indonesia. Peristiwa ini telah membentuk identitas politik, kebudayaan, dan kesadaran nasional akan pentingnya mempertahankan kedaulatan. Tokoh utamanya, Sultan Hasanuddin, menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan pelambang keberanian dalam mempertahankan martabat bangsanya.
Pengakuan terhadap Sultan Hasanuddin sebagai Pahlawan Nasional
Sebagai tokoh sentral dalam Perang Makassar, Sultan Hasanuddin dikenang karena keteguhannya dalam menghadapi tekanan kolonial dan keberaniannya dalam mempertahankan kemerdekaan wilayahnya. Ia tidak hanya seorang raja, tetapi juga komandan perang, negarawan, dan simbol perlawanan Nusantara terhadap imperialisme.
Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin pada tahun 1973. Pengakuan ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap tokoh sejarah lokal Sulawesi Selatan, tetapi juga pengakuan nasional terhadap semangat perlawanan yang bersifat universal—sebuah pelajaran tentang kepemimpinan, keberanian, dan pengabdian terhadap tanah air.
Nama Sultan Hasanuddin juga diabadikan dalam berbagai institusi penting: Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar, Universitas Hasanuddin, serta jalan-jalan protokol di berbagai kota di Indonesia. Ia menjadi ikon sejarah yang dikenang dalam pendidikan, budaya populer, dan identitas lokal Makassar serta Bugis-Makassar secara umum.
Makna Simbolik Perjuangan Melawan Kolonialisme
Perjuangan Sultan Hasanuddin dan rakyat Makassar bukan sekadar konflik militer. Ia adalah perjuangan simbolik antara kedaulatan dan penaklukan, antara prinsip perdagangan bebas dan monopoli kolonial, antara semangat Nusantara dan kekuasaan asing. Dalam konteks ini, Perang Makassar menjadi simbol pertahanan martabat dan kebebasan, bahkan ketika kalah secara militer.
Hasanuddin menolak tunduk pada sistem kolonial yang memaksakan kehendak atas nama perdagangan. Ia memilih untuk mempertahankan kemerdekaan kerajaan dan rakyatnya, meskipun tahu bahwa kekuatan VOC jauh lebih besar. Semangat “lebih baik mati daripada hidup dalam penghinaan” menjadi etos perlawanan yang menginspirasi generasi-generasi setelahnya—dari perang Diponegoro hingga revolusi kemerdekaan 1945.
Inspirasi Perlawanan terhadap Dominasi Asing di Masa Kini
Dalam konteks kekinian, kisah Perang Makassar dan perjuangan Sultan Hasanuddin menjadi cermin yang relevan dalam menghadapi tantangan kedaulatan modern. Meski kolonialisme dalam bentuk lama telah berakhir, dominasi asing kini hadir dalam wujud yang lebih kompleks: ketergantungan ekonomi, kendali terhadap sumber daya alam, tekanan geopolitik, hingga intervensi kultural dan teknologi.
Semangat Sultan Hasanuddin mengajarkan bahwa kemandirian harus diperjuangkan, bukan sekadar diwariskan. Ia menunjukkan bahwa pengkhianatan terhadap tanah air bisa terjadi melalui kompromi politik, ketergantungan pada kekuatan luar, dan lemahnya solidaritas dalam negeri. Dalam dunia global yang saling terhubung, bangsa Indonesia dituntut untuk tetap waspada terhadap bentuk-bentuk baru dominasi yang dapat melemahkan identitas dan kedaulatan nasional.
Perjuangan ini juga menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain di Indonesia untuk membangun kekuatan otonomi yang sehat, adil, dan tetap dalam bingkai keindonesiaan. Keteguhan Hasanuddin dalam mempertahankan wilayahnya merupakan teladan bagi para pemimpin lokal dalam menjaga kepentingan rakyatnya di tengah tekanan ekonomi-politik global.
Situs-situs Sejarah Perang Makassar yang Masih Tersisa
Warisan fisik dari Perang Makassar masih bisa ditemukan di beberapa lokasi penting yang kini menjadi situs sejarah dan objek wisata budaya:
- Benteng Rotterdam (Benteng Ujung Pandang)
Dibangun di atas reruntuhan Benteng Somba Opu oleh VOC setelah kemenangan mereka, benteng ini menjadi simbol transisi kekuasaan dari kerajaan lokal ke kolonialisme Belanda. Kini dijadikan museum dan pusat kebudayaan di Kota Makassar. - Sisa-sisa Benteng Somba Opu
Meskipun sebagian besar telah hancur, bekas lokasi benteng ini kini menjadi kompleks wisata sejarah dan kebudayaan Sulawesi Selatan, lengkap dengan replika rumah-rumah adat Bugis-Makassar dan monumen perlawanan Sultan Hasanuddin. - Makam Sultan Hasanuddin
Terletak di Gowa, kompleks makam ini menjadi tempat ziarah dan penghormatan. Setiap tahun, banyak peziarah dan pelajar datang untuk mengenang perjuangan beliau, sekaligus mengenal lebih dekat tokoh sejarah lokal yang memiliki pengaruh nasional. - Jalur-jalur Perang di Gowa dan sekitarnya
Beberapa desa dan wilayah di sekitar Sungai Jeneberang hingga Takalar masih menyimpan cerita rakyat, toponimi, dan tradisi lisan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam Perang Makassar.
Pelestarian situs-situs ini bukan hanya untuk kepentingan pariwisata, melainkan bagian dari upaya kolektif menjaga memori sejarah—agar generasi muda tidak melupakan harga mahal dari kemerdekaan dan kedaulatan yang pernah diperjuangkan dengan darah dan nyawa.
Perang yang Membentuk Kesadaran Bangsa
Perang Makassar (1666–1669) merupakan salah satu babak paling menentukan dalam sejarah perjuangan Nusantara melawan kekuatan kolonial asing. Konflik ini tidak hanya memperlihatkan benturan kekuatan antara Kesultanan Gowa dan VOC, tetapi juga memperlihatkan dinamika internal politik regional, pertarungan ideologi antara perdagangan bebas dan monopoli kolonial, serta keteguhan moral seorang pemimpin yang memilih kehormatan di atas kepatuhan.
Kesultanan Gowa, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, berdiri sebagai benteng terakhir perlawanan di Indonesia timur terhadap ekspansi kekuasaan kolonial Belanda. Dalam berbagai aspek, perang ini menunjukkan bahwa kekuatan lokal tidak kalah dalam hal semangat, kecerdikan strategi, dan keberanian. Namun, pada akhirnya, kekalahan militer dan politik Gowa menjadi konsekuensi dari ketimpangan kekuatan, kelicikan politik divide et impera, dan tekanan logistik yang terlalu berat untuk ditahan secara terus-menerus.
Refleksi dari kisah ini memberikan pelajaran yang sangat dalam tentang nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme, dan kedaulatan. Sultan Hasanuddin, yang dijuluki “Ayam Jantan dari Timur,” bukan hanya karena keberaniannya di medan perang, tetapi juga karena keteguhannya dalam mempertahankan kedaulatan kerajaan dari intervensi kekuatan asing, adalah simbol sejati dari pemimpin rakyat. Ia tidak menyerah pada tekanan kekuasaan yang lebih besar, dan meskipun secara fisik dikalahkan, ia tetap menang secara moral dan historis.
Nilai-nilai yang diwariskan oleh Perang Makassar sangat relevan dengan perjuangan bangsa Indonesia masa kini. Dalam dunia global yang semakin terintegrasi, ancaman terhadap kedaulatan kini datang bukan hanya dari senjata, tetapi juga dari ekonomi, budaya, dan ketergantungan teknologi. Dalam konteks ini, memahami semangat Sultan Hasanuddin dan rakyat Gowa berarti memahami pentingnya keteguhan prinsip, keberanian dalam mempertahankan hak, dan solidaritas melawan dominasi asing dalam bentuk apapun.
Lebih dari itu, Perang Makassar harus ditempatkan dalam narasi besar sejarah Nusantara sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal dengan segala kekuatan dan keterbatasannya. Ia bukan peristiwa pinggiran, melainkan bagian integral dari mozaik perjuangan bangsa ini dalam mempertahankan kedaulatan maritim, kehormatan politik, dan kemerdekaan ekonomi jauh sebelum lahirnya konsep negara-bangsa modern.
Menjadikan peristiwa ini sebagai bagian dari kesadaran sejarah nasional adalah langkah penting dalam membangun generasi yang tidak tercerabut dari akar sejarahnya. Ia mengingatkan kita bahwa kebebasan tidak pernah datang tanpa harga, dan bahwa di balik setiap kemerdekaan selalu ada sosok-sosok yang berani menantang arus, seperti Sultan Hasanuddin dan rakyat Makassar yang mengangkat senjata demi kehormatan bangsanya.