Perlawanan Nuku di Tidore (1780–1810)

Kesultanan Tidore, yang terletak di gugusan Kepulauan Maluku Utara, memegang posisi strategis dalam jaringan rempah-rempah dan pelayaran samudra timur Nusantara. Letaknya yang berada di antara jalur pelayaran Maluku dan pesisir Papua menjadikannya bukan sekadar kerajaan kecil di ujung timur, melainkan simpul penting dalam lalu lintas komoditas dunia. Sejak abad ke-15, wilayah ini telah menjadi titik temu kekuatan lokal, pedagang asing, dan imperium dagang global. Cengkeh, pala, dan hasil bumi lainnya dari Maluku dan sekitarnya menjadikan Tidore bagian tak terpisahkan dari peta geopolitik Asia Tenggara.

Selain nilai ekonominya, Tidore juga merupakan salah satu kesultanan Islam besar di wilayah timur Indonesia. Sejak abad ke-16, Islam berkembang pesat di Maluku, dan Kesultanan Tidore menjadi pusat kekuasaan yang memadukan nilai-nilai spiritual dengan struktur politik kerajaan. Hubungan Tidore dengan wilayah-wilayah seperti Halmahera, Seram, hingga pesisir Papua menciptakan ikatan budaya dan politik yang luas dan lintas etnis. Keberadaan sultan bukan hanya sebagai penguasa, tetapi juga simbol kesatuan dan pelindung identitas masyarakat kepulauan.

Namun, sejak pertengahan abad ke-17, otonomi dan kedaulatan kesultanan-kesultanan Maluku mulai tergerus akibat intervensi kekuatan kolonial, khususnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Dengan dalih menjaga stabilitas perdagangan dan keamanan, VOC secara sistematis mengendalikan urusan internal kerajaan, memonopoli perdagangan rempah, dan bahkan mengatur suksesi kepemimpinan. Campur tangan ini menyebabkan gejolak politik, ketidakpuasan rakyat, dan menurunnya martabat kesultanan sebagai entitas merdeka.

Di tengah krisis inilah muncul tokoh karismatik bernama Nuku Muhammad Amiruddin, seorang pangeran Tidore yang kelak akan menjelma menjadi pemimpin pemberontakan besar terhadap VOC. Tidak seperti kebanyakan perlawanan istana yang terbatas dalam lingkup bangsawan, gerakan Nuku berhasil melibatkan masyarakat luas dari berbagai lapisan dan latar belakang etnis, termasuk rakyat jelata, pelaut, suku-suku pesisir, hingga kelompok di Papua. Nuku tidak hanya memperjuangkan haknya sebagai pewaris tahta, tetapi juga menghidupkan kembali harapan akan kedaulatan, keadilan, dan kehormatan lokal yang diinjak-injak kekuasaan kolonial.

Subbab ini akan menelaah secara menyeluruh perjuangan Nuku dalam bingkai sejarah sebagai gerakan militer, manuver politik, dan simbol perlawanan maritim yang lintas batas. Dengan pendekatan holistik, kisah ini tidak sekadar menceritakan perang, tetapi juga menyingkap makna lebih dalam dari perjuangan identitas dan kemerdekaan yang tumbuh dari laut timur Nusantara.

Konteks Politik dan Kolonial di Maluku Utara

1. VOC dan Politik Pecah-Belah di Antara Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo

Sejak awal kedatangannya di Maluku pada abad ke-17, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak sekadar tertarik pada perdagangan rempah-rempah, tetapi juga bercita-cita untuk menguasai sistem kekuasaan lokal secara menyeluruh. Dalam menghadapi empat kesultanan utama di Maluku—Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo—VOC menggunakan strategi politik pecah-belah (divide et impera) dengan sangat efektif. Aliansi dan permusuhan antara kesultanan-kesultanan ini dimanipulasi demi keuntungan Belanda. Jika satu kerajaan menolak tunduk pada kebijakan VOC, maka kerajaan lain yang lebih patuh akan dipersenjatai untuk melawannya.

Kesultanan Ternate, yang pada beberapa periode memiliki hubungan lebih dekat dengan VOC, kerap dijadikan alat untuk melemahkan Tidore. VOC memfasilitasi konflik internal, mendukung fraksi bangsawan tertentu, dan bahkan mengatur naik-turunnya sultan-sultan, sehingga kesultanan tidak pernah benar-benar lepas dari pengaruh eksternal. Situasi ini menciptakan ketegangan regional yang konstan dan mengikis solidaritas antarkesultanan Islam di Maluku.

2. Perjanjian-Perjanjian Berat Sebelah yang Melemahkan Tidore

Untuk memaksimalkan kontrol atas perdagangan rempah, VOC memaksa sultan-sultan di Maluku menandatangani perjanjian-perjanjian yang sangat berat sebelah. Perjanjian ini tidak hanya melarang ekspor rempah-rempah kepada pihak selain VOC, tetapi juga mengharuskan penebangan pohon pala dan cengkeh di luar wilayah tertentu agar tidak terjadi kelebihan produksi. Konsekuensinya, ekonomi lokal yang bergantung pada rempah-rempah runtuh secara sistematis. Rakyat dipaksa menanam tanaman yang tidak menguntungkan atau malah kehilangan sumber penghidupan.

Kesultanan Tidore secara khusus dirugikan oleh perjanjian-perjanjian ini. Bukan hanya aspek ekonomi yang dirampas, tetapi juga otonomi politik dan spiritual. VOC menempatkan residen-residen Belanda di dalam istana, mengawasi keputusan pemerintahan, dan menegakkan kebijakan-kebijakan kolonial atas nama “perdamaian”. Setiap sultan baru harus mendapatkan restu dari Batavia, menjadikan tahta kerajaan tidak lebih dari boneka yang dikendalikan dari jauh.

3. Penaklukan VOC atas Tidore dan Pengasingan Sultan Jamaluddin

Puncak intervensi VOC terjadi ketika mereka secara terbuka menyingkirkan Sultan Jamaluddin dari takhta Tidore. Ia dituduh tidak patuh pada perintah VOC, mendukung gerakan independen, dan membangun jaringan kekuasaan sendiri yang melawan kepentingan Belanda. Sebagai respons, VOC menyerbu Tidore dengan bantuan kekuatan Ternate, memaksanya turun takhta, dan mengasingkannya ke Batavia (Jakarta) sekitar tahun 1779.

Pengasingan ini menjadi peristiwa traumatik bagi keluarga kerajaan dan memicu kebangkitan putra mahkota, Nuku Muhammad Amiruddin. Nuku menyaksikan bagaimana ayahnya diperlakukan tidak sebagai sekutu, tetapi sebagai ancaman yang harus disingkirkan. Sejak saat itu, ia memulai perlawanan yang tidak hanya berorientasi pada perebutan kembali tahta, tetapi juga pada pengusiran pengaruh kolonial dari tanah kelahirannya.

4. Peran Inggris dan Dinamika Kekuatan Eropa di Asia Tenggara Akhir Abad ke-18

Pada paruh akhir abad ke-18, konstelasi politik global mengalami perubahan signifikan akibat melemahnya VOC dan meningkatnya pengaruh Inggris di Asia. VOC yang korup dan sarat utang akhirnya dibubarkan pada tahun 1799, namun sebelum itu, kekuasaannya sudah mulai goyah. Inggris yang sedang memperluas kekuasaannya di India dan wilayah Samudra Hindia melihat kesempatan emas untuk menantang dominasi Belanda di Nusantara.

Nuku, yang menyadari dinamika ini, dengan cerdik memanfaatkan persaingan antara dua kekuatan Eropa tersebut. Ia menjalin komunikasi dan kemudian aliansi strategis dengan Inggris, khususnya dengan armada angkatan laut yang beroperasi dari India. Inggris, yang juga memusuhi Belanda dalam konteks perang Eropa, melihat perlawanan Nuku sebagai sekutu lokal yang berpotensi membuka akses ke jalur rempah dan titik strategis di timur Nusantara.

Kehadiran Inggris bukan tanpa kepentingan kolonialnya sendiri, namun dalam konteks perjuangan Nuku, aliansi ini menjadi langkah taktis yang memperkuat basis militernya dan memperluas legitimasi politiknya sebagai pemimpin yang tidak hanya lokal, tetapi berpengaruh dalam geopolitik regional.


Profil Sultan Nuku

1. Nama Lengkap: Amiruddin Iskandar Syah

Nama lengkap tokoh ini adalah Sultan Amiruddin Iskandar Syah, namun dalam berbagai catatan sejarah dan dalam tradisi lisan masyarakat Maluku, ia lebih dikenal sebagai Nuku. Nama ini bukan sekadar identitas, tetapi telah menjadi simbol perjuangan anti-kolonial dari timur Nusantara yang berdampak luas. Gelar “Sultan” disematkan secara sah oleh rakyat dan oleh pihak-pihak yang mengakui legitimasinya sebagai pemimpin Tidore yang berdaulat, bukan sekadar penerus tahta, melainkan pemimpin sejati yang mewakili suara rakyat dan wilayah-wilayah yang selama ini ditekan kekuasaan kolonial.

2. Latar Belakang Keluarga Bangsawan, tetapi Dekat dengan Rakyat Pesisir dan Para Saudagar

Nuku lahir sekitar tahun 1738 sebagai putra Sultan Jamaluddin, penguasa Tidore yang kemudian digulingkan oleh VOC karena dianggap membangkang. Lahir dalam lingkungan istana, Nuku mendapatkan pendidikan tradisional yang mencakup agama Islam, adat kerajaan, serta pelatihan dalam diplomasi dan strategi militer. Namun, yang membedakan Nuku dari bangsawan lainnya adalah kedekatannya dengan rakyat.

Dalam pelariannya setelah ayahnya diasingkan, Nuku hidup di antara rakyat biasa—para nelayan, pelaut, pedagang, dan komunitas pesisir dari Seram, Halmahera, hingga Papua. Ia belajar langsung dari kehidupan maritim dan kerasnya penjajahan VOC terhadap masyarakat kecil. Kedekatannya dengan para saudagar dan tokoh adat membuatnya mampu membangun jejaring luas di luar lingkar istana, suatu modal sosial yang kemudian sangat menentukan dalam perjuangannya.

3. Kepemimpinan Visioner dan Kemampuan Membangun Aliansi Lintas Etnis: Melayu, Papua, Seram, Halmahera

Salah satu keunggulan terbesar Nuku adalah kemampuannya membentuk aliansi militer-politik lintas etnis dan wilayah. Ia tidak hanya berbicara sebagai bangsawan Tidore, tetapi sebagai pemimpin yang menyatukan berbagai suku bangsa di kawasan timur Indonesia. Ia menghimpun kekuatan dari:

  • Suku-suku Papua pesisir, yang telah lama memiliki relasi politik dengan Tidore;
  • Masyarakat Seram dan Halmahera, yang merasa dirugikan oleh monopoli Belanda;
  • Komunitas Melayu dan Arab Hadhrami, terutama para pedagang dan ulama;
  • Orang-orang pelarian dari Ternate dan Bacan, yang kecewa terhadap kepemimpinan pro-Belanda.

Dengan pendekatan yang inklusif dan berbasis pada kesetaraan serta semangat perlawanan bersama, Nuku menciptakan koalisi rakyat yang belum pernah ada sebelumnya di kawasan timur. Aliansi ini tidak semata-mata dibangun atas dasar kepentingan sesaat, tetapi berdasarkan nilai-nilai bersama: kebebasan berdagang, martabat lokal, dan hak menentukan nasib sendiri.

4. Karisma Religius dan Legitimasi sebagai Sultan Tidore yang Sah

Dalam konteks Islam Maluku, seorang sultan bukan hanya pemimpin duniawi, tetapi juga memiliki legitimasi spiritual. Nuku dikenal sebagai pribadi yang religius dan seringkali menggunakan bahasa-bahasa Islam dalam seruannya kepada rakyat. Ia menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang tidak hanya memperjuangkan tahta, tetapi juga membela keadilan dan menolak kezaliman—nilai yang sangat kuat dalam tradisi Islam lokal.

Ketika ia berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah Tidore dan memproklamasikan dirinya sebagai Sultan dengan gelar Sultan Amiruddin Iskandar Syah, rakyat dengan penuh sukacita menerima kepemimpinannya. Legitimasi ini tidak datang dari pengakuan kolonial atau penobatan formal di istana yang dikendalikan Belanda, tetapi dari dukungan langsung masyarakat dan kekuatan yang ia bangun secara nyata di lapangan.

Karisma Nuku melampaui status kebangsawanan. Ia bukan hanya sultan karena darah biru, tetapi karena rakyat mengakui kepemimpinannya. Dalam dirinya, mereka melihat pemimpin sejati yang mampu melindungi, menyatukan, dan menginspirasi harapan baru di tengah penjajahan.

Awal Perlawanan (1780–1783)

1. Pengasingan Keluarga Nuku dan Pelarian ke Wilayah Pesisir

Perlawanan Nuku bermula dari peristiwa tragis dalam keluarganya—pengasingan ayahnya, Sultan Jamaluddin, oleh VOC pada tahun 1779. Sang sultan dituduh tidak kooperatif dan dianggap mengancam stabilitas yang diinginkan Belanda di wilayah Maluku. Ia diasingkan ke Batavia, sementara posisi Sultan Tidore digantikan oleh tokoh yang loyal kepada Belanda, yang sesungguhnya hanya menjadi sultan boneka.

Peristiwa ini menjadi titik balik dalam hidup Nuku. Ia, bersama anggota keluarga dan para pengikut setianya, terpaksa melarikan diri dari istana dan bersembunyi di wilayah pesisir Tidore dan Halmahera. Dalam pelariannya, Nuku tidak hanya mencari keselamatan, tetapi juga mulai menyusun rencana panjang untuk merebut kembali kedaulatan bangsanya. Ia menolak tunduk kepada kekuasaan VOC yang telah menginjak kehormatan keluarganya dan menghina kedaulatan kerajaan.

2. Pembangunan Basis Kekuatan di Seram dan Papua Barat

Setelah pelariannya dari Tidore, Nuku memilih Pulau Seram sebagai salah satu basis utama untuk membangun kekuatan. Pulau ini tidak berada di bawah kontrol penuh VOC dan dihuni oleh masyarakat adat yang sejak lama menjalin hubungan dengan Tidore. Di wilayah pesisir Seram, Nuku diterima dengan baik oleh masyarakat lokal karena karisma dan semangat perjuangannya melawan kolonialisme.

Tidak hanya di Seram, Nuku juga memperluas pengaruhnya ke pesisir Papua Barat, khususnya wilayah Fakfak, Kaimana, dan Teluk Cenderawasih. Di wilayah-wilayah ini, pengaruh Kesultanan Tidore sudah mengakar selama berabad-abad. Banyak kepala suku dan komunitas setempat yang menganggap Tidore sebagai pemimpin spiritual dan politik mereka. Nuku memanfaatkan hubungan tradisional ini untuk merekrut pasukan, mendapatkan dukungan logistik, serta membentuk armada laut kecil yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan.

Aliansi yang dibangun Nuku di Seram dan Papua tidak hanya bersifat militer, tetapi juga ideologis—sebuah gerakan rakyat melawan kekuatan asing yang telah mencabut hak hidup dan martabat mereka.

3. Perlawanan terhadap Penguasa Boneka yang Dipasang VOC di Tidore

Sementara Nuku membangun kekuatan di luar pulau, VOC mencoba mengamankan kekuasaannya di Tidore dengan menunjuk seorang sultan yang loyal kepada Belanda. Sultan boneka ini, yang naik tahta dengan restu Batavia, tidak memiliki dukungan rakyat dan hanya mampu memerintah dengan perlindungan pasukan VOC. Pemerintahannya ditandai dengan ketergantungan pada kekuatan kolonial, pemaksaan kehendak kepada rakyat, dan pembatasan aktivitas ekonomi lokal demi kepentingan monopoli Belanda.

Nuku tidak tinggal diam. Ia secara aktif menyebarkan pengaruhnya di kalangan masyarakat Tidore dan Halmahera, menyebarkan pesan bahwa pemerintahan sah telah dirampas dan bahwa rakyat memiliki kewajiban untuk melawan. Ia melakukan infiltrasi ke dalam wilayah-wilayah di bawah kekuasaan sultan boneka dan mendorong perlawanan rakyat secara sporadis.

Walaupun dalam fase awal ini Nuku belum mampu menyerang pusat kekuasaan secara frontal, tetapi gerakannya telah menimbulkan ketakutan di pihak VOC. Mereka menyadari bahwa pengaruh Nuku terus berkembang, terutama karena dia tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga memainkan simbol-simbol politik dan spiritual yang kuat dalam budaya lokal.

4. Strategi Penggalangan Kekuatan Lokal dan Kampanye Pembebasan Tidore

Selama periode 1780 hingga 1783, Nuku secara sistematis mengonsolidasikan kekuatan dengan menggalang dukungan lintas etnis dan wilayah. Ia tidak hanya merekrut prajurit, tetapi juga merangkul para tokoh adat, saudagar, ulama, dan bahkan pelaut bajak laut lokal yang kecewa dengan VOC. Semua elemen ini disatukan dalam semangat pembebasan dan kembalinya kedaulatan rakyat atas tanahnya.

Nuku juga mulai melakukan serangan kecil terhadap pos-pos VOC di wilayah pesisir dan jalur laut, untuk menguji kekuatan dan menciptakan tekanan psikologis. Ia menyebarkan propaganda melalui surat-surat dan utusan yang menyampaikan bahwa perlawanan ini bukan semata urusan keluarga kerajaan, melainkan perjuangan semua rakyat Maluku dan Papua melawan penindasan.

Misi utamanya adalah membebaskan Tidore dari cengkeraman VOC, bukan hanya secara teritorial, tetapi juga secara moral dan spiritual. Ia ingin mengembalikan kepercayaan rakyat pada identitas mereka sendiri, membangkitkan semangat bahwa bangsa-bangsa di timur juga berhak menentukan nasibnya tanpa intervensi asing.

Fase awal ini menandai transformasi Nuku dari pelarian menjadi pemimpin gerakan nasional yang berbasis maritim—pendahulu dari perjuangan kemerdekaan yang kelak menyebar ke seluruh Nusantara.


Perang Maritim dan Strategi Nuku

1. Penggunaan Armada Perahu Kora-Kora: Taktik Laut, Penyergapan, dan Mobilitas Cepat

Salah satu kekuatan utama perjuangan Nuku terletak pada penguasaan laut, yang menjadi medan utama pertempuran di wilayah kepulauan. Dalam konteks ini, Nuku memanfaatkan perahu kora-kora—kapal panjang tradisional Maluku yang digerakkan oleh dayung dan layar. Kora-kora bukan hanya alat transportasi, tetapi juga kapal perang ringan yang gesit, mampu bermanuver cepat di antara pulau-pulau, teluk, dan selat sempit.

Dengan armada kora-kora yang jumlahnya mencapai ratusan, Nuku melancarkan taktik gerilya laut, menyerang secara mendadak, lalu menghilang sebelum musuh sempat membalas. Ia mengatur serangan malam, menyergap kapal VOC yang berlayar sendirian, dan memutus jalur suplai antara benteng-benteng Belanda. Strategi ini membuat pasukan Belanda kelelahan dan frustrasi, karena mereka menghadapi lawan yang tidak bisa dilawan dengan cara konvensional.

Kekuatan maritim Nuku juga bersifat desentralistik, di mana kapten-kapten kora-kora dari berbagai suku dan pulau memiliki otonomi untuk melakukan tindakan taktis, namun tetap berada dalam koordinasi umum yang ketat. Ini menunjukkan betapa canggihnya struktur perlawanan maritim Nuku yang mampu menyatukan armada rakyat lintas etnis dengan semangat yang sama: mengusir penjajahan.

2. Penyerbuan Loji-Loji VOC di Pesisir dan Kapal Dagang Belanda

Perang Nuku tidak hanya terbatas pada laut terbuka. Ia juga melancarkan serangan langsung terhadap loji-loji (pos dagang dan militer VOC) yang tersebar di pesisir Maluku dan Papua. Loji-loji ini umumnya dibentengi dan dijaga oleh garnisun kecil, tetapi menjadi pusat kontrol VOC terhadap rakyat setempat.

Dengan kekuatan darat yang dibawa dari kapal-kapalnya, Nuku memimpin penyerbuan ke beberapa loji penting, menghancurkan gudang logistik, membebaskan tawanan, dan merebut senjata. Serangan ini tidak hanya berdampak militer, tetapi juga simbolik—mengguncang keyakinan bahwa VOC tak terkalahkan.

Selain menyerang pos militer, Nuku juga menargetkan kapal dagang Belanda. Penyerangan ini bersifat strategis untuk melemahkan ekonomi VOC, sekaligus memperkuat perbekalan armadanya. Barang-barang rampasan, termasuk senjata dan makanan, digunakan untuk menopang pasukan dan memperluas dukungan rakyat. Ini menjadikan perlawanan Nuku sebagai bentuk ekonomi perang, di mana hasil rampasan menjadi bagian dari siklus logistik gerakan.

3. Persekutuan Strategis dengan Inggris: Dukungan Senjata, Kapal, dan Pengakuan Politik

Situasi geopolitik dunia pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19 sangat menguntungkan Nuku. VOC yang sedang mengalami kebangkrutan dan kehilangan legitimasi setelah pembubarannya pada 1799, digantikan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang juga masih lemah. Di sisi lain, Inggris sebagai kekuatan kolonial saingan Belanda, mulai mencari sekutu lokal untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, khususnya dari pangkalan mereka di India dan Australia.

Nuku dengan cerdik menjalin aliansi dengan Inggris, yang melihat potensinya sebagai pemimpin maritim yang kuat dan anti-Belanda. Inggris memberikan dukungan senjata, amunisi, bahkan kapal untuk memperkuat armada Nuku. Dalam beberapa kasus, armada Inggris bahkan turut serta dalam penyerangan terhadap posisi Belanda di wilayah timur.

Lebih dari itu, Inggris juga memberikan pengakuan politik terhadap Nuku sebagai Sultan Tidore yang sah. Ini memperkuat posisi diplomatiknya di mata dunia internasional, dan sekaligus memberikan tekanan moral kepada Belanda. Hubungan ini bukan bentuk ketundukan, melainkan strategi taktis Nuku untuk mengimbangi kekuatan kolonial yang lebih besar.

Namun, Nuku juga berhati-hati agar tidak menjadi alat kekuasaan kolonial baru. Ia menjaga kemerdekaan gerakannya dan tidak menyerahkan kendali politik kepada pihak asing. Dalam pandangan Nuku, aliansi dengan Inggris adalah sarana, bukan tujuan. Tujuan utamanya tetap: kemerdekaan dan kehormatan bangsa timur dari kekuasaan luar.

4. Kampanye ke Wilayah Papua dan Penguatan Loyalitas Luar Pusat

Perang Nuku tidak hanya berlangsung di pusat kekuasaan Tidore, tetapi juga menjalar ke wilayah pinggiran seperti pesisir Papua Barat, di mana hubungan historis dengan Tidore telah lama terjalin. Dalam kampanye ke Papua, Nuku tidak hanya meminta bantuan militer, tetapi juga memperkuat loyalitas kultural dan spiritual masyarakat setempat kepada Kesultanan Tidore.

Banyak kepala suku di Papua menerima Nuku sebagai pemimpin karena warisan hubungan adat dan kepercayaan terhadap sultan sebagai pengayom dan penjaga tatanan. Ia tidak datang sebagai penakluk, tetapi sebagai pemersatu. Kampanye ini memperluas basis perjuangan dan menjadikan perlawanan Nuku sebagai gerakan multietnis, yang merangkul identitas Maluku, Papua, Melayu, dan bahkan Arab lokal.

Langkah ini juga penting secara strategis. Papua menyediakan sumber daya, pelabuhan alami, dan tenaga manusia yang memperkuat posisi Nuku dalam menghadapi kekuatan Belanda yang terpusat di kota-kota pelabuhan utama.


Bagian ini menggambarkan dengan jelas bagaimana Nuku mengubah perjuangannya menjadi perang maritim rakyat yang canggih dan efektif, sekaligus diplomatis. Bila Anda berkenan, saya dapat lanjut ke bagian E. Kemenangan dan Pengakuan Sultan Nuku (1801–1805).

Puncak Perlawanan dan Keberhasilan Merebut Tidore (1797–1801)

1. Serangan Gabungan Pasukan Nuku–Inggris terhadap VOC di Tidore

Menjelang akhir abad ke-18, kekuatan yang dibangun Nuku selama hampir dua dekade mencapai titik puncaknya. Pada tahun 1797, ia berhasil menghimpun kekuatan besar yang terdiri dari pasukan lokal dari Maluku, Seram, Halmahera, Papua, dan sekutu dari dunia Islam serta armada Inggris dari India yang bersedia mendukungnya dalam operasi militer skala besar. Koalisi ini menjadi ancaman serius bagi keberadaan VOC di wilayah timur Nusantara.

Dengan memanfaatkan ketegangan geopolitik antara Inggris dan Belanda yang sedang berada dalam situasi perang di Eropa, Nuku melancarkan serangan gabungan ke pulau Tidore, yang saat itu masih berada di bawah kendali VOC dan sultan boneka yang ditunjuk Belanda. Armada laut kora-kora yang dipimpin langsung oleh Nuku, bersama beberapa kapal meriam Inggris, menyerbu wilayah pesisir dan mengurung pusat kekuasaan VOC dari laut.

Operasi ini dilakukan dengan kecepatan tinggi dan koordinasi yang sangat baik. Pasukan darat menyerbu loji-loji Belanda, sementara kapal-kapal kora-kora menyerang benteng dan titik pertahanan di sepanjang pantai. Dalam waktu singkat, posisi Belanda di Tidore runtuh satu per satu. Serangan ini bukan hanya sebuah operasi militer, melainkan simbol kembalinya kedaulatan rakyat Maluku Timur atas tanah mereka sendiri.

2. Penobatan Resmi Nuku sebagai Sultan Tidore (1797) dengan Dukungan Rakyat

Setelah keberhasilan menyerbu dan merebut kembali Tidore, rakyat dengan gegap gempita menyambut kembalinya pemimpin sah mereka. Pada tahun 1797, Nuku secara resmi dinobatkan sebagai Sultan Tidore dengan gelar Sultan Amiruddin Iskandar Syah, dalam sebuah upacara adat yang sarat makna spiritual dan politik. Penobatan ini tidak hanya dihadiri bangsawan dan rakyat Tidore, tetapi juga oleh para kepala suku dan pemimpin komunitas dari wilayah yang telah mendukung perjuangan panjangnya.

Berbeda dengan pengangkatan sultan oleh VOC yang dipaksakan dan tidak populer, penobatan Nuku dilakukan dengan legitimasi penuh dari rakyat. Ia dianggap bukan hanya sebagai sultan berdarah bangsawan, tetapi juga sebagai pemimpin yang telah membuktikan dirinya dalam penderitaan, pertempuran, dan diplomasi. Kesatuan suara rakyat dalam menerima Nuku menjadi puncak simbolis dari perjuangan anti-kolonial yang telah menyatukan berbagai elemen bangsa timur.

Di saat yang sama, Inggris juga secara politik mengakui posisi Nuku sebagai Sultan Tidore yang sah. Dukungan ini memperkuat posisi diplomatik dan simbolik Tidore sebagai kerajaan otonom yang bangkit kembali di tengah gelombang kolonialisme Eropa.

3. Jatuhnya Benteng-Benteng VOC dan Pelarian Lawan Politik ke Ternate

Setelah pusat kekuasaan direbut, pasukan Nuku terus melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa pertahanan VOC dan garnisun kecil yang masih bertahan di sekitar pulau. Benteng-benteng kolonial yang dulu menjadi lambang dominasi Belanda dirobohkan atau direbut dan dijadikan pos pertahanan baru oleh rakyat. Tidak hanya militer, para pejabat dan bangsawan pro-Belanda yang selama ini menikmati kekuasaan kolonial juga kehilangan tempat mereka.

Banyak di antara mereka melarikan diri ke Ternate, yang saat itu masih berada dalam orbit pengaruh kolonial Belanda. Pelarian ini menandai berakhirnya era dominasi Belanda di Tidore untuk sementara waktu dan memberikan ruang bagi Nuku untuk membangun kembali struktur pemerintahan dan pertahanan berdasarkan kehendak rakyat dan nilai-nilai Islam lokal.

Kemenangan ini bukan hanya berarti kemenangan militer, tetapi juga kemenangan moral dan politik, yang menunjukkan bahwa perjuangan rakyat dengan kekuatan maritim lokal dan jejaring solidaritas lintas etnis mampu menumbangkan sistem kolonial yang mapan.

4. Membangun Kembali Pemerintahan Islam Lokal yang Otonom

Dengan kembali berkuasanya Nuku, Kesultanan Tidore memasuki fase rekonstruksi kekuasaan. Nuku segera melakukan langkah-langkah penting untuk memulihkan pemerintahan Islam yang otonom, lepas dari pengaruh kekuatan asing. Ia menata ulang administrasi kerajaan, memperkuat peran syara’ (agama) dalam pemerintahan, serta mengembalikan struktur sosial yang selama ini diganggu oleh sistem kolonial.

Nuku juga menegakkan kembali hubungan spiritual dan politik dengan daerah-daerah taklukan dan sekutu lamanya—seperti Fakfak, Seram, dan wilayah pesisir Halmahera. Ia memperkuat institusi adat, membentuk jaringan pertahanan maritim, dan menjadikan Tidore sebagai pusat komando perlawanan regional yang kini bersifat defensif-strategis. Penting untuk dicatat, meski telah menjadi sultan, Nuku tidak menghentikan semangat perjuangan: ia tetap menjaga siaga militer dan hubungan diplomatik, karena sadar bahwa Belanda belum sepenuhnya lenyap dari kawasan timur.

Pemerintahan Nuku mencerminkan bentuk awal negara maritim otonom berbasis Islam lokal, yang berdiri di atas kedaulatan rakyat, kemandirian ekonomi, dan resistensi terhadap dominasi kolonial. Dalam banyak hal, hal ini dapat dipandang sebagai preseden penting bagi ide-ide kemerdekaan yang kelak muncul pada abad ke-20.


Relasi Diplomatik dan Tantangan Pasca-Kemenangan

1. Hubungan Fluktuatif dengan Inggris (yang Kemudian Meninggalkan Kawasan)

Kemenangan Nuku atas Belanda pada tahun 1797–1801 tidak lepas dari bantuan Inggris, yang pada waktu itu menjadi kekuatan imperial utama di Samudra Hindia. Inggris, melalui garnisun militernya di India dan armada laut dari Benggala serta Madras, memberikan dukungan penting berupa kapal, meriam, dan pengakuan politik. Hubungan ini sangat menguntungkan dalam fase ofensif perjuangan Nuku, dan menjadikannya bagian dari konstelasi kekuatan internasional yang lebih besar.

Namun, hubungan antara Nuku dan Inggris tidaklah stabil secara jangka panjang. Ketika situasi politik Eropa mulai berubah, terutama setelah adanya perdamaian sementara antara Inggris dan Belanda dalam Treaty of Amiens (1802), kepentingan Inggris di wilayah timur Nusantara pun mulai bergeser. Fokus Inggris kembali ke India dan Semenanjung Melayu, serta menurunkan keterlibatan langsung di Maluku dan Papua.

Bagi Nuku, penarikan dukungan ini adalah pukulan diplomatik, sekaligus ujian ketahanan pemerintahan yang baru ia bangun. Meski tidak pernah sepenuhnya bergantung pada Inggris, hilangnya sokongan militer eksternal membuat posisi Tidore semakin rentan terhadap serangan balasan Belanda. Ini menunjukkan betapa rapuhnya relasi diplomatik dalam dunia kolonial: aliansi bukan didasarkan pada kesetiaan, tetapi pada kalkulasi pragmatis kekuatan.

2. Upaya Belanda Mengkonsolidasikan Kekuatan Setelah Kekalahan Awal

Setelah bubarnya VOC pada tahun 1799, kendali atas Hindia Belanda berpindah ke tangan pemerintah kolonial Belanda langsung di bawah rezim Republik Bataaf (dan kemudian Kerajaan Belanda). Meski mengalami kekalahan di Tidore, Belanda tidak tinggal diam. Mereka mulai menyusun ulang strategi dan mengkonsolidasikan kekuatan militernya di pusat-pusat yang masih kuat, terutama di Ternate, Ambon, dan wilayah barat Nusantara.

Dalam upaya membalas kekalahan sebelumnya, Belanda mulai membentuk aliansi baru dengan bangsawan pro-kolonial yang melarikan diri dari Tidore. Mereka juga meningkatkan kampanye diplomatik untuk melemahkan legitimasi Nuku di mata kerajaan-kerajaan lain. Bahkan, Belanda melakukan pendekatan kepada beberapa pemimpin lokal yang sebelumnya berada di pihak Nuku, menawarkan imbalan ekonomi dan pengakuan politik.

Meskipun tidak mampu secara langsung merebut kembali Tidore selama masa hidup Nuku, Belanda berhasil menciptakan tekanan psikologis dan ketegangan regional yang terus-menerus. Ancaman invasi dan infiltrasi menjadi bayang-bayang permanen dalam pemerintahan Sultan Nuku, yang memaksanya untuk selalu menjaga stabilitas internal dan pertahanan luar.

3. Diplomasi Nuku ke Kerajaan-Kerajaan Sekitarnya untuk Memperkuat Posisi Tidore

Menghadapi situasi internasional yang tidak menentu dan ancaman kolonial yang terus mengintai, Nuku mengambil langkah strategis dengan mengintensifkan diplomasi regional. Ia mengirim utusan dan surat kepada kerajaan-kerajaan tetangga seperti Bacan, Jailolo, dan bahkan beberapa tokoh adat di pesisir Sulawesi dan Papua, dengan tujuan membangun poros kekuatan maritim Islam yang mandiri.

Dalam komunikasi diplomatiknya, Nuku menekankan pentingnya solidaritas antarkerajaan lokal dalam menghadapi penjajahan asing. Ia membingkai perjuangan bukan hanya sebagai konflik Tidore versus Belanda, tetapi sebagai perlawanan umat dan bangsa timur Nusantara melawan penguasaan asing atas tanah air. Pesan ini menggema kuat di kalangan raja-raja dan pemimpin lokal yang mengalami nasib serupa, meski tidak semua berani memberikan dukungan terbuka.

Upaya Nuku dalam menjalin jejaring kekuasaan regional menunjukkan visinya yang melampaui batas teritorial. Ia menyadari bahwa kekuatan Tidore sebagai kerajaan kecil tidak cukup untuk bertahan sendiri, dan hanya melalui koalisi lintas-wilayah dan semangat persaudaraan maritimlah cita-cita kemerdekaan bisa terus dipertahankan.

4. Tekanan Kolonial dan Ketegangan Internal Menjelang Akhir Hayatnya

Menjelang tahun-tahun terakhir hidupnya (sekitar 1805–1810), Nuku menghadapi tantangan berat dari dua arah sekaligus: tekanan eksternal dari Belanda yang terus berupaya merebut kembali wilayah Tidore, dan ketegangan internal dalam tubuh pemerintahan yang sedang ia bangun. Setelah dua dekade berperang, letih fisik dan kelelahan politik mulai terasa, baik pada diri Nuku sendiri maupun pada orang-orang terdekatnya.

Kondisi ini diperparah oleh mulai melemahnya loyalitas beberapa sekutu lama, yang tergoda oleh tawaran-tawaran Belanda atau kecewa karena hasil perjuangan belum sepenuhnya membawa kemakmuran. Meski Nuku tetap memimpin dengan wibawa, retakan dalam struktur kekuasaan dan jaringan sosialnya mulai tampak.

Belanda, dengan pengalaman panjang dalam memainkan politik devide et impera, memanfaatkan situasi ini untuk mengadu domba elite lokal dan menyusupkan pengaruhnya kembali ke wilayah Tidore dan sekitarnya. Nuku tidak dapat lagi mengandalkan dukungan Inggris seperti sebelumnya, dan harus mengandalkan sepenuhnya kekuatan internal untuk menjaga kedaulatan yang telah direbut dengan susah payah.

Meskipun tekanan semakin besar, Nuku tetap memegang teguh komitmennya terhadap cita-cita perjuangan. Ia menolak tunduk, bahkan ketika kondisi kesehatannya mulai menurun. Kepemimpinannya di akhir hayat tetap mencerminkan semangat pantang menyerah, dan menjadi sumber inspirasi bagi rakyatnya yang masih setia mempertahankan kemerdekaan Tidore.


Akhir Perjuangan dan Wafatnya Sultan Nuku (1810)

1. Menjelang Wafat, Nuku Masih Menjaga Otonomi Tidore dari Ancaman Luar

Meski usianya telah menua dan tubuhnya mulai melemah, Sultan Nuku tidak pernah benar-benar melepaskan tanggung jawabnya sebagai pemimpin perlawanan dan pelindung kedaulatan rakyatnya. Hingga akhir hayatnya, ia terus mengupayakan agar Tidore tetap berdiri sebagai kerajaan yang otonom, bebas dari kendali kekuasaan kolonial yang mengintai dari seberang laut.

Di tengah ancaman dari Belanda yang mencoba bangkit kembali setelah ditinggalkan Inggris, Nuku tetap menjaga ketahanan internal kerajaan. Ia memperkuat pertahanan, menjaga loyalitas para panglima lokal, dan merawat jaringan diplomasi dengan wilayah pesisir Papua, Seram, dan Halmahera. Meskipun daya ofensif telah berkurang dibanding masa puncaknya, perlawanan tetap berlangsung secara laten—sebuah bentuk resistensi terorganisir yang berakar pada solidaritas maritim dan kepercayaan spiritual rakyat.

Bagi rakyatnya, Nuku bukan hanya sultan; ia adalah simbol harapan, penjaga harga diri, dan lambang bahwa orang-orang Maluku pun bisa berdiri sejajar dengan kekuatan Eropa.

2. Wafat pada 1805 (Sebagian Sumber Menyebut 1810), Digantikan oleh Adiknya, Zainal Abidin

Sultan Nuku wafat dalam usia lanjut—sebagian sumber menyebut tahun 1805, sementara sumber lain mencatat tahun 1810 sebagai tahun wafatnya. Perbedaan ini mencerminkan keterbatasan dokumentasi kolonial dan tradisi lisan yang tersebar di banyak pulau. Namun, yang pasti, wafatnya Nuku menandai berakhirnya satu era penting dalam sejarah perlawanan maritim Nusantara.

Sepeninggalnya, takhta Tidore dilanjutkan oleh adiknya, Zainal Abidin, yang selama ini juga menjadi sekutu setia dalam perjuangan. Meski Zainal Abidin berusaha mempertahankan warisan Nuku, ia menghadapi tantangan yang jauh lebih berat: kekuatan Belanda kembali menguat, Inggris mulai menarik diri, dan aliansi lokal yang dulu solid mulai terpecah karena kelelahan panjang berperang.

Kepemimpinan Zainal Abidin tidak memiliki kharisma dan daya pengikat sebesar Nuku. Akibatnya, Tidore secara bertahap kehilangan cengkeramannya atas wilayah-wilayah luar dan kembali mengalami intervensi kolonial.

3. Kekuasaan Tidore Melemah Pasca-Nuku dan Akhirnya Tunduk Kembali pada Belanda

Pasca wafatnya Nuku, situasi politik berubah drastis. Belanda memanfaatkan kekosongan kepemimpinan karismatik untuk menyusup kembali ke pusat-pusat kekuasaan Tidore. Langkah demi langkah, mereka mulai menekan kerajaan agar menandatangani perjanjian-perjanjian baru yang pada akhirnya membawa Tidore kembali ke dalam sistem kontrol kolonial.

Pada dekade-dekade berikutnya, Kesultanan Tidore memang masih ada secara formal, tetapi lebih sebagai simbol budaya dan tradisi, bukan sebagai kekuatan politik yang merdeka. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menempatkan residen dan penasihat, serta mengendalikan urusan luar negeri, pajak, dan perdagangan. Tidore menjadi satu dari banyak kerajaan yang dijinakkan oleh sistem kolonial modern abad ke-19.

Namun, meskipun kekuasaan resmi kerajaan melemah, warisan moral dan politik Sultan Nuku tetap hidup—terutama di benak rakyat kecil yang menyaksikan atau mendengar langsung kisah perjuangan maritim yang pernah mengguncang hegemoni Eropa di lautan timur Nusantara.

4. Namun Jejak Perjuangannya Tetap Hidup dalam Ingatan Rakyat Maluku

Meskipun tidak mewariskan kerajaan yang kuat secara politik, Sultan Nuku meninggalkan warisan jauh lebih besar: semangat perlawanan dan martabat rakyat timur Nusantara. Dalam ingatan kolektif masyarakat Maluku, Papua, dan wilayah timur lainnya, nama Nuku tidak pernah padam. Ia dikenang sebagai sultan pelaut, pemimpin pemberontakan rakyat, dan simbol perlawanan yang tidak tunduk pada kekuasaan asing.

Tradisi lisan, lagu rakyat, dan hikayat-hikayat daerah terus menyebut namanya. Bahkan dalam sejarah nasional Indonesia, Sultan Nuku diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional (dianugerahkan secara resmi pada tahun 1995), pengakuan terhadap jasa dan perjuangannya melawan kolonialisme.

Jejak Nuku tidak hanya hidup dalam sejarah, tetapi juga menjadi inspirasi dalam membangun kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan adalah hak yang harus diperjuangkan, bukan hadiah dari penjajah. Ia menunjukkan bahwa dari pulau-pulau kecil sekalipun, bisa lahir pemimpin besar yang mempersatukan wilayah luas dan menantang imperium global dengan keberanian dan kecerdikan.

Akhir Perjuangan dan Wafatnya Sultan Nuku (1810)

1. Menjelang Wafat, Nuku Masih Menjaga Otonomi Tidore dari Ancaman Luar

Meski usianya telah menua dan tubuhnya mulai melemah, Sultan Nuku tidak pernah benar-benar melepaskan tanggung jawabnya sebagai pemimpin perlawanan dan pelindung kedaulatan rakyatnya. Hingga akhir hayatnya, ia terus mengupayakan agar Tidore tetap berdiri sebagai kerajaan yang otonom, bebas dari kendali kekuasaan kolonial yang mengintai dari seberang laut.

Di tengah ancaman dari Belanda yang mencoba bangkit kembali setelah ditinggalkan Inggris, Nuku tetap menjaga ketahanan internal kerajaan. Ia memperkuat pertahanan, menjaga loyalitas para panglima lokal, dan merawat jaringan diplomasi dengan wilayah pesisir Papua, Seram, dan Halmahera. Meskipun daya ofensif telah berkurang dibanding masa puncaknya, perlawanan tetap berlangsung secara laten—sebuah bentuk resistensi terorganisir yang berakar pada solidaritas maritim dan kepercayaan spiritual rakyat.

Bagi rakyatnya, Nuku bukan hanya sultan; ia adalah simbol harapan, penjaga harga diri, dan lambang bahwa orang-orang Maluku pun bisa berdiri sejajar dengan kekuatan Eropa.

2. Wafat pada 1805 (Sebagian Sumber Menyebut 1810), Digantikan oleh Adiknya, Zainal Abidin

Sultan Nuku wafat dalam usia lanjut—sebagian sumber menyebut tahun 1805, sementara sumber lain mencatat tahun 1810 sebagai tahun wafatnya. Perbedaan ini mencerminkan keterbatasan dokumentasi kolonial dan tradisi lisan yang tersebar di banyak pulau. Namun, yang pasti, wafatnya Nuku menandai berakhirnya satu era penting dalam sejarah perlawanan maritim Nusantara.

Sepeninggalnya, takhta Tidore dilanjutkan oleh adiknya, Zainal Abidin, yang selama ini juga menjadi sekutu setia dalam perjuangan. Meski Zainal Abidin berusaha mempertahankan warisan Nuku, ia menghadapi tantangan yang jauh lebih berat: kekuatan Belanda kembali menguat, Inggris mulai menarik diri, dan aliansi lokal yang dulu solid mulai terpecah karena kelelahan panjang berperang.

Kepemimpinan Zainal Abidin tidak memiliki kharisma dan daya pengikat sebesar Nuku. Akibatnya, Tidore secara bertahap kehilangan cengkeramannya atas wilayah-wilayah luar dan kembali mengalami intervensi kolonial.

3. Kekuasaan Tidore Melemah Pasca-Nuku dan Akhirnya Tunduk Kembali pada Belanda

Pasca wafatnya Nuku, situasi politik berubah drastis. Belanda memanfaatkan kekosongan kepemimpinan karismatik untuk menyusup kembali ke pusat-pusat kekuasaan Tidore. Langkah demi langkah, mereka mulai menekan kerajaan agar menandatangani perjanjian-perjanjian baru yang pada akhirnya membawa Tidore kembali ke dalam sistem kontrol kolonial.

Pada dekade-dekade berikutnya, Kesultanan Tidore memang masih ada secara formal, tetapi lebih sebagai simbol budaya dan tradisi, bukan sebagai kekuatan politik yang merdeka. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menempatkan residen dan penasihat, serta mengendalikan urusan luar negeri, pajak, dan perdagangan. Tidore menjadi satu dari banyak kerajaan yang dijinakkan oleh sistem kolonial modern abad ke-19.

Namun, meskipun kekuasaan resmi kerajaan melemah, warisan moral dan politik Sultan Nuku tetap hidup—terutama di benak rakyat kecil yang menyaksikan atau mendengar langsung kisah perjuangan maritim yang pernah mengguncang hegemoni Eropa di lautan timur Nusantara.

4. Namun Jejak Perjuangannya Tetap Hidup dalam Ingatan Rakyat Maluku

Meskipun tidak mewariskan kerajaan yang kuat secara politik, Sultan Nuku meninggalkan warisan jauh lebih besar: semangat perlawanan dan martabat rakyat timur Nusantara. Dalam ingatan kolektif masyarakat Maluku, Papua, dan wilayah timur lainnya, nama Nuku tidak pernah padam. Ia dikenang sebagai sultan pelaut, pemimpin pemberontakan rakyat, dan simbol perlawanan yang tidak tunduk pada kekuasaan asing.

Tradisi lisan, lagu rakyat, dan hikayat-hikayat daerah terus menyebut namanya. Bahkan dalam sejarah nasional Indonesia, Sultan Nuku diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional (dianugerahkan secara resmi pada tahun 1995), pengakuan terhadap jasa dan perjuangannya melawan kolonialisme.

Jejak Nuku tidak hanya hidup dalam sejarah, tetapi juga menjadi inspirasi dalam membangun kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan adalah hak yang harus diperjuangkan, bukan hadiah dari penjajah. Ia menunjukkan bahwa dari pulau-pulau kecil sekalipun, bisa lahir pemimpin besar yang mempersatukan wilayah luas dan menantang imperium global dengan keberanian dan kecerdikan.

Warisan Sejarah dan Pengakuan Nasional

1. Sultan Nuku Diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia (1995)

Setelah sekian lama kisah perjuangannya hanya hidup dalam tradisi lisan masyarakat Maluku dan Papua, pengakuan resmi dari negara terhadap jasa Sultan Nuku akhirnya datang pada tahun 1995, ketika ia secara sah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh pemerintah Republik Indonesia. Pengangkatan ini tidak hanya simbolis, tetapi juga merupakan bentuk pengakuan terhadap perjuangan perlawanan yang berasal dari kawasan timur Nusantara—wilayah yang selama ini kerap terpinggirkan dari narasi besar sejarah nasional.

Dengan gelar ini, Sultan Nuku diangkat sejajar dengan tokoh-tokoh besar lainnya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, sekaligus membuka ruang untuk lebih memahami ragam bentuk perlawanan rakyat Nusantara—termasuk yang berbasis laut, lokalitas, dan spiritualitas.

2. Menjadi Simbol Perlawanan Maritim, Lintas Etnis, dan Berbasis Akar Lokal

Salah satu kekuatan warisan Sultan Nuku adalah posisinya sebagai simbol perlawanan maritim Nusantara. Ia bukan hanya pemimpin sebuah kerajaan kecil, melainkan tokoh yang berhasil memimpin koalisi lintas pulau, lintas suku, dan lintas kelas sosial dalam satu semangat yang sama: pembebasan dari kolonialisme. Gerakannya menjangkau Maluku, Papua Barat, Halmahera, hingga Seram, membentuk jaringan solidaritas rakyat pesisir yang jarang ditemukan dalam perlawanan daratan pada masa yang sama.

Nuku memperlihatkan bahwa perlawanan rakyat bisa bersumber dari akar lokal, tetapi tetap mampu menantang kekuatan global, seperti VOC dan Belanda. Ia juga membuktikan bahwa identitas etnis bukan penghalang, melainkan kekuatan, jika disatukan dalam perjuangan yang adil dan bermartabat.

3. Warisan Budaya: Kora-Kora, Naskah Perjuangan, dan Situs Sejarah di Tidore dan Seram

Warisan perjuangan Nuku tidak hanya tercermin dalam catatan sejarah, tetapi juga hidup dalam budaya dan peninggalan material. Perahu kora-kora—kapal panjang tradisional yang digunakan dalam pertempuran lautnya—kini tetap dilestarikan dalam berbagai festival budaya di Tidore dan Halmahera, seperti Festival Kora-Kora yang digelar setiap tahun. Kora-kora menjadi lambang kejayaan maritim dan daya jelajah rakyat Maluku.

Selain itu, terdapat naskah-naskah perjuangan dan surat-surat diplomasi Nuku yang menjadi sumber penting bagi peneliti sejarah. Dalam surat-surat itu, tergambar bagaimana ia menjalin korespondensi politik dengan Inggris dan kerajaan-kerajaan tetangga, menunjukkan kecakapan diplomatik yang luar biasa.

Situs-situs bersejarah, seperti benteng pertahanan, makam Nuku, dan bekas pusat kekuasaan Kesultanan Tidore, kini menjadi tempat ziarah sejarah dan studi budaya. Di Seram dan Papua Barat, cerita tentang Nuku masih diceritakan dari generasi ke generasi sebagai simbol keberanian dan kepemimpinan sejati.

4. Inspirasi Perlawanan Nusantara dari Timur, Bersama Pattimura dan Baharuddin Lopa

Dalam peta tokoh nasional Indonesia, Nuku berdiri sejajar dengan Pattimura di Maluku dan Baharuddin Lopa di Sulawesi sebagai representasi semangat perlawanan dari wilayah timur Indonesia. Mereka bertiga mencerminkan watak khas pejuang timur Nusantara: keras dalam prinsip, tegas dalam tindakan, namun berakar kuat dalam nilai-nilai keadilan dan spiritualitas.

Perjuangan Nuku hadir lebih awal dari Pattimura dan menunjukkan bahwa semangat kemerdekaan bukan monopoli Jawa atau Sumatra. Justru dari laut-laut timur inilah muncul strategi militer berbasis rakyat, diplomasi lintas dunia, dan kemandirian politik yang nyaris revolusioner dalam konteks zamannya.

Nuku mewakili identitas pejuang dari timur Nusantara yang tidak pasif, tetapi penuh daya cipta dan semangat perlawanan.

5. Representasi Pemimpin yang Memadukan Diplomasi, Agama, Militer, dan Cinta Tanah Air

Salah satu aspek paling mengesankan dari warisan Sultan Nuku adalah integritas kepemimpinannya yang menyeluruh. Ia adalah pemimpin politik dan militer, yang memimpin langsung pertempuran di laut dan darat. Ia juga seorang diplomat ulung, yang menjalin komunikasi dengan kekuatan global seperti Inggris tanpa kehilangan otonomi. Sebagai sultan Islam, ia dikenal taat dalam agama dan dihormati karena kebijaksanaannya oleh para ulama dan tokoh adat.

Namun di atas semua itu, Nuku adalah pemimpin yang mencintai tanah air dan rakyatnya. Ia tidak membela tahta untuk kejayaan pribadi, tetapi untuk mengembalikan marwah rakyat dan mengusir kekuasaan asing yang telah mencabik-cabik harga diri bangsanya.

Kisahnya mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati lahir bukan dari kekuasaan, melainkan dari pengorbanan dan keberpihakan pada keadilan. Dalam konteks Indonesia modern, Nuku adalah cerminan ideal pemimpin yang berdaulat, religius, inklusif, dan berani mengambil sikap dalam menghadapi ketidakadilan.

About administrator