Pendidikan Elit dan Munculnya Priyayi Sekolah

Pendidikan sebagai Alat Politik dan Sosial Kolonial

Dalam sistem kolonial Hindia Belanda, pendidikan tidak pernah dimaksudkan sebagai alat pembebasan atau pemerataan. Ia justru dirancang sebagai instrumen kekuasaan—alat klasifikasi sosial, kooptasi politik, dan reproduksi ketimpangan. Pemerintah kolonial sadar bahwa pendidikan dapat menjadi sarana untuk mengendalikan masyarakat, bukan melalui kekerasan, tetapi melalui penciptaan kesadaran baru yang patuh dan loyal kepada tatanan yang sudah ada.

Berbeda dengan cita-cita pendidikan dalam wacana modern—yang menjunjung tinggi kesetaraan, pencerdasan rakyat, dan mobilitas sosial—pendidikan kolonial bersifat elitis, selektif, dan politis. Hanya segelintir anak-anak pribumi yang diberi akses, dan itupun dipilih berdasarkan kriteria sosial tertentu: keturunan, ketaatan keluarga terhadap rezim, dan kesanggupan beradaptasi dengan nilai-nilai Eropa.

Tujuan utama dari sistem ini bukan menciptakan bangsa yang merdeka berpikir, tetapi membentuk kelas perantara: orang-orang terdidik dari kalangan pribumi yang akan menjadi pelaksana dan penjaga administrasi kolonial. Mereka ini bukan penguasa, tetapi juga bukan rakyat biasa. Mereka adalah kelompok sosial baru yang tumbuh di antara dua dunia—dikenal kemudian sebagai priyayi sekolah.

Kelompok ini akan memainkan peran kunci dalam sejarah sosial Indonesia modern. Di satu sisi, mereka adalah produk kolonialisme; namun di sisi lain, dari merekalah juga benih nasionalisme dan perlawanan muncul. Maka, mempelajari munculnya priyayi sekolah bukan sekadar memahami sejarah pendidikan, tetapi juga menelusuri jejak bagaimana kolonialisme membentuk struktur sosial dan dinamika politik Indonesia hingga hari ini.


Latar Belakang Kebijakan Pendidikan Kolonial

Awal Mula Pendidikan Kolonial: Strategi Kekuasaan dan Kepentingan Ekonomi

Pada akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan formal di Hindia Belanda, bukan sebagai bentuk perhatian terhadap hak-hak rakyat jajahan, tetapi sebagai bagian dari strategi kekuasaan. Tujuan utamanya adalah mendukung kelancaran administrasi kolonial dan memperkuat dominasi atas tanah jajahan melalui cara-cara yang tampak “beradab”.

Pendidikan dalam perspektif kolonial tidak sekadar alat transfer ilmu pengetahuan, melainkan alat rekayasa sosial dan kontrol ideologi. Sejalan dengan berlakunya politik etis sejak awal abad ke-20, terutama setelah 1901, pendidikan dijadikan salah satu dari “Trias van Deventer” bersama dengan irigasi dan transmigrasi. Namun, akses terhadap pendidikan ini sangat selektif, bersifat diskriminatif, dan bertujuan memperkuat status quo kolonial.


Institusi Pendidikan Kolonial: Dari ELS hingga OSVIA

Beberapa sekolah yang didirikan kolonial pada masa ini merupakan refleksi langsung dari stratifikasi sosial yang dilembagakan oleh Belanda. Institusi-institusi tersebut antara lain:

a. ELS (Europeesche Lagere School)

Dibuka pertama kali pada tahun 1817, namun berkembang pesat di akhir abad ke-19. Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan kaum elite pribumi yang mendapatkan pengecualian. Kurikulumnya menyerupai sekolah dasar di Belanda, dengan bahasa pengantar Belanda. Hanya segelintir anak-anak pribumi dari kalangan bangsawan, pegawai tinggi, atau yang memiliki rekomendasi khusus dapat diterima.

b. HIK (Hollandsch-Inlandsche Kweekschool)

Didirikan untuk mendidik guru-guru pribumi. Meskipun tampak sebagai upaya untuk mencerdaskan rakyat, sekolah ini sebenarnya bertujuan menyediakan tenaga kerja murah dan terdidik untuk memenuhi kebutuhan sekolah-sekolah kelas rendah di daerah. Lulusan HIK tidak dipersiapkan untuk berpikir kritis atau menjadi pemimpin, tetapi untuk mendidik massa pribumi lainnya sesuai dengan kerangka kolonial.

c. STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen)

Sekolah kedokteran pribumi yang dibuka tahun 1902, yang berkembang dari pendahulunya, Dokter Djawa School (1851). STOVIA hanya menerima siswa dengan latar belakang sosial tertentu, biasanya dari kalangan elite priyayi. Para lulusan ditugaskan sebagai dokter pemerintah kolonial, dan pendidikan mereka dibatasi agar tidak menimbulkan kesadaran politik atau ancaman terhadap sistem kolonial itu sendiri.

d. OSVIA (Opleidingsschool Voor Inlandsche Ambtenaren)

Sekolah untuk mendidik calon pegawai bumiputra tingkat rendah di pemerintahan kolonial. OSVIA berfungsi sebagai jalur kaderisasi birokrasi lokal, namun tetap dalam posisi subordinat terhadap pejabat Belanda. Pendidikan di OSVIA lebih menekankan pada disiplin, kesetiaan, dan efisiensi administratif daripada pengembangan wawasan kebangsaan atau kemampuan kritis.


Tujuan Politik di Balik Pendidikan Kolonial

Meski secara sepintas tampak sebagai upaya peningkatan taraf hidup pribumi, pendidikan kolonial sebenarnya memiliki agenda politik tersembunyi:

  • Tenaga Administrasi Murah: Pendidikan dirancang untuk mencetak pegawai lokal murah yang bisa mengisi posisi menengah ke bawah dalam struktur pemerintahan kolonial. Ini mengurangi ketergantungan pada tenaga Eropa yang lebih mahal dan jumlahnya terbatas.
  • Penciptaan Kelas “Beradab”: Sistem pendidikan kolonial secara selektif membentuk sekelompok kecil elite pribumi yang dianggap “beradab” menurut standar Barat. Mereka diharapkan menjadi perantara antara penguasa kolonial dan rakyat jelata — loyal kepada kolonial, namun tetap menjaga jarak dari massa rakyat.
  • Mekanisme Kontrol Budaya: Dengan menanamkan nilai-nilai Eropa dan membatasi akses terhadap sejarah, bahasa, dan budaya asli Nusantara, pendidikan kolonial bertindak sebagai sarana dekulturalisasi. Generasi terdidik didorong untuk merasa lebih dekat dengan Belanda daripada dengan bangsanya sendiri.

Keterbatasan Akses dan Diskriminasi Struktural

Akses pendidikan kolonial bersifat sangat terbatas dan tidak adil. Beberapa hambatan utama yang dialami kaum pribumi antara lain:

  • Seleksi Ketat dan Rekomendasi: Untuk masuk sekolah Eropa atau lanjutan, anak-anak pribumi harus memperoleh rekomendasi dari pejabat kolonial atau tokoh bangsawan. Ini secara efektif menutup pintu bagi anak-anak dari kalangan rakyat biasa.
  • Biaya Pendidikan Mahal: Meskipun sebagian sekolah disubsidi, sebagian besar institusi pendidikan berkualitas tinggi menetapkan biaya yang sulit dijangkau oleh masyarakat pribumi biasa.
  • Bahasa Pengantar Belanda: Bahasa Belanda menjadi penghalang utama bagi akses pendidikan tinggi. Siswa yang tidak menguasai bahasa tersebut, atau yang tidak memiliki dasar dari keluarga berbahasa Belanda, akan tersisih secara otomatis.
  • Kurangnya Sekolah Lanjutan di Daerah: Banyak wilayah di luar kota-kota besar tidak memiliki sekolah lanjutan. Satu-satunya cara bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan adalah dengan pindah ke kota, yang tidak semua keluarga mampu.

Warisan Ambivalen: Pendidikan sebagai Pisau Bermata Dua

Meskipun pendidikan kolonial memiliki motif dan struktur yang membatasi, dalam praktiknya justru melahirkan kelompok-kelompok cendekiawan dan nasionalis yang pada akhirnya menjadi motor penggerak perlawanan terhadap kolonialisme. Tokoh-tokoh seperti Cipto Mangunkusumo, Tjokroaminoto, dan Soetomo adalah hasil dari sistem pendidikan kolonial, namun mereka melampaui batasan yang ditetapkan, menggugat ideologi penjajahan, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.

Oleh karena itu, pendidikan kolonial dapat dilihat sebagai pisau bermata dua: di satu sisi mengabdi pada sistem kekuasaan, namun di sisi lain memberi ruang bagi pembangkangan intelektual.


Priyayi Sekolah Era Kolonialisme

Lahirnya Kelas Sosial Baru di Tengah Kolonialisme

Istilah priyayi sekolah mengacu pada kelompok elite pribumi yang mengenyam pendidikan Barat—baik sepenuhnya Belanda maupun semi-Belanda—dalam sistem pendidikan kolonial Hindia Belanda. Mereka bukan sekadar terdidik, melainkan bagian dari kelas sosial baru yang muncul akibat pertemuan antara sistem pendidikan kolonial dan kebutuhan administratif pemerintah kolonial terhadap tenaga kerja lokal yang loyal dan terampil.

Berbeda dengan priyayi tradisional yang memperoleh status sosial melalui garis keturunan dan jabatan feodal dalam sistem kerajaan atau kesultanan, priyayi sekolah memperoleh posisi sosialnya melalui jalur pendidikan formal, terutama setelah pertengahan abad ke-19. Mereka menjadi golongan perantara—antara kekuasaan kolonial dan masyarakat pribumi luas—yang memiliki wawasan administratif, mampu berbahasa Belanda, dan sering kali memiliki gaya hidup yang “dibaratkan”.


Asal-usul Sosial: Bangsawan, Menak, dan Pegawai Kolonial

Sebagian besar priyayi sekolah berasal dari kalangan atas pribumi, seperti:

  • Keluarga bangsawan lokal, terutama yang memiliki hubungan baik dengan pemerintah kolonial dan tidak menentang kekuasaan Belanda. Anak-anak dari keluarga ini sering mendapat prioritas atau akses khusus ke sekolah-sekolah elite seperti ELS dan HBS.
  • Kaum menak atau pegawai kolonial, yakni orang-orang yang telah lama menjadi bagian dari struktur pemerintahan lokal seperti bupati, patih, mantri, atau wedana. Mereka dianggap “dapat dipercaya” oleh pemerintah kolonial dan memiliki kemampuan finansial untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
  • Penerima rekomendasi kolonial, yaitu anak-anak yang secara akademik cemerlang atau memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh kolonial, sering kali diangkat untuk melanjutkan pendidikan sebagai “teladan pribumi modern”.

Dengan latar belakang ini, priyayi sekolah memiliki hak istimewa yang tidak dimiliki oleh mayoritas rakyat. Mereka bebas berbahasa Belanda, mengenakan pakaian Eropa, dan menikmati perlakuan hukum serta sosial yang berbeda dari rakyat biasa.


Profesi dan Peran Sosial Priyayi Sekolah

Sebagai hasil dari sistem pendidikan kolonial, priyayi sekolah umumnya menempati posisi penting dalam struktur pemerintahan dan pelayanan publik Hindia Belanda. Beberapa profesi yang umum dijalani antara lain:

  • Juru Tulis dan Pegawai Administratif: Posisi ini menjadi salah satu jalur karier utama karena kebutuhan pemerintah kolonial untuk mengelola wilayah jajahan secara efisien dan hemat biaya.
  • Guru Sekolah Rakyat dan HIK: Dengan pendidikan semi-Belanda, mereka dilatih untuk mendidik massa pribumi sesuai nilai-nilai kolonial. Dalam posisi ini, mereka juga menjadi agen penyebaran ideologi kolonial kepada generasi baru.
  • Jaksa Bumiputra dan Polisi Pribumi: Dalam sistem hukum kolonial, para priyayi sekolah diberi wewenang untuk mengelola dan menengahi perkara hukum lokal.
  • Dokter Jawa (Lulusan STOVIA): Mereka bukan dokter dalam arti bebas, melainkan tenaga medis yang dibatasi ruang geraknya dan bekerja dalam struktur birokrasi medis kolonial.
  • Asisten Residen atau Camat: Sebagian priyayi sekolah yang lebih maju secara sosial dan politis diberi peran sebagai pemimpin daerah tingkat menengah yang berada langsung di bawah residen atau pejabat Belanda.

Perlu dicatat bahwa meskipun mereka menduduki posisi penting secara administratif, kekuasaan sejati tetap dipegang oleh pejabat Belanda. Priyayi sekolah ditempatkan sebagai “perantara”, bukan sebagai pengambil keputusan utama.


Dilema Identitas: Antara Kolonial dan Pribumi

Salah satu ciri khas priyayi sekolah adalah dilema identitas yang mereka alami. Di satu sisi, mereka telah menyerap nilai-nilai, bahasa, dan cara hidup Eropa; namun di sisi lain, mereka tetap dipandang sebagai “inlander” (pribumi) oleh kaum Eropa.

Dilema ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari:

  • Secara sosial, mereka sering merasa terasing dari masyarakat bawah, namun tidak sepenuhnya diterima oleh kaum Eropa.
  • Secara budaya, mereka mengalami tekanan untuk meninggalkan identitas kultural asli dan menggantinya dengan simbol-simbol modernitas ala Belanda.
  • Secara politik, sebagian dari mereka menjadi sangat loyal kepada kolonialisme, namun sebagian lainnya mulai mempertanyakan keadilan dan kemudian menjadi embrio gerakan kebangsaan.

Beberapa di antara mereka kemudian menjadi tokoh penting dalam gerakan nasional, seperti:

  • Tjipto Mangunkusumo, seorang dokter Jawa lulusan STOVIA yang kemudian menjadi aktivis politik dan penggagas Indische Partij.
  • Soetomo, juga lulusan STOVIA, yang mendirikan Boedi Oetomo dan menyuarakan pendidikan dan kemajuan bagi bangsa pribumi.
  • Haji Agus Salim, meskipun tidak sekolah Belanda formal, bergaul di kalangan priyayi sekolah dan menjadi salah satu intelektual Muslim paling tajam pada masa itu.

Warisan Sosial Budaya Priyayi Sekolah

Meskipun priyayi sekolah adalah produk kolonial, warisan mereka berlanjut bahkan setelah Indonesia merdeka. Beberapa bentuk warisannya antara lain:

  • Model birokrasi yang elitis dan sentralistis, karena diwariskan dari struktur kolonial yang dikuasai oleh kalangan priyayi sekolah.
  • Penggunaan bahasa Belanda dan kemudian bahasa Indonesia baku, yang banyak dikembangkan oleh kalangan terpelajar dalam tradisi priyayi sekolah.
  • Budaya hormat pada atasan dan sikap feodal, yang masih tampak dalam budaya kantor dan birokrasi Indonesia modern.
  • Struktur kelas sosial baru, di mana pendidikan menjadi penentu mobilitas sosial menggantikan garis keturunan feodal.

Mobilitas Sosial Baru dan Kultur Priyayi Modern

Pendidikan sebagai Jalur Baru Mobilitas Sosial

Salah satu dampak paling signifikan dari kebijakan pendidikan kolonial adalah terbukanya jalur mobilitas sosial baru bagi kaum pribumi yang sebelumnya tidak memiliki status bangsawan. Pendidikan, khususnya yang diselenggarakan dalam kerangka kolonial, menjadi “tangga sosial” bagi individu-individu dari kelas menengah bawah untuk naik derajat menjadi priyayi modern.

Jika sebelumnya struktur sosial Nusantara sangat kaku dan ditentukan oleh kelahiran (ningrat, menak, rakyat), maka pendidikan kolonial secara perlahan menggeser fondasi itu. Anak petani, pedagang, atau pegawai rendahan yang berhasil masuk sekolah Belanda seperti HIK, OSVIA, atau STOVIA, dapat meraih status sosial yang lebih tinggi, bahkan lebih terpandang daripada bangsawan lokal yang tidak berpendidikan.

Mobilitas ini menciptakan generasi baru priyayi sekolah yang tidak berbasis darah biru, tetapi ijazah dan jabatan. Dalam konteks inilah muncul istilah priyayi modern—suatu golongan elit baru yang mengandalkan meritokrasi pendidikan dan keterampilan administrasi untuk memperoleh kehormatan dan pengaruh sosial.


Transformasi Gaya Hidup: Imitasi Barat dan Simbol Status

Seiring dengan perubahan status sosial, priyayi modern mengadopsi gaya hidup yang berbeda dari kebanyakan rakyat pribumi. Mereka mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai dan simbol-simbol modernitas yang diasosiasikan dengan dunia Eropa. Hal ini terlihat dalam beberapa aspek kehidupan sehari-hari:

  • Pakaian dan penampilan: Jas, dasi, topi panama, dan sepatu kulit menjadi atribut umum priyayi sekolah. Pakaian tradisional mulai ditinggalkan untuk kesempatan formal atau digabungkan dengan elemen busana Barat.
  • Bahasa dan komunikasi: Bahasa Belanda digunakan dalam pergaulan, korespondensi resmi, dan percakapan antar sesama priyayi. Bahasa Melayu atau daerah hanya digunakan dengan rakyat kebanyakan. Mereka juga mulai aktif menulis di surat kabar dan majalah kolonial.
  • Konsumsi media dan literasi: Membaca koran (seperti De Locomotief, Bintang Hindia, Medan Prijaji) menjadi kebiasaan umum. Mereka mulai akrab dengan dunia literasi, sastra, dan debat politik.
  • Perkumpulan sosial dan organisasi: Priyayi sekolah sering mendirikan atau bergabung dalam perkumpulan seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Taman Siswa, atau perkumpulan diskusi dan budaya seperti Theosofi. Perkumpulan ini menjadi tempat artikulasi identitas dan kepentingan golongan mereka.

Distingsi Budaya: Superior di Bawah, Inferior di Atas

Salah satu dinamika paling penting dalam pembentukan kultur priyayi modern adalah distingsi budaya—usaha menciptakan batas sosial antara mereka dan rakyat kebanyakan (yang dianggap “awam” atau “kolot”) sembari tetap menyadari bahwa mereka tidak sejajar dengan orang Eropa.

  • Rasa superior terhadap rakyat jelata: Priyayi modern kerap memandang dirinya sebagai pembawa kemajuan, peradaban, dan rasionalitas di tengah masyarakat pribumi yang dianggap masih “tradisional” atau “terbelakang”. Mereka menjaga jarak secara sosial dan budaya dari massa rakyat, baik dalam bahasa, tata krama, hingga selera.
  • Inferioritas di hadapan Eropa: Meskipun telah berpendidikan dan mengadopsi gaya hidup Eropa, priyayi modern tetap diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh sistem kolonial. Mereka tidak memiliki hak politik yang setara, tidak boleh tinggal di kawasan Eropa, dan tidak memiliki akses penuh ke struktur kekuasaan tertinggi. Ini menimbulkan rasa frustrasi dan krisis identitas, terutama di kalangan intelektual muda.
  • Budaya kompromis dan imitasi: Dalam dilema antara menjadi “pribumi” dan “barat”, priyayi sekolah kerap bersikap kompromistis. Mereka meniru hal-hal yang bisa mendongkrak status sosial, namun tetap berhati-hati agar tidak melampaui batas yang bisa mengancam posisi atau mencurigakan di mata kolonial.

Priyayi Modern sebagai Agen Ambivalen

Kultur priyayi modern tidak sepenuhnya progresif atau regresif; ia bersifat ambivalen—di satu sisi mereka menjadi agen modernisasi, di sisi lain turut mempertahankan struktur kolonial melalui keterlibatannya dalam birokrasi dan tatanan sosial yang timpang.

Beberapa dari mereka berfungsi sebagai:

  • Aparatus kolonial, yang menegakkan sistem administrasi, hukum, dan pendidikan dalam kerangka kolonialisme.
  • Model aspirasi sosial, di mana masyarakat pribumi mulai mengidealkan kehidupan priyayi sekolah sebagai tujuan sukses.
  • Benih kaum nasionalis, karena sebagian dari mereka mulai menyadari ketimpangan kolonial dan bergerak ke arah perlawanan melalui pendidikan, pers, dan organisasi rakyat.

Warisan Budaya Priyayi Modern di Indonesia Pasca-Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak warisan budaya priyayi sekolah yang tetap hidup dalam sistem pemerintahan, birokrasi, dan kehidupan sosial:

  • Elitisme birokratis dan sentralisasi kekuasaan, di mana jabatan dipandang sebagai simbol status, bukan sebagai bentuk pelayanan publik.
  • Bahasa formal dan gaya administrasi yang kaku, berasal dari kebiasaan surat-menyurat Belanda dan kultur kantor kolonial.
  • Ketimpangan akses pendidikan dan status, karena pendidikan masih menjadi jalan utama menuju kekuasaan dan kemakmuran, tetapi belum sepenuhnya inklusif.
  • Kecenderungan menghargai simbol Barat, seperti ijazah luar negeri, gaya hidup urban, dan budaya “ngantor” sebagai indikator sukses.

Peran Priyayi Sekolah dalam Struktur Kolonial

Perantara antara Kekuasaan Kolonial dan Rakyat Pribumi

Salah satu fungsi utama dari priyayi sekolah dalam sistem kolonial Hindia Belanda adalah menjadi “jembatan” antara kekuasaan kolonial dengan massa rakyat pribumi. Mereka bukan penguasa sejati, sebab otoritas tertinggi tetap berada di tangan pejabat Eropa, namun mereka menjadi eksekutor kebijakan kolonial di lapangan dan perpanjangan tangan pemerintah Belanda di wilayah-wilayah pedalaman.

Pemerintah kolonial dengan cermat membentuk kelas ini agar mampu menyerap nilai-nilai birokratis Eropa sekaligus tetap memiliki akar lokal yang membuat mereka dapat diterima oleh rakyat. Priyayi sekolah menguasai bahasa Belanda dan tata kelola administrasi kolonial, namun juga mengerti adat, bahasa daerah, dan cara berinteraksi dengan masyarakat setempat.

Dalam posisi ini, mereka bersifat loyal tetapi subordinat. Mereka diberi kepercayaan untuk menjalankan urusan lokal seperti pendidikan, kesehatan, hukum adat, dan pengawasan rakyat, tetapi tidak pernah diberi wewenang strategis untuk membuat keputusan besar yang menyangkut politik kolonial secara keseluruhan. Ini menjadikan mereka sebagai penengah yang nyaman bagi kolonialisme, tetapi juga sebagai simbol jarak antara rakyat dan kekuasaan.


Fungsi dalam Birokrasi, Pendidikan, dan Kesehatan

Keterlibatan priyayi sekolah dalam struktur kolonial paling tampak dalam tiga bidang utama: birokrasi, pendidikan, dan kesehatan.

a. Birokrasi Pemerintahan

Sebagian besar lulusan OSVIA dan sekolah setingkat lainnya diangkat sebagai pegawai pemerintah kolonial tingkat bawah hingga menengah, seperti:

  • Wedana, Camat, dan Asisten Residen;
  • Juru tulis di kantor distrik dan kabupaten;
  • Pengawas kerja rodi, pegawai pajak, hingga perantara hukum adat.

Dalam birokrasi ini, priyayi sekolah berperan menjaga keteraturan sosial, menyampaikan perintah dari atas ke bawah, sekaligus melaporkan kondisi rakyat kepada pemerintah kolonial. Posisi ini menempatkan mereka dalam dilema antara mengabdi kepada negara kolonial atau membela kepentingan masyarakat lokal.

b. Pendidikan

Sebagai guru dan kepala sekolah (umumnya lulusan HIK), priyayi sekolah mengajarkan nilai-nilai disiplin, bahasa Belanda, dan struktur berpikir Eropa kepada generasi muda pribumi. Namun, materi pendidikan yang mereka ajarkan telah disusun untuk menumbuhkan kepatuhan, bukan kreativitas atau semangat kebangsaan.

Selain itu, mereka juga sering diberi tugas sebagai pengawas sekolah rakyat (Volkschool), yang kurikulumnya sangat minim dan hanya mencakup kemampuan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, dan etika “kepatuhan”.

c. Kesehatan dan Kedokteran

Para lulusan STOVIA menjadi dokter Jawa yang bertugas di rumah sakit pemerintah, klinik-klinik lokal, dan sebagai tenaga medis keliling. Namun peran mereka dibatasi secara fungsional dan administratif. Mereka bukan pengambil keputusan medis tingkat tinggi, melainkan pelaksana program kesehatan kolonial.

Kesehatan rakyat pada masa itu dijadikan alat stabilisasi ekonomi dan ketertiban. Dokter pribumi diharapkan menjaga tingkat produktivitas tenaga kerja tanpa menciptakan kesadaran politik atau kritik terhadap sistem sosial yang timpang.


Wajah Elitisme: Mengokohkan Hierarki Sosial Vertikal

Sebagai bagian dari struktur kolonial, priyayi sekolah sering kali menunjukkan sikap elitis terhadap rakyat kebanyakan. Hal ini tampak dalam beberapa aspek berikut:

  • Gaya bicara dan bahasa: Mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Belanda atau Melayu tinggi, dan sering memandang rendah bahasa daerah yang digunakan rakyat.
  • Tata krama dan pakaian: Gaya hidup mereka meniru orang Eropa—berpakaian rapi, makan dengan sendok-garpu, bergaul dalam perkumpulan elit, dan menjauhi pasar atau tempat berkumpul rakyat biasa.
  • Cara memimpin: Banyak priyayi sekolah memerintah dengan jarak sosial yang tinggi, meniru cara otoriter pejabat Belanda. Mereka sering menegakkan peraturan kolonial tanpa kompromi dan menjaga wibawa lebih daripada membangun relasi dengan masyarakat.
  • Pandangan terhadap rakyat: Dalam banyak kasus, mereka justru ikut melanggengkan stigma terhadap masyarakat desa sebagai bodoh, malas, atau fanatik agama. Alih-alih menjadi jembatan empati, priyayi sekolah sering terjerembab dalam self-colonization—yakni menginternalisasi nilai-nilai kolonial dan menerapkannya terhadap bangsanya sendiri.

Kontradiksi Internal dan Peran dalam Perubahan

Meski demikian, tidak semua priyayi sekolah tunduk sepenuhnya pada sistem kolonial. Seiring bertambahnya jumlah mereka dan meningkatnya akses terhadap wacana-wacana modern, muncul kesadaran kritis di sebagian kalangan bahwa sistem yang mereka layani bersifat menindas dan tidak adil.

Beberapa di antara mereka kemudian berperan dalam:

  • Perintisan gerakan kebangsaan (seperti Boedi Oetomo oleh Soetomo),
  • Perlawanan melalui pers dan tulisan (seperti Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo),
  • Pendidikan alternatif (seperti Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa),
  • Organisasi keagamaan dan sosial (seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari yang juga mendapat pengaruh dari dunia priyayi sekolah melalui kontak dengan dunia modern).

Dengan demikian, meskipun secara struktural priyayi sekolah berperan menjaga stabilitas kolonial, secara sosiologis mereka juga menciptakan ruang kemungkinan bagi transformasi dan perlawanan.


Wajah Ganda Priyayi Sekolah dalam Sistem Kolonial

Peran priyayi sekolah dalam struktur kolonial bersifat ganda:

  • Di satu sisi, mereka memperkuat dominasi kolonial melalui birokrasi dan struktur sosial yang bertingkat;
  • Di sisi lain, mereka menyediakan benih perubahan dan kebangkitan nasional melalui pendidikan dan kesadaran politik.

Dalam posisi serba tanggung ini, mereka menjadi tokoh penting dalam sejarah modern Indonesia—baik sebagai pelayan kolonial maupun sebagai pelopor kemerdekaan.


Priyayi Sekolah dan Ambiguitas Identitas

Di Antara Dua Dunia: Pribumi Tapi Bukan Rakyat, Terdidik Tapi Bukan Eropa

Priyayi sekolah adalah representasi paling kompleks dari hasil rekayasa kolonial. Mereka hidup dalam posisi yang unik: diakui sebagai kaum terdidik dan modern, tetapi tetap tidak sepenuhnya diterima—baik oleh masyarakat pribumi yang melihat mereka sebagai elitis, maupun oleh elite kolonial Eropa yang tetap menempatkan mereka sebagai inlander.

Secara formal, mereka memiliki akses pendidikan, posisi kerja, dan gaya hidup yang lebih tinggi dari kebanyakan rakyat biasa. Namun di mata penguasa kolonial, mereka tetap dianggap sebagai warga kelas dua. Mereka tidak memiliki hak politik, tidak boleh tinggal di kawasan Eropa, dan jarang dipromosikan ke jabatan strategis. Bahkan dalam pergaulan sosial, mereka dibatasi oleh segregasi yang ketat.

Ambiguitas ini menjadikan priyayi sekolah sebagai kelompok “di antaranya”—tidak sepenuhnya diakui oleh siapa pun secara utuh. Mereka adalah “pribumi yang bukan rakyat, dan modern yang tidak berkuasa.”


Krisis Identitas: Terjepit Antara Loyalitas dan Aspirasi

Ambiguitas posisi ini melahirkan krisis identitas yang serius dalam diri banyak priyayi sekolah. Mereka telah menyerap nilai-nilai dan simbol-simbol modernitas Eropa—rasionalitas, efisiensi, bahasa Belanda, sains—namun masih dibatasi oleh garis warna kulit dan kebangsaan.

  • Sebagian merasa malu akan asal-usul kepribumiannya, dan berusaha menampilkan diri seolah-olah “lebih Belanda dari orang Belanda”.
  • Sebagian lainnya mulai mempertanyakan sistem yang menempatkan mereka dalam ketimpangan yang membingungkan: mengabdi namun tidak dipercaya, dihormati namun tidak setara.

Krisis ini membuat banyak dari mereka tidak menemukan tempat sejati. Dalam pergaulan, mereka bisa tampak superior, namun dalam politik dan kekuasaan, mereka tetap inferior. Dalam budaya, mereka meninggalkan tradisi lokal, tapi tidak pernah diterima sebagai bagian dari peradaban Barat.


Polarisasi Sikap: Dari Kolonial Kolaborator hingga Nasionalis Radikal

Akibat krisis identitas dan ambiguitas posisi ini, sikap priyayi sekolah terhadap kolonialisme pun terpecah menjadi dua kutub ekstrem:

a. Pro-Kolonial: Kaum Loyalis dan Kolaborator

Kelompok ini memilih untuk berintegrasi sepenuhnya dalam sistem kolonial, baik demi kenyamanan hidup, kestabilan sosial, maupun keuntungan pribadi. Mereka:

  • Menjaga loyalitas kepada pemerintah Belanda.
  • Menjadi aparat penegak kebijakan kolonial tanpa kompromi.
  • Menjauh dari arus perlawanan atau bahkan menindasnya.

Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kaum menak kolaborator, dan sering dijadikan kaki tangan kolonial untuk meredam aspirasi rakyat, terutama dalam masa-masa awal pergerakan.

b. Pro-Nasionalis: Benih Pergerakan dan Intelektual Pembangkang

Sebaliknya, sebagian priyayi sekolah justru melampaui batasan struktur kolonial yang membesarkan mereka. Dengan modal pendidikan dan kesadaran sosial, mereka menjadi pionir kebangsaan. Beberapa contoh tokoh yang berangkat dari priyayi sekolah namun kemudian menjadi pelawan kolonial antara lain:

  • Soetomo (pendiri Boedi Oetomo), lulusan STOVIA, memimpikan kemajuan bangsa melalui pendidikan dan organisasi.
  • Tjipto Mangunkusumo, yang berani menantang kolonialisme secara terbuka dan kemudian dibuang ke Belanda dan Kupang.
  • Douwes Dekker (Danudirja Setyabudi), meski berdarah campuran, berpihak pada perjuangan pribumi melalui Indische Partij.
  • Ki Hajar Dewantara, yang menolak sistem pendidikan kolonial dan mendirikan Taman Siswa dengan semangat pembebasan.

Dengan demikian, priyayi sekolah tidak homogen. Mereka adalah medan pertarungan nilai, di mana pendidikan bisa menjadi alat domestikasi, tapi juga senjata pembebasan.


Strategi Bertahan: Kamuflase Budaya dan Ideologis

Banyak priyayi sekolah yang menyadari keterbatasan struktur kolonial memilih untuk memainkan strategi kamuflase. Mereka tidak serta-merta menantang kekuasaan, tetapi menyisipkan nilai-nilai perlawanan secara halus dalam bentuk:

  • Kegiatan pendidikan yang bersifat alternatif (seperti Taman Siswa atau Perguruan Muhammadiyah),
  • Tulisan-tulisan di pers pribumi yang menyuarakan ketidakadilan sosial (misalnya Medan Prijaji),
  • Penguatan organisasi sosial dan keagamaan, yang menggerakkan rakyat dengan pendekatan budaya dan moral.

Mereka sadar bahwa konfrontasi langsung bisa berujung pengasingan, penangkapan, atau pelarangan. Maka mereka memilih jalur bawah tanah: memperluas kesadaran secara bertahap, sambil tetap bermanuver dalam struktur kolonial.


Warisan Ambiguitas dalam Sejarah Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, warisan ambiguitas identitas ini tidak sepenuhnya hilang. Bahkan, dalam banyak hal ia terus berlanjut dalam bentuk:

  • Kelas menengah birokratis yang sulit dipisahkan dari budaya feodal kolonial,
  • Elit politik yang dekat dengan penguasa namun jauh dari rakyat,
  • Intelektual yang terdidik tapi kehilangan akar budaya lokal,
  • Tegangan antara “menjadi Indonesia” dan “menjadi modern”.

Dengan kata lain, priyayi sekolah adalah gambaran awal dari tantangan modernitas di Indonesia—yakni bagaimana menjadi bangsa terpelajar tanpa tercerabut dari akar, dan bagaimana menggunakan pendidikan untuk membebaskan, bukan menindas.


Transformasi Priyayi Sekolah menjadi Kelas Perintis Nasionalisme

Dari Anak Didik Kolonial Menjadi Pelopor Perlawanan

Pada awalnya, priyayi sekolah adalah produk kebijakan kolonial yang dirancang untuk mendukung sistem: mereka diberi akses pendidikan, posisi birokratis, dan gaya hidup modern agar menjadi perpanjangan tangan pemerintah Belanda di tengah masyarakat pribumi. Namun dalam perkembangan sejarahnya, sebagian dari mereka justru menjadi pelopor pergerakan nasional—berbalik arah dari kooptasi menjadi oposisi.

Fenomena ini membuktikan bahwa pendidikan, meski dibatasi dan diarahkan, tetap dapat melahirkan kesadaran kritis. Ketika priyayi sekolah mendalami ilmu pengetahuan, membaca sejarah bangsa lain, dan menyaksikan langsung ketimpangan yang dialami rakyatnya, banyak dari mereka mulai menggugat sistem yang selama ini mereka layani.

Dengan demikian, priyayi sekolah menjelma dari “alat” kolonial menjadi agen perubahan, yang membuka jalan bagi terbentuknya gerakan nasional di awal abad ke-20.


Pendidikan dan Kesadaran Kritis terhadap Ketimpangan

Salah satu titik balik penting dalam transformasi priyayi sekolah menjadi nasionalis adalah konflik antara idealisme pendidikan dan realitas penjajahan. Pendidikan Belanda mengajarkan tentang kebebasan, hukum, kemajuan, dan kemanusiaan—tetapi kenyataan di Hindia Belanda justru menunjukkan eksploitasi, diskriminasi, dan ketidakadilan struktural.

Para priyayi sekolah menyaksikan:

  • Ketimpangan sosial yang sangat tajam antara Belanda dan pribumi.
  • Batasan karier yang membatasi mereka hanya sampai jabatan menengah meskipun berprestasi.
  • Diskriminasi hukum, seperti dualisme pengadilan dan perbedaan hak sipil antara Eropa dan inlander.
  • Kemiskinan dan penderitaan rakyat desa yang tidak tersentuh modernisasi.

Dari sinilah muncul kesadaran: ada ilusi kesetaraan dalam pendidikan kolonial, dan bahwa pengetahuan harus digunakan bukan untuk mempertahankan sistem ini, melainkan untuk mengubahnya.


Tokoh-tokoh Kunci dari Kalangan Priyayi Sekolah

Beberapa figur utama pergerakan nasional yang berasal dari latar belakang priyayi sekolah membuktikan pergeseran fungsi sosial dari kolaborator menjadi pejuang:

a. Dr. Soetomo

Lulusan STOVIA, berasal dari keluarga priyayi Jawa. Ia menjadi tokoh pendiri Boedi Oetomo pada 1908, organisasi modern pertama yang bertujuan mengangkat martabat bangsa melalui pendidikan dan kerja sosial. Boedi Oetomo menjadi simbol kelahiran kesadaran kebangsaan yang terorganisir.

b. Dr. Tjipto Mangunkusumo

Juga lulusan STOVIA, namun memilih jalur lebih radikal. Ia menantang kolonialisme secara terbuka, menjadi salah satu pendiri Indische Partij bersama Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara. Karena keberaniannya, ia berkali-kali diasingkan dan menjadi ikon intelektual pembangkang.

c. Ki Hajar Dewantara

Dibesarkan di lingkungan priyayi keraton Yogyakarta, ia semula aktif dalam pendidikan Belanda dan pers. Setelah dibuang ke Belanda karena tulisannya yang mengecam perayaan kemerdekaan Belanda di tanah jajahan (“Seandainya Aku Seorang Belanda”), ia pulang dan mendirikan Taman Siswa pada 1922—sebuah sistem pendidikan nasional yang membebaskan dan membentuk karakter bangsa.

Ketiganya mencerminkan transisi sosial dari priyayi sekolah yang semula dibentuk untuk mengabdi kepada kolonial, menjadi pembangun jalan menuju Indonesia merdeka.


Peralihan Fungsi Sosial: Dari Kooptasi ke Oposisi

Proses transformasi ini bukan hanya individual, tapi mencerminkan peralihan fungsi sosial dari keseluruhan kelas menengah terdidik. Seiring dengan meningkatnya jumlah sekolah, koran, organisasi, dan diskusi publik, golongan priyayi sekolah mulai terbagi dua:

  • Yang bertahan dalam sistem kolonial, demi kenyamanan dan keamanan posisi.
  • Yang berani melawan sistem, karena didorong oleh rasa keadilan, cinta tanah air, dan kesadaran historis.

Kelompok yang kedua inilah yang kemudian memperluas pengaruhnya ke seluruh Nusantara melalui:

  • Organisasi massa, seperti Sarekat Islam dan Muhammadiyah.
  • Pers nasionalis, seperti Medan Prijaji, Oetoesan Hindia, dan Soeara Oemoem.
  • Pendidikan alternatif, seperti Taman Siswa, INS Kayutanam, dan perguruan nasional lainnya.

Fungsi sosial mereka berubah: dari penghubung antara rakyat dan kolonial menjadi penghubung antara rakyat dan cita-cita kemerdekaan.


Dampak Historis: Menjadi Inti dari Kelas Nasionalis Indonesia

Warisan priyayi sekolah yang mengalami transformasi ideologis ini sangat besar dalam sejarah Indonesia. Mereka bukan hanya melahirkan organisasi awal, tetapi juga menyediakan:

  • Kader intelektual dan organisatoris dalam pergerakan,
  • Model kepemimpinan nasional awal, seperti Ir. Soekarno (lulusan HBS dan THS), Hatta (lulusan sekolah Belanda dan Belanda), Tan Malaka (lulusan Rijkskweekschool),
  • Landasan budaya modern Indonesia, melalui pendidikan, bahasa, dan struktur organisasi.

Dengan kata lain, kelas priyayi sekolah yang tercerahkan menjadi tulang punggung dari apa yang kelak dikenal sebagai angkatan nasionalis Indonesia modern.


Warisan Priyayi Sekolah dalam Birokrasi Modern

Jejak Mentalitas Priyayi dalam Etos Pegawai Negeri

Salah satu warisan paling nyata dari priyayi sekolah adalah terbentuknya pola pikir dan perilaku yang hingga kini masih mewarnai birokrasi Indonesia. Ketika Indonesia merdeka pada 1945, banyak posisi strategis dalam pemerintahan baru diisi oleh lulusan pendidikan kolonial atau mereka yang dibesarkan dalam etos priyayi sekolah. Hal ini berperan besar dalam membentuk gaya administrasi dan ethos PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang kita kenal sekarang.

Ciri-ciri mentalitas tersebut antara lain:

  • Formalisme administratif: kecenderungan untuk mengikuti prosedur dan aturan secara ketat, terkadang lebih menghormati dokumen daripada substansi. Ini mencerminkan pengaruh sistem Belanda yang sangat legalistik.
  • Bahasa birokratis dan kaku: cara bicara yang formal, penuh eufemisme, dan menghindari konfrontasi langsung—gaya komunikasi khas priyayi yang mementingkan “wibawa” dan “tata krama”.
  • Etos kehormatan jabatan: jabatan dianggap sebagai sumber status sosial, bukan sekadar tugas publik. Posisi struktural lebih dihargai daripada fungsi pelayanan.
  • Kultus terhadap seragam, pangkat, dan gelar: menunjukkan bagaimana warisan feodal dan kolonial terinstitusionalisasi dalam struktur pemerintahan modern.

Semua ini merupakan lanjutan dari priyayi sekolah yang dahulu ditempatkan sebagai pegawai elite kolonial, dan kini bermigrasi ke dalam bentuk aparatur sipil negara.


Dualitas Budaya: Antara Rakyat dan Elite, Lokal dan Kolonial

Warisan priyayi sekolah juga menghadirkan kontradiksi budaya dalam birokrasi Indonesia masa kini. Di satu sisi, para birokrat adalah wakil negara yang seharusnya melayani rakyat; di sisi lain, mereka sering terpisah secara simbolik, sosial, bahkan psikologis dari masyarakat umum.

Dua bentuk dualitas yang paling menonjol adalah:

a. Antara rakyat dan elite

  • Dalam banyak situasi, pejabat birokrasi diperlakukan dan memposisikan diri sebagai “elite” yang perlu dihormati oleh rakyat. Hubungan “atas–bawah” yang bersifat vertikal ini merupakan kesinambungan dari relasi priyayi–kawula di masa lalu.
  • Alih-alih mendorong partisipasi rakyat, struktur birokrasi modern sering menciptakan jarak dan formalitas yang justru menghambat akuntabilitas.

b. Antara lokal dan kolonial

  • Banyak norma dalam birokrasi berasal dari warisan kolonial: istilah-istilah Belanda (seperti notulen, efektif, rekomendasi, instruksi, rapat), struktur hierarki yang rigid, hingga kebiasaan administratif seperti notulensi dan pencatatan yang rumit.
  • Namun dalam praktik, budaya kerja yang sebenarnya bercampur antara nilai-nilai lokal (gotong royong, kekeluargaan, kompromi) dengan nilai-nilai kolonial (legalistik, formal, hirarkis), menciptakan birokrasi yang sering tidak efisien dan penuh paradoks.

Politik Status dan Simbol dalam Tradisi Pegawai Negeri

Dalam banyak kasus, status sebagai pegawai negeri tidak hanya mencerminkan pekerjaan, tetapi juga menjadi simbol mobilitas sosial dan prestise keluarga. Hal ini mirip dengan bagaimana priyayi sekolah dahulu dipandang:

  • Menjadi PNS dianggap aman, terhormat, dan stabil, bukan karena semangat pelayanan publik, tetapi karena ia masih dianggap sebagai “pewaris” kelas elite terdidik masa lalu.
  • Orientasi terhadap simbol jabatan (seperti ruangan, seragam, kendaraan dinas, gaji tetap, bahkan pensiun) menandakan bahwa posisi dalam birokrasi dipandang sebagai tujuan hidup, bukan alat pelayanan masyarakat.
  • Feodalisme dalam struktur organisasi tetap bertahan: atasan dipatuhi bukan karena ide atau visi, melainkan karena otoritas strukturalnya. Kritik sering dianggap tidak sopan, bahkan oleh kolega sejawat.

Warisan dalam Politik Indonesia Kontemporer

Pengaruh priyayi sekolah juga merembes ke dalam ranah politik modern Indonesia:

  • Kecenderungan elitisme politik, di mana elite birokrasi dan politik sering tampil dengan gaya formal, menggunakan bahasa tinggi, dan menjaga jarak simbolik dari konstituen.
  • Kultus personalitas dan patronase, yang mewarisi struktur hubungan “atas–bawah” dari masa kolonial, di mana loyalitas kepada tokoh lebih penting daripada mekanisme institusional.
  • Pengulangan pola kooptasi, di mana individu-individu terdidik yang mengawali karier sebagai intelektual atau aktivis, kemudian “diakomodasi” oleh sistem kekuasaan dan menjadi bagian dari struktur status quo—sebuah pola yang sangat mirip dengan evolusi awal priyayi sekolah.

Refleksi: Membebaskan Birokrasi dari Bayang-bayang Kolonial

Meskipun warisan priyayi sekolah memiliki aspek positif (seperti literasi, rasionalitas, dan profesionalisme), aspek-aspek yang bersifat hierarkis dan elitis perlu terus ditinjau dan dikritisi.

Untuk membebaskan birokrasi Indonesia dari bayang-bayang kolonial dan feodal, beberapa langkah penting meliputi:

  • Mendemokratiskan hubungan antara pegawai dan masyarakat, bukan dengan sekadar reformasi struktural, tapi melalui perubahan nilai dan orientasi pelayanan.
  • Menanamkan etika pelayanan publik sejak pendidikan, mengganti logika jabatan sebagai status dengan logika jabatan sebagai amanah.
  • Menyederhanakan prosedur dan bahasa birokrasi, agar lebih mudah diakses dan dipahami oleh rakyat biasa.
  • Merestorasi budaya lokal yang egaliter, seperti musyawarah dan gotong royong, agar birokrasi benar-benar menjadi bagian dari masyarakat, bukan menara gading administratif.

Warisan yang Ambivalen

Priyayi sekolah meninggalkan warisan yang ambivalen: mereka pernah menjadi pelopor kebangkitan nasional, namun juga mewariskan sistem nilai dan gaya birokrasi yang menjauhkan negara dari rakyat.

Memahami mereka bukan hanya penting untuk membaca masa lalu, tetapi juga untuk menyadari akar masalah dalam struktur kekuasaan modern Indonesia, dan bagaimana transformasi budaya birokrasi bisa dimulai dengan kesadaran sejarah.


Mewarisi Penjajahan lewat Pendidikan

Penggantian Elite Tanpa Mengubah Struktur

Salah satu kritik utama terhadap sistem pendidikan kolonial adalah bahwa ia tidak bertujuan untuk membebaskan, melainkan untuk mereproduksi kekuasaan. Pendidikan tidak diarahkan untuk mengubah ketimpangan struktural antara penjajah dan yang dijajah, tetapi justru melanggengkan struktur tersebut dengan cara yang lebih halus dan teratur—melalui penciptaan elite pribumi baru.

Sistem ini melahirkan priyayi sekolah, yang pada dasarnya adalah versi lokal dari elite kolonial: mereka menggantikan posisi dominan dalam masyarakat pribumi, namun tetap tunduk dalam struktur kuasa kolonial. Alih-alih mendobrak sistem yang timpang, mereka menjadi bagian dari mekanismenya.

“Pendidikan kolonial tidak menghapus penjajahan, ia justru memolesnya—memberi wajah terdidik pada ketimpangan.”
—Refleksi para pemikir pascakolonial

Struktur kekuasaan tetap vertikal dan eksklusif. Yang berubah hanyalah siapa yang duduk di level menengahnya—dari Belanda langsung, menjadi “pribumi terpilih”. Bagi rakyat kebanyakan, wajah kekuasaan tetaplah asing dan jauh.


Abainya Terhadap Pendidikan Massa dan Nilai Lokal

Pendidikan kolonial nyaris tidak menyentuh massa rakyat. Jika pun ada, seperti Sekolah Desa (Volkschool), kurikulumnya sangat terbatas: membaca, menulis, berhitung dasar, dan pelajaran moral tentang disiplin dan kepatuhan. Tidak ada pelatihan keterampilan hidup yang relevan, tidak ada pemupukan nalar kritis, apalagi penghargaan terhadap kebudayaan lokal.

Nilai-nilai lokal, seperti:

  • Gotong royong
  • Musyawarah
  • Sistem pengetahuan lokal (pengobatan, pertanian, kesenian)

—semuanya diabaikan atau bahkan dipandang rendah. Bahasa daerah dianggap inferior. Tradisi dipandang irasional. Agama sering dipisahkan dari pendidikan formal.

Akibatnya, generasi terdidik tercerabut dari akar budayanya, dan generasi rakyat tidak diberi kesempatan untuk belajar hal-hal yang relevan bagi kehidupan mereka. Pendidikan menjadi alat segregasi sosial, bukan alat emansipasi.


Pembentukan Loyalisme dan Formalitas Birokratik

Ciri khas lain dari pendidikan elit kolonial adalah penanaman mentalitas loyalisme dan formalitas. Lulusan sistem ini dididik untuk:

  • Loyal kepada pemerintah kolonial, bukan kepada rakyat atau tanah air.
  • Taat prosedur dan aturan administratif, meski kadang menabrak nurani atau kebutuhan nyata di lapangan.
  • Menghindari konflik dan kritik terbuka, karena dianggap tidak sopan atau “tidak tahu aturan”.

Dalam birokrasi, ini terlihat pada:

  • Struktur hirarkis yang menutup ruang dialog.
  • Pegawai yang lebih takut pada atasan daripada pada kesalahan pelayanan.
  • Ketidakefisienan yang diselubungi bahasa formal dan proses panjang.

Sikap ini terus terbawa hingga masa kemerdekaan, menciptakan birokrasi yang kaku dan elitis, serta pegawai yang bekerja demi “aturan” dan “status”, bukan demi dampak dan pelayanan publik sejati.


Pendidikan sebagai Alat Pembeda Kelas, Bukan Penyatu Bangsa

Alih-alih menjadi alat pemersatu dan pengangkat martabat rakyat, pendidikan kolonial menciptakan jurang sosial yang semakin lebar:

  • Mereka yang sekolah tinggi cenderung merasa “lebih maju” daripada rakyat biasa.
  • Bahasa dan gaya hidup menjadi penanda kelas, bukan jembatan komunikasi.
  • Pendidikan menjadi alat stratifikasi sosial: semakin tinggi sekolah, semakin jauh dari massa.

Inilah yang membuat priyayi sekolah sering kali terjebak dalam distingsi simbolik, bukan transformasi sosial. Mereka dibentuk untuk berdiri di atas, bukan berjalan bersama.


Refleksi untuk Pendidikan Indonesia Hari Ini

Kritik terhadap pendidikan elit kolonial bukan sekadar sejarah, melainkan peringatan bagi pendidikan Indonesia hari ini. Banyak pola yang dulu diciptakan oleh kolonial masih terus diwarisi:

  • Sekolah favorit yang eksklusif dan berorientasi status.
  • Pengajaran yang minim dialog, kritisisme, dan relevansi lokal.
  • Orientasi pendidikan pada jabatan, bukan pengabdian.
  • Kurikulum yang mengabaikan bahasa daerah, sejarah lokal, dan realitas sosial.

Untuk itu, perlu perubahan paradigma:

  • Dari pendidikan untuk posisi, menjadi pendidikan untuk pemberdayaan.
  • Dari reproduksi elite, menjadi pemerataan kesadaran.
  • Dari penyerapan budaya luar, menjadi penguatan jati diri bangsa.

Membalik Arah Pendidikan

Pendidikan elit kolonial pernah membentuk priyayi sekolah—sebuah kelas sosial dengan warisan ambivalen: mereka pernah memperjuangkan kemerdekaan, namun juga ikut melanggengkan ketimpangan.

Kini, tantangannya bukan membuang warisan itu sepenuhnya, tetapi menyadari akarnya, mengkritisinya, dan membalik arah pendidikan nasional ke jalan emansipasi dan keberdayaan.

“Pendidikan sejati adalah yang membebaskan, bukan yang menjinakkan.”
—Ki Hajar Dewantara


Pendidikan, Kelas Sosial, dan Akar Birokrasi Modern

Pendidikan Kolonial dan Pembentukan Kelas Sosial Baru

Sepanjang akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, kebijakan pendidikan kolonial tidak semata-mata diarahkan untuk mencerdaskan penduduk Hindia Belanda, melainkan untuk menciptakan kelas penghubung antara kekuasaan kolonial dan rakyat jajahan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai priyayi sekolah—golongan terdidik, modern, namun berada dalam ambiguitas peran dan identitas.

Mereka bukan bagian dari elite Eropa, tetapi juga bukan rakyat biasa. Mereka diberi pendidikan bukan agar menjadi pemimpin bangsa, tetapi agar menjadi pelaksana setia sistem kolonial. Namun, justru dari kelas inilah lahir para pemikir, organisator, dan tokoh-tokoh nasional yang menggugat sistem dan membayangkan Indonesia merdeka.

Dengan demikian, pendidikan kolonial melahirkan kelas sosial baru dengan watak ambivalen: setia sekaligus kritis, kolaborator sekaligus pembangkang.


Priyayi Sekolah sebagai Simbol Persimpangan Sejarah

Priyayi sekolah merupakan simbol paling nyata dari persimpangan sejarah antara dominasi dan emansipasi. Di tangan kolonial, mereka dijadikan instrumen kontrol sosial dan birokrasi. Namun, melalui pendidikan dan pengalaman hidup, sebagian dari mereka tumbuh menjadi embrio kesadaran nasional yang mengguncang fondasi kekuasaan Belanda.

Mereka menjalani kehidupan “di antara”:

  • Antara rakyat dan elite,
  • Antara adat dan modernitas,
  • Antara kepatuhan dan perlawanan.

Ambiguitas ini membuat mereka rentan, namun juga kaya akan potensi perubahan. Melalui mereka, nasionalisme Indonesia menemukan jalur artikulasi awal: dalam bahasa, dalam organisasi, dalam pendidikan, dan dalam gagasan.


Jejak Warisan dalam Birokrasi dan Politik Indonesia

Warisan priyayi sekolah tidak berhenti di masa kolonial. Setelah Indonesia merdeka, banyak pola pikir, struktur sosial, dan etika kerja mereka terbawa ke dalam birokrasi modern Indonesia. Kita masih dapat melihat:

  • Gaya administratif yang formal dan hierarkis,
  • Etos jabatan sebagai status, bukan pelayanan,
  • Bahasa komunikasi yang jauh dari rakyat,
  • Struktur kekuasaan yang tertutup dan simbolik.

Bahkan dalam dunia politik, jejak itu tampak dalam bentuk elitisme, patronase, dan kooptasi terhadap intelektual, sebagaimana dahulu priyayi sekolah dirangkul oleh sistem kolonial.


Pendidikan sebagai Medan Perebutan Makna

Satu pelajaran penting dari sejarah priyayi sekolah adalah bahwa pendidikan tidak pernah netral. Ia bisa menjadi alat pembebasan, tetapi juga bisa menjadi alat penjinakan. Ia bisa mencerdaskan, tapi juga bisa menciptakan ketimpangan baru.

Dalam konteks kolonial, pendidikan digunakan untuk membentuk loyalitas, meredam kritik, dan menciptakan kelas perantara yang menjaga sistem. Namun sejarah juga menunjukkan, bahwa ketika pendidikan dipertemukan dengan kesadaran sosial, ia menjadi senjata melawan penindasan.

Hari ini, pertanyaan yang sama masih berlaku:

Apakah pendidikan kita membebaskan, atau sekadar mencetak elite baru yang terputus dari akar rakyat?


Menuju Pendidikan yang Membebaskan

Untuk membangun sistem pendidikan yang benar-benar membebaskan, Indonesia perlu membaca ulang warisan pendidikan kolonial secara kritis. Bukan untuk menolak seluruhnya, melainkan untuk memilah dan membalik arah:

  • Dari formalitas ke kebermaknaan,
  • Dari status ke pelayanan,
  • Dari imitasi ke jati diri,
  • Dari segregasi ke inklusi.

Kesadaran ini penting agar pendidikan tidak lagi menjadi alat pewarisan ketimpangan, melainkan menjadi jalan pembentukan warga negara yang merdeka, sadar, dan berdaya.


“Jika kita ingin membangun bangsa yang utuh, pendidikan tidak boleh berhenti pada sekolah. Ia harus menjadi ruang pembebasan.”
Refleksi akhir atas jejak panjang priyayi sekolah

About administrator