Urbanisasi di Hindia Belanda tidak lahir dari proses alami semata, tetapi merupakan produk dari kebijakan dan kebutuhan kolonial yang sangat terencana. Sejak abad ke-17, pemerintah kolonial—terutama melalui tangan korporasi dagang seperti VOC—menjadikan kota-kota pelabuhan sebagai simpul penting dalam penguasaan wilayah, eksploitasi ekonomi, dan kontrol administratif atas kepulauan Nusantara. Dalam konteks inilah, kota tidak hanya dipahami sebagai pemukiman padat penduduk, tetapi juga sebagai pusat hegemonik kolonial: ruang di mana kekuasaan, perdagangan, budaya, dan ideologi kolonial direproduksi secara simultan.
Berbeda dari desa yang sering kali dilihat sebagai entitas “tradisional” dan “statis”, kota dalam sistem kolonial memiliki peran yang sangat dinamis. Ia menjadi jembatan antara dunia lokal dan global, sekaligus titik temu antara berbagai etnis, kelas sosial, dan kepentingan. Kota-kota seperti Batavia (Jakarta), Semarang, Surabaya, dan Makassar bukan hanya tempat tinggal, melainkan juga medan tarik-menarik antara kekuasaan kolonial dan penduduk lokal; antara modernitas ala Barat dan adat yang hidup; antara sistem ekonomi kapitalistik dan struktur sosial agraris yang mulai tergeser.
Pemilihan keempat kota tersebut bukan tanpa alasan. Batavia adalah simbol supremasi VOC dan pemerintah Hindia Belanda, kota yang dibangun sebagai “Amsterdam di Timur”, pusat kendali militer, dagang, dan administratif. Semarang berfungsi sebagai pelabuhan dan pusat distribusi hasil bumi dari pedalaman Jawa bagian tengah, serta menjadi markas penting logistik dan militer. Surabaya, sebagai kota terbesar di Jawa Timur, tumbuh menjadi pusat industri dan pelabuhan utama dengan populasi urban yang berkembang pesat. Sementara itu, Makassar mewakili kota besar di kawasan timur Indonesia, yang mengalami perubahan dari kota kerajaan maritim menjadi kota pelabuhan kolonial, sekaligus simpul penting dalam jaringan perdagangan rempah dan integrasi wilayah luar Jawa ke dalam sistem Hindia Belanda.
Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri bagaimana proses urbanisasi berlangsung di keempat kota tersebut dalam konteks kolonial. Proses ini akan dianalisis melalui aspek-aspek seperti tata ruang kota, mobilitas penduduk, struktur sosial, serta transformasi ekonomi dan budaya yang terjadi. Dengan menelaah Batavia, Semarang, Surabaya, dan Makassar sebagai studi kasus, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa urbanisasi kolonial bukan hanya perubahan demografis, tetapi juga strategi politik dan ideologis yang membentuk wajah kota Indonesia hingga hari ini.
Pemahaman terhadap urbanisasi kolonial akan membuka ruang refleksi terhadap berbagai persoalan kota kontemporer—mulai dari ketimpangan sosial, segregasi spasial, hingga tantangan pelestarian warisan sejarah dalam pembangunan modern. Dengan demikian, sejarah urbanisasi bukan sekadar urusan masa lalu, tetapi juga peta jalan untuk memahami masa kini dan merancang masa depan kota-kota Indonesia.
Kota Kolonial sebagai Pusat Kekuasaan dan Perdagangan
Dalam konteks kolonialisme, kota bukan hanya merupakan pusat aktivitas ekonomi dan pemukiman, melainkan juga instrumen kekuasaan yang paling konkret. Ia dirancang, dibangun, dan dikembangkan bukan sekadar untuk memfasilitasi kehidupan penduduk, tetapi untuk meneguhkan dominasi politik, ekonomi, dan budaya penguasa kolonial atas wilayah jajahan. Karena itu, kota kolonial memiliki struktur dan logika ruang yang berbeda dari kota-kota tradisional pra-kolonial di Nusantara.
Definisi dan Ciri Khas Kota Kolonial
Kota kolonial di Hindia Belanda umumnya memiliki struktur spasial yang dualistik: memisahkan kawasan “Eropa” yang tertata dan higienis dari kawasan “pribumi” atau “Timur Asing” yang padat, semrawut, dan dianggap tidak teratur. Segregasi ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga simbolik—mewujudkan hierarki rasial dan sosial dalam bentuk tata ruang.
Ciri khas kota kolonial antara lain:
- Zonasi etnis: Pemisahan pemukiman berdasarkan ras atau kelompok etnik (Eropa, Tionghoa, Arab, pribumi).
- Segregasi sosial dan layanan: Fasilitas modern (air bersih, listrik, jalan trem) hanya tersedia di kawasan Eropa.
- Tata kota Eropa: Jalan lurus, kanal, taman, gedung pemerintahan bergaya neoklasik; kontras dengan kampung pribumi yang tumbuh organik tanpa perencanaan.
- Fungsi administratif dan militer: Kota dirancang untuk mendukung kontrol kolonial, dengan kehadiran benteng, markas militer, dan kantor residen.
- Simbolisme kekuasaan: Gedung-gedung tinggi, gereja besar, dan monumen di pusat kota menunjukkan dominasi kultural dan spiritual Belanda atas wilayah jajahan.
Peran Pelabuhan dalam Arsitektur Ekonomi Kolonial
Pelabuhan menjadi nadi dari kota kolonial karena ia merupakan titik masuk dan keluar utama dari sistem ekonomi global. Kota-kota seperti Batavia, Semarang, Surabaya, dan Makassar berkembang justru karena fungsi strategisnya sebagai pelabuhan dagang. Produk-produk komoditas dari pedalaman—gula, kopi, rempah-rempah, karet—dikumpulkan dan diekspor melalui pelabuhan, sementara barang-barang manufaktur dari Eropa masuk dan diedarkan ke dalam negeri.
Dalam arsitektur ekonomi kolonial, pelabuhan:
- Menghubungkan koloni dengan pusat kapitalisme global (Belanda dan Eropa Barat).
- Menjadi simpul logistik bagi perusahaan dagang dan pemerintah kolonial.
- Menarik masuk pekerja, buruh pelabuhan, pedagang, dan migran dari berbagai daerah—sehingga mempercepat urbanisasi dan pluralitas etnik kota.
- Menjadi pusat kegiatan ekonomi informal, pasar malam, dan interaksi antarbudaya yang kerap berada di luar pengawasan resmi.
Tak mengherankan jika hampir semua kota besar kolonial dibangun atau diperluas di sekitar pelabuhan. Bahkan, perkembangan tata ruang kota sangat ditentukan oleh arus dagang dan infrastruktur pelayaran.
Kebijakan Kolonial dalam Pengembangan Kota
Pemerintah kolonial Belanda menerapkan berbagai kebijakan dan proyek pembangunan kota yang tidak hanya berorientasi pada fungsi ekonomi, tetapi juga untuk memperkuat kontrol dan menunjukkan “kemajuan” versi kolonial. Beberapa di antaranya adalah:
- Kanal dan Drainase: Seperti di Batavia, pembangunan kanal ala Amsterdam dimaksudkan untuk transportasi dan pengendalian banjir, meskipun seringkali gagal karena kondisi iklim tropis dan sistem pemeliharaan yang buruk.
- Benteng dan Barak Militer: Sebagai simbol dan alat pertahanan, benteng seperti Fort Rotterdam di Makassar atau Benteng Prins Frederik di Batavia menjadi titik pusat kekuasaan.
- Pasar dan Gudang Komoditas: Pasar-pasar diatur oleh pemerintah kolonial, dan gudang besar dibangun untuk menyimpan rempah, gula, dan kopi sebelum diekspor.
- Jalur Trem dan Kereta Api: Trem kota diperkenalkan di Batavia dan Surabaya untuk memperlancar mobilitas antara kawasan Eropa dan pelabuhan. Jalur kereta api dari pedalaman ke pelabuhan—misalnya dari Solo ke Semarang—mendorong tumbuhnya kota sebagai simpul distribusi kolonial.
- Gedung Pemerintahan dan Layanan Publik Modern: Kantor residen, rumah sakit misi, sekolah Eropa, dan taman kota dibangun sebagai simbol kemajuan peradaban kolonial.
Melalui kebijakan tersebut, kota tidak hanya menjadi alat akumulasi kekayaan, tetapi juga wadah formasi sosial kolonial—mewujudkan kelas penguasa, menata rakyat, dan menyebarkan nilai-nilai Barat secara visual dan praktis.
Kota-kota kolonial Hindia Belanda adalah produk dari logika kekuasaan yang menjadikan ruang sebagai alat dominasi. Di dalamnya terkandung segregasi, pemaksaan budaya, dan pengaturan sosial yang cermat. Namun di balik tata kota yang rapi dan pelabuhan yang sibuk, juga tumbuh dinamika baru: urbanisasi massal, pertukaran budaya, dan resistensi sosial. Kota kolonial, dengan segala paradoksnya, menjadi cermin dari kolonialisme itu sendiri—mengagumkan sekaligus problematik.
Batavia: Kota Inti Kolonial dan Simbol Kekuasaan VOC
Batavia adalah simbol permulaan kota kolonial modern di Hindia Belanda. Ia bukan sekadar pelabuhan atau pusat dagang, tetapi dibangun secara sadar oleh VOC sebagai “Amsterdam di Timur”, mencerminkan ambisi kolonial Belanda dalam menguasai jalur perdagangan rempah dan menjadikan Nusantara sebagai basis kekuatan ekonomi global mereka. Dalam prosesnya, Batavia menjadi model kota kolonial: representasi kekuasaan, sistem sosial baru, dan eksklusi terhadap penduduk lokal.
Pendirian Batavia dan Tata Kota Ala Belanda
Batavia didirikan pada tahun 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen setelah menghancurkan kota pelabuhan Jayakarta yang sebelumnya dikuasai Kesultanan Banten. Kota baru ini dirancang mengikuti prinsip tata ruang khas Belanda—grid plan (tata petak) dengan kanal-kanal lurus dan sistem drainase yang menyerupai kota-kota di Negeri Belanda.
Karakter utama perencanaan kota Batavia awal:
- Kanalisasi: Kanal-kanal lurus dibangun sebagai sarana transportasi air, pengendalian banjir, dan pemisah antarblok pemukiman.
- Tembok kota: Batavia dikelilingi tembok dan bastion (benteng kecil) sebagai perlindungan dari serangan luar dan simbol dominasi militer.
- Blok-blok pemukiman: Wilayah Eropa dipenuhi rumah besar bergaya Belanda, kantor dagang, gereja (Gereja Sion), dan balai kota (Stadhuis).
- Pelabuhan Sunda Kelapa: Dihubungkan langsung ke pusat kota melalui kanal utama, menjadi urat nadi perdagangan dan logistik VOC.
Namun, sistem kanal ini justru menyebabkan wabah penyakit, karena kanal-kanal berubah menjadi tempat genangan limbah tropis yang tidak mengalir baik. Akibatnya, banyak orang Eropa meninggalkan pusat kota tua dan pindah ke dataran lebih tinggi di selatan.
Pemisahan Kota Eropa dan Kota Pribumi
Dengan kondisi lingkungan yang memburuk di kota tua, pada abad ke-18 dan ke-19, terjadi pergeseran pusat kota ke arah selatan, yang kemudian dikenal sebagai Weltevreden. Di wilayah ini dibangun kantor pemerintahan baru, rumah sakit, sekolah, taman, dan barak militer. Kawasan ini menjadi pusat aktivitas Eropa, sementara pusat kota lama (Kota Tua) semakin ditinggalkan.
Pemisahan ini memperkuat struktur sosial rasial dalam tata kota:
- Weltevreden → zona Eropa, elite, terencana.
- Kampung-kampung pribumi (di pinggiran kota) → padat, tidak teratur, kurang layanan publik.
- Pecinan (kawasan Tionghoa) → sering diawasi ketat dan menjadi objek diskriminasi, terutama setelah peristiwa 1740.
Kota menjadi cermin kekuasaan kolonial yang mengatur ruang berdasarkan kelas dan ras.
Urbanisasi dan Pertumbuhan Etnis di Batavia
Seiring berkembangnya Batavia, kota ini menjadi magnet urbanisasi dari berbagai wilayah di Nusantara maupun luar. Pertumbuhan etnis yang pesat menjadikan Batavia sebagai kota yang sangat plural, meskipun dalam kerangka segregatif.
Komposisi etnis utama:
- Tionghoa: Aktif dalam perdagangan, kerajinan, dan layanan. Jumlah mereka meningkat pesat, tetapi juga mengalami diskriminasi dan pembantaian besar-besaran tahun 1740.
- Arab: Umumnya berdagang dan tinggal di kampung khusus, seperti Pekojan.
- Melayu dan Pribumi Jawa/Sunda: Menjadi buruh, tukang, pelayan, dan penduduk kampung di pinggiran kota.
- Orang Eropa dan Indo-Eropa: Menempati posisi elite dalam birokrasi, militer, dan perusahaan dagang.
Pluralitas ini menciptakan dinamika sosial yang kompleks: integrasi ekonomi namun terpisah secara hukum dan ruang.
Batavia sebagai Pusat Birokrasi dan Militer
Batavia bukan hanya kota dagang, tetapi juga pusat administrasi dan kekuatan militer kolonial di Asia. Setelah VOC dibubarkan pada 1799, pemerintahan kolonial Hindia Belanda meneruskan fungsi Batavia sebagai pusat kendali kekuasaan.
Fungsi utama Batavia:
- Ibu kota pemerintahan: Tempat kedudukan Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia.
- Markas besar militer: Pengaturan pasukan dan logistik kolonial diatur dari sini.
- Pusat lembaga hukum dan pendidikan tinggi: Didirikan sekolah untuk elite bumiputra dan anak Indo-Eropa, termasuk Rechtshoogeschool dan STOVIA.
- Media dan percetakan: Surat kabar dan terbitan pemerintah dicetak di Batavia, menyebarkan ide dan propaganda kolonial.
Dengan berbagai institusi ini, Batavia menjadi jantung kekuasaan kolonial, bukan hanya secara geografis tetapi juga simbolik dan ideologis.
Batavia adalah kota pertama yang mewujudkan pola kota kolonial modern di Hindia Belanda. Dari perencanaan kanal ala Eropa hingga pemisahan kawasan berdasar ras dan kelas, kota ini menjadi panggung nyata dari proyek kolonialisme Belanda. Namun di balik wujud fisik dan fungsi administratifnya, Batavia juga mencerminkan ketegangan dan perjumpaan antarbudaya, yang kemudian mewarnai dinamika urbanisasi di seluruh Nusantara.
Semarang: Kota Pelabuhan, Perdagangan, dan Militer
Kota Semarang berkembang sebagai salah satu simpul utama jaringan kolonial di Jawa. Letaknya yang strategis di pesisir utara—tepat di tengah-tengah Pulau Jawa—menjadikannya penghubung penting antara pusat-pusat produksi komoditas di pedalaman (seperti Yogyakarta dan Surakarta) dengan pasar dunia. Dibandingkan Batavia yang dibangun sebagai pusat pemerintahan, Semarang lebih menonjol sebagai kota pelabuhan komersial dan logistik militer, dengan pertumbuhan pesat selama abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Posisi Strategis di Pesisir Utara Jawa
Semarang mulai menonjol sejak VOC mendirikan benteng Fort de Vijfhoek pada abad ke-17. Namun, pertumbuhan pesatnya terjadi pada masa kolonial Hindia Belanda, terutama setelah sistem tanam paksa (cultuurstelsel) diberlakukan. Komoditas dari daerah pedalaman Jawa Tengah seperti gula, kopi, dan tembakau dikumpulkan melalui jalur darat menuju Semarang, lalu diekspor ke Eropa dan pasar dunia.
Letaknya yang dekat dengan wilayah kerajaan-kerajaan Jawa (Mataram, kemudian Kasunanan dan Kesultanan) membuat Semarang juga menjadi salah satu titik penjagaan politik kolonial untuk mengawasi kekuatan lokal.
Pelabuhan Ekspor Hasil Bumi Pedalaman
Sebagai pelabuhan ekspor, Semarang memiliki:
- Gudang-gudang besar dan pelabuhan dagang yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan swasta Eropa.
- Jalur perdagangan hasil bumi dari hinterland Jawa seperti tembakau dari Kedu, gula dari Klaten, dan kopi dari Ambarawa.
- Infrastruktur pendukung seperti kereta api dan jalan raya pos yang dibangun untuk mempercepat distribusi.
Perusahaan seperti Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dan perusahaan gula swasta memusatkan kegiatan ekspor mereka di kota ini. Hal ini menjadikan Semarang sebagai jantung aktivitas ekspor-impor Jawa Tengah sekaligus menarik banyak tenaga kerja migran dan pedagang.
Tata Kota dan Segregasi Sosial
Seperti kota kolonial lainnya, Semarang dibangun dengan pola ruang yang memisahkan penduduk berdasarkan ras dan status sosial:
- Kota Lama (Oudstad): Kawasan awal kota kolonial yang didominasi oleh gedung-gedung Belanda, kantor dagang, gereja, dan pelabuhan. Di sinilah pusat aktivitas VOC dan kemudian perusahaan dagang Eropa.
- Kawasan Pecinan: Terletak tidak jauh dari Kota Lama, dihuni oleh komunitas Tionghoa yang aktif dalam perdagangan, namun juga hidup dalam pembatasan hukum dan ruang.
- Kampung Pribumi: Terletak di pinggiran, kawasan ini tumbuh tak teratur, kurang fasilitas, dan menjadi tempat tinggal buruh, pedagang kecil, dan tukang.
Pada awal abad ke-20, muncul pemekaran ke arah selatan, membentuk kawasan elite baru (Nieuwstad) dengan pemukiman gaya Eropa, rumah sakit, sekolah, dan taman. Wilayah ini menjadi tempat tinggal pejabat kolonial dan warga Eropa.
Urbanisasi dan Kawasan Industri Awal
Dengan berkembangnya perkebunan dan industri pengolahan gula, Semarang menjadi kota industri awal. Beberapa hal yang mendorong urbanisasi pesat antara lain:
- Pembangunan jalur kereta api pertama di Hindia Belanda (1867), yang menghubungkan Semarang dengan Tanggung dan kemudian Yogyakarta–Solo.
- Pertumbuhan pabrik pengolahan gula dan gudang ekspor, yang menyerap banyak tenaga kerja dari desa-desa sekitar.
- Peningkatan populasi dari kalangan Tionghoa, Arab, dan pribumi yang bekerja di sektor perdagangan, logistik, dan jasa.
- Munculnya kawasan buruh dan kampung urban, dengan kepadatan tinggi namun minim fasilitas.
Urbanisasi ini menciptakan kontras sosial yang mencolok antara elite kolonial dan massa pekerja kota.
Peran Garnisun Militer dan Kantor Dagang
Sebagai kota dagang penting, Semarang juga memiliki fungsi militer strategis:
- Garnisun militer Belanda ditempatkan untuk mengamankan jalur ekspor dan mengantisipasi pemberontakan dari kerajaan-kerajaan Jawa.
- Keberadaan markas polisi kolonial (veldpolitie) dan pangkalan artileri menunjukkan bahwa kota ini tidak hanya didesain untuk perdagangan, tetapi juga untuk mempertahankan kekuasaan.
- Kantor dagang Belanda dan Londo-Tionghoa berperan besar dalam mengontrol aliran komoditas dan perbankan.
Selain itu, Semarang menjadi basis penting bagi penyebaran pengaruh kolonial ke daerah-daerah pedalaman seperti Magelang, Salatiga, dan Ambarawa melalui jalur logistik dan administratif.
Semarang mencerminkan transformasi dari pelabuhan kecil menjadi kota pelabuhan industri dan dagang modern, yang didorong oleh logika kapitalisme kolonial. Struktur kotanya merepresentasikan pemisahan rasial dan sosial khas kolonialisme, sementara peran pelabuhan, kereta api, dan militer menjadikannya simpul ekonomi-politik di Jawa Tengah. Urbanisasi pesat menciptakan dinamika multietnis dan konflik sosial, sekaligus membuka jalan bagi munculnya kesadaran kota sebagai ruang modernisasi dan perlawanan.
Surabaya: Kota Industri dan Gerbang Timur Jawa
Surabaya menempati posisi strategis sebagai kota pelabuhan terbesar di Jawa Timur sekaligus pusat industri kolonial yang berkembang pesat sejak akhir abad ke-19. Bila Batavia menampilkan wajah birokrasi kolonial dan Semarang berkembang sebagai kota ekspor hasil bumi pedalaman, maka Surabaya mencerminkan wajah Hindia Belanda sebagai koloni industri dan logistik modern, terutama dalam mendukung ekspor skala besar, distribusi militer, dan pertumbuhan kelas buruh kota.
Surabaya sebagai Pusat Perdagangan dan Pelayaran Jawa Timur
Sebagai pelabuhan besar yang menghadap langsung ke Laut Jawa dan Selat Madura, Surabaya telah lama menjadi simpul perdagangan penting, bahkan sebelum kedatangan Belanda. Namun, perannya sebagai pusat pelayaran dan perdagangan internasional semakin diperkuat setelah kolonial Belanda memperluas dan memodernisasi pelabuhan Tanjung Perak.
Surabaya menjadi:
- Pelabuhan ekspor utama bagi hasil perkebunan dan pertanian dari wilayah Jawa Timur dan sekitarnya.
- Titik transit untuk perdagangan regional, termasuk dengan Kalimantan, Sulawesi, dan kepulauan timur lainnya.
- Pusat perkapalan dan galangan kapal, didukung oleh fasilitas modern seperti dok kapal, gudang ekspor, dan sistem distribusi barang.
Sebagai kota pelabuhan, Surabaya juga menjadi titik awal pergerakan barang dan orang yang sangat padat, menjadikannya salah satu kota tersibuk di Hindia Belanda.
Pertumbuhan Industri Pelabuhan dan Perumahan Kelas Pekerja
Modernisasi pelabuhan membawa pertumbuhan industri skala menengah dan besar, terutama pada sektor:
- Pengolahan hasil bumi: seperti pabrik penggilingan gula, pengemasan kopi, dan gudang tembakau.
- Transportasi dan logistik: perkeretaapian, dermaga kargo, serta perkantoran perdagangan.
- Galangan kapal dan bengkel teknik: mendukung aktivitas maritim dan militer kolonial.
Pertumbuhan ini disertai dengan kebutuhan tenaga kerja yang sangat besar, yang mendorong munculnya:
- Kawasan permukiman buruh: padat, tidak tertata, minim sanitasi, namun penuh kehidupan urban.
- Kampung-kampung kota seperti Tambaksari, Kapasari, Wonokromo, yang menjadi kantong urbanisasi dari berbagai etnis dan daerah.
Berbeda dari kota kolonial yang sangat tersegregasi, Surabaya lebih mencerminkan kota multietnis industrial, meskipun ketimpangan layanan tetap ada.
Kedatangan Migran dari Madura, Pesisir Utara, dan Pedalaman
Surabaya menjadi tujuan migrasi dari berbagai wilayah:
- Madura: warganya datang sebagai kuli pelabuhan, buruh kasar, atau pedagang kecil.
- Pesisir utara Jawa dan daerah Mataraman: menyuplai tenaga kerja terampil dan pedagang.
- Tionghoa dan Arab: aktif di sektor perdagangan dan jasa, serta membentuk komunitas kultural sendiri.
Arus migrasi ini menjadikan Surabaya sebagai kota dengan keragaman sosial tinggi, dan menjadi tempat bertemunya gaya hidup kota modern, praktik religius tradisional, dan semangat perlawanan sosial.
Urbanisasi Buruh, Pasar, dan Kampung Kota
Pertumbuhan ekonomi pelabuhan dan industri menyebabkan ledakan urbanisasi yang menghasilkan:
- Pertumbuhan pasar-pasar kota seperti Pasar Turi dan Pasar Pabean, yang menjadi simpul ekonomi rakyat.
- Kampung urban yang tumbuh cepat dan padat, kadang berdampingan langsung dengan kawasan elite Eropa.
- Permukiman semi-permanen dan rumah sewa buruh dengan kondisi lingkungan yang memprihatinkan.
Urbanisasi di Surabaya bersifat organik, dipicu oleh peluang kerja dan jaringan sosial migran. Kota ini menjadi contoh nyata munculnya kelas buruh urban Hindia Belanda, yang kelak berperan dalam pergerakan sosial dan politik.
Peran dalam Jaringan Kereta Api dan Logistik Kolonial
Surabaya memiliki posisi kunci dalam jaringan kereta api kolonial, yang menghubungkannya dengan:
- Mojokerto, Jombang, Kediri (penghasil gula dan tembakau),
- Malang dan Blitar (hasil hortikultura dan kopi),
- Banyuwangi dan Probolinggo (pelabuhan kecil dan hasil hutan).
Perusahaan kereta api seperti Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) menggunakan Surabaya sebagai terminal akhir dan pusat logistik. Ini menjadikan kota ini bukan hanya pusat distribusi barang, tetapi juga pengendali ekonomi regional Jawa Timur.
Surabaya berkembang sebagai kota industri dan pelabuhan terbesar di luar Batavia, mencerminkan wajah Hindia Belanda sebagai koloni modern dengan fondasi buruh, logistik, dan perdagangan. Kota ini menjadi tempat pertemuan berbagai kelompok etnis, pertumbuhan kelas pekerja, dan dinamika sosial perkotaan yang kompleks. Di balik geliat industrinya, Surabaya juga menyimpan bibit perlawanan sosial, solidaritas buruh, dan awal kesadaran urban akan ketidakadilan kolonial—menjadikannya kota penting dalam sejarah sosial-politik Indonesia modern.
Makassar: Simpul Kolonial di Kawasan Timur
Makassar menempati posisi penting sebagai gerbang utama kawasan timur Nusantara. Sebelum menjadi kota kolonial, Makassar telah lama dikenal sebagai pusat kerajaan maritim Gowa-Tallo—salah satu kekuatan regional besar di abad ke-16 dan 17 yang memainkan peran penting dalam perdagangan internasional. Namun setelah kekalahan Gowa dalam Perjanjian Bungaya (1667), kota ini mengalami transformasi besar, dari pelabuhan kerajaan menjadi kota kolonial Belanda yang menjadi simpul perdagangan rempah dan strategi kontrol terhadap wilayah-wilayah timur Indonesia.
Dari Pusat Kerajaan Gowa-Tallo ke Pelabuhan Kolonial
Makassar sebelum kolonial merupakan kota pelabuhan kosmopolitan, terbuka terhadap pedagang dari Arab, India, Tionghoa, Melayu, bahkan Portugis dan Inggris. Kerajaan Gowa-Tallo membangun kekuatannya di atas fondasi perdagangan internasional dan keberagaman etnis.
Namun setelah VOC berhasil mematahkan kekuasaan Gowa (dengan bantuan Arung Palakka dari Bone), kekuasaan lokal direduksi dan kota dijadikan pusat administratif VOC di kawasan timur. Sejak itu, Makassar mengalami urbanisasi dengan corak kolonial yang kuat.
Fort Rotterdam dan Struktur Kota Kolonial
Simbol utama kolonialisasi Makassar adalah Fort Rotterdam, dibangun di atas reruntuhan benteng kerajaan Gowa. Benteng ini menjadi pusat kekuasaan militer dan administratif VOC di Sulawesi Selatan.
Struktur kota Makassar kolonial kemudian berkembang dengan karakteristik berikut:
- Fort Rotterdam sebagai pusat kendali, dikelilingi kantor dagang, gudang, dan pemukiman Eropa.
- Kawasan pemukiman pribumi dan pasar tumbuh di luar zona benteng, dengan pertumbuhan yang kurang teratur.
- Kehadiran komunitas Tionghoa dan Arab sebagai pendukung perdagangan dan ekonomi lokal.
- Pembangunan pelabuhan dan gudang rempah yang mendukung ekspor cengkeh dan pala dari Maluku serta hasil bumi dari Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Jalur Niaga Rempah dan Peran Strategis Makassar
Makassar menjadi simpul penting dalam jalur niaga rempah-rempah karena letaknya yang strategis:
- Menghubungkan Maluku (sumber rempah), Sulawesi (hasil hutan dan laut), dan Nusa Tenggara.
- Menjadi tempat transit bagi pengumpulan dan pengiriman komoditas ekspor ke Batavia dan kemudian ke Eropa.
- Basis distribusi barang-barang manufaktur kolonial ke wilayah timur (Senjata, kain, logam, dll).
Peran ini menjadikan Makassar sebagai kota pelabuhan utama di luar Jawa, setara dengan Surabaya dan Semarang dalam skala regional.
Urbanisasi dan Pergeseran Demografi
Seiring berkembangnya fungsi kota, Makassar mengalami proses urbanisasi yang khas:
- Migrasi besar-besaran dari daerah-daerah sekitar: Bugis dari Bone, Makassarese dari pedalaman, serta pendatang dari Buton, Mandar, dan Toraja.
- Komunitas Tionghoa tumbuh kuat di sektor perdagangan dan jasa.
- Kehadiran komunitas Arab dan India memperkaya keragaman kultural dan ekonomi.
- Penduduk Eropa dan Indo-Eropa tinggal di kawasan elite dekat benteng dan kantor pemerintahan.
Urbanisasi ini memperlihatkan struktur kota yang majemuk, namun tetap berada dalam kerangka hierarki kolonial.
Peran Misi dan Pendidikan Kristen
Berbeda dengan kota-kota di Jawa, Makassar menjadi basis penting bagi zending Protestan dan misi Katolik, terutama dalam konteks pendidikan dan penyebaran agama di wilayah timur Indonesia.
Beberapa peran utama:
- Sekolah zending dan sekolah rakyat didirikan untuk masyarakat lokal, terutama dari etnis Toraja dan Tana Luwu.
- Rumah sakit misi dan klinik kesehatan menjadi alat pelayanan sekaligus sarana kristenisasi.
- Guru Injil dan tokoh Kristen lokal muncul dari pendidikan zending di Makassar, yang kemudian menyebarkan ajaran ke pedalaman.
- Keberadaan lembaga misi membuat Makassar menjadi pusat intelektual Kristen Protestan di kawasan timur.
Dengan demikian, urbanisasi Makassar tidak hanya terkait logistik kolonial, tetapi juga transformasi sosial melalui pendidikan dan misi agama.
Makassar adalah contoh kota kolonial yang tumbuh dari reruntuhan kekuatan lokal. Ia menjadi sumbu kekuasaan VOC di timur Indonesia, pusat perdagangan rempah, dan ruang multikultural yang dinamis. Urbanisasi di Makassar memadukan kekuatan militer, jaringan niaga, dan pengaruh misi agama yang menjadikannya kota penting dalam konsolidasi kolonialisme Belanda di luar Jawa. Sampai hari ini, jejak sejarah kota ini masih nyata dalam struktur ruang, jaringan pelabuhan, serta keragaman budaya masyarakatnya.
Dampak Sosial Urbanisasi: Segregasi, Mobilitas, dan Konflik
Urbanisasi kolonial di kota-kota Hindia Belanda bukanlah proses yang netral atau sekadar hasil pertumbuhan penduduk. Ia merupakan hasil dari rekayasa sosial dan spasial yang sangat ditentukan oleh logika kekuasaan kolonial. Kota-kota seperti Batavia, Semarang, Surabaya, dan Makassar dibangun dengan landasan segregasi yang tegas, menciptakan ketimpangan struktural yang berdampak hingga masa kini. Di tengah pertumbuhan ekonomi dan populasi, muncul pula dinamika sosial yang kompleks—dari kelas menengah baru hingga ketegangan etnis yang memuncak dalam konflik.
Segregasi Sosial dan Spasial dalam Kota
Salah satu ciri paling kentara dari kota kolonial adalah segregasi ruang dan sosial. Pemerintah kolonial secara sadar memisahkan penduduk berdasarkan ras dan fungsi ekonomi:
- Zona Eropa: pusat administrasi, permukiman elite, dan fasilitas modern (air bersih, listrik, rumah sakit).
- Timur Asing (Tionghoa, Arab, India): dipisahkan di wilayah tertentu (misalnya Pecinan atau Pekojan), diatur ketat melalui hukum dan pajak khusus.
- Pribumi: tinggal di kampung-kampung padat di pinggiran, tanpa perencanaan kota yang baik, sering kekurangan sanitasi dan layanan publik.
Segregasi ini menciptakan hirarki ruang kota: siapa yang tinggal di mana menentukan hak, akses, dan identitas sosial mereka.
Pertumbuhan Kampung Kota dan Pemukiman Buruh
Dengan meningkatnya aktivitas ekonomi, ribuan orang datang ke kota sebagai buruh, pedagang kecil, atau pekerja jasa. Mereka menempati kampung-kampung baru yang tumbuh secara organik:
- Padat, tak tertata, dan sering rawan penyakit.
- Minim fasilitas seperti saluran air, listrik, atau sistem pembuangan.
- Menjadi tempat berakar budaya urban baru—perpaduan antara tradisi lokal dan pengaruh kota.
Kampung kota menjadi ruang penting bagi kaum urban miskin, tetapi sekaligus dilihat oleh pemerintah kolonial sebagai “zona berbahaya” yang perlu diawasi.
Munculnya Kelas Menengah Baru
Di tengah struktur sosial yang tajam, muncul kelas menengah baru di kota:
- Priyayi kota: kaum terdidik pribumi lulusan sekolah kolonial yang bekerja sebagai juru tulis, guru, pegawai residen, atau dokter bumiputra.
- Pedagang Tionghoa dan Arab: mengelola toko, usaha ekspor-impor, dan jasa keuangan, sekaligus memiliki jaringan sosial kuat.
- Buruh terampil dan teknisi: terutama di kota industri seperti Surabaya dan Semarang, dengan keterampilan kerja tinggi dan pengaruh komunitas yang kuat.
Kelas ini menjadi agen mobilitas sosial, tetapi seringkali berada dalam posisi ambivalen—tidak sepenuhnya diterima oleh elite kolonial, tetapi juga terpisah dari massa rakyat kota.
Ketimpangan Akses dan Layanan Publik
Segregasi sosial berdampak pada akses yang sangat tidak merata terhadap fasilitas publik:
- Air bersih dan listrik hanya tersedia di kawasan Eropa dan elite.
- Sekolah dan rumah sakit terbaik dikhususkan bagi warga Eropa atau Indo-Eropa.
- Jalan yang layak, trem, dan transportasi hanya menjangkau kawasan elite, sementara kampung dibiarkan terisolasi.
Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan kualitas hidup antarwilayah kota, yang pada akhirnya menumbuhkan perasaan frustasi sosial dan keresahan.
Konflik Racial dan Sosial
Ketegangan sosial yang terjadi akibat urbanisasi dan ketimpangan ini tidak jarang meledak dalam bentuk kerusuhan etnis dan konflik sosial, dengan salah satu contoh paling brutal adalah:
- Kerusuhan Tionghoa 1740 di Batavia, yang dipicu oleh kebijakan represi terhadap etnis Tionghoa dan disertai pembantaian ribuan orang Tionghoa oleh pasukan Belanda dan sekutu lokal.
Konflik ini menunjukkan bahwa kota kolonial bukan hanya pusat peradaban, tetapi juga ruang represi dan resistensi. Ketegangan antara komunitas yang dimarjinalkan dan otoritas kolonial menciptakan potensi konflik laten yang terus membayang dalam sejarah kota.
Urbanisasi kolonial menghasilkan struktur sosial dan spasial yang sangat hierarkis, menciptakan kota yang terpisah antara penguasa dan yang dikuasai. Segregasi, ketimpangan layanan, serta munculnya kelas sosial baru menciptakan kompleksitas sosial yang khas dalam kota kolonial. Namun, dalam kompleksitas itu pula muncul benih-benih solidaritas, mobilitas, dan bahkan perlawanan yang kelak memainkan peran penting dalam proses dekolonisasi dan pembentukan identitas nasional.
Urbanisasi dan Awal Pergerakan Nasional
Seiring dengan berkembangnya kota-kota kolonial di Hindia Belanda, muncul pula ruang-ruang sosial baru yang tidak hanya memperkuat struktur kekuasaan kolonial, tetapi juga secara tidak langsung menyediakan tempat tumbuhnya kesadaran kolektif dan benih perlawanan nasional. Kota bukan hanya ruang ekonomi dan administrasi, tetapi juga ruang diskusi, pendidikan, dan pertemuan gagasan. Dalam konteks ini, urbanisasi berkontribusi signifikan dalam memfasilitasi munculnya pergerakan nasional awal di awal abad ke-20.
Kota sebagai Ruang Tumbuhnya Kesadaran Kolektif
Berbeda dari desa yang lebih tertutup dan diawasi secara tradisional, kota kolonial menyediakan:
- Akses informasi: melalui surat kabar, buku, dan diskusi publik.
- Kontak antar etnis dan antar kelas sosial: yang mempertemukan kelompok terdidik dari berbagai latar belakang.
- Ruang diskusi dan perkumpulan: seperti warung kopi, gedung pertunjukan, aula sekolah, dan organisasi kebangsaan.
Situasi ini memungkinkan tumbuhnya kesadaran kolektif tentang ketimpangan sosial, kolonialisme, dan identitas kebangsaan yang lintas kelas dan suku.
Peran Pers Kota, Sekolah, dan Organisasi Sosial-Politik
Beberapa elemen kunci dalam kota yang mendorong munculnya pergerakan nasional antara lain:
a) Pers dan Media
- Kota seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya menjadi pusat penerbitan surat kabar berbahasa Melayu dan Belanda.
- Pers seperti Medan Prijaji (Ernest Douwes Dekker), Djawi-Hisworo, Oetoesan Hindia, menjadi alat komunikasi ide-ide kebangsaan.
- Media mendorong kritik terhadap kolonialisme dan memperkenalkan gagasan modern seperti demokrasi, kemajuan, dan kemerdekaan.
b) Sekolah Modern
- Lembaga pendidikan seperti STOVIA, OSVIA, HBS, dan sekolah zending/misi menjadi tempat berkumpulnya pelajar terdidik dari berbagai daerah.
- Sekolah melahirkan generasi priyayi sekolah dan pelajar yang berpikir kritis terhadap realitas kolonial.
- Pergaulan antarpelajar di kota menumbuhkan kesadaran identitas bersama sebagai bumiputra yang tertindas.
c) Organisasi Sosial dan Politik
- Kota menjadi tempat lahir dan berkembangnya organisasi awal seperti:
- Budi Utomo (1908) di Batavia dan Yogyakarta,
- Sarekat Islam (1912) di Surabaya dan Semarang,
- Indische Partij, Taman Siswa, Muhammadiyah, dll.
- Organisasi ini memanfaatkan infrastruktur kota—sekolah, aula, pasar, media—untuk menyebarkan ide nasionalisme.
Munculnya Tokoh Nasionalis dari Kota-Kota Besar
Urbanisasi memungkinkan munculnya tokoh-tokoh penting yang kemudian menjadi pilar pergerakan nasional:
- Soetomo (Surabaya): tokoh Budi Utomo dan pelopor pendidikan kedokteran.
- Tjipto Mangoenkoesoemo (Semarang): tokoh Indische Partij, kritikus kolonial tajam.
- Ki Hajar Dewantara (Batavia): pelopor pendidikan kebangsaan dan pendiri Taman Siswa.
- Haji Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Tan Malaka: semua terlibat dalam dinamika politik urban.
Kota menjadi tempat pembentukan jejaring ideologis dan praktik aktivisme yang tidak mungkin tumbuh dalam ruang desa yang terkendali.
Kota Kolonial sebagai Panggung Awal Nasionalisme
Ironisnya, kota yang dirancang oleh kolonialisme untuk mengontrol, justru menjadi panggung awal emansipasi dan nasionalisme:
- Struktur kota kolonial yang hirarkis memunculkan kesadaran akan ketimpangan sosial.
- Pergaulan antaretnis di ruang urban menumbuhkan solidaritas antar kelompok terjajah.
- Ketidakadilan dalam layanan kota menjadi pengalaman konkret ketertindasan, yang memicu semangat perjuangan.
Kota tidak lagi hanya tempat tinggal, tetapi berubah menjadi arena produksi wacana kebangsaan dan tempat munculnya pemimpin perubahan sosial.
Proses urbanisasi di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Makassar tidak hanya menciptakan kota-kota kolonial dengan fungsi ekonomi dan administratif, tetapi juga membentuk ruang-ruang baru bagi kesadaran nasional. Sekolah, media, organisasi sosial, dan pergaulan kota membuka jalan bagi munculnya tokoh-tokoh pelopor bangsa dan membentuk fondasi awal dari gerakan kebangsaan. Kota kolonial, dengan segala kontradiksinya, menjadi rahim bagi lahirnya Indonesia modern.
Warisan Urbanisasi Kolonial bagi Kota Modern
Kota-kota besar Indonesia hari ini tidak lahir dalam ruang kosong. Struktur dasar tata ruang, sistem pelayanan, bahkan pola ketimpangan yang terlihat di kota-kota seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar merupakan kelanjutan dari warisan tata kelola kolonial yang tidak sepenuhnya dibongkar pasca-kemerdekaan. Dengan demikian, urbanisasi kolonial tidak hanya menjadi bagian dari sejarah masa lalu, tetapi juga peta laten yang masih memengaruhi arah perkembangan kota modern Indonesia.
Sisa Tata Ruang Kolonial dalam Kota Modern
Salah satu warisan paling nyata dari urbanisasi kolonial adalah struktur spasial kota yang hingga kini masih tampak:
- Pusat kota (CBD) umumnya merupakan bekas wilayah administratif kolonial (contoh: Kota Tua di Jakarta, Oudstad di Semarang).
- Pelabuhan dan stasiun tetap menjadi titik utama distribusi logistik kota (Tanjung Perak, Tanjung Priok, Pelabuhan Makassar).
- Kawasan elite yang dulu diperuntukkan bagi Eropa kini menjadi wilayah mahal dan strategis (Menteng di Jakarta, Darmo di Surabaya, atau Sudirman di Makassar).
- Jalur trem dan kereta kolonial menjadi dasar banyak koridor transportasi perkotaan modern.
Warisan tata ruang ini memperlihatkan bagaimana kota modern masih dibangun di atas fondasi kolonial, meskipun dalam wujud yang telah mengalami modifikasi.
Ketimpangan Ruang Kota sebagai Warisan Kolonial
Model kota kolonial dibangun di atas prinsip segregasi dan eksklusi. Warisan ini masih terasa dalam bentuk:
- Kampung-kampung padat yang berada di sela-sela kawasan elite, masih terisolasi dari layanan publik modern.
- Ketimpangan akses infrastruktur seperti air bersih, pendidikan, dan transportasi antara pusat kota dan pinggiran.
- Pemukiman informal dan kawasan marjinal yang berkembang di bekas zona abu-abu atau wilayah belakang industri kolonial.
Hingga hari ini, kota-kota besar Indonesia mengalami fragmentasi sosial dan spasial yang meniru struktur kolonial lama: kota untuk segelintir elite di tengah, dan pinggiran untuk kaum miskin dan pekerja informal.
Revitalisasi atau Gentrifikasi?
Banyak kota di Indonesia saat ini melakukan program revitalisasi kawasan kota lama, seperti:
- Kota Tua Jakarta,
- Kota Lama Semarang,
- Fort Rotterdam Makassar.
Namun, revitalisasi sering berujung pada gentrifikasi, yaitu:
- Penggusuran warga asli yang tinggal di kawasan lama,
- Perubahan fungsi sosial dari pemukiman menjadi wisata atau komersial,
- Naiknya harga tanah dan hilangnya ruang hidup komunitas urban lama.
Tantangannya adalah: bagaimana melestarikan nilai sejarah tanpa menghapus akar sosial komunitas yang hidup di dalamnya?
Ketegangan antara Warisan, Modernisasi, dan Kebutuhan Sosial
Kota modern Indonesia menghadapi dilema besar:
- Melestarikan warisan sejarah kolonial, karena memiliki nilai arsitektural dan simbol identitas kota,
- Mendorong modernisasi perkotaan dengan tuntutan efisiensi, pertumbuhan ekonomi, dan teknologi,
- Memenuhi kebutuhan dasar masyarakat urban: perumahan layak, ruang terbuka hijau, transportasi massal.
Tanpa perencanaan yang sensitif, kota bisa terjebak pada “museumisasi tanpa kehidupan”—menghargai bentuk tapi melupakan fungsi sosial. Atau sebaliknya, terjebak dalam pembangunan yang menghapus jejak sejarah dan mencabut komunitas dari ruang hidupnya.
Warisan urbanisasi kolonial adalah realitas struktural dan simbolik yang masih membentuk kota-kota Indonesia saat ini. Ia terlihat dalam fisik kota, dalam ketimpangan sosial, dan dalam konflik kepentingan antara pelestarian dan pembangunan. Oleh karena itu, pemahaman sejarah urbanisasi kolonial bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga sebagai fondasi kritis untuk merancang kota yang lebih adil, inklusif, dan berakar pada memori kolektif warganya.
Kota, Sejarah, dan Masa Depan Perkotaan Indonesia
Urbanisasi bukanlah sekadar proses pemekaran kota atau pertumbuhan penduduk. Dalam konteks Hindia Belanda, urbanisasi adalah proyek kolonial yang membentuk tata ruang, struktur sosial, dan relasi kuasa secara sistematis. Kota-kota seperti Batavia, Semarang, Surabaya, dan Makassar tumbuh dalam kerangka kepentingan imperial—memisahkan, mengontrol, dan mengekstraksi. Namun justru dalam ruang-ruang ini pula, benih-benih kesadaran nasional, kelas menengah terdidik, dan perlawanan sosial mulai tumbuh.
Warisan Kolonial dalam Struktur Kota Indonesia Hari Ini
Kota modern Indonesia masih mewarisi banyak aspek dari masa kolonial:
- Tata ruang pusat-perifer, yang menunjukkan bekas zona elite dan pinggiran kampung buruh.
- Infrastruktur utama seperti pelabuhan, stasiun, jalan utama—banyak yang mengikuti pola abad ke-19.
- Ketimpangan spasial dan sosial, yang berakar dari segregasi kolonial dan belum sepenuhnya direformasi.
Pemahaman tentang akar kolonial dari persoalan kota kontemporer menjadi penting agar kebijakan kota tidak sekadar tambal sulam, tetapi menyentuh fondasi ketimpangan strukturalnya.
Menggali Sejarah Kota untuk Menata Ulang Masa Depan
Kajian sejarah kota bukanlah upaya romantisasi masa lalu, melainkan:
- Alat untuk memahami akar dari masalah hari ini: kemacetan, kemiskinan urban, ketimpangan layanan publik.
- Sumber inspirasi untuk merancang kota yang lebih inklusif dan manusiawi.
- Bahan refleksi agar kita tidak mengulangi logika eksklusi dan segregasi dalam rupa yang baru.
Kota yang adil harus dibangun dari kesadaran akan siapa yang dulu tersingkir, siapa yang dulu mengatur, dan bagaimana warisan itu masih hidup diam-diam dalam dinding kota modern.
Implikasi Kontemporer: Inklusi, Rekonsiliasi, dan Perubahan
Masa depan kota Indonesia harus mengedepankan:
- Inklusi sosial: menjadikan semua warga—tak peduli kelas, etnis, atau sejarahnya—sebagai bagian dari perencanaan kota.
- Pengelolaan kota berbasis keadilan spasial: layanan dasar dan ruang hidup tidak boleh hanya tersedia di zona-zona elite.
- Rekonsiliasi dengan warisan kolonial: bukan dengan menghapusnya, tetapi mengkritisi dan menafsir ulang secara adil.
Kota bukan sekadar tempat hidup, tetapi ruang naratif, tempat sejarah masa lalu dan harapan masa depan bersilangan. Menata kota berarti menata ingatan, identitas, dan hubungan antarmanusia.
Melalui studi atas urbanisasi kolonial, kita belajar bahwa kota bukan hanya dibangun oleh batu bata dan jalan raya, tetapi oleh relasi kuasa, kelas, dan sejarah. Untuk menciptakan kota Indonesia yang inklusif, adil, dan berkelanjutan, kita harus mengakui dan mengolah warisan itu secara sadar. Karena hanya dengan memahami masa lalu, kita dapat mengarahkan masa depan kota ke arah yang lebih manusiawi.