Tanah Sebagai Sumber Kuasa dan Eksploitasi
Di Nusantara, tanah bukan sekadar ruang fisik, tetapi fondasi keberlangsungan hidup, identitas sosial, dan hubungan spiritual masyarakat. Dalam masyarakat agraris-tradisional, tanah memiliki makna komunal, sakral, dan sosial yang melekat dalam adat, relasi kekeluargaan, dan sistem kepemilikan kolektif. Ia tidak diperdagangkan secara bebas, melainkan diwariskan, dijaga, dan digunakan bersama sebagai sumber pangan, tempat tinggal, dan penopang kehidupan komunitas.
1. Makna Tanah dalam Sistem Sosial Tradisional Nusantara
- Tanah sebagai warisan leluhur (tanah pusaka), dijaga oleh keluarga besar atau marga secara turun-temurun.
- Tidak ada konsep hak milik individual yang absolut seperti dalam sistem Barat; hak atas tanah lebih dilihat sebagai hak guna berdasarkan kesetiaan dan kontribusi pada komunitas.
- Dalam banyak kerajaan, raja dianggap sebagai pemegang mandat ilahi atas bumi, tetapi hanya sebagai penjaga dan pelindung, bukan pemilik absolut.
- Hubungan manusia dengan tanah bersifat simbiotik dan kosmologis: merusak tanah berarti merusak tatanan alam dan sosial.
2. Perubahan Radikal di Bawah Kolonialisme
Kedatangan kolonialisme mengubah segalanya. Belanda memperkenalkan konsep kepemilikan tanah modern, berbasis hukum Eropa yang menempatkan tanah sebagai objek ekonomi dan hukum privat.
- Tanah adat diubah statusnya menjadi tanah negara kolonial, yang kemudian dapat disewa, dijual, atau diserahkan kepada pihak ketiga.
- Hukum agraria kolonial memaksakan pencatatan, sertifikasi, dan kategori tanah yang asing bagi masyarakat lokal.
- Tanah bukan lagi tempat hidup dan komunitas, melainkan alat produksi dan akumulasi modal untuk kepentingan kolonial.
3. Kontrol atas Tanah sebagai Dasar Dominasi Kolonial
- Siapa yang menguasai tanah, menguasai tenaga rakyat dan hasil bumi.
- Tanah dijadikan basis dari sistem tanam paksa, pajak tanah, dan kerja rodi—semua bentuk eksploitasi yang menjerat rakyat kecil.
- Tanpa tanah, rakyat kehilangan kedaulatan pangan, kemerdekaan ekonomi, dan kemampuan menolak kekuasaan asing.
- Karena itulah, penguasaan atas tanah menjadi fondasi dominasi kolonial, dan penindasan agraria menjadi strategi utama untuk menundukkan Nusantara.
Sistem ini menunjukkan bahwa kolonialisme tidak hanya merebut wilayah, tetapi mengubah struktur kepemilikan tanah secara sistemik dan mendalam, menciptakan ketimpangan struktural yang masih terasa hingga kini. Tanah, dalam konteks kolonialisme, bukan hanya sumber daya alam, tetapi sumber dominasi politik dan ketundukan sosial.
Sistem Kepemilikan Tanah Pra-Kolonial vs Kolonial
Transisi dari sistem kepemilikan tanah pra-kolonial ke sistem kolonial menandai pergeseran mendalam dalam struktur sosial dan ekonomi Nusantara. Apa yang sebelumnya berbasis pada kebersamaan, hak guna, dan relasi adat, diubah menjadi sistem legal formal yang mengutamakan kontrol, pendapatan fiskal, dan eksploitasi ekonomi.
1. Kepemilikan Komunal dan Adat
- Dalam sistem pra-kolonial, tanah tidak dimiliki secara pribadi dalam pengertian mutlak, melainkan merupakan bagian dari hak komunal komunitas atau kelompok kekerabatan (marga, suku, desa).
- Rakyat memiliki hak untuk membuka, mengolah, dan memanfaatkan tanah selama tidak mengganggu hak orang lain atau melanggar adat.
- Sistem ini memberikan fleksibilitas sosial, menjaga kesinambungan pangan, dan tidak mengenakan pajak tetap, kecuali bentuk upeti simbolik kepada raja atau kepala adat.
- Raja atau bangsawan tidak bertindak sebagai pemilik tanah, melainkan sebagai penjaga tatanan dan pelindung harmoni agraria.
2. Konversi Tanah Adat Menjadi Tanah Negara Kolonial
- Setelah kedatangan VOC dan kemudian pemerintah kolonial Belanda, terjadi nasionalisasi tanah adat secara sepihak.
- Melalui sistem hukum kolonial, tanah yang tidak memiliki sertifikat formal (menurut hukum Belanda) dianggap tanah tak bertuan (domeinverklaring) dan secara otomatis menjadi milik negara kolonial.
- Akibatnya, masyarakat adat kehilangan legitimasi atas tanah yang sudah mereka kelola selama berabad-abad.
- Tanah kemudian disewakan kepada rakyat sendiri, atau dialihkan kepada perusahaan-perusahaan kolonial dan kongsi dagang asing.
3. Peran Elite Lokal dalam Transisi Kepemilikan
- Belanda tidak bisa menguasai tanah sendirian, maka mereka mengangkat elite lokal (bupati, patih, kepala suku) sebagai “pemilik sah” atau pengelola formal.
- Para elite ini diberi kekuasaan administratif untuk memungut pajak tanah, mengatur penggunaan lahan, dan memberikan izin tanam—dengan imbalan sebagian hasil atau kekuasaan politik.
- Dalam praktiknya, mereka menjadi “tuan tanah baru” yang loyal kepada sistem kolonial, bukan kepada komunitasnya sendiri.
Transformasi ini tidak hanya mengubah struktur hukum dan ekonomi agraria, tetapi juga meruntuhkan struktur sosial yang selama ini menjaga keseimbangan komunitas lokal. Rakyat kehilangan otonomi atas tanahnya, dan tanah kehilangan nilai sosialnya, berubah menjadi komoditas politik dan ekonomi yang bisa diperdagangkan atau dirampas.
Tanam Paksa dan Landrente sebagai Alat Kontrol Agraria
Salah satu aspek paling brutal dari penindasan agraria kolonial adalah bagaimana sistem pajak dan tanam paksa dikonstruksi untuk mengubah tanah menjadi sumber pendapatan dan kendali politik bagi penjajah. Dua kebijakan utama—Landrente (sewa tanah) dan Cultuurstelsel (tanam paksa)—adalah pilar utama dalam sistem ini.
1. Landrente (Pajak Tanah) Sejak Era Raffles
- Diperkenalkan oleh Thomas Stamford Raffles saat menjadi Letnan Gubernur Inggris di Jawa (1811–1816).
- Seluruh tanah dinyatakan milik negara (domeinstaat) dan disewakan kembali kepada petani melalui pembayaran pajak tetap.
- Petani tidak lagi memiliki hak atas tanah secara sosial atau adat; mereka menjadi penyewa lahan di atas tanah leluhur mereka sendiri.
- Sistem ini memaksa petani untuk menghasilkan surplus uang tunai, yang sering kali tidak sebanding dengan hasil panen atau kemampuan produksi mereka.
- Landrente menjadi cara mengubah masyarakat agraris menjadi penyumbang fiskal langsung bagi pemerintahan kolonial.
2. Tanam Paksa (Cultuurstelsel) sebagai Sistem Ekstraksi Hasil Bumi
- Diterapkan secara sistemik sejak 1830 oleh Johannes van den Bosch sebagai solusi atas krisis fiskal Belanda pasca-Perang Napoleon.
- Petani dipaksa menanam tanaman komoditas ekspor seperti kopi, tebu, nila (indigo), teh, dan kayu manis, menggantikan tanaman pangan lokal.
- Rakyat harus menyerahkan 1/5 bagian tanah pertanian dan waktu kerjanya untuk tanam paksa, bahkan sering kali lebih.
- Komoditas hasil tanam paksa diambil oleh pemerintah kolonial dan dijual di pasar dunia dengan keuntungan besar, sementara rakyat hanya menerima sedikit atau bahkan tidak sama sekali.
- Sistem ini menjadikan tanah dan tenaga rakyat sebagai mesin uang bagi Belanda, tanpa memperhatikan kesejahteraan lokal.
3. Penyitaan Tanah dan Pembatasan Komoditas Non-Kolonial
- Rakyat dilarang menanam atau memperdagangkan tanaman yang tidak dikehendaki kolonial.
- Komoditas-komoditas seperti beras, umbi-umbian, dan sayuran—yang menopang konsumsi rakyat—sering ditinggalkan atau digantikan dengan tanaman ekspor.
- Lahan pangan menjadi menyempit, menciptakan krisis pangan dan kelaparan di beberapa wilayah, seperti di Cirebon, Priangan, dan Pasuruan.
- Dalam kasus pembangkangan, tanah dapat disita secara sepihak atas dasar pelanggaran kewajiban tanam paksa atau pajak.
Dengan kata lain, Landrente dan Tanam Paksa bukan hanya kebijakan pertanian, melainkan alat kontrol struktural terhadap rakyat. Tanah dijadikan instrumen ekonomi untuk memperkaya Belanda, dan rakyat dijadikan tenaga kerja gratis yang diperah hingga titik krisis. Sistem ini membuktikan bahwa penguasaan atas tanah identik dengan penguasaan atas hidup dan mati rakyat.
Perampasan Tanah dan Konversi Fungsi Lahan
Setelah sistem pajak dan tanam paksa menundukkan basis produksi rakyat, tahap berikutnya dalam penindasan agraria kolonial adalah perampasan tanah secara fisik dan konversi fungsi lahan demi kepentingan ekonomi kolonial dan kapital asing. Tanah rakyat tidak hanya dikuasai, tetapi juga diubah fungsinya untuk mendukung produksi ekspor dan infrastruktur kolonial, dengan mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat lokal.
1. Pencaplokan Tanah untuk Perkebunan dan Kebun Raya Kolonial
- Di wilayah-wilayah strategis seperti Sumatra Timur (Deli), Priangan, dan Jawa Tengah, tanah adat atau tanah desa dicaplok oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan:
- Perkebunan tembakau, kopi, karet, dan tebu.
- Kebun raya dan taman eksperimen kolonial, seperti Kebun Raya Bogor (didirikan 1817), yang menjadi pusat botani dan uji coba tanaman komoditas.
- Pengambilalihan sering kali dilakukan tanpa persetujuan rakyat atau melalui tekanan pada elite lokal, yang kemudian bertindak sebagai perantara legal formal.
- Konsekuensi langsung: rakyat diusir, tidak memiliki lahan penghidupan, dan terpaksa menjadi buruh kontrak di tanah yang sebelumnya mereka miliki.
2. Pembangunan Infrastruktur di Atas Tanah Rakyat
- Pemerintah kolonial mengklaim hak atas tanah manapun untuk kepentingan umum kolonial, seperti:
- Jalur kereta api (contoh: Batavia–Bandung–Surabaya).
- Pembangunan pelabuhan besar (Tanjung Priok, Semarang, Surabaya).
- Pendirian benteng, gudang logistik, dan fasilitas administrasi kolonial.
- Dalam banyak kasus, rakyat tidak diberi kompensasi atas tanah yang diambil, atau diberi pengganti yang tidak setara.
- Pembangunan ini bukan untuk rakyat, melainkan untuk memperlancar arus komoditas ekspor dan mobilitas tentara kolonial.
3. Privatisasi Lahan oleh Perusahaan Asing dan Kongsi Dagang
- Tanah yang sudah dicaplok kemudian disewakan atau dijual kepada perusahaan asing, terutama perusahaan perkebunan Belanda, Inggris, dan Cina kongsi (kongsi dagang swasta).
- Mereka menjadi tuan tanah baru yang memiliki wewenang penuh atas pengolahan lahan dan tenaga kerja.
- Muncullah sistem kontrak buruh dan penanaman besar-besaran di luar kendali negara, seperti:
- Deli Maatschappij (tembakau di Sumatra Timur).
- NHM – Nederlandsche Handel-Maatschappij.
- Rakyat menjadi tenaga kerja murah dan objek eksploitasi, bahkan di tanah kelahirannya sendiri.
Perampasan tanah dan konversi fungsi lahan ini memperjelas bahwa kolonialisme bukan hanya dominasi politik, melainkan juga rekayasa ruang dan penghapusan hak hidup masyarakat agraris. Lahan—yang seharusnya menopang keberlanjutan komunitas lokal—diubah menjadi alat akumulasi modal dan simbol kekuasaan imperial.
Dampak Sosial Ekonomi Penindasan Agraria
Penindasan agraria oleh kolonialisme Belanda tidak hanya mengubah sistem pertanahan dan produksi, tetapi juga meninggalkan dampak sosial dan ekonomi yang menghancurkan struktur masyarakat pedesaan Nusantara. Akses rakyat terhadap tanah—sebagai alat produksi dan sumber kehidupan—direduksi, dihilangkan, atau dikendalikan sepenuhnya oleh negara kolonial dan kapital asing. Hasilnya adalah krisis berlapis: kehilangan tanah, kehilangan pangan, dan munculnya perlawanan agraris.
1. Petani Tanpa Lahan dan Munculnya Buruh Tani
- Ribuan keluarga petani dipaksa meninggalkan status pemilik-pengolah tanah dan menjadi buruh tanpa tanah (landless peasants).
- Muncul kelas sosial baru: buruh tani upahan yang hidup dari kerja kontrak harian, musiman, atau sistem ijon, tanpa jaminan hidup.
- Ketimpangan semakin mencolok antara pengusaha perkebunan, elite lokal, dan petani miskin.
- Mobilitas sosial tertutup: petani tidak bisa lagi mewariskan tanah atau menjamin masa depan anak-anak mereka sebagai pemilik lahan.
2. Krisis Pangan dan Kemiskinan Struktural
- Konversi besar-besaran lahan pangan ke lahan ekspor menyebabkan penurunan produksi beras, umbi-umbian, dan sumber protein lokal.
- Daerah-daerah seperti Cirebon, Priangan, hingga Minahasa mengalami kelaparan dan gizi buruk, terutama selama puncak tanam paksa (1830–1870).
- Rakyat hanya menerima sedikit dari hasil panen ekspor, sementara keuntungan dibawa ke Belanda atau perusahaan kongsi.
- Kemiskinan menjadi bukan akibat kemalasan atau kegagalan individu, melainkan karena struktur agraria yang timpang dan represif.
3. Konflik Agraria dan Resistensi Lokal
- Ketimpangan agraria memicu gelombang perlawanan rakyat di berbagai daerah, baik dalam bentuk:
- Perlawanan terbuka seperti Perang Diponegoro (1825–1830) yang berpangkal pada konflik tanah dan tekanan pajak.
- Pemberontakan petani di Priangan, Pasuruan, dan Banten akibat penindasan tanam paksa dan penyitaan tanah.
- Gerakan religius-sosial seperti Saminisme di Jawa Tengah yang menolak membayar pajak dan bekerja untuk kolonial.
- Perlawanan agraria membuktikan bahwa tanah bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga identitas, martabat, dan hak untuk hidup merdeka.
Dampak dari penindasan agraria ini tidak berhenti pada masa kolonial, melainkan membentuk fondasi ketimpangan struktural agraria modern. Petani masih berjuang untuk akses lahan, dan konflik agraria masih terus terjadi di era pascakemerdekaan, dari kasus tanah adat, konflik dengan perusahaan besar, hingga ketidakadilan dalam program reformasi agraria.
Contoh Kasus Penindasan Agraria Kolonial
Untuk memahami dampak konkret dari sistem penindasan agraria kolonial, penting mengamati wilayah-wilayah yang mengalami eksperimen kolonial yang berbeda namun memiliki pola yang serupa: perampasan tanah, kontrol produksi, dan pembentukan struktur sosial yang timpang. Tiga studi kasus berikut menunjukkan variasi model eksploitasi agraria dalam konteks yang berbeda secara geografis dan politik.
1. Priangan: Eksploitasi Kopi dan Sistem Partikulir Tanah
- Di wilayah Priangan (Jawa Barat), VOC sejak awal abad ke-18 sudah memaksakan sistem tanam kopi terhadap rakyat.
- Sistem ini dikenal sebagai Preangerstelsel – petani diwajibkan menanam dan menyerahkan kopi kepada VOC dengan harga rendah dan volume tetap.
- Seiring waktu, tanah-tanah desa juga dijadikan milik partikulir oleh tuan tanah Belanda atau elite lokal yang diberi hak penuh atas petani di wilayahnya.
- Dampak: rakyat Priangan hidup dalam tekanan kerja paksa, pengawasan intensif, dan kemiskinan struktural meski wilayahnya subur dan produktif.
2. Sumatra Timur: Perkebunan Tembakau dan Sistem Kontrak Buruh
- Wilayah Deli dan Langkat di Sumatra Timur menjadi pusat industri tembakau kolonial sejak akhir abad ke-19.
- Tanah-tanah adat dirampas untuk dijadikan perkebunan besar milik perusahaan swasta seperti Deli Maatschappij.
- Rakyat lokal tidak hanya kehilangan tanah, tapi juga tidak diberi akses kerja. Maka diimpor buruh kontrak dari Jawa, Cina, dan India, yang hidup dalam kondisi nyaris seperti perbudakan.
- Dampak: terjadi kerusakan tatanan agraria lokal dan muncul masyarakat kolonial yang sangat hierarkis antara pemodal asing, elite Melayu, dan buruh migran tertindas.
3. Surakarta–Yogyakarta: Dualisme Tanah Kerajaan dan Tanah Negara
- Pasca Perjanjian Giyanti (1755), wilayah Surakarta dan Yogyakarta menjadi daerah istimewa yang tetap memiliki kekuasaan kerajaan, namun berada dalam kendali Belanda.
- Terjadi dualisme status tanah: sebagian dikuasai oleh kerajaan (tanah apanage), sebagian lagi oleh pemerintah kolonial sebagai domein.
- Rakyat sering kali bingung dalam kepemilikan dan kewajiban atas tanah: harus membayar pajak kepada raja sekaligus kepada pemerintah kolonial.
- Dampak: konflik agraria, beban pajak berlapis, dan ketidakjelasan hukum tanah yang bertahan hingga masa kemerdekaan.
Tiga contoh kasus ini mencerminkan pola besar penindasan agraria: penghapusan hak adat, komersialisasi paksa atas tanah, dan penciptaan ketergantungan terhadap sistem kolonial. Wilayah-wilayah yang paling kaya secara agraria justru menjadi pusat kemiskinan dan ketimpangan karena sistem tersebut.
Warisan dan Relevansi Kontemporer
Penindasan agraria pada masa kolonial tidak berhenti sebagai peristiwa sejarah, melainkan mewariskan struktur ketimpangan yang terus berlangsung hingga masa kini. Meskipun Indonesia telah merdeka secara politik, sistem penguasaan dan pemanfaatan tanah masih mencerminkan jejak kolonialisme dalam wujud yang lebih halus namun tetap menindas. Maka, isu agraria bukan hanya soal teknis pertanahan, tetapi menyangkut keadilan sosial, hak hidup, dan kedaulatan rakyat.
1. Konflik Agraria Modern sebagai Lanjutan dari Struktur Kolonial
- Ketimpangan penguasaan tanah masih ekstrem: sebagian besar tanah produktif dikuasai oleh perusahaan besar, perkebunan, dan pengembang.
- Rakyat, terutama petani kecil, masyarakat adat, dan nelayan, masih berjuang untuk mempertahankan tanah mereka dari penggusuran atas nama pembangunan, investasi, atau proyek strategis nasional.
- Konflik agraria sering kali berujung pada kriminalisasi, kekerasan, dan pembungkaman suara petani, menunjukkan bahwa persoalan ini tidak sekadar soal hukum, tetapi soal kuasa.
2. Hukum Agraria Nasional Mewarisi Dualisme Kolonial
- Sistem pertanahan Indonesia masih menyimpan dualitas antara hukum adat (komunal) dan hukum formal (negara modern), seperti pada masa kolonial.
- Banyak masyarakat adat yang tidak diakui haknya secara legal, karena tidak memiliki sertifikat atau dokumen formal.
- Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum, yang kemudian dimanfaatkan oleh korporasi atau negara untuk mengklaim tanah adat sebagai tanah negara atau tanah kosong.
- Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 mencoba menjembatani hal ini, namun pelaksanaannya masih lemah dan sering dikalahkan oleh kepentingan modal.
3. Reforma Agraria sebagai Agenda Pembebasan Struktural
- Reforma agraria bukan sekadar redistribusi tanah, tetapi bagian dari perjuangan untuk mengembalikan kontrol tanah kepada rakyat sebagai subjek, bukan objek pembangunan.
- Ini adalah bentuk keadilan historis, terutama bagi mereka yang telah mengalami perampasan tanah sejak zaman kolonial hingga era modern.
- Program reforma agraria sejati harus melibatkan:
- Pengakuan hak masyarakat adat.
- Redistribusi tanah secara adil dan partisipatif.
- Perlindungan terhadap petani, buruh tani, dan komunitas lokal dari penggusuran.
- Tanpa penyelesaian masalah agraria, pembangunan yang dijanjikan akan terus menyingkirkan mereka yang paling rentan.
Dengan demikian, sistem agraria kolonial tidak hanya merampas tanah, tetapi juga merampas kedaulatan sosial, ekonomi, dan budaya rakyat. Agenda reforma agraria dan pembaruan hukum tanah hari ini harus dipahami sebagai lanjutan dari perjuangan dekolonisasi yang belum selesai.
Agraria sebagai Medan Politik Penjajahan
Sistem agraria kolonial tidak bisa dipandang sebagai sekadar kebijakan teknis pertanahan. Ia adalah jantung dari proyek penjajahan itu sendiri—yang mengakar dalam kontrol atas tanah, tenaga kerja, dan hasil bumi. Melalui kebijakan seperti landrente, tanam paksa, dan privatisasi lahan, kolonialisme berhasil mengubah struktur sosial masyarakat Nusantara dari yang berbasis gotong-royong dan kepemilikan komunal menjadi masyarakat tertunduk dalam relasi eksploitasi.
1. Tanah Dijadikan Objek Eksploitasi, Bukan Ruang Hidup
- Sebelum kolonialisme, tanah adalah ruang hidup yang sakral dan sosial—terikat pada adat, leluhur, dan keseimbangan ekologis.
- Setelah kolonialisme, tanah menjadi komoditas, sumber pajak, dan alat akumulasi modal yang bisa dijualbelikan dan dirampas atas nama hukum kolonial.
- Transformasi ini bukan hanya berdampak ekonomi, tetapi menghancurkan relasi sosial dan ekologi lokal.
2. Sistem Agraria Kolonial Menciptakan Ketimpangan dan Ketergantungan
- Ketimpangan penguasaan tanah masih menjadi akar struktural dari kemiskinan pedesaan di Indonesia hingga hari ini.
- Krisis pangan dan kehancuran ekonomi lokal bukanlah karena ketidakmampuan rakyat, tetapi karena tanah mereka dialihkan untuk kepentingan ekspor dan modal asing.
- Rakyat menjadi tergantung pada sistem yang tidak mereka kendalikan, baik dalam akses tanah, produksi, maupun distribusi hasilnya.
3. Perjuangan Agraria adalah Perjuangan Kedaulatan
- Konflik tanah tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan legal-formal semata, karena ia menyangkut martabat, hak hidup, dan identitas kolektif.
- Perjuangan petani, masyarakat adat, dan komunitas lokal untuk mempertahankan atau merebut kembali tanah adalah bentuk perlawanan terhadap warisan kolonialisme dan kapitalisme global.
- Maka, agraria adalah medan politik utama dalam perjuangan kemerdekaan yang sejati—bukan hanya dari penjajahan asing, tetapi juga dari struktur penindasan yang masih hidup dalam sistem ekonomi dan hukum saat ini.