Stratifikasi sosial kolonial: Eropa – Timur Asing – Pribumi

Masyarakat yang Dipetak-petakkan

Kolonialisme bukan hanya tentang penguasaan atas wilayah dan sumber daya, tetapi juga menyangkut penguasaan atas struktur sosial dan identitas masyarakat. Ketika VOC—dan kemudian pemerintah Hindia Belanda—mengokupasi wilayah Nusantara, mereka tidak membiarkan tatanan sosial asli bertahan. Sebaliknya, mereka merancang ulang masyarakat secara sistematis dalam bentuk hierarki rasial dan administratif yang kaku.

Tatanan sosial kolonial dirancang bukan sekadar mencerminkan perbedaan etnis atau budaya, melainkan sebagai alat kekuasaan: siapa yang boleh memegang otoritas, siapa yang layak mendapat pendidikan, siapa yang memiliki akses atas hukum, dan siapa yang berhak menentukan nasib ekonomi. Semua dipetakan secara vertikal—dan sengaja.


1. Kolonialisme Menata Ulang Struktur Sosial

Sebelum datangnya kolonialisme, masyarakat Nusantara mengenal tatanan sosial berbasis adat, agama, dan status kekuasaan lokal (seperti bangsawan, saudagar, ulama, petani, dll.). Namun penjajahan menggeser pusat legitimasi itu ke dalam sistem rasialis dan administratif: yang paling atas bukan lagi bangsawan atau pemuka agama, tetapi orang Eropa, karena warna kulit dan asal geografisnya.

Dengan struktur ini, Belanda secara efektif mengontrol tidak hanya tanah dan perdagangan, tetapi juga jiwa dan relasi sosial masyarakat lokal. Kasta sosial tidak lagi ditentukan oleh jasa atau kehormatan, tetapi oleh ras, asal etnik, dan kedekatan dengan kekuasaan kolonial.


2. Stratifikasi sebagai Strategi Stabilitas dan Kontrol

Struktur sosial kolonial dirancang dengan satu tujuan utama: memastikan tidak ada kekuatan lokal yang dapat menantang dominasi Belanda. Dengan memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok berbeda secara hukum, pendidikan, dan ekonomi, Belanda:

  • Mencegah terbentuknya solidaritas antar kelompok tertindas
  • Menciptakan ketergantungan vertikal: pribumi tunduk pada Timur Asing, Timur Asing tunduk pada Eropa
  • Mengelola resistensi dari dalam, dengan memanfaatkan konflik horizontal dan birokrasi adat

Ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari arsitektur kolonial yang diterapkan secara konsisten dari Batavia hingga pelosok Indonesia.


3. Tiga Kategori Utama dalam Tatanan Sosial Kolonial

Secara formal, struktur masyarakat Hindia Belanda dibagi ke dalam tiga golongan utama, masing-masing memiliki hak, kewajiban, dan akses yang berbeda:

  • Golongan Eropa
    Termasuk Belanda, Jerman, Portugis-Eropa, serta orang Indo (blasteran) yang diakui secara hukum. Mereka menempati puncak kekuasaan politik, hukum, dan ekonomi.
  • Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen)
    Meliputi orang Tionghoa, Arab, India, dan kelompok non-pribumi Asia lainnya. Mereka diberi status menengah sebagai mitra dagang dan penghubung administrasi, tapi tetap dipisahkan dari Eropa.
  • Golongan Pribumi (Inlanders)
    Penduduk asli Nusantara yang menjadi mayoritas, namun secara hukum, sosial, dan politik berada di posisi terbawah. Mereka dikenai pajak tinggi, kerja paksa, dan hukum yang berbeda (hukum adat atau syariah lokal).

Ketiga kelompok ini tidak hanya hidup terpisah dalam hukum, tapi juga secara spasial dan kultural—dari perumahan, sekolah, tempat ibadah, hingga jalur promosi karier. Inilah yang disebut sebagai segregasi kolonial, yang tidak hanya menindas, tapi juga merusak struktur sosial alami Nusantara.

Stratifikasi sosial kolonial adalah pilar kekuasaan yang tak kalah penting dari kekuatan militer atau monopoli ekonomi. Dengan memetakkan masyarakat ke dalam struktur yang terpisah-pisah dan tidak setara, kolonialisme Belanda menciptakan masyarakat yang terpecah, terkontrol, dan terasing dari potensi perlawanan kolektif. Ini menjadi fondasi sosial yang akan kita bahas lebih rinci dalam bagian berikutnya.


Posisi Tertinggi: Eropa (Belanda dan Barat)

Di puncak piramida sosial kolonial berdiri kelompok Eropa, terutama Belanda, disusul warga Eropa lainnya (Jerman, Prancis, Portugis) dan orang Indo-Eropa (blasteran Eropa–pribumi) yang diakui secara hukum sebagai bagian dari golongan Eropa. Kelompok ini menjadi tulang punggung dan sekaligus penguasa tertinggi dalam struktur kolonial Hindia Belanda, dengan hak-hak istimewa yang secara sistematis memisahkan mereka dari seluruh lapisan masyarakat lainnya.


1. Hak-Hak Istimewa: Pendidikan, Pengadilan, Pajak, dan Tanah

Golongan Eropa memiliki akses eksklusif terhadap institusi-institusi penting, yang secara langsung berdampak pada status dan kesejahteraan:

  • Pendidikan: Sekolah Eropa (ELS, HBS, Gymnasium) hanya terbuka untuk anak-anak Eropa, dengan kurikulum berbasis nilai Barat dan pengantar bahasa Belanda.
  • Pengadilan: Golongan Eropa tunduk pada sistem hukum Burgelijk Recht (Hukum Sipil Belanda), dengan perlindungan hukum lebih kuat dibanding golongan lain.
  • Pajak dan Beban Administratif: Banyak pajak dan kerja paksa hanya dikenakan pada pribumi dan Timur Asing, sementara Eropa bebas dari pungutan semacam itu.
  • Pemilikan Tanah dan Properti: Mereka diperbolehkan memiliki tanah secara formal dan menguasai aset perkebunan, tambang, dan infrastruktur.

Hak-hak ini bukan hanya legal, tetapi juga dijaga secara simbolik dan sosial dalam kehidupan sehari-hari kolonial.


2. Status Hukum Eksklusif dan Pengadilan Sendiri

Golongan Eropa adalah satu-satunya yang berada di bawah yurisdiksi penuh hukum Belanda, dan:

  • Tidak tunduk pada hukum adat maupun syariah.
  • Tidak bisa diadili oleh pengadilan pribumi atau pengadilan Timur Asing.
  • Hanya dapat diproses di Raad van Justitie (Dewan Kehakiman) dan lembaga hukum Eropa lainnya.

Sistem ini menciptakan ketimpangan keadilan—sebuah keistimewaan hukum yang menjadikan orang Eropa kebal dari konsekuensi yang sama yang menimpa pribumi atas pelanggaran yang serupa.


3. Kehidupan Segregatif: Perumahan, Klub Sosial, Akses Administrasi

Kehidupan orang Eropa dijalankan dalam segregasi penuh, menciptakan jarak fisik dan sosial yang nyata:

  • Kawasan Eropa (wijk) dirancang eksklusif, dengan infrastruktur bersih, taman, dan keamanan tersendiri.
  • Klub Sosial dan Asosiasi Khusus, seperti Concordia, hanya untuk warga Eropa—tempat bersosialisasi, berdansa, dan menyusun jaringan kekuasaan.
  • Rumah sakit, toko, hotel, dan transportasi kelas satu juga disediakan hanya bagi golongan ini.
  • Di pemerintahan, akses ke jabatan administratif tinggi (residen, gubernur, kepala distrik) hanya terbuka untuk mereka.

Segregasi ini bertujuan menegaskan superioritas sosial Eropa secara visual dan struktural, menjadikan mereka bukan hanya elit politik, tetapi juga simbol kekuasaan kolonial itu sendiri.


4. Peran Sentral dalam Birokrasi, Ekonomi, dan Politik

Golongan Eropa memegang kendali penuh atas:

  • Birokrasi pemerintahan kolonial, dari pusat (Batavia) hingga daerah.
  • Perusahaan dagang besar dan perkebunan swasta, seperti NHM dan perusahaan perkebunan tembakau/tebu di Deli dan Jawa.
  • Militer dan kepolisian kolonial, termasuk posisi komando tinggi.
  • Kebijakan fiskal dan moneter, serta penetapan tarif dan ekspor.

Dengan demikian, golongan Eropa bukan hanya kelompok kaya dan terdidik, tetapi pemilik seluruh struktur negara kolonial.

Golongan Eropa dalam masyarakat kolonial bukan hanya menikmati hak-hak istimewa, tetapi berperan aktif sebagai perancang, pengelola, dan penjaga sistem penindasan sosial. Melalui pendidikan, hukum, dan kontrol ruang hidup, mereka membangun tembok segregasi yang menjamin dominasi kolonial berjalan mulus dan minim resistensi. Stratifikasi ini menjadi fondasi dari ketimpangan sosial yang akan menjalar ke seluruh bagian masyarakat Nusantara.


Lapisan Tengah: Timur Asing (Cina, Arab, India)

Dalam stratifikasi sosial kolonial Hindia Belanda, terdapat kelompok yang berada di antara Eropa dan pribumi—yakni golongan yang oleh Belanda diklasifikasikan sebagai “Timur Asing” (Vreemde Oosterlingen). Kelompok ini mencakup orang-orang Tionghoa (Cina), Arab (Hadhrami), India (Tamil, Gujarati), serta kelompok Asia non-pribumi lainnya.

Secara formal, golongan ini mendapat status hukum dan sosial lebih tinggi daripada pribumi, tetapi tidak memiliki hak-hak istimewa seperti golongan Eropa. Keberadaan mereka bersifat ambivalen: dibutuhkan oleh pemerintah kolonial untuk menjalankan fungsi ekonomi, namun juga diawasi secara ketat karena potensi politik dan kekuatan ekonomi yang mereka miliki.


1. Status sebagai Perantara Ekonomi Kolonial

Golongan Timur Asing, terutama Cina dan Arab, memainkan peran penting dalam struktur ekonomi kolonial:

  • Sebagai perantara antara penguasa kolonial dan masyarakat pribumi, mereka menjadi pengelola pajak, penyewa tanah, dan pelaksana tanam paksa di beberapa daerah.
  • Banyak dari mereka menjadi pedagang pengumpul, pengelola produksi hasil bumi, pengecer barang-barang Eropa, dan pengatur pasar lokal.
  • Di kota-kota pelabuhan dan administratif seperti Batavia, Semarang, Surabaya, Palembang, mereka menguasai jalur distribusi dan pergudangan.

Karena keahlian dagang, modal, dan jejaring transregional yang mereka miliki, kelompok ini menjadi mitra tak resmi dalam skema eksploitasi kolonial.


2. Posisi Ambigu: Lebih Tinggi dari Pribumi, Tapi Tidak Setara dengan Eropa

Golongan Timur Asing berada dalam zona abu-abu secara hukum dan sosial:

  • Mereka memiliki status hukum sendiri, di luar hukum adat pribumi dan di bawah hukum Eropa.
  • Diberikan perwakilan administratif terbatas, seperti posisi “Kapitein der Chinezen” atau “Kapitein Arab”, yang memiliki kewenangan atas komunitasnya sendiri.
  • Tidak bisa memiliki tanah atas nama sendiri di banyak daerah, kecuali dengan izin khusus.
  • Dilarang masuk sekolah Eropa, tapi boleh mendirikan sekolah sendiri dalam batas pengawasan pemerintah.

Posisi ini membuat mereka rentan terhadap tekanan dari atas (Eropa) dan kecurigaan dari bawah (pribumi). Inilah yang menyebabkan mereka sering dijadikan kambing hitam dalam konflik sosial, seperti dalam kasus-kasus kerusuhan.


3. Fungsi Sebagai Penarik Pajak, Pedagang, dan Pengawas Produksi

Dalam praktiknya, pemerintah kolonial mendelegasikan banyak fungsi kontrol ekonomi kepada Timur Asing, karena:

  • Mereka memiliki jaringan sosial dan ekonomi lokal yang kuat, sehingga mampu mengelola logistik dan pengumpulan hasil bumi dengan efisien.
  • Kelompok Tionghoa khususnya menjadi pemungut pajak, penyewa lahan (landpachter), dan pengepul hasil panen petani.
  • Kelompok Arab sering memegang jaringan perdagangan rempah, kain, dan emas, dan dalam beberapa kasus berperan sebagai pemberi pinjaman.
  • Fungsi-fungsi ini menguntungkan penguasa kolonial karena menekan biaya administrasi dan menghindari konflik langsung dengan rakyat pribumi.

Namun, keberhasilan ekonomi mereka sering menimbulkan kecemburuan sosial dan ketegangan antar kelompok.


4. Diskriminasi Struktural dan Konflik Sosial

Meski memiliki peran vital, golongan Timur Asing tidak luput dari diskriminasi sistemik:

  • Pembatasan tempat tinggal (kampung Cina, kampung Arab), jam malam, dan sensor terhadap kegiatan sosial-budaya.
  • Larangan memiliki senjata, membangun rumah tinggi, atau ikut serta dalam politik lokal.
  • Puncaknya terlihat dalam tragedi seperti Pembantaian Cina 1740 di Batavia, di mana ribuan etnis Tionghoa dibunuh secara sistematis oleh Belanda dan sekutu lokalnya akibat ketegangan ekonomi dan kepanikan politik.

Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa posisi mereka tidak aman, dan sangat bergantung pada politik kolonial.

Golongan Timur Asing adalah lapisan perantara yang diciptakan dan dimanfaatkan oleh kolonialisme untuk menjalankan fungsi ekonomi dan sosial yang krusial, sambil tetap dijaga agar tidak memiliki kekuasaan penuh. Status mereka ambivalen—diberi hak terbatas, tapi juga disubordinasi, yang kemudian menimbulkan ketegangan kronis antara mereka, Belanda, dan pribumi. Inilah warisan rumit dari sistem sosial kolonial yang masih bergaung dalam dinamika etnis dan ekonomi Indonesia modern.


Lapisan Terbawah: Pribumi (Bumiputera)

Di dasar struktur sosial kolonial Hindia Belanda terletak mayoritas penduduk Nusantara yang diklasifikasikan sebagai golongan Pribumi (Inlanders). Meskipun secara demografis mereka mendominasi wilayah, secara sosial, ekonomi, hukum, dan politik mereka menempati posisi paling rendah dalam sistem kolonial. Golongan ini bukan hanya dijauhkan dari kekuasaan, tetapi juga dijadikan sumber tenaga dan objek eksploitasi utama oleh pemerintah kolonial dan mitra-mitra non-pribumi mereka.


1. Posisi Paling Rendah dalam Sistem Sosial Kolonial

Pribumi dijadikan “kelas bawah” secara sistemik dan permanen:

  • Tidak memiliki akses terhadap institusi Eropa (pendidikan, hukum, birokrasi tinggi).
  • Selalu ditempatkan di posisi subordinat: sebagai pelayan, buruh, petani, atau pekerja kasar.
  • Dianggap oleh penguasa kolonial sebagai kelompok yang harus diarahkan, diawasi, dan dibatasi.

Identitas pribumi tidak hanya dimiskinkan secara materi, tetapi juga dinistakan secara kultural dan simbolik, dianggap belum “beradab” menurut standar Barat.


2. Tunduk pada Hukum Adat atau Hukum Islam Terbatas (Hukum Dualistik)

Dalam sistem hukum dualistik kolonial, pribumi tidak tunduk pada hukum sipil Belanda, melainkan:

  • Hukum adat, yang dikodifikasikan oleh Belanda secara sepihak melalui pegawai adat.
  • Hukum Islam, tetapi hanya terbatas pada urusan nikah-warisan, dan tetap diawasi oleh pengadilan kolonial.

Ini menciptakan keterputusan hukum dan keadilan:

  • Pribumi tidak bisa menuntut Eropa secara setara di pengadilan.
  • Hukum adat dijadikan alat legitimasi kontrol kolonial terhadap kehidupan sosial rakyat.

Sistem ini menyingkirkan rakyat pribumi dari sistem hukum modern, sekaligus memanipulasi hukum tradisional agar melayani kekuasaan kolonial.


3. Terbatas dalam Mobilitas Sosial dan Pendidikan

Peluang bagi pribumi untuk naik kelas sangat kecil:

  • Pendidikan hanya tersedia di Sekolah Rakyat (Volkschool) dengan kurikulum terbatas dan tidak membuka jalan ke jenjang lebih tinggi.
  • Hanya sebagian kecil elit bangsawan atau keluarga bupati yang bisa mengakses Sekolah Kelas Dua, dan bahkan mereka tetap dianggap inferior dibanding Eropa atau Timur Asing.
  • Mobilitas vertikal nyaris tertutup, kecuali jika mereka masuk ke dalam birokrasi kolonial sebagai pegawai rendahan.

Akibatnya, pribumi hidup dalam lingkaran kemiskinan struktural dan ketidakberdayaan politik, tanpa akses untuk mengubah nasibnya sendiri.


4. Menjadi Tenaga Kerja, Petani Paksa, dan Buruh Infrastruktur Kolonial

Golongan pribumi adalah sumber daya utama kolonialisme:

  • Tanam paksa (cultuurstelsel) di Jawa dan sekitarnya mengubah petani menjadi mesin produksi ekspor Belanda: kopi, gula, teh, dan nila.
  • Kerja rodi (kerja paksa) digunakan untuk membangun jalan, rel kereta, pelabuhan, dan infrastruktur kolonial lainnya.
  • Buruh-buruh dari Madura, Jawa, dan Bali dikirim ke luar Jawa (Sumatra Timur, Kalimantan, Suriname) sebagai pekerja kebun dan tambang.

Hidup mereka dikendalikan secara total: tanpa tanah, tanpa kontrak adil, dan tanpa jaminan kesejahteraan. Sistem ini bukan hanya eksploitatif, tetapi destruktif terhadap struktur sosial dan ekologi lokal.

Golongan pribumi adalah kelompok yang paling menderita akibat struktur sosial kolonial, bukan karena jumlahnya sedikit, tetapi karena didesain untuk tidak punya akses terhadap kekuasaan, keadilan, dan masa depan. Stratifikasi ini tidak hanya membentuk ketimpangan masa kolonial, tetapi mewariskan pola kemiskinan dan keterpinggiran struktural yang masih terasa dalam masyarakat Indonesia hingga kini—terutama di wilayah pedesaan, etnis minoritas, dan komunitas adat.


Dampak Sosial dari Sistem Ini

Stratifikasi sosial kolonial yang membagi masyarakat Hindia Belanda ke dalam kelas-kelas rasial—Eropa, Timur Asing, dan Pribumi—tidak hanya berdampak dalam masa kekuasaan Belanda, tetapi menciptakan pola sosial yang bertahan lama bahkan setelah Indonesia merdeka. Sistem ini tidak sekadar bersifat diskriminatif, melainkan institusional, terencana, dan berjangka panjang dalam menciptakan ketimpangan dan keterpecahan sosial.


1. Segregasi dan Polarisasi Sosial yang Terinstitusionalisasi

Struktur kolonial membuat segregasi bukan hanya realitas sosial, tetapi kebijakan resmi yang dilembagakan:

  • Kawasan pemukiman dipisah berdasarkan ras dan kelas: “wijk Eropa”, “kampung Cina”, “desa pribumi”.
  • Akses pendidikan, pelayanan kesehatan, transportasi, bahkan jalan raya—semuanya disusun berdasarkan hierarki sosial kolonial.
  • Ketidaksetaraan ini dipertahankan dalam hukum, administrasi, dan ekonomi, sehingga diskriminasi menjadi norma sosial yang dilegitimasi negara.

Akibatnya, relasi antar kelompok tidak didasari kesetaraan, tetapi kecurigaan, jarak sosial, dan penghindaran struktural.


2. Perpecahan Horizontal Antarkelompok Non-Eropa

Salah satu warisan paling berbahaya dari sistem ini adalah konflik antar sesama korban kolonialisme:

  • Pribumi diposisikan untuk membenci atau mencurigai Timur Asing, terutama Tionghoa yang sering dijadikan perantara ekonomi kolonial.
  • Timur Asing pun hidup dalam ketegangan antara keuntungan ekonomi dan keterasingan politik.
  • Bentrokan sosial, seperti pembantaian Tionghoa 1740, atau kerusuhan antaretnis di berbagai kota pelabuhan, mencerminkan keberhasilan kolonial dalam memecah rakyat tanpa perlu represi fisik langsung.

Dengan kata lain, VOC dan Belanda tidak perlu selalu menindas secara langsung—mereka cukup menciptakan arsitektur perpecahan, lalu membiarkannya berkembang.


3. Tumbuhnya Oligarki Lokal Kolaborator

Untuk menjalankan kekuasaan secara efisien, penguasa kolonial mengangkat sebagian kecil elite pribumi dan Timur Asing menjadi perpanjangan tangan kekuasaan:

  • Kaum bangsawan lokal (bupati, patih) diberi hak istimewa dalam birokrasi adat, namun harus tunduk penuh pada kehendak Belanda.
  • Kapitein der Chinezen dan elite Hadhrami diberi kekuasaan atas komunitasnya sendiri, tapi juga ditugasi mengontrol masyarakat dan mengumpulkan pajak.
  • Kelompok ini membentuk oligarki kolaborator, yang memperkaya diri melalui struktur kolonial, namun terputus dari rakyat bawah.

Warisan ini melahirkan struktur sosial yang tetap timpang bahkan setelah kemerdekaan, karena banyak dari elite ini yang beralih menjadi pejabat dalam sistem baru.


4. Warisan Konflik dan Diskriminasi Pasca-Kemerdekaan

Meskipun sistem kolonial formal berakhir, logika stratifikasinya tetap hidup dalam banyak aspek sosial Indonesia modern:

  • Ketimpangan akses terhadap pendidikan, tanah, dan ekonomi masih membayangi masyarakat pedesaan dan komunitas adat.
  • Diskriminasi etnis dan agama, termasuk terhadap keturunan Tionghoa dan kelompok minoritas lainnya, seringkali bersumber dari stereotip kolonial yang diwariskan tanpa sadar.
  • Relasi kuasa antara pusat dan daerah, antara negara dan warga kecil, masih menyisakan pola dominasi top-down ala masa kolonial.

Dengan kata lain, struktur sosial kolonial tidak hancur bersamaan dengan penjajahan fisik—ia bertransformasi dan tetap hidup dalam berbagai bentuk modernisasi yang tidak menyentuh keadilan sosial substantif.

Sistem sosial kolonial bukan hanya menindas satu kelompok, melainkan mendesain masyarakat Nusantara untuk saling terpecah, saling curiga, dan tidak mampu bersatu melawan penindasan. Warisannya bukan hanya berupa kemiskinan struktural, tetapi juga luka sosial dan kerapuhan solidaritas nasional, yang menjadi tantangan berat bagi bangsa Indonesia hingga hari ini.


Tiga Wajah Kolonialisme: Segregasi, Diskriminasi, Kolaborasi

Untuk memahami bagaimana stratifikasi sosial kolonial diterapkan dan berdampak nyata di lapangan, kita perlu meninjau beberapa kota dan wilayah utama Hindia Belanda yang mencerminkan berbagai pola segregasi, diskriminasi, dan kolaborasi kekuasaan. Studi kasus ini menunjukkan bahwa struktur kolonial tidak seragam, melainkan disesuaikan dengan kepentingan ekonomi dan politik di masing-masing daerah.


1. Batavia: Segregasi Kota dan Kebijakan Lingkungan Rasial

Batavia (sekarang Jakarta) adalah prototipe kota kolonial dan pusat kekuasaan VOC serta pemerintah Hindia Belanda. Kota ini menjadi model pertama penerapan sistem segregasi spasial berdasarkan ras, yang ditetapkan secara legal dan administratif:

  • Kawasan Eropa (Binnenstad / Kota Inti): Berisi benteng, kantor pemerintahan, rumah pejabat Eropa, dan gereja Kristen Protestan.
  • Kampung Cina dan Kampung Arab: Dibatasi tembok atau kanal, dihuni oleh komunitas Timur Asing dengan kepala komunitas masing-masing (Kapitein der Chinezen, dll).
  • Kampung Pribumi: Terletak lebih pinggir, tidak terlayani infrastruktur yang sama, dan hanya berfungsi sebagai kawasan tenaga kerja.

Di Batavia, segregasi bukan sekadar akibat sosial, melainkan produk rekayasa tata ruang kolonial—di mana siapa tinggal di mana, dan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, ditentukan oleh warna kulit dan asal-usul etnis.

Peristiwa penting:

  • Pembantaian Tionghoa 1740: Puncak konflik rasial yang direkayasa dan dimanfaatkan oleh VOC untuk memperkuat kontrol atas ekonomi dan populasi Cina.

2. Surabaya dan Semarang: Peran Cina sebagai Aktor Ekonomi dan Sasaran Diskriminasi

Surabaya dan Semarang merupakan kota pelabuhan dagang utama di pesisir utara Jawa, tempat komunitas Tionghoa berkembang pesat sebagai aktor ekonomi:

  • Orang Tionghoa mengelola pergudangan, distribusi hasil bumi, dan perdagangan grosir.
  • Mereka juga menjadi penyewa lahan dan pengumpul pajak di sektor pertanian serta perkebunan tebu/tembakau.

Namun, meski secara ekonomi mereka vital, secara sosial mereka:

  • Dijauhkan dari kekuasaan politik.
  • Dikambinghitamkan ketika terjadi krisis ekonomi atau kelangkaan pangan.
  • Dibatasi ruang geraknya melalui aturan tempat tinggal, jam malam, dan pengawasan administratif.

Diskriminasi ini memupuk benih-benih kecemburuan dan konflik antara Tionghoa dan pribumi, yang sering meledak dalam bentuk kerusuhan lokal di era pasca-kolonial.


3. Yogyakarta dan Priangan: Kolaborasi Elite Pribumi dengan Penguasa Kolonial

Di daerah seperti Yogyakarta dan wilayah Priangan (Jawa Barat), kolonialisme bekerja dengan cara berbeda: tidak sepenuhnya mengasingkan bangsawan lokal, tetapi memanfaatkannya.

  • Sultan Yogyakarta, para bupati Priangan, dan bangsawan keraton diikutsertakan dalam pemerintahan kolonial sebagai “penguasa daerah adat”.
  • Mereka diberi gelar, tanah, dan hak istimewa asal mau bekerja sama mengamankan wilayah dan menyukseskan kebijakan kolonial seperti tanam paksa dan kerja rodi.

Di sini terbentuk oligarki kolaborator pribumi, yang:

  • Menikmati pendidikan dan akses ekonomi yang tak dimiliki rakyat kecil.
  • Namun tidak punya kedaulatan sejati, karena semua keputusan strategis tetap di tangan Belanda.

Dampaknya adalah terbentuknya jurang sosial antara elite pribumi dengan rakyatnya sendiri, yang dalam jangka panjang melemahkan solidaritas perlawanan dan memperkuat dominasi kolonial.

Ketiga contoh kasus ini memperlihatkan bagaimana sistem stratifikasi sosial kolonial diterapkan secara fleksibel tapi konsisten, dengan prinsip utama: menjaga dominasi Eropa, memecah kekuatan non-Eropa, dan memperalat sebagian elite untuk mengendalikan yang lain. Dari kota hingga desa, dari pelabuhan hingga pedalaman, sistem ini membentuk masyarakat yang terfragmentasi dan tidak setara, sebuah realitas yang membekas hingga kini.

Masyarakat Bertingkat untuk Kekuasaan Bertahan Lama

Sistem stratifikasi sosial yang diberlakukan oleh VOC dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia Belanda bukan sekadar refleksi dari realitas sosial yang sudah ada, tetapi merupakan rekayasa politik yang disengaja dan sistematis. Tujuannya jelas: membagi masyarakat berdasarkan garis ras, etnis, dan status hukum untuk mempermudah penguasaan dan pengendalian.


1. Stratifikasi Bukan Sekadar Warisan Budaya, Tapi Rekayasa Politik Kolonial

Seringkali struktur sosial kolonial dipahami sebagai kelanjutan dari struktur kerajaan tradisional. Namun kenyataannya, kolonialisme menciptakan dan memperkeras pembagian sosial, terutama:

  • Membedakan manusia berdasarkan ras, etnis, dan asal geografis.
  • Memberlakukan hukum dan perlakuan berbeda terhadap kelompok yang berbeda.
  • Mendistribusikan hak dan kewajiban secara tidak adil demi kepentingan penjajahan.

Artinya, stratifikasi ini bukan alami, tapi direkayasa untuk mempertahankan dominasi asing.


2. Struktur Sosial Kolonial Dirancang untuk Memecah dan Melemahkan Potensi Persatuan

Dengan menempatkan Eropa sebagai penguasa, Timur Asing sebagai perantara, dan Pribumi sebagai tenaga kerja, kolonialisme:

  • Mencegah terbentuknya solidaritas lintas kelas dan etnis.
  • Menumbuhkan kecemburuan sosial, konflik horizontal, dan kesenjangan akses.
  • Mengatur konflik sosial agar tidak pernah mengarah ke perlawanan kolektif terhadap penguasa kolonial.

Inilah bentuk halus dari politik devide et impera, bukan hanya dalam urusan militer atau politik, tapi sampai ke akar struktur sosial.


3. Jejak Stratifikasi Ini Masih Terasa dalam Ketimpangan Sosial dan Politik Pascakolonial

Meskipun Indonesia telah merdeka secara formal, struktur sosial yang timpang masih membekas:

  • Akses terhadap pendidikan, tanah, dan kekuasaan masih tidak merata.
  • Stereotip sosial terhadap etnis tertentu masih hidup dan diwariskan.
  • Elite birokrasi dan ekonomi pascakolonial sering merupakan reproduksi dari elite kolaborator masa kolonial.

Dengan kata lain, peninggalan kolonialisme bukan hanya berupa gedung dan arsip, tetapi juga cara berpikir, cara memerintah, dan cara masyarakat diorganisir.

Stratifikasi sosial kolonial adalah salah satu pilar utama dari arsitektur penjajahan di Nusantara. Ia bukan sekadar efek samping dari dominasi asing, melainkan alat yang efektif untuk memperpanjang umur kekuasaan kolonial. Tantangan kita hari ini bukan hanya memahami masa lalu, tetapi juga menyadari warisan-warisan tidak terlihat yang masih membentuk relasi sosial, distribusi kekuasaan, dan bentuk ketidakadilan di Indonesia kontemporer.