Konsep “Dharma Yudha” dalam Hindu-Jawa

Konsep “Dharma Yudha” dalam tradisi Hindu-Jawa sebagai bagian dari “Falsafah Perang dalam Budaya Nusantara”:

Definisi “Dharma Yudha”

Istilah Dharma Yudha berasal dari bahasa Sanskerta:

  • Dharma: Hukum suci, kewajiban moral, jalan kebenaran, atau keteraturan kosmis.
  • Yudha: Perang atau pertempuran.

Dharma Yudha berarti perang yang dilakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan karena nafsu kekuasaan atau balas dendam. Ini adalah perang yang sah secara moral dan religius menurut ajaran Hindu.

Dalam konteks Jawa kuno, Dharma Yudha dianggap sebagai perang suci (holy war) yang:

  • Diizinkan oleh hukum ilahi
  • Diarahkan untuk menumpas kejahatan, kekacauan, atau penguasa lalim
  • Tidak dilakukan demi ambisi pribadi, tapi demi kemaslahatan negara dan semesta

Asal-Usul Filosofis

Konsep ini sangat dipengaruhi oleh epos Mahabharata dan Ramayana, dua sumber utama peradaban Hindu yang juga sangat populer di Nusantara.

📜 Bhagavad Gita sebagai fondasi

Dalam dialog antara Krishna dan Arjuna:

  • Krishna memerintahkan Arjuna untuk berperang, meskipun melawan kerabat sendiri.
  • Alasan: karena perang tersebut adalah Dharma Yudha — jalan untuk memulihkan keadilan dan menumpas adharma (ketidakadilan).

Pesan utama:

“Lebih baik mati dalam menjalankan Dharma, daripada hidup dalam kejahatan dan pengkhianatan terhadap tugas.”


Dharma Yudha dalam Praktek Kerajaan Jawa Kuno

A. Raja sebagai Ksatria Dharma

  • Raja dianggap perwujudan cakravartin (penguasa universal yang suci).
  • Tugas utama raja bukan hanya memerintah, tapi juga menegakkan Dharma, termasuk melalui perang bila perlu.
  • Perang bukan sekadar taktik politik, melainkan ritual spiritual.

B. Peperangan sebagai Upacara Suci

  • Sebelum berperang, dilakukan ritual pembersihan diri, puasa, dan sesaji kepada dewa-dewa.
  • Perang dianggap sebagai bagian dari harmoni kosmis (rta).
  • Musuh tidak dibenci secara pribadi, tapi dilihat sebagai peran antagonis dalam lakon besar semesta.

C. Contoh nyata:

  • Kertanegara (Singhasari): Ekspedisi Pamalayu dianggap sebagai Dharma Yudha untuk menyatukan dunia Melayu dan mencegah ekspansi Mongol.
  • Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya, sering dianggap sebagai ksatria yang menjalankan Dharma Yudha untuk menyatukan Nusantara.
  • Perang Bubat (meskipun tragis), dilihat oleh Majapahit sebagai upaya menegakkan superioritas politik yang telah diritualkan sebagai keharusan dharmis.

Etika Dharma Yudha

Konsep Dharma Yudha membawa aturan-aturan moral dalam perang, di antaranya:

Etika Perang Penjelasan
⚔️ Tidak menyerang yang tidak bersenjata Rakyat sipil, wanita, anak-anak dilindungi
⛩️ Tidak menyerang tempat suci Candi, pura, dan tempat pertapaan dianggap zona netral
🙏 Memberi kesempatan musuh menyerah Musuh yang menyerah harus diberi ampun
🧘 Peperangan harus diakhiri bila Dharma telah ditegakkan Tidak boleh berlanjut menjadi perbudakan atau penghinaan

Simbolisme dan Wayang

Konsep Dharma Yudha dihidupkan dalam pertunjukan wayang kulit dan wayang orang:

  • Tokoh seperti Arjuna, Bhima, Rama, dan Gatutkaca adalah simbol ksatria Dharma Yudha.
  • Lakon-lakon seperti “Bharatayudha”, “Ramayana”, atau “Wahyu Makutharama” memperlihatkan bahwa perang adalah bagian dari tugas moral.
  • Dalam pewayangan Jawa, tokoh Pandawa hampir selalu menang karena mereka bertindak atas nama Dharma.

Transformasi ke Era Islam dan Kolonial

Setelah masuknya Islam, konsep Dharma Yudha tetap hidup dalam bentuk lain:

  • Jihad fi sabilillah menjadi padanan konsep Dharma Yudha dalam konteks Islam.
  • Perlawanan terhadap Belanda oleh tokoh-tokoh seperti Diponegoro juga dikemas sebagai perang suci melawan ketidakadilan kolonial.

Relevansi Konsep Dharma Yudha Saat Ini

  • Sebagai etika peperangan, Dharma Yudha bisa dilihat sebagai cikal bakal hukum perang modern (seperti Konvensi Jenewa).
  • Menunjukkan bahwa bahkan dalam kekerasan, masyarakat Nusantara tidak pernah melupakan nilai-nilai moral dan spiritual.

About administrator