Perang sebagai Sarana Legitimasi Kekuasaan

“Perang sebagai Sarana Legitimasi Kekuasaan” dalam kerajaan dan budaya militer Nusantara:

Di berbagai kerajaan dan suku di Nusantara, perang bukan hanya tentang konflik militer, tetapi juga berfungsi sebagai alat politik dan spiritual untuk menegaskan hak atas kekuasaan. Seorang raja, panglima, atau pemimpin adat tidak hanya dinilai dari silsilahnya, tetapi juga dari kemampuannya menang dalam perang yang sah secara adat dan spiritual.


1. 🧬 Legitimasi Berdasarkan Keberhasilan Militer

A. Raja Sah adalah Raja yang Menang

  • Dalam tradisi Jawa, Bali, dan Bugis: hak memerintah diperoleh melalui pembuktian kekuatan, bukan hanya keturunan.
  • Seorang calon raja dianggap belum sah tanpa pramana atau wahyu keprabon — yang seringkali “turun” setelah kemenangan dalam perang.
  • Perang menjadi semacam “ritual inisiasi politik”: hanya pemimpin yang mampu menaklukkan musuh secara adil dan ksatria yang bisa diterima oleh rakyat dan dewa-dewa.

B. Kekuatan = Mandala

  • Dalam sistem Mandala (Hindu-Buddha): pusat kekuasaan diperkuat dengan penaklukan wilayah sekitarnya.
  • Legitimasi pusat (keraton) bergantung pada pengaruh militer terhadap daerah-daerah “luar” (vassal states).

2. ⚔️ Contoh Kasus dalam Sejarah Nusantara

A. Airlangga (Kahuripan)

  • Setelah kehancuran Medang oleh Jayakatwang, Airlangga mengonsolidasikan kembali Jawa Timur melalui perang, lalu mendirikan Kerajaan Kahuripan.
  • Kemenangan tersebut memberinya legitimasi sebagai “penyelamat tatanan” dan pelindung Dharma.

B. Ken Arok (Singhasari)

  • Awalnya bukan bangsawan, Ken Arok menggunakan kekuatan militer dan pembunuhan Tunggul Ametung untuk naik tahta.
  • Meski lahir dari kalangan bawah, kemenangan militernya menjustifikasi kekuasaannya sebagai pendiri wangsa Rajasa.

C. Gajah Mada dan Sumpah Palapa

  • Menjadi patih dengan visi politik besar: menyatukan Nusantara melalui kekuatan militer.
  • Ekspedisi militer (Pamalayu, Bali, Palembang) menjadikan Majapahit sebagai kekuatan legitimasi regional.
  • Kemenangan militer = simbol kejayaan negara dan restu dewata.

D. Sultan Baabullah (Ternate)

  • Mengusir Portugis dari Maluku dan menegaskan kedaulatannya atas jalur rempah-rempah.
  • Kemenangan ini menjadikan Ternate sebagai “Kerajaan Islam terbesar di Timur Indonesia”.

E. Pangeran Diponegoro

  • Perang Jawa (1825–1830) dilihat sebagai bukan sekadar perlawanan, tapi upaya mengembalikan tatanan kekuasaan Mataram yang sah secara spiritual dan adat.

3. 🔥 Perang vs Pewarisan Damai

Aspek Pewarisan Damai Legitimasi Melalui Perang
Berbasis garis keturunan Ya Kadang diabaikan
Rentan konflik suksesi Tinggi Lebih stabil jika menang
Restu adat atau dewa Kadang kurang kuat Kemenangan dianggap tanda restu dewata
Dukungan rakyat Terbatas Diperoleh lewat karisma militer
Contoh Paku Buwono – Surakarta Airlangga, Ken Arok, Gajah Mada

4. 📜 Perang Sebagai Pembentuk Mitologi Kekuasaan

A. Raja sebagai “Cakravartin” (Penguasa Dunia)

  • Dalam Hindu-Jawa, raja ideal adalah cakravartin — raja dunia yang menguasai empat penjuru.
  • Penaklukan militer adalah simbol kekuasaan kosmis: bukan hanya memerintah manusia, tapi juga alam dan langit.

B. Mitos Kesaktian dari Perang

  • Raja atau panglima sering dianggap memiliki kesaktian (ilmu gaib) yang terbukti saat menang perang.
  • Cerita kemenangan dalam perang menjadi legenda pewayangan atau babad: memberi kekuatan naratif bagi klaim kekuasaan turun-temurun.

5. 📡 Perang sebagai Alat Konsolidasi Internal

  • Kemenangan dalam perang eksternal sering digunakan untuk:
    • Mengatasi konflik elite istana
    • Mendapatkan loyalitas bangsawan dan militer
    • Memperluas sumber daya dan wilayah sebagai legitimasi ekonomi
  • Di kerajaan seperti Aceh, Gowa, dan Demak, perang menjadi momen unifikasi elite adat dan agama di belakang satu pemimpin.

6. 💬 Refleksi Budaya dan Politik

Budaya Perang dan Legitimasi
Jawa Legitimasi melalui wahyu dan kemenangan perang
Bugis Pemimpin harus menunjukkan siri’ dan keberanian
Dayak Kepala suku yang menang perang dianggap mendapat restu leluhur
Bali Kemenangan perang dipandang sebagai hasil takdir dewata
Minang Perang harus disetujui musyawarah adat untuk sah

Di Nusantara, perang bukan sekadar alat destruktif, melainkan tahapan transendental dalam memperoleh, meneguhkan, dan mempertahankan kekuasaan. Dari Ken Arok hingga Gajah Mada, dari Sultan Baabullah hingga para panglima adat Papua — legitimasi tidak datang hanya dari darah bangsawan, tetapi dari keberanian, keberhasilan, dan kehormatan dalam peperangan.

About administrator