Ketika kekuatan kolonial seperti VOC dan Hindia Belanda mulai mengokupasi wilayah Nusantara, mereka tidak hanya berhadapan dengan senjata, tapi juga dengan tradisi perang lokal yang telah teruji selama berabad-abad. Meskipun teknologi senjata kolonial lebih maju, strategi perang tradisional tetap bertahan, berkembang, dan bahkan menjadi fondasi utama dalam berbagai perlawanan besar. Dari medan pegunungan hingga kampung-kampung pesisir, teknik perang dari zaman kerajaan ditransformasikan menjadi bentuk-bentuk perlawanan yang sangat adaptif terhadap tekanan kolonial.
Gerilya: Warisan Perang Kerajaan di Era Kolonial
Perang gerilya adalah bentuk perlawanan paling ikonik dalam sejarah penjajahan. Teknik ini bukan ciptaan baru saat masa kolonial, melainkan adaptasi langsung dari taktik yang digunakan oleh kerajaan seperti Gowa, Aceh, dan Batak dalam menghadapi ekspansi kerajaan besar.
Contoh Adaptasi:
- Perang Aceh (1873–1904): Pasukan Aceh menggunakan sistem benteng kecil di desa (meunasah) dan jalur hutan yang rumit untuk menyerang patroli Belanda secara tiba-tiba.
- Perang Diponegoro (1825–1830): Strategi penyusupan malam, pemanfaatan gua, dan serangan kilat merupakan kelanjutan teknik tempur kerajaan Mataram.
- Perlawanan Bali: Pendekatan kawanan, serangan berbasis desa adat, dan pemanfaatan medan terjal menjadi pola umum.
“Di antara bambu dan kabut pagi, mereka bertarung seperti bayangan.” – catatan Belanda tentang gerilyawan Jawa.
Sandi, Syair, dan Bahasa Rahasia Perlawanan
Strategi komunikasi yang aman dan tidak terdeteksi sangat penting dalam perlawanan terhadap kolonial. Banyak taktik komunikasi ini adalah warisan kerajaan, termasuk penggunaan pantun, tembang, simbol kain, dan isyarat adat.
Teknik Komunikasi Tradisional:
- Pantun berkode: Digunakan di Sumatra Barat dan Jawa untuk mengabarkan rencana tanpa diketahui Belanda.
- Kain batik dengan pola tertentu: Sebagai sinyal untuk berkumpul, serang, atau mundur.
- Tembang Jawa dan tembang Sunda: Diisi lirik-lirik tentang lokasi senjata atau jadwal pertemuan.
- Bahasa isyarat tubuh dalam silat: Digunakan untuk koordinasi dalam pertempuran.
“Rakyat yang nyanyiannya menyimpan peluru dalam irama.”
Pelatihan Bela Diri: Dari Silat ke Milisi Rakyat
Ilmu bela diri tradisional seperti pencak silat, tofa, dan kabasaran menjadi basis pelatihan milisi rakyat di berbagai wilayah. Ketika latihan militer formal dilarang oleh kolonial, gelanggang silat, padepokan, dan banjar adat menjadi tempat rahasia pelatihan perang.
Peran Seni Bela Diri:
- Silat di Minangkabau, Melayu, dan Jawa: Disamarkan sebagai latihan kesenian dan spiritual, padahal melatih perlawanan.
- Kabasaran (Minahasa): Diubah menjadi pertunjukan tari, namun tetap menyimpan nilai taktik.
- Silek Lintau dan Silek Tuo: Menyebar di surau sebagai bagian dari pendidikan agama sekaligus bela diri.
“Dalam gerak tari, terkandung tusukan dan tangkisan.”
Struktur Komando Tradisional dalam Perlawanan
Banyak struktur komando perlawanan kolonial mengambil bentuk struktur sosial kerajaan dan adat. Panglima-panglima lokal tetap memiliki loyalitas berbasis kekerabatan, suku, dan kesultanan, bukan pada sistem nasional yang belum ada.
Contoh:
- Perang Padri: Komando ulama dan penghulu adat disatukan.
- Diponegoro dan para kyai: Komando berbasis religius dan sosial aristokrat.
- Perlawanan Pattimura: Kombinasi struktur gereja lokal dan mantan militer Ambon.
Pusaka, Keris, dan Simbol sebagai Pemicu Perlawanan
Senjata dan benda pusaka tidak hanya digunakan secara fisik, tetapi juga sebagai alat legitimasi, penyatu semangat, dan simbol perlindungan spiritual. Di masa kolonial, banyak pemimpin perlawanan kembali ke benda-benda pusaka kerajaan sebagai sumber kekuatan moral dan simbolis.
Fungsi:
- Keris pusaka: Digunakan sebagai lambang perjuangan.
- Panji kerajaan: Dihidupkan kembali sebagai simbol perlawanan.
- Benda bertuah: Menumbuhkan keyakinan kolektif akan kemenangan.
“Perang bukan hanya soal pedang, tapi tentang makna pusaka yang digenggam.”
Perlawanan Terorganisir Berbasis Adat dan Lembaga Lokal
Banyak perlawanan terhadap kolonial tidak lahir dari partai atau institusi modern, tetapi dari lembaga adat: surau, banjar, meunasah, pesantren, dan padepokan. Tempat-tempat ini menjadi pusat pelatihan, penyimpanan logistik, dan organisasi gerilya.
Fungsi Lembaga Adat:
- Surau (Sumatra Barat): Tempat latihan silek dan strategi.
- Pesantren (Jawa): Melatih kader dan menyimpan senjata.
- Banjar (Bali): Koordinasi desa adat dan perlindungan kolektif.
- Meunasah (Aceh): Pusat spiritual sekaligus pangkalan logistik.
Perlawanan kolonial di Nusantara tidak muncul dari ruang hampa, tetapi merupakan kelanjutan dari tradisi dan taktik militer kerajaan yang disesuaikan dengan konteks baru. Dengan medan, adat, bahasa, dan simbol yang sama, rakyat Nusantara membalikkan warisan strategi perang untuk menghadapi dominasi Eropa.
Perang tradisional tidak punah—ia bertransformasi, dan tetap menyala sebagai nyala api kemerdekaan yang membakar zaman.