Ketika kekuatan kolonial memasuki wilayah Nusantara, mereka tidak menghancurkan seluruh sistem lama—sebaliknya, mereka mengasimilasi dan memanfaatkan struktur kerajaan lokal, terutama dalam bidang militer. Banyak kerajaan yang sebelumnya independen, berubah fungsi menjadi penyedia kekuatan militer untuk kolonial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses ini disebut sebagai militerisasi kerajaan ke dalam sistem kolonial, dan menjadi salah satu pilar utama dalam keberhasilan dominasi jangka panjang Belanda di wilayah ini.
Kerajaan Sebagai Aparat Pendukung VOC dan Hindia Belanda
Alih-alih selalu memerangi kerajaan lokal, VOC dan Belanda sering kali memilih untuk menaklukkan secara politis, dan kemudian mengintegrasikan kerajaan tersebut ke dalam sistem militer kolonial.
Contoh:
- Kesultanan Cirebon dan Mataram Pasca-Perjanjian Giyanti (1755): Menerima status semi-otonom, namun harus menyediakan prajurit untuk Belanda.
- Kerajaan Bone dan Gowa: Dipecah dan dipaksa mengirimkan pasukan ke bawah kendali komando kolonial.
- Kesultanan Ternate & Tidore: Dijadikan mitra dagang dan pertahanan yang mengizinkan penempatan pasukan VOC.
“Raja tetap memakai mahkota, tapi pedangnya tak lagi untuk dirinya sendiri.”
Pembentukan KNIL dan Rekrutmen Bangsawan Lokal
Pada abad ke-19, Belanda membentuk KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) sebagai pasukan utama kolonial. Salah satu sumber utama prajurit KNIL adalah keluarga kerajaan dan bangsawan lokal, yang dididik untuk menjadi perwira setia Belanda.
Struktur:
- Prajurit Rendahan: Diambil dari rakyat biasa, terutama dari Ambon, Bugis, dan Minahasa.
- Perwira Menengah: Banyak berasal dari bangsawan lokal, dilatih di sekolah militer Batavia atau Breda.
- Perwira Tinggi (terbatas): Beberapa bangsawan diberi pangkat simbolik namun jarang memegang komando penuh.
Efek:
- Terjadi loyalitas ganda: antara tradisi leluhur dan sumpah kepada kolonial.
- Bangsawan menjadi penghubung kekuasaan kolonial dengan rakyat adat.
Perjanjian Politik sebagai Instrumen Militerisasi
Banyak kerajaan ditundukkan melalui perjanjian politik yang secara halus mewajibkan kontribusi militer. Istilah seperti “perlindungan”, “kerjasama”, dan “perdamaian” dalam naskah perjanjian seringkali menyembunyikan kewajiban untuk mengirimkan pasukan, menyediakan logistik, atau memfasilitasi basis pertahanan Belanda.
Contoh Naskah:
- Perjanjian Bungaya (1667) antara VOC dan Kerajaan Gowa.
- Traktat Dagang dan Perlindungan yang diberlakukan di Banten, Palembang, dan Jambi.
“Pedang ditukar dengan pena, tapi hasilnya tetap sama—tunduk.”
Transformasi Fungsi Adat Menjadi Militer Sipil
Banyak pejabat kerajaan tradisional dialihkan peran dari pejabat budaya ke pejabat administratif kolonial. Mereka kini bukan hanya menjaga adat, tetapi juga mengawasi keamanan lokal dan menjadi tangan panjang militer Belanda di desa-desa.
Contoh Jabatan:
- Adipati dan Patih: Diberi tanggung jawab atas keamanan dan pengumpulan tenaga kerja.
- Penghulu dan Lurah Adat: Dipakai sebagai pengawas wajib kerja dan pencari tenaga militer.
- Manteri dan Jaksa Adat: Menerapkan hukum kolonial sambil tetap berpakaian tradisional.
“Baju adat mereka dipertahankan agar rakyat tidak sadar siapa yang mereka layani.”
Pendidikan Militer Pribumi dan Disiplin Eropa
Kolonial Belanda mendirikan lembaga-lembaga pelatihan militer untuk bangsawan pribumi. Di sinilah terjadi perpaduan antara doktrin Eropa dan latar belakang tradisional para calon perwira.
Sekolah:
- Kweekschool voor Inlandsche Officieren di Magelang
- Sekolah Militer Batavia untuk calon perwira rendah
- Program pengiriman ke Belanda (Breda) untuk beberapa bangsawan terpilih
Konten Pendidikan:
- Ilmu baris-berbaris dan strategi ala Prusia
- Etiket, bahasa Belanda, serta cara menghadapi rakyat “rendahan”
- Mata pelajaran sejarah kolonial versi Belanda
Konsekuensi: Ketegangan, Perpecahan, dan Pengkhianatan
Proses militerisasi kerajaan tidak berjalan mulus. Ia melahirkan konflik internal antara bangsawan loyalis dan bangsawan nasionalis, serta membuka ruang bagi tuduhan “pengkhianat bangsa” terhadap para perwira pribumi.
Akibat:
- Beberapa bangsawan seperti Pangeran Diponegoro memilih melawan.
- Sebagian lainnya seperti Mangkunegaran dan Pakualaman bersikap akomodatif.
- Muncul dualisme: raja sebagai simbol budaya, namun juga alat kontrol kolonial.
“Dalam satu istana, terdapat dua jiwa: satu untuk tanah air, satu untuk penjajah.”
Militerisasi kerajaan ke dalam sistem kolonial merupakan strategi halus namun efektif untuk mempertahankan kekuasaan Belanda tanpa perlu terus-menerus mengerahkan kekuatan asing. Melalui rekrutmen bangsawan, penandatanganan traktat, dan pendidikan ala Eropa, kolonialisme mengubah kerajaan menjadi alat dominasi yang membungkus kontrol dengan budaya. Namun dalam proses ini pula, muncul kesadaran baru yang kelak meletup menjadi api perlawanan dan nasionalisme.
Kerajaan yang dijinakkan menjadi batu pijakan bagi kolonial, tapi juga menjadi bara yang menyala ketika rakyat sadar siapa sebenarnya musuh mereka.