Dalam dunia kekuasaan yang terus berganti, strategi perang tidak lenyap—ia berpindah tangan. Di Nusantara, saat VOC dan kekuatan kolonial datang, mereka tidak hanya membawa senjata, tapi juga membuka mata terhadap ilmu perang lokal. Dari kapal jong hingga intelijen rakyat, banyak taktik dan pengetahuan kerajaan yang justru mereka adopsi dan modifikasi. Inilah kisah transisi dan evolusi ilmu militer Nusantara ke dalam era kolonial.
Ilmu Perang Tradisional yang Diadopsi oleh VOC dan Kolonial
Ilmu perang kerajaan-kerajaan Nusantara berkembang dari kebudayaan yang mengenal medan, cuaca, dan psikologi rakyat. Saat VOC mulai menancapkan pengaruhnya, mereka menyadari bahwa kemenangan tidak hanya soal senjata api, tetapi juga kemampuan untuk menyerap kecerdikan lokal. Berikut elemen-elemen strategi kerajaan yang mereka adopsi.
Aspek | Diambil oleh VOC/Belanda | Keterangan |
---|---|---|
Gerilya & penyusupan malam hari | Ya, dari Gowa, Aceh, dan Batak | VOC pelajari taktik gerilya dari musuh-musuhnya |
Navigasi laut lokal & angin muson | Ya | Pilot lokal dijadikan navigator VOC |
Perang benteng kecil berbasis desa | Ya | Digunakan untuk membuat sistem benteng pertahanan VOC |
Sistem sandi rakyat & pantun sandi | Parsial | Dipelajari untuk melacak jaringan pemberontakan |
Mobilisasi pasukan dari rakyat desa (wajib militer adat) | Ya | Diadopsi sebagai landstorm atau pasukan pribumi loyalis VOC |
Peran Perwira Lokal dan Transmisi Vertikal
Alih-alih menghapus kekuatan lokal, VOC dan pemerintah kolonial mengintegrasikannya secara terstruktur. Mereka mencetak “perwira lokal” yang memiliki latar belakang kerajaan dan menjadikannya alat kekuasaan. Ilmu perang diteruskan, namun dialihkan fungsinya untuk mengamankan kepentingan kolonial.
Tokoh / Fungsi | Peran |
---|---|
Kapitan lokal (Bugis, Ambon, Jawa) | Melatih taktik lokal untuk kepentingan VOC |
Raja boneka | Meneruskan ilmu perang lokal namun diarahkan melawan sesama pribumi |
Serdadu Ambon/Bugis | Jadi tentara elite VOC untuk taktik cepat dan serangan ke pegunungan atau pulau kecil |
Guru silat atau guru tofa | Diserap sebagai pelatih tak resmi VOC atau dipantau agar tidak menyebar teknik ke pemberontak |
VOC Mempelajari dan Mengelola Intelijen Lokal
VOC tidak hanya menyerang secara fisik, tapi juga meresap secara halus. Mereka belajar cara kerja intelijen kerajaan—sandi dalam syair, jaringan pedagang, hingga batik sebagai sinyal politik. Dengan ini, mereka melacak pergerakan lawan dan mengendalikan informasi.
Teknik Intelijen | Sumber Kerajaan | Adaptasi VOC |
---|---|---|
Jaringan pedagang sebagai mata-mata | Majapahit, Demak | VOC rekrut pedagang Bugis & Tionghoa |
Utusan keliling berkode | Giri, Cirebon, Aceh | VOC pantau isi syair dan dokumen diplomatik |
Batik dan kain sandi | Jawa Tengah & pesisir | VOC buat larangan corak tertentu untuk cegah konspirasi |
Strategi Proxy dan Aliansi: Warisan Majapahit dan Sriwijaya
VOC belajar bahwa tidak semua konflik harus dihadapi langsung. Mereka meniru cara Majapahit dan Sriwijaya dalam membentuk koalisi dan mengadu kerajaan-kerajaan kecil. Strategi pecah belah dan perang proksi menjadi alat efektif untuk dominasi tanpa benturan langsung.
- VOC mengadu Bone vs Gowa, menciptakan konflik internal Bugis
- Menyokong elit lokal pro-Belanda, menjadikan perang saudara sebagai senjata kendali
- Memperluas pengaruh lewat janji dagang dan pengangkatan jabatan palsu
Transformasi Militer dalam Administrasi Kolonial
Pengaruh ilmu militer lokal mencapai puncaknya ketika mulai diformalkan. Sekolah militer untuk bumiputra, rekrutmen prajurit lokal, dan pelatihan campuran Eropa–lokal memperlihatkan asimilasi gaya tempur tradisional dan disiplin kolonial.
Zaman | Adaptasi dari Ilmu Lokal |
---|---|
VOC (1600–1800) | Milisi lokal, perwira lokal, pilot lokal, strategi kelautan Bugis & Ambon |
Hindia Belanda (1800–1942) | Akademi militer untuk bumiputra, pelatihan dengan kombinasi Eropa dan taktik lokal |
Belanda kontra Aceh | Akhirnya menggunakan perang gerilya juga dan belajar dari mobilitas pasukan Aceh |
Pelarangan & Penyerapan: Dua Sisi Reaksi Kolonial
Tidak semua ilmu perang lokal ditoleransi. Beberapa diserap, sementara yang lain dilarang keras karena dianggap membahayakan kekuasaan. Simbol-simbol spiritual seperti keris, silat, dan pusaka diubah fungsinya menjadi ornamen pasif atau folklor.
Taktik Tradisional | Sikap Kolonial |
---|---|
Silat, pencak, tofa, parang adat | Banyak dilarang dan dibatasi |
Penggunaan keris dan pusaka | Disita atau dijadikan koleksi simbolik |
Sekolah prajurit lokal | Dilarang, digantikan sekolah militer formal |
Narasi legenda perang | Diredam agar tak membangkitkan perlawanan |
Efek Jangka Panjang dan Warisan Transmisi
Transformasi ini menimbulkan warisan yang ambigu: sebagian menjadi alat penjajahan, sebagian menjadi akar perlawanan baru. Ilmu perang dari kerajaan—yang diajarkan kepada perwira lokal—nanti akan berbalik arah dan menjadi amunisi dalam perjuangan kemerdekaan dan kelahiran TNI.
- Pasukan KNIL banyak berisi keturunan militer kerajaan
- Taktik gerilya kerajaan hidup dalam perjuangan 1945–1949
- Narasi perang adat dibangkitkan kembali oleh para pejuang republik
Ilmu perang Nusantara tidak punah di tangan penjajah, tapi justru diadaptasi, dikendalikan, bahkan dijadikan instrumen kolonialisme.
Para bangsawan, panglima lokal, dan guru militer dari era kerajaan secara sadar atau terpaksa mentransmisikan ilmu mereka ke era VOC dan Hindia Belanda.
Namun warisan itu tak seluruhnya padam—sebagian menjadi benih perlawanan generasi berikutnya.