Penggunaan Pasukan Bayaran & Lokal: Ambon, Bugis, Bali

Strategi Militer Murah dan Efektif

1. Kebutuhan Ekspansi VOC Tanpa Biaya Militer Tinggi

Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC berkembang dari sekadar perusahaan dagang menjadi entitas semi-negara dengan kepentingan politik dan teritorial yang luas di Nusantara. Namun, ekspansi semacam itu menuntut biaya militer yang sangat besar—baik dalam bentuk logistik, perekrutan pasukan, maupun pemeliharaan garnisun di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan Belanda.

Di sisi lain, jumlah tentara Eropa yang dibawa VOC sangat terbatas. Rata-rata kapal dagang VOC hanya mampu mengangkut beberapa ratus personel bersenjata, dan banyak di antara mereka meninggal akibat penyakit tropis atau konflik lokal. Menambah pasukan dari Eropa berarti biaya tinggi dan waktu panjang, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip dagang VOC yang mengedepankan efisiensi dan keuntungan.

VOC menghadapi kenyataan geografis Nusantara: wilayahnya luas, medannya sulit, dan kekuatan lokal tersebar dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil maupun konfederasi adat. Pendekatan militer konvensional dari Eropa tidak cocok untuk mengatasi perlawanan lokal di medan laut, hutan, atau pegunungan Nusantara. Karena itu, VOC mengembangkan strategi militer berbasis lokal—menggunakan penduduk Nusantara sendiri sebagai alat tempur.

2. Ketergantungan pada Tentara Lokal sebagai Solusi Logistik dan Geografis

Solusi paling efektif yang diterapkan VOC adalah merekrut pasukan lokal dan pasukan bayaran dari komunitas-komunitas tertentu yang memiliki tradisi militer kuat, loyalitas etnis, atau motif politik tersendiri. Hal ini memberi keuntungan strategis:

  • Akses terhadap medan dan informasi lokal. Pasukan pribumi mengenal geografi, bahasa, dan budaya tempat mereka beroperasi.
  • Biaya lebih murah. Gaji pasukan lokal jauh lebih rendah dibanding tentara Eropa, dan mereka bisa dipersenjatai serta dipimpin oleh perwira Belanda.
  • Minim risiko politik eksternal. Menggunakan penduduk lokal sebagai tentara juga menghindarkan VOC dari tekanan politik di Eropa terkait kekerasan kolonial.
  • Fleksibilitas tinggi. Pasukan lokal dapat digunakan untuk berbagai fungsi: pengamanan logistik, penyerangan, pengepungan, dan bahkan sebagai aparat hukum dan pemungut pajak.

Dengan kata lain, VOC menerapkan kolonialisme melalui outsourcing militer, yaitu memanfaatkan kekuatan bersenjata lokal untuk menjalankan agenda kolonial secara tidak langsung. Strategi ini menjadi fondasi bagi banyak operasi militer VOC, dari penaklukan Banda, Perang Makassar, hingga kontrol atas Banten dan kawasan timur Indonesia.


2. Pasukan Lokal sebagai Alat Kontrol Politik dan Sosial

VOC tidak semata-mata merekrut pasukan lokal demi keperluan tempur. Lebih dari itu, keberadaan pasukan-pasukan lokal dijadikan instrumen politik untuk mengendalikan dan memecah kekuatan pribumi dari dalam. Dalam strategi ini, kekuatan militer lokal bukan sekadar pelengkap, tetapi alat utama dalam membangun dominasi kolonial secara sistemik.

VOC memahami bahwa di tengah keragaman etnis, agama, dan struktur kekuasaan di Nusantara, konflik internal antar kelompok pribumi dapat dimanfaatkan sebagai pengungkit dominasi. Maka, alih-alih mengandalkan kekuatan VOC secara langsung, mereka lebih sering:

  • Membentuk atau memihak pasukan dari satu kelompok lokal (misalnya: Kristen Ambon, Bugis, atau pasukan Bali) untuk digunakan melawan kelompok lokal lainnya.
  • Mendorong rivalitas politik dan identitas, dengan memberi fasilitas khusus atau status sosial pada kelompok tertentu yang bersedia menjadi mitra militer VOC.
  • Menanamkan loyalitas baru berbasis gaji dan posisi, bukan kekerabatan atau kesetiaan kepada kerajaan sendiri.

Dengan cara ini, pasukan lokal bukan hanya menjadi alat pemukul, tetapi alat rekayasa sosial:

  • Di Maluku, keberadaan pasukan Kristen Ambon dijadikan tameng untuk membungkam perlawanan Islam di desa-desa sekitar.
  • Di Sulawesi, aliansi dengan Bugis digunakan untuk menghancurkan hegemoni Gowa.
  • Di Bali dan Lombok, pasukan sewaan antar kerajaan lokal dimobilisasi untuk mempertahankan pengaruh VOC tanpa harus mendatangkan pasukan dari Batavia.

Selain itu, penggunaan pasukan lokal memudahkan VOC untuk menyembunyikan wajah kekerasan kolonial di balik konflik internal antar-pribumi, sehingga perang tampak seperti konflik “lokal” biasa, bukan penjajahan asing. Ini menjadikan VOC tampak netral di mata rakyat, padahal merekalah aktor utama di balik layar.

Dengan strategi ini, VOC menciptakan struktur kendali ganda: militer diwakili oleh pasukan lokal, dan administrasi dipegang oleh pegawai VOC. Dalam banyak kasus, ini menyebabkan rakyat lebih takut pada pasukan pribumi bersenjata yang menjadi kaki tangan kolonial, ketimbang VOC sendiri.


3. Model Rekrutmen: Dari Kontrak Upah hingga Loyalitas Kesukuan

Dalam membangun pasukan lokal yang efektif dan loyal, VOC tidak hanya mengandalkan kekerasan atau paksaan. Mereka merancang beragam model rekrutmen yang fleksibel dan kontekstual, tergantung pada kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Strategi ini menggabungkan insentif ekonomi, penghargaan sosial, dan eksploitasi identitas etnis, sehingga menghasilkan formasi pasukan yang tidak hanya patuh, tapi juga terlibat aktif dalam menjalankan kepentingan VOC.


a. Kontrak Upah: Profesionalisasi ala Kolonial

Bentuk rekrutmen paling umum adalah pembentukan pasukan bayaran berdasarkan kontrak kerja. VOC menawarkan:

  • Gaji tetap atau per misi
  • Makanan, pakaian, dan perlengkapan senjata
  • Janji pengampunan pajak atau tanah setelah masa tugas

Pasukan Ambon, Bugis, Bali, hingga pribumi Jawa tertentu, banyak yang masuk dalam kategori ini. Mereka tidak selalu memahami misi geopolitik VOC, melainkan melihat pertempuran sebagai pekerjaan—sama seperti petani, tukang, atau nelayan. VOC secara cerdik memperkenalkan militer sebagai profesi, dan ini menjadi dasar awal munculnya tentara kolonial bumiputera.


b. Loyalitas Kesukuan dan Agama

Selain uang, identitas etnis dan agama dijadikan alat rekrutmen. VOC memainkan narasi seperti:

  • Pasukan Kristen Ambon melawan Muslim pemberontak”
  • Bugis Bone membalas kezaliman Gowa”
  • Raja Karangasem membantu menaklukkan Lombok sebagai bagian dari ekspansi Dharma Bali”

Melalui propaganda semacam ini, VOC menanamkan loyalitas etnis sebagai pembenaran moral untuk berperang, meskipun perang itu sesungguhnya menguntungkan kolonial. Perpecahan antarsuku, antaragama, atau antarwilayah dijadikan modal politik untuk membentuk pasukan yang akan melawan saudara sendiri.


c. Warisan Elite dan Keturunan Prajurit

VOC juga membuka peluang bagi anak-anak prajurit atau keluarga elite lokal untuk dididik secara militer. Di beberapa wilayah seperti Ambon, muncul:

  • Sekolah militer informal untuk anak-anak Kristen lokal
  • Jalur promosi dari pasukan rendahan menjadi perwira bawah

Dengan membuka jalur karier, VOC menarik elite lokal untuk masuk ke dalam sistem militer kolonial, sekaligus menghancurkan jaringan kesetiaan kepada kerajaan atau desa asalnya. Loyalitas digantikan dengan posisi dalam struktur militer yang dikendalikan oleh Belanda.

Model rekrutmen pasukan lokal oleh VOC adalah kombinasi dari:

  • Iming-iming ekonomi, yang menjadikan perang sebagai mata pencaharian,
  • Eksploitasi identitas, yang mengubah solidaritas menjadi alat perpecahan,
  • Integrasi sosial, yang menarik elite lokal masuk ke dalam sistem kolonial.

Dengan cara ini, VOC membentuk pasukan yang bukan hanya loyal, tapi juga berakar kuat di masyarakat lokal, menjadikannya alat penjajahan yang tidak tampak asing, tetapi sangat efektif.


Ambon: Pasukan Kristen Ambon sebagai Mitra Militer VOC

1. Konversi Kristen dan Integrasi Militer

Ambon dan wilayah sekitarnya di Maluku Tengah menjadi salah satu titik awal dan andalan VOC dalam membentuk pasukan lokal yang loyal, terorganisir, dan berfungsi bukan hanya sebagai penjaga keamanan, tetapi juga sebagai kekuatan tempur ekspedisi kolonial.

Proses ini berawal dari konversi agama secara massal yang dipelopori oleh Portugis pada abad ke-16. Setelah VOC menggantikan kekuasaan Portugis pada awal abad ke-17, mereka melanjutkan dan memperkuat komunitas Kristen lokal sebagai mitra utama kolonialisme di Maluku.

VOC memahami bahwa agama bukan hanya alat spiritual, tetapi juga instrumen sosial-politik. Maka, umat Kristen Ambon diberi hak istimewa, di antaranya:

  • Hak untuk mengakses pendidikan formal dan pelatihan militer, terutama bagi laki-laki muda.
  • Pengangkatan sebagai tentara VOC (serdadu Ambon), bahkan dalam pangkat dan struktur yang mirip dengan tentara reguler Belanda.
  • Perlindungan hukum dan ekonomi, yang tidak dimiliki komunitas Muslim atau non-Kristen lainnya.

Dalam sistem ini, loyalitas religius dijadikan pondasi militerisme kolonial. VOC menciptakan narasi bahwa membela VOC berarti membela “iman Kristen” melawan Islam atau “pemberontakan barbar”. Narasi ini tertanam dalam pengajaran gereja, sekolah, dan struktur masyarakat Ambon, menciptakan loyalitas ganda: kepada Tuhan dan kepada Kompeni.


Pendidikan Militer di Bawah Komando Belanda

VOC mendirikan pusat-pusat pelatihan militer informal di Ambon, tempat pemuda-pemuda lokal dilatih:

  • Baris-berbaris, penggunaan senjata api, strategi pengepungan, patroli laut
  • Disiplin militer ala Eropa, termasuk penggunaan seragam dan struktur komando
  • Pengindoktrinasian ideologi: bahwa mereka adalah bagian dari “penjaga ketertiban dan ketuhanan” di tanah jajahan

Pasukan ini tidak hanya berfungsi di Maluku, tetapi dikirim ke medan-medan tempur jauh, seperti:

  • Perang Mataram–VOC di Jawa
  • Perang di Sumatra Barat (Minangkabau)
  • Penumpasan perlawanan di Bali dan Sulawesi

Dengan kualitas tempur yang mumpuni dan loyalitas yang tinggi, pasukan Kristen Ambon menjadi tulang punggung kekuatan darat VOC, terutama ketika jumlah tentara Eropa menipis.

Masyarakat Kristen Ambon bukan sekadar warga jajahan, melainkan pilar utama militer VOC dalam ekspansi kolonial. Melalui konversi agama, pendidikan militer, dan sistem sosial baru yang berorientasi pada Belanda, VOC membentuk komunitas militer lokal yang loyal, profesional, dan dapat dikirim ke berbagai front perlawanan. Namun, konsekuensinya adalah polarisasi yang tajam antara kelompok Kristen pro-Kolonial dan kelompok lain yang kemudian dianggap subversif atau musuh negara.


2. Peran dalam Operasi di Luar Maluku

Pasukan Kristen Ambon, setelah dilatih dan diintegrasikan ke dalam struktur militer VOC, tidak hanya bertugas di wilayah asal mereka, tetapi menjadi kekuatan tempur utama VOC di seluruh Nusantara. Mereka dikerahkan ke berbagai medan konflik sebagai prajurit profesional, menggantikan atau melengkapi kekuatan militer Eropa yang jumlahnya terbatas dan rentan terhadap penyakit tropis.


a. Jawa: Menghadapi Perlawanan Mataram dan Banten

Dalam berbagai ekspedisi militer di tanah Jawa, terutama dalam konflik dengan Kerajaan Mataram dan Kesultanan Banten, pasukan Ambon menjadi unit garis depan yang sangat diandalkan. Mereka dianggap:

  • Tangguh dalam pertempuran terbuka dan pertempuran kota
  • Disiplin serta patuh pada perintah komando Belanda
  • Tidak terikat secara kultural dengan kerajaan Jawa, sehingga tidak mudah berempati pada musuh yang mereka hadapi

Pada Perang Trunojoyo (1674–1680) dan konflik-konflik berikutnya di wilayah Yogyakarta dan Surakarta, pasukan Ambon dikerahkan sebagai kekuatan utama VOC dalam menduduki dan mengendalikan kota-kota strategis.


b. Sumatra: Ekspedisi Minangkabau dan Aceh

VOC juga mengerahkan pasukan Ambon ke Sumatra dalam rangka:

  • Penaklukan wilayah Minangkabau yang menolak sistem monopoli dagang Belanda
  • Penekanan terhadap pengaruh Aceh yang dianggap membahayakan jalur perdagangan barat

Pasukan Ambon dalam konteks ini tidak hanya berfungsi sebagai pasukan tempur, tetapi juga sebagai garnisun di benteng-benteng VOC, bertugas menjaga pelabuhan dan rute perdagangan.


c. Sulawesi: Perang Makassar dan Penjagaan Jalur Laut Timur

Dalam Perang Makassar (1666–1669), pasukan Kristen Ambon dikerahkan bersama armada besar VOC untuk menghadapi kekuatan Kesultanan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin. Mereka terlibat langsung dalam:

  • Pengepungan Benteng Somba Opu
  • Patroli laut di Selat Makassar
  • Pembersihan sisa-sisa perlawanan Bugis dan Makassar setelah Perjanjian Bongaya

Setelah perang usai, mereka juga ditugaskan sebagai pengawal tetap benteng Rotterdam di Makassar, yang menjadi pangkalan strategis VOC di timur Indonesia.

Pasukan Kristen Ambon bukan hanya tentara lokal, tetapi telah dibentuk menjadi prajurit kolonial profesional yang dapat dikerahkan ke seluruh Nusantara. Peran mereka dalam operasi militer VOC di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi membuktikan bahwa VOC menggunakan kekuatan lokal sebagai pasukan ekspedisi kolonial, bukan hanya sebagai pelindung wilayah sendiri. Ini adalah bentuk kolonialisme militer yang berbasis outsourcing, di mana rakyat jajahan dipersenjatai untuk menaklukkan rakyat jajahan lainnya demi kepentingan asing.


3. Dampak Sosial: Polarisasi antar Kelompok Muslim–Kristen Lokal

Salah satu konsekuensi strategis dari pemanfaatan pasukan Kristen Ambon oleh VOC adalah terciptanya polarisasi sosial yang dalam antara komunitas Kristen dan Muslim lokal di Maluku dan wilayah sekitarnya. Polarisasi ini bukan kebetulan, tetapi hasil dari kebijakan sengaja yang dirancang VOC untuk memperkuat kontrol politik dan mencegah terbentuknya front perlawanan bersatu.


a. Komunitas Kristen sebagai Mitra Istimewa Kolonial

Sejak awal, VOC memberikan perlakuan istimewa kepada umat Kristen Ambon:

  • Diizinkan tinggal dekat pusat kekuasaan (benteng dan pelabuhan)
  • Diberi akses pendidikan dan pelatihan militer
  • Mendapat hak berdagang, bekerja sebagai pegawai VOC, bahkan naik pangkat dalam struktur militer kolonial

Sebaliknya, komunitas Muslim dipinggirkan—baik secara sosial maupun ekonomi. Banyak desa Muslim dijadikan objek pengawasan ketat, bahkan kerap dituduh sebagai sarang “pemberontakan” atau “fanatisme”.


b. Perpecahan Horizontal yang Dibina secara Sistematis

VOC secara aktif memelihara ketegangan antar kelompok melalui beberapa strategi:

  • Penempatan militer Kristen di desa-desa mayoritas Muslim, menciptakan ketegangan dan trauma kolektif
  • Kebijakan perkawinan silang yang dibatasi: Kristen dilarang menikah dengan Muslim
  • Diskriminasi pajak dan hukum, di mana Kristen lebih sering diperlakukan lunak dibandingkan Muslim

Akibatnya, dalam masyarakat Maluku berkembang identitas kultural yang terbelah secara tajam: Kristen pro-Kompani, Muslim dicurigai sebagai oposisi.


c. Warisan Jangka Panjang: Trauma dan Ketidakpercayaan

Polarisasi ini berdampak jauh melampaui masa VOC:

  • Di masa kolonial Hindia Belanda, diskriminasi ini tetap dipelihara, dengan umat Kristen Ambon menjadi salah satu kelompok yang banyak direkrut dalam KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
  • Di masa kemerdekaan, ketegangan dan rasa curiga antar komunitas masih membekas, bahkan menjadi salah satu faktor laten konflik sektarian di Maluku modern.

Dengan kata lain, VOC tidak hanya memecah masyarakat untuk kepentingan sesaat, tetapi telah mewariskan luka sosial jangka panjang yang merusak struktur kesatuan masyarakat lokal.

Pemanfaatan pasukan Kristen Ambon oleh VOC menghasilkan segregasi sosial yang tajam antara komunitas Kristen dan Muslim di Maluku. Alih-alih membangun persatuan, VOC merancang masyarakat yang terbagi, saling curiga, dan rentan konflik, karena kekuatan kolonial hanya bisa langgeng dalam ruang sosial yang terpecah. Polarisasi ini menjadi bagian dari arsitektur kolonialisme yang tak terlihat, tapi sangat efektif.


C. Bugis: Prajurit Bayaran dan Politik Balas Dendam

1. Arung Palakka dan Koalisi dengan VOC Melawan Gowa

Keterlibatan bangsa Bugis dalam jaringan militer VOC menjadi contoh nyata bagaimana dendam politik lokal dijadikan alat kolonialisme yang sangat efektif. Dalam hal ini, tokoh sentralnya adalah Arung Palakka, bangsawan dari Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan, yang menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni Gowa dan sekaligus mitra utama VOC dalam menghancurkan kekuatan maritim terakhir di timur Nusantara.


a. Latar Sejarah: Bone dan Trauma Penaklukan oleh Gowa

Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin tampil sebagai kekuatan maritim besar yang menentang monopoli dagang VOC. Namun, dalam proses perluasan kekuasaannya, Gowa menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga, termasuk Bone. Penaklukan ini disertai represi dan kekerasan terhadap bangsawan serta rakyat Bone, menciptakan luka kolektif dan keinginan untuk membalas.

Arung Palakka, sebagai bangsawan muda Bone, melarikan diri ke Batavia (Jakarta) dan mencari perlindungan kepada VOC. Di sinilah titik balik sejarah dimulai.


b. VOC dan Politik Eksploitasi Dendam

VOC melihat Arung Palakka bukan sekadar pelarian politik, tetapi sebagai aset strategis yang bisa digunakan untuk menghancurkan Gowa dari dalam.

Maka, VOC:

  • Memberikan Arung Palakka pelatihan militer, perlindungan politik, dan dukungan logistik.
  • Menjadikannya pemimpin pasukan Bugis dalam ekspedisi militer menaklukkan Gowa (Perang Makassar 1666–1669).
  • Mempromosikannya sebagai simbol perlawanan pribumi terhadap tirani Gowa, meskipun sesungguhnya VOC lah yang menjadi sutradara besar.

Koalisi VOC–Bugis ini menunjukkan pola klasik “divide et impera”: VOC tidak perlu menghadapi Gowa sendirian, cukup meminjam dendam Bone dan menjadikannya mesin perang.


c. Hasil: Jatuhnya Gowa dan Kebangkitan Bugis sebagai Kekuatan Militer Baru

Perang Makassar berakhir dengan kekalahan Gowa dan penandatanganan Perjanjian Bongaya (1667), yang meruntuhkan kekuatan maritim lokal terbesar di timur Nusantara. Sultan Hasanuddin dipaksa menyerahkan benteng dan wilayah penting kepada VOC.

Namun, kemenangan ini juga membuka jalan bagi Arung Palakka dan bangsa Bugis untuk naik sebagai kekuatan baru, tidak hanya di Sulawesi, tetapi juga di berbagai wilayah lain Nusantara. Dalam hal ini, VOC menciptakan kekuatan militer lokal baru dengan konsekuensi jangka panjang yang tidak bisa mereka kendalikan sepenuhnya.

Aliansi VOC dengan Arung Palakka menunjukkan bagaimana kolonialisme tidak selalu hadir dalam bentuk penjajahan frontal. Dengan mengeksploitasi dendam politik dan rivalitas lokal, VOC berhasil menghancurkan kerajaan besar seperti Gowa tanpa membayar harga militer penuh. Namun, strategi ini juga melahirkan kekuatan baru (Bugis) yang kemudian menjadi aktor militer otonom di berbagai wilayah, melampaui kendali VOC itu sendiri.


2. Bugis sebagai Pasukan Bayaran VOC di Seluruh Nusantara

Pasca kemenangan VOC–Bone atas Gowa dalam Perang Makassar, bangsa Bugis—yang sebelumnya adalah korban represi—bertransformasi menjadi aktor militer penting dalam arsitektur kolonial VOC. Tidak hanya menjadi mitra, bangsa Bugis juga memainkan peran sebagai pasukan bayaran yang dikirim ke berbagai daerah di Nusantara untuk menjalankan operasi militer atas nama VOC maupun atas inisiatif sendiri.


a. Mobilitas Militer Bugis: Kalimantan, Bali, hingga Nusa Tenggara

VOC memanfaatkan militansi dan semangat ekspansionis Bugis untuk operasi militer di berbagai wilayah strategis:

  • Di Kalimantan, terutama wilayah barat (Pontianak, Sambas), pasukan Bugis digunakan untuk menghadapi kerajaan lokal dan mengamankan jalur perdagangan sungai dan hutan.
  • Di Bali dan Lombok, Bugis disewa VOC (dan juga oleh kerajaan lokal) untuk menundukkan wilayah yang dianggap tidak stabil atau anti-Belanda.
  • Di Nusa Tenggara (Flores, Sumbawa, Timor), pasukan Bugis sering menjadi ujung tombak operasi VOC terhadap wilayah yang menolak monopoli perdagangan.

Karakteristik mereka yang berani, memiliki kapal sendiri, dan menguasai medan laut, menjadikan Bugis sangat efektif untuk perang gerilya, pendudukan, dan intimidasi politik.


b. Dari Tentara Bayaran menjadi Kekuatan Independen

Seiring waktu, bangsa Bugis tidak hanya menjadi alat perang VOC, tetapi mengembangkan jaringan kekuasaan militer dan politik sendiri, yang sering kali tidak lagi sepenuhnya patuh pada VOC. Setelah VOC melemah menjelang akhir abad ke-18, para elite Bugis yang sudah terlatih dan memiliki pengalaman tempur:

  • Mendirikan permukiman militer dan dagang di berbagai kota pelabuhan (Pontianak, Mempawah, Riau, Selangor, hingga Johor).
  • Menjadi raja atau penasihat militer utama di kerajaan-kerajaan lokal.
  • Mengendalikan perdagangan senjata, budak, dan hasil bumi, sering kali menyaingi kekuatan dagang Belanda sendiri.

Bangsa Bugis menjadi simbol dari kekuatan militer non-Eropa yang otonom, profesional, dan berjejaring lintas kepulauan, mewarisi kemampuan VOC, tetapi tanpa kebergantungan administratif.


c. Konsekuensi: Kolonialisme Tanpa Koloni

Fenomena ini menciptakan apa yang disebut sejarawan sebagai “kolonialisme tanpa koloni”: yaitu kontrol wilayah dan sumber daya oleh kekuatan lokal (dalam hal ini Bugis) yang bertindak dengan pola kolonial, meskipun tidak secara formal bagian dari negara kolonial.

VOC di satu sisi memanfaatkan kekuatan Bugis, tetapi di sisi lain melahirkan kekuatan saingan yang tak bisa sepenuhnya dikendalikan. Dalam beberapa kasus, konflik pun pecah antara pos-pos VOC dengan milisi Bugis yang merasa memiliki klaim tersendiri atas wilayah dagang atau kekuasaan lokal.

Pasukan Bugis bukan hanya alat tempur VOC, tetapi menjadi kekuatan militer yang membentuk poros kekuasaan tersendiri di luar kendali pusat kolonial. Mereka menunjukkan bagaimana tentara bayaran lokal bisa berkembang menjadi kekuatan otonom dengan pengaruh politik dan ekonomi yang melampaui kepentingan kolonial awal. Dari perantara kolonial menjadi pesaing kolonial, Bugis memainkan peran unik dalam sejarah militer dan kekuasaan di Nusantara.


3. Keterbalikan Loyalitas: Dari Alat VOC Menjadi Kekuatan Regional Tersendiri

Apa yang semula dimaksudkan VOC sebagai strategi militer murah dan efektif—dengan memanfaatkan bangsa Bugis sebagai pasukan bayaran—pada akhirnya justru melahirkan kekuatan militer regional yang mandiri, tangguh, dan tidak lagi tunduk pada komando kolonial. Proses ini merupakan bentuk reversi kekuasaan, di mana aktor lokal menguasai teknologi militer, jaringan dagang, dan strategi perang kolonial, lalu menggunakannya untuk membentuk sistem kekuasaan sendiri.


a. Bangsa Bugis sebagai Diaspora Militer dan Politik

Setelah mendapat pelatihan, pengalaman tempur, dan akses terhadap senjata dari VOC, bangsa Bugis mendirikan permukiman dan koloni strategis di berbagai wilayah Nusantara, bahkan hingga Semenanjung Malaya. Beberapa contoh penting:

  • Pontianak (Kalimantan Barat): Didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, dengan peran penting orang Bugis sebagai panglima dan pedagang senjata.
  • Riau-Lingga: Menjadi basis kekuatan Bugis setelah mereka berperan besar dalam penggulingan penguasa lokal dan menjadi Raja Muda atau Yamtuan Muda.
  • Selangor dan Johor (Semenanjung Malaya): Bugis tidak hanya berdagang dan merantau, tetapi juga menjadi penguasa langsung, bahkan membentuk dinasti yang menguasai wilayah secara turun-temurun.

Kekuatan ini tidak lahir dari kerajaan pusat, tetapi dari mobilitas militer dan kemampuan negosiasi Bugis, warisan langsung dari pengalaman kolonial mereka bersama VOC.


b. Model Kekuasaan Baru: Campuran Dagang, Militer, dan Islam Politik

Berbeda dengan model kekuasaan Jawa yang bersifat agraris dan berbasis kekeratonan, koloni-koloni Bugis bersifat:

  • Maritim dan fleksibel, dengan orientasi pada pelabuhan dan jaringan dagang
  • Militeristik, dengan struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh elite perang
  • Islamik, tapi pragmatis; pemimpin Bugis sering menggunakan simbol Islam untuk legitimasi, namun sangat luwes dalam aliansi dagang

Dengan demikian, Bugis membentuk model kekuasaan regional tersendiri yang hybrid: setengah kerajaan, setengah sindikat dagang-bersenjata.


c. Ancaman bagi Kolonialisme Eropa

VOC, dan kemudian Hindia Belanda, menyadari bahwa bangsa Bugis tidak bisa lagi dianggap sebagai alat atau sekutu biasa. Mereka telah menjadi:

  • Pesaing kekuasaan teritorial, dengan kontrol atas pelabuhan dan jalur laut penting
  • Aktor diplomatik regional, menjalin aliansi dengan Inggris, Melayu, dan Kesultanan Islam lainnya
  • Simbol kekuatan pribumi independen, yang sulit ditundukkan karena tidak terikat pada satu pusat kekuasaan

Dalam banyak kasus, Belanda harus bernegosiasi ulang atau bahkan berperang langsung melawan pasukan Bugis di berbagai wilayah, karena loyalitas mereka tidak lagi kepada VOC, melainkan kepada kepentingan Bugis sendiri.

Dari pasukan bayaran menjadi penguasa, dari pelarian menjadi pendiri kerajaan—kisah Bugis menunjukkan bagaimana kolonialisme dapat menciptakan kekuatan yang justru berbalik melawan dan menantang dominasi itu sendiri. Dalam hal ini, bangsa Bugis bukan hanya “produk” dari politik VOC, tetapi aktor aktif yang merekayasa sejarah mereka sendiri, mengubah keterbatasan menjadi kekuasaan regional.


Bali: Pasukan Sewa dari Kerajaan-Kerajaan Lokal

1. VOC Menyewa Pasukan dari Raja-Raja Bali untuk Operasi di Lombok dan Sumbawa

Pulau Bali pada abad ke-17 hingga ke-18 bukanlah satu entitas politik tunggal, melainkan terpecah ke dalam banyak kerajaan kecil seperti Karangasem, Klungkung, Buleleng, Gianyar, dan lainnya—masing-masing memiliki ambisi, konflik internal, dan jaringan kekuasaan tersendiri. Dalam konteks ini, VOC melihat peluang emas untuk memanfaatkan rivalitas lokal di Bali sebagai alat perluasan pengaruh ke wilayah timur, khususnya Lombok dan Sumbawa.


a. Politik Aliansi Berdasarkan Persaingan Kerajaan

VOC tidak mengintervensi Bali secara langsung dalam tahap awal kolonialisme. Sebaliknya, mereka membentuk aliansi taktis dengan kerajaan-kerajaan tertentu, terutama yang memiliki ambisi ekspansi ke luar Bali. Yang paling menonjol adalah:

  • Kerajaan Karangasem, yang secara historis memang memiliki proyek ekspansi ke Lombok bagian timur.
  • Kerajaan Buleleng, yang bersaing dengan Karangasem dan memiliki kepentingan dagang di utara Bali.
  • Kerajaan Klungkung, yang memiliki pengaruh simbolik dan spiritual tinggi sebagai pusat budaya Bali.

VOC menyadari bahwa dengan memberi dukungan politik dan ekonomi (termasuk senjata atau legitimasi) kepada salah satu pihak, mereka dapat memanfaatkan pasukan kerajaan itu untuk menaklukkan wilayah luar Bali seperti Lombok dan Sumbawa, tanpa harus mengirim pasukan Belanda sendiri.


b. Pasukan Sewa dalam Ekspedisi Eksternal

Pasukan-pasukan Bali, terutama dari Karangasem, disewa dan dimobilisasi oleh VOC dalam operasi militer di:

  • Lombok, yang saat itu terbagi antara kelompok Sasak dan koloni-koloni Bali. VOC mendukung invasi Karangasem dengan imbalan akses dagang dan pengaruh politik.
  • Sumbawa, yang menjadi sasaran karena sumber daya ternak, kayu, dan pos strategisnya.

Dalam operasi ini, pasukan Bali digunakan tidak hanya sebagai alat tempur, tetapi juga sebagai agen kolonisasi budaya dan militer, membangun koloni baru dan memindahkan sebagian penduduk Bali ke daerah yang ditaklukkan. Ini menghasilkan diaspora Bali di luar Bali, khususnya di Lombok timur dan tengah.


c. Pola Transaksi Politik: Senjata Ganti Loyalitas

VOC menukar senjata, amunisi, dan pengakuan terhadap salah satu raja Bali dengan:

  • Dukungan militer untuk ekspansi kerajaan tersebut
  • Penyerahan sebagian hasil bumi dari wilayah yang ditaklukkan
  • Kesediaan untuk menjaga pelabuhan atau jalur laut yang penting bagi VOC

Ini bukan sekadar kontrak ekonomi, melainkan transaksi politik yang mengikat kerajaan Bali ke dalam sistem kolonial secara bertahap. Raja-raja Bali tidak lagi bertarung hanya demi kejayaan lokal, tapi juga sebagai proksi dalam skema besar VOC.


Kesimpulan Subbagian:

Di Bali, VOC tidak langsung menjajah, melainkan mengontrak kekuatan lokal untuk menundukkan wilayah-wilayah lain. Aliansi dengan raja-raja Bali dibentuk berdasarkan rivalitas, ambisi ekspansi, dan iming-iming kekuasaan. Dalam proses ini, VOC memperluas pengaruhnya ke Nusa Tenggara tanpa mengorbankan banyak prajurit sendiri, sementara Bali menjadi kekuatan militer regional yang — secara tidak sadar — ikut memperluas dominasi kolonial.


2. Peran Ganda: Milisi Sekaligus Pemecah Kekuatan Bali Sendiri

Pasukan dari kerajaan-kerajaan Bali yang disewa oleh VOC untuk menaklukkan wilayah luar seperti Lombok dan Sumbawa tidak hanya berfungsi sebagai alat ekspansi kolonial, tetapi juga berperan dalam menghancurkan integritas politik Bali dari dalam. Strategi VOC dalam hal ini sangat halus: sambil memanfaatkan milisi Bali untuk operasi luar, mereka menanamkan dan merawat konflik internal antar kerajaan Bali agar pulau itu tetap terpecah dan mudah dikendalikan.


a. VOC Mengatur Keseimbangan Kekuasaan Lewat Konflik Terkontrol

VOC secara aktif memainkan posisi antar kerajaan Bali, seperti:

  • Memberi dukungan kepada Karangasem dalam ekspansi ke Lombok, lalu di waktu lain menawarkan pengakuan dan senjata kepada Klungkung atau Buleleng untuk menahan dominasi Karangasem.
  • Membiarkan pertikaian antara kerajaan-kerajaan berlangsung selama itu tidak mengancam jalur dagang dan pelabuhan VOC.
  • Mengintervensi secara terbatas hanya ketika salah satu pihak tampak terlalu dominan.

Dengan demikian, Bali menjadi semacam “zona abu-abu kekuasaan”, di mana tidak ada satu kerajaan pun yang benar-benar unggul dan stabil. Fragmentasi ini sangat menguntungkan VOC karena:

  • Tidak perlu menaklukkan seluruh Bali secara langsung
  • Kerajaan-kerajaan Bali sendiri saling membatasi dan saling mengawasi
  • VOC bisa terus menjadi penengah sekaligus pengatur arus dagang dan politik dari luar

b. Pasukan Bali Melawan Sesama Bali

Beberapa contoh menunjukkan bagaimana pasukan dari satu kerajaan Bali dipakai VOC untuk melawan kerajaan Bali lainnya, misalnya:

  • Karangasem yang menyerang Buleleng atau Gianyar, dengan restu (diam-diam) dari VOC, karena dianggap pro-Inggris atau terlalu otonom.
  • Pertempuran di wilayah perbatasan seperti Bangli dan Klungkung, yang dibiarkan berlarut untuk menguras kekuatan lokal dan memecah konsentrasi kekuasaan.

Dalam konteks ini, pasukan Bali berperan ganda: di luar menjadi alat kolonial, di dalam menjadi faktor destruktif yang merusak potensi kesatuan politik Bali sendiri.


c. Kolonialisme Berbasis Rivalitas Pribumi

VOC tidak menaklukkan Bali secara militer langsung sampai era Belanda (abad ke-19), tetapi mereka membentuk landasan disintegrasi Bali jauh lebih awal, dengan cara:

  • Memupuk rasa saling curiga antar kerajaan
  • Mengatur keseimbangan melalui suplai senjata dan aliansi taktis
  • Memanfaatkan raja-raja yang ambisius sebagai mitra sementara

Dengan begitu, Bali menjadi wilayah dengan potensi militer tinggi, tapi tak pernah solid secara politik, dan ini membuatnya rentan terhadap kolonialisasi di kemudian hari.

Peran pasukan Bali dalam strategi kolonial VOC bersifat paradoksal: mereka adalah alat ekspansi dan sekaligus korban strategi pecah-belah. Dengan membiarkan dan memicu konflik antar kerajaan, VOC tidak hanya menunda ancaman bersatu dari Bali, tetapi juga menancapkan benih disintegrasi internal yang akan memudahkan kolonialisasi penuh di masa mendatang. Ini adalah wajah kolonialisme yang tidak selalu mengangkat senjata, tetapi memenangkan perang melalui intrik kekuasaan lokal.


3. Efek Jangka Panjang: Bali Terpecah dan Lebih Mudah Dikendalikan Belanda di Era Pasca-VOC

Strategi VOC dalam menggunakan pasukan sewaan dari kerajaan-kerajaan Bali untuk kepentingan ekspansi ke luar, sembari menjaga ketegangan internal antar kerajaan di dalam Bali, membawa efek struktural yang sangat dalam dan tahan lama. Meskipun VOC secara formal tidak menaklukkan Bali secara total selama masa operasionalnya (hingga akhir abad ke-18), warisan politik pecah-belah yang mereka ciptakan menjadi bekal utama bagi Belanda—penerus langsung VOC—untuk menguasai Bali secara militer dan administratif pada abad ke-19.


a. Fragmentasi Politik: Tidak Ada Satu Pusat Kekuatan Bali

Karena rivalitas internal yang dipelihara oleh VOC:

  • Tidak terbentuk satu otoritas dominan di Bali yang bisa memimpin perlawanan kolektif.
  • Kerajaan-kerajaan seperti Klungkung, Karangasem, Buleleng, Gianyar, Bangli, dan lainnya lebih sibuk bersaing satu sama lain daripada menyusun kekuatan melawan intervensi luar.
  • Setiap kerajaan memiliki aliansi berbeda, baik dengan VOC, Inggris, atau bahkan kerajaan tetangga di Nusa Tenggara, sehingga tidak ada strategi geopolitik bersama.

Dalam kondisi seperti ini, Belanda pasca-VOC dapat mendekati dan menaklukkan Bali secara bertahap, dengan pendekatan yang hampir identik:

  • Mengambil satu kerajaan sebagai mitra
  • Menggunakan kekuatan mitra itu untuk melemahkan kerajaan lain
  • Melakukan intervensi militer terbatas lalu mengubah status politik kerajaan menjadi wilayah dependensi

b. Absennya Sentralisasi Militer dan Diplomatik

Efek lain dari pecahnya Bali adalah tidak adanya komando militer terpadu yang bisa merespons invasi asing. Setiap kerajaan:

  • Memiliki pasukan sendiri yang relatif kecil dan defensif
  • Tidak memiliki struktur pertahanan regional terpadu
  • Sering terlibat dalam perang antarkerajaan yang melemahkan logistik dan moral

Hal ini sangat berbeda dengan model kerajaan-kerajaan besar di Jawa seperti Mataram atau di Sumatra seperti Aceh, yang meskipun pada akhirnya kalah, pernah memberikan perlawanan terkoordinasi yang serius.


c. Warisan Strategi Adu Domba VOC Digunakan Ulang oleh Pemerintah Hindia Belanda

Belanda, setelah menggantikan VOC secara formal, melanjutkan pola lama dengan lebih sistematis:

  • Intervensi militer di Bali pada 1846, 1848, dan 1849, dimulai dari Buleleng dan Jembrana, bukan menyerang seluruh Bali sekaligus.
  • Menggunakan kerajaan yang sudah takluk sebagai kaki tangan untuk menekan wilayah yang masih merdeka.
  • Mendikte urusan dalam negeri kerajaan, termasuk hukum warisan, hak dagang, dan pengangkatan pemimpin.

Semua ini dimungkinkan karena Bali sudah terpecah secara struktural sejak era VOC, dan tidak memiliki infrastruktur kekuasaan yang cukup untuk melawan invasi kolonial dalam bentuk baru.

Efek jangka panjang dari penggunaan milisi Bali oleh VOC bukan hanya terbatas pada ekspansi ke Lombok dan Sumbawa, tetapi lebih jauh lagi: VOC meninggalkan warisan disintegrasi politik di Bali yang memudahkan Belanda untuk melakukan kolonialisasi penuh di abad ke-19. Bali yang kaya budaya dan kekuatan militer, justru runtuh bukan karena kalah perang besar, tetapi karena gagal bersatu. Inilah hasil paling nyata dari strategi kolonial berbasis manipulasi militer lokal dan konflik horizontal.


Pola Umum: Pasukan Lokal sebagai Alat Penjajahan Tak Langsung

Strategi kolonial VOC dalam menggunakan pasukan lokal seperti Ambon, Bugis, dan Bali mencerminkan pola konsisten yang sangat efektif dalam menaklukkan wilayah tanpa perlu menanggung biaya tinggi atau perlawanan frontal yang membahayakan. Ini adalah bentuk penjajahan tak langsung—di mana yang bertempur, menaklukkan, dan menjaga kekuasaan kolonial adalah penduduk Nusantara sendiri.


1. Biaya Murah, Risiko Rendah, Efektivitas Tinggi bagi VOC

VOC, sebagai kongsi dagang swasta, mengutamakan efisiensi ekonomi dalam setiap operasi militernya. Penggunaan tentara Eropa sangat terbatas karena:

  • Biaya tinggi untuk gaji, pelatihan, logistik, dan pengiriman dari Eropa
  • Risiko penyakit tropis dan adaptasi medan tempur yang buruk
  • Waktu respons lambat dari markas pusat di Belanda

Sebaliknya, pasukan lokal menawarkan banyak keunggulan:

  • Murah secara ekonomi (dibayar dengan upah kecil, senjata, atau imbalan kekuasaan)
  • Adaptif terhadap lingkungan dan budaya lokal
  • Cepat dimobilisasi dan memiliki pengetahuan lokal tentang medan, bahasa, dan strategi musuh

Dengan demikian, VOC dapat melakukan ekspansi cepat ke berbagai pulau tanpa kehadiran militer besar dari Eropa.


2. Menghindari Resistensi Langsung dari Rakyat terhadap Tentara Eropa

Penggunaan pasukan lokal juga menyamarkan wajah penjajahan. Ketika yang datang menyerbu adalah sesama orang Nusantara—baik Ambon, Bugis, maupun Bali—resistensi rakyat terhadap kolonialisme menjadi kabur.

  • Musuh tak lagi jelas sebagai orang asing, tapi tampak seperti konflik antarkerajaan atau antarsuku biasa.
  • Rakyat sering terjebak dalam narasi lokal: “perang saudara”, “balas dendam antarkampung”, atau “konflik dagang”.
  • Perlawanan terhadap VOC menjadi lebih sulit dimobilisasi, karena tidak tampak sebagai penjajahan asing secara langsung.

Dengan demikian, VOC dapat menghindari perlawanan berskala besar berbasis nasionalisme atau solidaritas antardaerah.


3. Menciptakan Konflik Horisontal dan Memecah Perlawanan

Pola kolonial klasik: pecah-belah dan kuasai (divide et impera), sangat efektif diterapkan melalui pasukan lokal. VOC:

  • Mengadu domba kelompok agama (Kristen vs Muslim) seperti di Maluku
  • Mengeksploitasi dendam antar kerajaan (Bugis vs Gowa, Bone vs Makassar)
  • Memanfaatkan ambisi lokal (Karangasem vs Klungkung di Bali)

Dengan terus-menerus memelihara konflik horizontal, VOC dapat:

  • Melemahkan potensi konsolidasi kekuatan lokal
  • Mengarahkan kemarahan rakyat pada sesama pribumi, bukan penjajah
  • Mengendalikan wilayah luas hanya dengan sedikit tenaga dan biaya

Konflik lokal yang terjadi pun tidak berhenti ketika VOC pergi, tetapi sering meninggalkan jejak sosial panjang berupa ketidakpercayaan, trauma, dan fragmentasi kekuasaan.

Penggunaan pasukan lokal oleh VOC bukan sekadar strategi militer pragmatis, tetapi bagian dari arsitektur kolonialisme tak langsung. Dengan memanfaatkan perbedaan etnis, dendam politik, dan kepentingan lokal, VOC berhasil menciptakan sistem penjajahan berbasis kendali jarak jauh—murah, efektif, dan berumur panjang. Ini adalah bentuk kolonialisme yang tak selalu tampak secara kasat mata, tapi lebih berbahaya karena memecah dari dalam.


Dampak Strategis dan Sosial

1. Militerisasi Komunitas Lokal dan Hilangnya Otonomi Bersenjata

Salah satu dampak paling mencolok dari strategi kolonial VOC yang mengandalkan pasukan lokal adalah termiliterisasinya komunitas-komunitas pribumi. Kelompok-kelompok yang sebelumnya hidup dalam struktur kekuasaan adat atau kerajaan tradisional, perlahan diubah menjadi bagian dari mesin militer kolonial, kehilangan otonominya dalam memutuskan kapan dan untuk apa kekuatan bersenjata digunakan.


a. Komunitas Lokal Dijadikan Kaki Tangan Kolonial

Dengan menjadikan suku atau kerajaan tertentu sebagai pemasok tentara, VOC berhasil:

  • Mengikat loyalitas komunitas kepada kepentingan eksternal, bukan kepada rakyat atau nilai adatnya sendiri.
  • Mengubah prajurit dari penjaga kedaulatan menjadi pelayan kekuasaan asing.
  • Mematikan struktur militer independen yang bisa menjadi ancaman bagi kolonialisme.

Ini sangat tampak dalam kasus:

  • Ambon, di mana komunitas Kristen lokal dijadikan milisi tetap VOC, dipersenjatai dan dikirim jauh dari tanah asal mereka untuk bertempur demi Belanda.
  • Bugis, yang semula prajurit kerajaan, lalu menjadi pasukan bayaran profesional tanpa keterikatan ideologis pada tanah air.
  • Bali, di mana pasukan kerajaan dikooptasi untuk operasi kolonial, bahkan melawan sesama bangsa Bali di pulau-pulau lain.

b. Hilangnya Otonomi Militer Pribumi

Sebelum datangnya VOC, kerajaan-kerajaan di Nusantara memiliki sistem militer tersendiri yang berbasis adat, kesetiaan keluarga, dan kewajiban komunitas. Namun setelah VOC mendominasi struktur kekuasaan:

  • Keputusan militer berada di tangan asing (VOC), bukan raja atau panglima lokal.
  • Senjata dan logistik dikendalikan oleh VOC, membuat kerajaan tak berdaya jika diputus dari pasokan.
  • Kekuatan bersenjata lokal hanya digunakan jika sesuai kepentingan VOC, bukan lagi untuk mempertahankan rakyatnya sendiri.

Dalam jangka panjang, ini menciptakan tradisi subordinasi kekuatan bersenjata yang akan diteruskan hingga era Hindia Belanda—di mana kekuatan militer lokal sepenuhnya di bawah komando kolonial.


c. Distorsi Fungsi Sosial Militer

Militer bukan lagi institusi kehormatan atau pelindung rakyat, melainkan:

  • Aparatus kekuasaan kolonial
  • Instrumen kekerasan terhadap rakyat sendiri
  • Sumber ketakutan dan pemecah solidaritas komunitas

Di berbagai wilayah, rakyat mulai tidak mempercayai aparat bersenjata pribumi, karena mereka sering kali menjadi alat represi atas nama kekuasaan asing.

Militerisasi komunitas lokal oleh VOC telah menghancurkan struktur otonomi bersenjata pribumi. Alih-alih menjadi penjaga kedaulatan lokal, pasukan lokal berubah fungsi menjadi prajurit sewaan yang tunduk pada kepentingan kolonial. Ini bukan hanya berdampak pada strategi perang, tetapi juga mengubah cara masyarakat melihat kekuatan, loyalitas, dan kekerasan. Warisan ini terus membekas hingga masa kolonial Belanda, bahkan menyisakan luka sejarah dalam relasi antara militer dan rakyat di masa modern.


2. Terciptanya Kekuatan Militer Lokal Pasca-VOC yang Sulit Dikendalikan

Salah satu dampak tak terduga dari strategi militer VOC yang mengandalkan pasukan lokal adalah munculnya kekuatan militer pribumi yang mandiri dan otonom, yang kemudian sulit dikendalikan bahkan oleh pemerintah Hindia Belanda sendiri setelah pembubaran VOC pada akhir abad ke-18.

Alih-alih sekadar menjadi instrumen kolonial jangka pendek, komunitas-komunitas militer yang telah dipersenjatai, dilatih, dan dipolitisasi oleh VOC justru berkembang menjadi aktor militer-politik yang kuat dan memiliki agenda sendiri.


a. Bugis: Dari Tentara Bayaran Menjadi Kekuatan Regional

Setelah keruntuhan VOC, banyak kelompok Bugis yang sebelumnya beroperasi di bawah kontrak VOC mulai mengambil alih kekuasaan di berbagai wilayah secara mandiri. Beberapa contoh nyata:

  • Riau-Lingga: Bangsa Bugis memegang posisi Yamtuan Muda yang memiliki kekuatan militer dan ekonomi besar, bahkan lebih dominan daripada Sultan sendiri.
  • Selangor dan Johor: Bekas milisi Bugis membentuk dinasti sendiri, menjalin aliansi politik dengan Inggris, dan menjadi penentu geopolitik kawasan.
  • Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara: Kelompok Bugis mendirikan basis kekuasaan berbasis pelabuhan, senjata, dan jaringan dagang yang tidak tunduk pada Belanda.

Dengan armada sendiri, akses terhadap senjata, dan jaringan dagang yang luas, bangsa Bugis menjadi aktor politik-militer independen yang sering kali lebih berbahaya daripada kerajaan tradisional.


b. Kelompok Ambon: Milisi Setia yang Bisa Berbalik Arah

Pasukan Ambon yang direkrut secara besar-besaran oleh VOC sebagai milisi Kristen bersenjata, awalnya sangat loyal. Namun pasca-VOC:

  • Mereka kehilangan patron resmi, tetapi masih memiliki senjata dan kemampuan tempur.
  • Banyak dari mereka terlibat dalam perebutan kekuasaan lokal, dan kadang berkonflik dengan sesama komunitas Maluku.
  • Belanda pasca-VOC harus mengatur ulang struktur komando milisi Ambon, termasuk membangun resimen tetap di bawah kendali penuh militer kolonial, seperti Ambonese Corps.

Namun, akar loyalitas kelompok ini tidak lagi sekuat era VOC, dan mereka bisa disewa oleh aktor lain atau berbalik menjadi kekuatan otonom dalam situasi konflik regional.


c. Dampak Sistemik: Militerisasi Tak Terkoordinasi

Warisan dari strategi militer VOC ini adalah:

  • Berkembangnya kelompok militer lokal semi-swasta, yang bersenjata dan berpengaruh, tapi tidak tunduk pada satu sistem nasional.
  • Munculnya bentuk kekuasaan hybrid, di mana kekuatan bersenjata dipakai untuk mengambil alih politik dan ekonomi setempat.
  • Tantangan serius bagi pemerintah kolonial Belanda, yang harus berhadapan dengan entitas-entitas militer lokal yang terbentuk justru karena strategi VOC sebelumnya.

Hal ini memperlihatkan bahwa kekuatan yang dibentuk untuk menjajah bisa berbalik menjadi ancaman terhadap penjajah itu sendiri, terutama ketika tidak ada kontrol pasca-operasional yang jelas.

Strategi VOC yang membentuk dan memberdayakan milisi lokal meninggalkan efek jangka panjang berupa militerisasi yang tak terkendali. Bugis dan pasukan Ambon adalah contoh nyata dari kelompok bersenjata pribumi yang tumbuh menjadi pemain militer-politik independen, bahkan setelah VOC bubar. Mereka tidak lagi sekadar alat kolonial, tetapi aktor historis dengan kepentingan dan kekuatan sendiri, sering kali membingungkan dan menantang pemerintah Hindia Belanda yang datang belakangan.


3. Warisan Konflik Horisontal antar Suku dan Agama yang Diwariskan ke Masa Kolonial dan Modern

Salah satu dampak sosial paling dalam dari strategi militer VOC yang mengandalkan pasukan lokal adalah lahirnya polarisasi dan konflik horisontal yang bertahan lintas generasi. Ketika VOC memilih secara selektif kelompok-kelompok tertentu sebagai mitra militer—berbasis suku, agama, atau loyalitas politik—mereka secara aktif membangun hierarki sosial baru dan memperkuat ketegangan antar kelompok lokal. Warisan ini tidak berhenti pada masa VOC, tetapi berlanjut dalam era kolonial Hindia Belanda, bahkan menampakkan jejaknya dalam konflik sosial-politik modern Indonesia.


a. Polarisasi Identitas: “Prajurit Kolonial” vs “Rakyat Terjajah”

VOC menciptakan garis pemisah yang tajam antara kelompok lokal yang dijadikan pasukan kolonial dan kelompok yang menjadi target operasi militer. Ini menyebabkan:

  • Stigmatisasi kelompok prajurit lokal (Ambon, Bugis, Bali) sebagai “pengkhianat” atau “boneka penjajah” oleh kelompok lain.
  • Munculnya dendam historis dan sikap saling curiga yang sulit dihapus, bahkan setelah kolonialisme resmi berakhir.
  • Pemisahan sosial berbasis suku dan agama, karena perekrutan militer VOC juga berdasarkan latar belakang identitas (misalnya, Kristen Ambon vs Muslim Maluku lainnya).

Pola ini tidak hanya melemahkan solidaritas antarkelompok lokal, tetapi juga menyediakan fondasi psikologis bagi kolonialisme berkelanjutan.


b. Warisan Konflik Agama dan Etnis di Maluku, Sulawesi, dan Bali

Beberapa contoh nyata:

  • Maluku: Polarisasi antara Kristen Ambon (yang sering dipersenjatai oleh VOC dan Belanda) dengan komunitas Muslim masih menjadi sumber ketegangan yang memicu konflik besar pada akhir 1990-an. Jejak sejarah kolonial sangat kentara dalam retorika dan peta kekerasan saat itu.
  • Sulawesi Selatan: Ketegangan antara suku Bugis, Makassar (Gowa), dan Bone diwariskan dalam bentuk sentimen sejarah dan narasi balas dendam politik di berbagai fase lokal kontemporer.
  • Bali dan Lombok: Keberadaan komunitas Bali di Lombok (hasil ekspansi kolonial VOC dan kerajaan Karangasem) telah lama menjadi sumber kerentanan identitas dan konflik antara komunitas Bali Hindu dan Sasak Muslim.

Dengan demikian, konflik yang tadinya bersifat strategis dan dipicu oleh kepentingan VOC, bertransformasi menjadi warisan sosial yang mengakar dalam memori kolektif masyarakat.


c. Reproduksi Polarisasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Modern

Hindia Belanda pasca-VOC justru memperkuat pembelahan ini:

  • Membentuk kesatuan militer berbasis etnis (misalnya Ambonese Corps, unit Bugis, dll.)
  • Mengelola masyarakat melalui sistem segregasi sosial dan hukum, memperparah ketegangan antargolongan.
  • Di masa modern, pola perekrutan militer, polisi, dan birokrasi masih kadang mencerminkan bias historis ini—baik secara formal maupun melalui persepsi publik.

Di sinilah terlihat kontinuitas kolonial dalam struktur sosial-politik Indonesia, yang sebagian berasal dari strategi VOC dalam menggunakan pasukan lokal sebagai alat kendali.

VOC tidak hanya mewariskan bangunan kekuasaan dan infrastruktur kolonial, tetapi juga jejak konflik horisontal antar suku dan agama yang bertahan hingga kini. Ketika satu kelompok dipersenjatai untuk melawan kelompok lain demi kepentingan asing, yang lahir bukan hanya penjajahan, tetapi juga trauma sosial yang menahun. Warisan ini menjadi tantangan serius dalam membangun solidaritas kebangsaan dan harus diakui sebagai bagian dari sejarah luka struktural Indonesia.


“Divide et Arma” — Memecah dan Memersenjatai

Strategi militer VOC dalam menjadikan pasukan lokal sebagai alat dominasi bukanlah sekadar pilihan praktis, tetapi merupakan inti dari arsitektur kolonialisme di Nusantara. Jika strategi “divide et impera” (pecah belah dan kuasai) adalah fondasi politik VOC, maka “divide et arma”—memecah dan memersenjatai—adalah senjata operasional utamanya.


1. Memecah Kekuasaan Lokal, Lalu Memilih Siapa yang Akan Dipersenjatai

VOC tidak menaklukkan dengan kekuatan langsung semata, tetapi dengan mengatur siapa yang diberi senjata, siapa yang diberi musuh, dan siapa yang harus ditaklukkan. Melalui seleksi politik berbasis suku, agama, dan loyalitas, mereka:

  • Membangun pasukan dari komunitas yang bisa dikendalikan (Ambon, Bugis, Bali)
  • Memecah kekuatan kerajaan besar (seperti Gowa, Mataram, Ternate)
  • Memastikan bahwa kekuatan bersenjata lokal tidak pernah bersatu melawan kekuasaan asing

Dengan kata lain, VOC bukan hanya memperalat perpecahan, tetapi menciptakan dan memperluasnya secara sistematis.


2. VOC sebagai Operator Konflik, Bukan Hanya Penjajah Dagang

Berbeda dari gambaran lama sebagai kongsi dagang pasif, VOC adalah pengendali konflik aktif di wilayah Nusantara. Mereka:

  • Menyusun arsitektur kekuasaan lokal berbasis milisi dan loyalitas parsial
  • Menjadi pihak yang mengatur siapa berperang dengan siapa, kapan, dan untuk siapa
  • Menyamar sebagai “sekutu” atau “penengah,” padahal mereka adalah produsen konflik itu sendiri

Ini menjadikan VOC bukan hanya kolonialis dalam arti ekonomi atau teritorial, tetapi kolonialis psikologis dan militer—yang menciptakan konflik antar sesama bangsa.


3. Pasukan Lokal sebagai Jantung Strategi Kolonialisme

Pasukan lokal bukanlah hanya pembantu dalam ekspedisi VOC, melainkan:

  • Tulang punggung strategi ekspansi militer VOC
  • Instrumen utama penjagaan kekuasaan kolonial di daerah terpencil
  • Sumber kekuatan dan juga titik masuk perpecahan sosial

Dengan memobilisasi pasukan pribumi melawan pribumi lainnya, VOC menghapus batas antara penjajah dan yang dijajah secara kasat mata, dan menggantinya dengan kompleksitas konflik internal yang bertahan hingga kini.

Strategi “divide et arma” menjadikan VOC sebagai pionir dalam kolonialisme asimetris—mengandalkan struktur lokal untuk mengendalikan lokal. Inilah warisan yang tak hanya menciptakan penderitaan fisik, tetapi mewariskan luka sosial, dendam antar komunitas, dan trauma struktural yang bergema hingga Indonesia modern. Memahami pola ini bukan hanya membaca sejarah kolonialisme, tetapi membuka jalan untuk rekonsiliasi dan pembentukan solidaritas baru antar anak bangsa.