Perjanjian Tidak Setara: Monopoli, Penyerahan Wilayah, dan Hak Dagang Eksklusif

Kontrak sebagai Alat Penaklukan Non-Militer

Dalam sejarah kolonialisme di Nusantara, kita sering membayangkan dominasi Belanda terjadi melalui kekuatan militer, penaklukan bersenjata, atau penindasan langsung. Namun, kenyataan yang jauh lebih kompleks dan subtil menunjukkan bahwa salah satu senjata paling efektif yang digunakan oleh VOC maupun pemerintah Hindia Belanda bukanlah senapan atau meriam, melainkan kontrak tertulis. Melalui serangkaian perjanjian tidak setara, kekuasaan kolonial berhasil mengendalikan sumber daya, wilayah, dan bahkan sistem politik kerajaan-kerajaan lokal—tanpa perlu mengerahkan pasukan dalam skala besar.


1. Transformasi Relasi Antarbangsa Menjadi Relasi Subordinatif

Pada masa awal kontak antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan bangsa Eropa, hubungan yang terjalin masih bersifat diplomatis dan sejajar. Utusan dari kedua belah pihak bertukar hadiah, membentuk aliansi dagang, dan menyusun kesepakatan yang berlandaskan prinsip mutualisme. Namun, seiring berjalannya waktu—terutama ketika kekuatan maritim Eropa menguat dan kerajaan-kerajaan lokal mengalami fragmentasi internal—relasi ini mulai bergeser dari hubungan antarpenguasa berdaulat menjadi relasi subordinatif antara “penguasa” dan “tertunduk”.

Perjanjian-perjanjian yang awalnya bersifat simetris berubah menjadi kontrak koersif, di mana satu pihak (VOC atau Belanda) mendikte isi dan konsekuensi dari perjanjian tersebut. Kerajaan-kerajaan lokal yang berada dalam posisi lemah tidak punya pilihan selain menandatangani, demi menghindari invasi militer atau embargo ekonomi. Maka, tanda tangan menjadi simbol penyerahan kedaulatan, dan diplomasi berubah menjadi alat pemaksaan terselubung.


2. Perjanjian sebagai Bentuk Kekuasaan Terselubung VOC dan Kolonial

Berbeda dengan penaklukan langsung yang memerlukan sumber daya besar dan berisiko memicu perlawanan luas, perjanjian tertulis memberikan legitimasi palsu bagi kekuasaan kolonial. Dengan menunjukkan bahwa kerajaan lokal “setuju” menyerahkan hak dagang, wilayah, atau kekuasaan politik melalui dokumen resmi, VOC dan Belanda memperoleh legalitas administratif atas dominasi mereka.

Perjanjian menjadi instrumen yang sangat efisien karena:

  • Dapat digunakan di pengadilan kolonial sebagai dasar sah kontrol terhadap suatu wilayah.
  • Mencegah perlawanan terbuka karena secara formal “disepakati” oleh raja atau sultan lokal.
  • Menjadi alat propaganda bahwa Belanda datang bukan sebagai penjajah, tapi sebagai “penjaga hukum dan ketertiban.”

Dengan demikian, “tinta dan materai” menggantikan peran senjata, tetapi hasilnya sama atau bahkan lebih efektif: kendali total atas wilayah dan rakyat, melalui kesan legalitas yang tak terbantahkan.


3. Motif di Balik Perjanjian

Motivasi utama di balik penggunaan perjanjian tidak setara adalah tiga bentuk kontrol strategis:

  • Kontrol Ekonomi: Dengan mengatur siapa yang boleh berdagang, kepada siapa hasil bumi dijual, dan berapa harga yang ditetapkan, Belanda menciptakan sistem ekonomi monopolis yang menguntungkan satu pihak saja. Perjanjian dagang eksklusif di Ternate, Banda, dan Banten merupakan contoh nyata dari praktik ini.
  • Kontrol Politik: Melalui perjanjian, VOC bisa menentukan siapa yang layak menjadi raja atau sultan, membagi wilayah kerajaan, atau bahkan membubarkan struktur kekuasaan lama dan menggantinya dengan administrasi kolonial. Perjanjian Giyanti (1755) yang memecah Mataram adalah ilustrasi paling mencolok.
  • Legitimasi Hukum Kolonial: Perjanjian dijadikan dasar untuk memberlakukan hukum kolonial di atas hukum adat. Raja-raja lokal secara tidak sadar memberikan hak bagi VOC untuk menetapkan peraturan, memungut pajak, bahkan mengadili rakyatnya sendiri.

Dengan kata lain, perjanjian tidak setara adalah bentuk kolonialisme berwajah legal, yang menaklukkan tidak dengan peluru, tetapi dengan pasal-pasal dan cap resmi. Inilah wajah baru penjajahan: tampak rapi, sah, dan terstruktur—tetapi tetap merampas kedaulatan secara menyeluruh.


Bentuk-Bentuk Perjanjian Tidak Setara

Perjanjian tidak setara yang diterapkan oleh VOC dan kemudian diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda mengambil berbagai bentuk, namun seluruhnya memiliki satu kesamaan: membatasi kedaulatan dan kebebasan pihak lokal, sembari memperluas kontrol kolonial secara sistemik. Salah satu bentuk paling awal dan paling berpengaruh dari strategi ini adalah perjanjian monopoli dagang, yang menjadi dasar kekuasaan ekonomi kolonial di seluruh kepulauan Nusantara.


1. Monopoli Dagang

Salah satu instrumen paling efektif dari VOC adalah kontrak monopoli, di mana kerajaan atau komunitas lokal hanya boleh menjual komoditas tertentu kepada VOC—dan dilarang keras menjual kepada bangsa lain, termasuk Inggris, Portugis, atau bahkan saudagar Nusantara sendiri. Bentuk monopoli ini terutama diterapkan atas komoditas bernilai tinggi seperti cengkih, pala, fuli, dan lada, yang menjadi tulang punggung keuntungan VOC di abad ke-17 dan 18.

Perjanjian monopoli biasanya memuat ketentuan seperti:

  • Kerajaan hanya boleh menjual rempah kepada VOC.
  • Harga ditentukan sepihak oleh VOC tanpa negosiasi.
  • Pelanggaran perjanjian dianggap sebagai tindakan permusuhan dan dapat memicu intervensi militer.
  • Pengawasan panen dan distribusi dilakukan oleh pejabat VOC atau mitra lokal yang telah disumpah.

Bagi para petani dan rakyat biasa, sistem ini sangat merugikan. Mereka tidak bebas menjual hasil bumi mereka ke pedagang yang menawarkan harga lebih tinggi, dan bila mencoba menyelundupkan hasil panen, dapat dihukum berat—bahkan dieksekusi.


Contoh Kasus:

a. Ternate
Pada awal abad ke-17, VOC menandatangani perjanjian monopoli dengan Sultan Ternate. Dalam perjanjian tersebut, semua hasil cengkih harus dijual kepada VOC. Sultan diberikan sejumlah imbalan tahunan, tetapi rakyat Ternate terjerat dalam sistem ekonomi tertutup. VOC juga melakukan ekstirpasi (pemusnahan pohon cengkih) di wilayah yang tidak tunduk pada pengawasan mereka untuk mengatur jumlah produksi dan menjaga harga di pasar dunia.

b. Banda
Perjanjian monopoli dagang di Banda merupakan salah satu yang paling brutal. Setelah rakyat Banda menolak tunduk pada monopoli VOC, terjadilah pembantaian besar-besaran pada tahun 1621. Ribuan penduduk dibunuh atau diusir, dan wilayah Banda kemudian dikuasai penuh oleh Belanda. Sisa penduduk dijadikan buruh paksa di perkebunan pala, sementara pengelolaan ekonomi diatur langsung oleh orang Eropa.

c. Ambon dan Maluku Tengah
VOC memberlakukan perjanjian serupa di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Selain menetapkan monopoli, VOC juga mendirikan pos pengawasan militer di wilayah-wilayah penghasil rempah dan menetapkan kuota produksi per desa. Bila kuota tidak tercapai, sanksi keras diberlakukan, termasuk denda, penyitaan, bahkan deportasi penduduk.


Efek Jangka Panjang:

  • Petani tidak memiliki kedaulatan ekonomi atas lahannya sendiri.
  • Harga komoditas anjlok, menyebabkan kemiskinan struktural.
  • Struktur ekonomi lokal menjadi tergantung pada VOC, karena pasar alternatif ditutup secara paksa.
  • Terjadi penyempitan ekonomi lokal, karena hanya satu jenis komoditas yang dipaksakan untuk diproduksi, sehingga mengurangi keberagaman dan ketahanan pangan.

Monopoli dagang bukan hanya soal perdagangan, tetapi merupakan alat untuk menciptakan dominasi kolonial dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kontrol atas rempah, VOC mengendalikan politik, budaya, bahkan mobilitas sosial masyarakat lokal.


2. Penyerahan Wilayah

Bentuk lain dari perjanjian tidak setara yang sangat merugikan kerajaan-kerajaan lokal adalah penyerahan wilayah kekuasaan. VOC dan kemudian pemerintahan Hindia Belanda sering kali tidak langsung merebut wilayah dengan kekuatan militer, melainkan memaksa penyerahan itu lewat dokumen perjanjian—baik sebagai kompensasi kekalahan perang, imbalan atas “perlindungan”, atau sebagai syarat kerja sama dagang dan politik.

Dalam skema ini, kerajaan-kerajaan lokal dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya, baik berupa pelabuhan strategis, wilayah penghasil komoditas penting, atau bahkan ibu kota, kepada VOC. Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan:

  • Reduksi geografis kekuasaan raja atau sultan secara sistematis.
  • Terputusnya koneksi ekonomi dan sosial antara pusat kerajaan dan wilayah perbatasan.
  • Hilangnya kontrol atas sumber daya, baik manusia maupun alam.

Proses ini berlangsung secara bertahap dan disamarkan sebagai “bentuk perlindungan”, padahal pada kenyataannya merupakan perampasan wilayah yang dilegalkan oleh tanda tangan pihak lokal di bawah tekanan.


Contoh Kasus:

a. Perjanjian Bongaya (1667) – Gowa
Setelah kalah dalam Perang Makassar, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya dengan VOC. Perjanjian ini menyatakan bahwa:

  • Gowa menyerahkan seluruh wilayah pelabuhan Makassar dan akses ke laut kepada VOC.
  • Benteng dan jalur dagang berada di bawah kontrol Belanda.
  • Gowa tidak boleh berdagang dengan bangsa lain, bahkan tidak boleh mengontrol wilayah bekas taklukannya seperti Bone, Soppeng, dan Wajo.

Perjanjian ini membuat Gowa kehilangan statusnya sebagai kekuatan maritim. Wilayah kekuasaan Gowa dipersempit hingga hanya tersisa pedalaman.


b. Perjanjian Giyanti (1755) – Mataram
Perjanjian ini difasilitasi VOC setelah konflik internal berkepanjangan di Kesultanan Mataram. Isinya adalah pembagian wilayah Mataram menjadi dua:

  • Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwono III.
  • Kesultanan Yogyakarta di bawah Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I).

Di balik ini, VOC mengambil posisi sebagai penguasa atas wilayah-wilayah antara dua kerajaan baru dan menempatkan diri sebagai penjamin keamanan dan kestabilan. Pembagian ini menghilangkan kekuasaan pusat Mataram, dan membuka jalan bagi fragmentasi politik lebih lanjut seperti pembentukan Mangkunegaran dan Pakualaman.


c. Perjanjian di Banten dan Minangkabau
Di Banten, VOC secara sistematis mengintervensi suksesi kerajaan dan memaksa sultan menyerahkan pelabuhan dan wilayah pesisir ke VOC sebagai bagian dari perjanjian “dukungan”. Akibatnya, sultan hanya menguasai sebagian kecil wilayah istana, sementara kontrol atas perdagangan dan wilayah strategis dipegang VOC.

Di Minangkabau, selama konflik antara kelompok adat dan kelompok ulama dalam Perang Padri, Belanda masuk dengan dalih “menengahi konflik”. Raja-raja adat menyerahkan sebagian wilayah kepada Belanda dalam perjanjian kerja sama militer, yang pada akhirnya mengarah pada pendudukan penuh oleh pemerintah kolonial.


Dampak Jangka Panjang:

  • Disintegrasi wilayah kerajaan menjadi entitas-entitas yang lemah dan saling bersaing.
  • Raja kehilangan legitimasi di mata rakyat karena tak lagi menguasai tanahnya sendiri.
  • Terputusnya integrasi kultural dan ekonomi internal dalam kerajaan akibat hilangnya kontrol atas wilayah penghubung.
  • VOC menjadi kekuatan teritorial, bukan lagi sekadar perusahaan dagang, tapi bertindak seperti negara kolonial penuh.

Penyerahan wilayah bukan hanya soal kehilangan tanah, tetapi juga penghancuran sistem kedaulatan lokal. Seiring dengan hilangnya wilayah, kerajaan kehilangan kemampuan untuk mengontrol ekonomi, militer, dan bahkan identitas politiknya. Ini adalah bentuk penjajahan terselubung yang direkayasa melalui meja perundingan, bukan medan tempur.


3. Hak Dagang Eksklusif

Salah satu pilar penting dari sistem perjanjian tidak setara yang dijalankan oleh VOC dan Belanda adalah pemberian hak dagang eksklusif, yakni hak mutlak bagi kolonial untuk mengatur seluruh aktivitas ekspor-impor di wilayah kerajaan lokal. Dalam konteks ini, kerajaan tidak hanya kehilangan otonomi dalam berdagang, tetapi juga terperangkap dalam sistem ketergantungan ekonomi total terhadap kongsi dagang atau negara kolonial.

Melalui perjanjian-perjanjian ini, VOC atau pemerintah kolonial memperoleh:

  • Hak monopoli pelabuhan, termasuk siapa yang boleh berlabuh, berdagang, atau mengakses pasar.
  • Hak pemungutan bea dan cukai, yang dulunya merupakan sumber pemasukan utama bagi raja atau sultan.
  • Hak melarang aktivitas dagang pihak ketiga, termasuk bangsa asing lain (Inggris, Portugis, Cina, Arab), maupun pedagang lokal yang tidak mendapat restu VOC.

Dengan kata lain, hak dagang eksklusif menjadikan VOC sebagai satu-satunya pintu ekonomi keluar-masuk bagi kerajaan-kerajaan lokal. Siapa pun yang mencoba melanggar, baik individu maupun negara, akan dianggap “melawan kontrak” dan dapat dikenai sanksi ekonomi atau bahkan serangan militer.


Contoh Kasus:

a. Makassar (Perjanjian Bongaya, 1667)
Dalam perjanjian ini, Sultan Hasanuddin dipaksa mengakui VOC sebagai satu-satunya otoritas dagang asing yang sah di Makassar. Semua hubungan dagang langsung antara Gowa dengan pedagang Inggris, Portugis, dan Cina harus dihentikan. Pelabuhan Makassar yang sebelumnya terbuka dan kosmopolitan berubah menjadi pelabuhan tertutup di bawah pengawasan ketat VOC. Ini menghancurkan sistem ekonomi terbuka Gowa dan menjatuhkan status Makassar dari kota dagang regional menjadi pos kontrol kolonial.

b. Ternate dan Ambon
Perjanjian-perjanjian dengan sultan di Maluku menetapkan bahwa VOC berhak mengatur semua lalu lintas rempah dari wilayah tersebut. Sultan dilarang membuat kontrak dagang terpisah dengan bangsa lain. Bahkan, pengawasan hasil panen dilakukan langsung oleh pejabat Belanda, dan pelanggaran terhadap sistem ini dianggap pemberontakan.

c. Cirebon dan Priangan
VOC menandatangani perjanjian dengan para adipati dan penguasa lokal untuk mendapatkan hak penguasaan atas produksi kopi dan beras. Sistem ini kemudian dilanjutkan dan diperluas oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi sistem cultuurstelsel di abad ke-19. Ketergantungan pada VOC begitu kuat sehingga kerajaan lokal hanya bertahan karena ada pembagian “jatah” hasil dagang dari Belanda.


Dampak Jangka Panjang:

  • Ekonomi lokal kehilangan kedaulatan, karena tidak bisa menentukan mitra dagang, jenis barang, maupun harga.
  • Sumber pemasukan kerajaan tergantung pada ‘uang konsesi’ dari VOC, bukan dari pajak rakyat atau ekspor mandiri.
  • Aktivitas ekonomi rakyat dikendalikan oleh perantara VOC, yang memonopoli akses pasar.
  • Ketimpangan sosial meningkat, karena hanya elite kolaborator yang mendapatkan izin dagang terbatas.

Hak dagang eksklusif ini menciptakan struktur ekonomi kolonial, di mana pusat-pusat produksi di Nusantara hanya berfungsi sebagai “kaki tangan” dari sistem distribusi global yang dikendalikan sepenuhnya oleh VOC atau kekuatan kolonial Eropa. Ini adalah bentuk penjajahan ekonomi yang dibalut legalitas kontrak, memutus jalur kemandirian bangsa dan mengunci kerajaan-kerajaan lokal dalam ketergantungan permanen.


Dampak Sosial-Politik dari Perjanjian Tidak Setara

Perjanjian tidak setara yang diberlakukan oleh VOC dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi dan teritorial, tetapi juga secara langsung menghancurkan struktur kekuasaan politik lokal. Apa yang semula merupakan kerajaan-kerajaan berdaulat dengan hak penuh atas wilayah, rakyat, dan diplomasi, secara perlahan direduksi menjadi entitas simbolik yang tidak lagi memiliki daya kuasa sejati. Ini adalah perubahan mendasar dalam tatanan kekuasaan Nusantara, yang meninggalkan jejak panjang hingga era modern.


1. Hilangnya Kedaulatan Politik Lokal

Setelah terikat dalam perjanjian-perjanjian tidak setara, raja dan sultan Nusantara kehilangan peran sentralnya sebagai pemegang otoritas tertinggi negara. Kekuasaan mereka dilucuti sedikit demi sedikit, bukan melalui penggulingan paksa, tetapi melalui mekanisme administratif dan hukum yang tampak “sah”.

Ciri-ciri hilangnya kedaulatan politik lokal antara lain:

  • Raja/sultan hanya bertindak sebagai pemimpin seremonial
    Tugas raja direduksi menjadi penyelenggara upacara adat, pemelihara keraton, dan simbol tradisi. Fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif diambil alih oleh pejabat VOC atau residen kolonial.
  • Keputusan strategis harus mendapat restu VOC
    Termasuk pengangkatan pejabat, penyusunan undang-undang, keputusan perang, perdamaian, atau hubungan diplomatik. Dalam banyak kasus, raja tidak boleh mengadakan pertemuan dengan utusan asing tanpa izin VOC.
  • Suksesi kekuasaan diawasi dan disahkan oleh kolonial
    Calon raja atau sultan tidak bisa naik tahta tanpa persetujuan gubernur VOC atau residen Belanda. Dalam beberapa kasus, Belanda bahkan menciptakan dualisme kekuasaan untuk memastikan tidak ada satu pun tokoh yang terlalu dominan.

Contohnya sangat jelas dalam Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pasca-Perjanjian Giyanti: meskipun memiliki gelar dan istana megah, kedua pemimpin ini tidak memiliki kedaulatan militer, fiskal, atau politik yang nyata. Semua hal penting harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada residen Belanda, yang secara de facto memegang kendali pemerintahan.


Dampaknya:

  • Tumbangnya legitimasi kekuasaan tradisional. Rakyat mulai melihat bahwa rajanya tidak lagi melindungi kepentingan rakyat, melainkan tunduk pada kekuasaan asing.
  • Munculnya alienasi antara elite dan rakyat. Raja dianggap sebagai kaki tangan penjajah, sementara rakyat hidup di bawah tekanan sistem pajak dan kerja paksa.
  • Terputusnya kesinambungan politik Nusantara. Kerajaan-kerajaan besar yang dahulu menjadi poros sejarah dan budaya berubah menjadi wilayah administratif kolonial yang steril secara politik.

Dalam kondisi ini, kerajaan tidak lagi menjadi pusat kekuasaan yang otonom, melainkan sekadar ornamen kekuasaan kolonial, yang dibiarkan hidup untuk menciptakan kesan “kelanjutan budaya”, namun tanpa kekuatan untuk menentukan nasib rakyat dan wilayahnya sendiri.


2. Ketergantungan Ekonomi

Salah satu konsekuensi paling destruktif dari perjanjian tidak setara adalah ketergantungan ekonomi total kerajaan dan rakyat terhadap sistem kolonial, khususnya terhadap VOC. Melalui monopoli dagang, penguasaan distribusi, serta pembatasan mitra perdagangan, VOC menciptakan struktur ekonomi tertutup yang hanya menguntungkan pihak kolonial, sembari memiskinkan dan melumpuhkan kemandirian ekonomi lokal.


a. Kerajaan dan Rakyat Terjebak dalam Sistem Monopoli

Dalam sistem ini, kerajaan hanya dapat menjual hasil bumi—seperti cengkih, pala, lada, kopi, atau beras—kepada VOC, dan dengan harga yang telah ditetapkan sepihak. Tidak ada ruang negosiasi. Petani dipaksa menanam komoditas tertentu yang ditentukan oleh VOC, bahkan jika itu tidak sesuai dengan kebutuhan lokal atau kemampuan tanah.

Raja atau sultan pun kehilangan kontrol atas pemasukan ekonomi kerajaan. Uang kas kerajaan tidak lagi bersumber dari hasil perdagangan bebas atau pajak rakyat secara merdeka, melainkan dari jatah tahunan atau “kompensasi” dari VOC, yang jumlahnya kecil dan bersyarat.

Situasi ini mengakibatkan:

  • Produktivitas petani menurun drastis, karena mereka tidak mendapat insentif atas kerja kerasnya.
  • Penduduk kehilangan akses ke pasar bebas, tidak bisa menjual langsung hasil panennya dengan harga wajar.
  • Raja tidak mampu membiayai urusan kerajaan secara independen, menjadikannya bergantung pada VOC bukan hanya dalam politik, tapi juga secara fiskal.

b. Krisis Pangan dan Kelangkaan Komoditas

Dengan fokus produksi diarahkan semata-mata pada komoditas ekspor seperti rempah, banyak wilayah di Nusantara mengalami disfungsi sistem pertanian lokal. Lahan-lahan subur tidak lagi ditanami bahan pangan pokok seperti padi, ubi, atau jagung, melainkan hanya komoditas yang diinginkan pasar Eropa.

VOC, dalam perannya sebagai pengatur distribusi, mengendalikan jalur logistik dan pasokan pangan antardaerah. Ketika suatu wilayah tidak memenuhi target produksi, atau dicurigai melanggar monopoli, VOC bisa menghentikan pengiriman logistik sebagai bentuk hukuman.

Akibatnya:

  • Kelaparan dan kemiskinan struktural menjadi fenomena umum, terutama di wilayah penghasil rempah seperti Banda dan Ambon.
  • Harga kebutuhan pokok melonjak, karena distribusi diatur untuk menguntungkan VOC dan bukan untuk menjamin kesejahteraan rakyat.
  • Migrasi paksa dan depopulasi terjadi di beberapa daerah akibat kombinasi represi ekonomi dan konflik militer.

Ketergantungan ekonomi ini tidak hanya melumpuhkan daya hidup rakyat, tetapi juga menghancurkan struktur ekonomi lokal yang sebelumnya beragam dan berkelanjutan. Sistem yang dibentuk oleh VOC menciptakan monokultur paksa, mempersempit pilihan hidup masyarakat, dan menghilangkan kedaulatan ekonomi dari tangan mereka sendiri.

Inilah bentuk kolonialisme paling dalam: bukan sekadar menguasai tanah, tetapi juga mengendalikan apa yang boleh ditanam, dijual, dan dimakan.


3. Penciptaan Oligarki Baru Lokal

Perjanjian-perjanjian tidak setara yang dijalankan oleh VOC dan kekuasaan kolonial bukan hanya merusak struktur kekuasaan dan ekonomi, tetapi juga menciptakan kelas sosial baru: sebuah oligarki lokal kolaborator, yaitu segelintir elite pribumi yang mendapatkan privilese politik dan ekonomi karena kesetiaannya kepada penguasa asing.

Dalam sistem ini, VOC tidak memerintah langsung seluruh wilayah, tetapi menggunakan elite lokal sebagai kepanjangan tangan kekuasaan kolonial. Mereka diberikan posisi, tanah, gelar, atau monopoli dagang terbatas—sebagai imbalan atas kesediaan mereka menegakkan kebijakan VOC, memungut pajak, memobilisasi tenaga kerja, dan meredam perlawanan dari rakyat.


a. Hanya Segelintir Elite yang Diuntungkan sebagai Mitra VOC

Mereka yang setia kepada VOC diberi akses khusus, antara lain:

  • Hak atas tanah garapan atau tanah lungguh, termasuk wilayah eksklusif penghasil rempah atau komoditas ekspor.
  • Izin dagang terbatas, seperti lisensi menjual barang-barang Eropa atau hak distribusi di pasar lokal.
  • Pengangkatan sebagai pejabat lokal, seperti bupati, adipati, penghulu, atau demang, yang tunduk pada struktur administratif VOC.

Elite-elite ini seringkali berasal dari bangsawan istana atau keturunan pejabat tinggi. Dalam banyak kasus, status mereka bahkan diatur melalui surat keputusan resmi VOC atau pemerintah kolonial, menjadikan mereka bagian dari sistem kekuasaan yang secara hukum dijalankan oleh penjajah.


b. Terjadi Pemisahan Sosial antara Elite Kolaborator dan Rakyat Tertindas

Penciptaan oligarki ini menciptakan jurang sosial yang dalam dan sistemik antara elite dan rakyat:

  • Elite menikmati kemewahan, akses pendidikan, serta keamanan, karena berafiliasi dengan kekuasaan kolonial.
  • Rakyat hidup dalam sistem kerja paksa, beban pajak tinggi, dan pembatasan akses terhadap sumber daya.
  • Simbolisme feodal tetap dipertahankan, seperti upacara kerajaan dan gelar bangsawan, untuk memberikan legitimasi “tradisi” terhadap sistem kolonial.

Akibatnya, terjadi disasosiasi antara kepentingan elite dan kebutuhan rakyat. Elite lebih fokus menjaga relasi harmonis dengan VOC atau Belanda agar hak-hak istimewanya tidak dicabut, meskipun harus mengorbankan kesejahteraan komunitasnya sendiri. Rakyat pun mulai melihat bangsawannya bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai perpanjangan penindas kolonial.

Fenomena ini memperkuat struktur kolonial dalam dimensi sosial, karena rakyat tidak hanya dijajah dari luar, tetapi juga ditundukkan oleh elite pribumi yang berfungsi sebagai pelaksana dominasi asing.


Oligarki kolaborator ini menjadi fondasi dari sistem kekuasaan kolonial yang bertahan selama ratusan tahun, dan warisannya masih terasa hingga hari ini dalam bentuk ketimpangan akses kekuasaan, ekonomi, dan status sosial yang kerap dikaitkan dengan “darah bangsawan” atau afiliasi historis terhadap kekuasaan asing.


Studi Kasus Kunci

Untuk memahami dampak nyata dari perjanjian-perjanjian tidak setara yang diberlakukan oleh VOC, kita perlu meninjau beberapa kasus konkret yang merepresentasikan pola kolonialisme kontraktual di Nusantara. Setiap perjanjian ini bukan hanya kesepakatan politik, tetapi juga merupakan alat legal untuk perampasan wilayah, kekuasaan, dan kedaulatan ekonomi, yang efeknya terasa lintas generasi.


1. Perjanjian Bongaya (1667)

Setelah kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar (1666–1669), Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya. Dokumen ini menjadi titik balik dari kejatuhan kekuasaan maritim lokal di Indonesia timur, dan naiknya dominasi VOC secara formal.

Isi pokok perjanjian:

  • Makassar menyerahkan pelabuhan dan benteng utama kepada VOC.
  • Jalur perdagangan ke wilayah timur (Maluku, Nusa Tenggara) di bawah kontrol Belanda.
  • Gowa dilarang berdagang dengan pihak asing mana pun selain VOC.
  • Wilayah taklukan Gowa (Bone, Wajo, Soppeng) dibebaskan dari kendali Gowa dan dimasukkan ke dalam orbit VOC.

Perjanjian ini mengakhiri era Makassar sebagai kekuatan maritim independen, dan menjadikan VOC sebagai satu-satunya penguasa dagang dan militer di Sulawesi Selatan.


2. Perjanjian Giyanti (1755)

Perjanjian ini difasilitasi oleh VOC setelah serangkaian konflik internal di Kesultanan Mataram, terutama antara Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi. Alih-alih menyatukan kembali kerajaan, VOC mengambil peran sebagai “penengah” dan justru membelah Mataram menjadi dua entitas baru:

  • Kasunanan Surakarta (Pakubuwono III).
  • Kesultanan Yogyakarta (Sultan Hamengkubuwono I).

Implikasi geopolitik:

  • VOC menguasai wilayah strategis di antara dua kekuasaan baru.
  • Legitimasi raja bergantung pada persetujuan dan dukungan VOC.
  • Fragmentasi kekuasaan di Jawa memudahkan kontrol kolonial atas kerajaan-kerajaan lokal.

Perjanjian Giyanti menjadi model kolonialisme berbasis fragmentasi politik, yang dilanjutkan lagi dengan pembentukan Mangkunegaran (1757) dan Pakualaman (1812).


3. Perjanjian Banda (1621)

Pulau Banda, penghasil pala dan fuli terbaik di dunia, semula enggan tunduk pada monopoli VOC. Ketika rakyat Banda tetap berdagang bebas dengan Inggris dan pedagang Asia lainnya, VOC melakukan serangan brutal di bawah komando Jan Pieterszoon Coen.

Hasilnya:

  • Terjadi pembantaian massal terhadap penduduk asli Banda.
  • Wilayah Banda kemudian dikosongkan dan dijadikan perkebunan pala milik VOC.
  • VOC mendatangkan budak dan pekerja kontrak dari luar untuk mengelola perkebunan.
  • Para elite Belanda diberi hak milik atas tanah dalam sistem perkeniers (tuan tanah perkebunan).

Perjanjian yang diteken setelah tragedi ini hanyalah formalitas, karena Banda secara de facto berubah menjadi koloni ekonomi eksklusif VOC tanpa peran penduduk asli.


4. Perjanjian Tidore dan Ternate (1600–1700-an)

VOC secara perlahan memaksakan serangkaian perjanjian kepada Kesultanan Tidore dan Ternate, dua kekuatan besar penghasil rempah di Maluku. Isi perjanjian-perjanjian tersebut sangat mirip:

  • Sultan wajib menjual seluruh hasil rempah (terutama cengkih) hanya kepada VOC.
  • Dilarang berdagang atau menjalin hubungan luar negeri tanpa izin Belanda.
  • VOC berhak mengatur panen, distribusi, dan bahkan jumlah pohon yang boleh ditanam.
  • Sultan hanya berperan simbolis dan dijaga agar tidak membentuk aliansi politik baru.

Secara bertahap, dua kerajaan besar Maluku ini didegradasi menjadi wilayah klien VOC, dengan sistem pemerintahan yang dikendalikan melalui penasihat Belanda dan garnisun militer. Rempah-rempah yang dulunya menjadi simbol kejayaan mereka berubah menjadi alat kendali kolonial yang memiskinkan dan melumpuhkan daerah asalnya sendiri.

Keempat perjanjian ini menggambarkan bagaimana legalitas kolonial tidak dibangun di atas prinsip kesetaraan, melainkan melalui paksaan, manipulasi, dan dominasi struktural. VOC menggunakan perjanjian sebagai perangkat hukum untuk mengunci kerajaan lokal dalam lingkaran ketundukan permanen—baik dalam hal wilayah, perdagangan, maupun kekuasaan simbolik.

Perjanjian-perjanjian ini menjadi pondasi hukum kolonialisme, dan warisannya tidak hanya bertahan dalam arsip sejarah, tetapi juga dalam pola ketimpangan kekuasaan, ekonomi, dan hukum di Indonesia hingga hari ini.


Warisan Hukum dan Struktur Kolonial

Perjanjian-perjanjian tidak setara yang diberlakukan oleh VOC dan pemerintah kolonial Belanda tidak berhenti pada dampak ekonomi dan politik jangka pendek. Dalam jangka panjang, perjanjian-perjanjian ini menjadi fondasi terbentuknya sistem hukum dan struktur administrasi kolonial yang bertahan hingga akhir penjajahan dan bahkan menyisakan pengaruh hingga Indonesia merdeka.

Dari pasal-pasal perjanjian yang tampak legal dan formal, lahirlah sebuah kerangka hukum kolonial yang sistematis, diskriminatif, dan eksploitatif, yang menata ulang tatanan sosial-politik Nusantara berdasarkan logika kepentingan penjajah.


1. Dasar Bagi Pembentukan Sistem Hukum Dualistik

Salah satu warisan paling fundamental dari sistem perjanjian kolonial adalah pemisahan hukum antara penduduk bumiputera dan warga Eropa. Sistem ini berkembang dari praktik-praktik VOC dalam menundukkan kerajaan lokal melalui kontrak yang mengikat secara hukum, dan kemudian dilembagakan dalam kodifikasi hukum kolonial Hindia Belanda.

Dalam sistem hukum dualistik ini:

  • Penduduk pribumi tunduk pada hukum kolonial, terutama dalam urusan pidana, perdata, dan perdagangan.
  • Hukum adat atau syariah hanya diberlakukan secara terbatas, dan itu pun di bawah pengawasan atau interpretasi pejabat kolonial.
  • Warga Eropa dan Timur Asing (Cina, Arab, India) memiliki sistem hukum tersendiri yang lebih melindungi hak-hak mereka.

VOC memulai sistem ini dengan perjanjian yang mengesampingkan kedaulatan hukum kerajaan, dan menggantinya dengan yurisdiksi VOC. Di kemudian hari, hal ini dikodifikasikan dalam bentuk sistem peradilan seperti Landraad, Raad van Justitie, dan Resident Court, yang semuanya dikontrol oleh pemerintah kolonial.

Hasilnya adalah sistem hukum yang tidak adil dan melembagakan diskriminasi berdasarkan ras dan status sosial—sebuah pola yang baru dihapus secara perlahan pasca kemerdekaan.


2. Cikal Bakal Sistem Perizinan Dagang dan Eksploitasi Ekonomi Kolonial

Perjanjian-perjanjian VOC yang memberi mereka hak monopoli dagang, kontrol pelabuhan, dan penguasaan wilayah juga menjadi akar dari sistem perizinan dan konsesi ekonomi kolonial, yang diperluas secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda di abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Beberapa bentuk warisan ini meliputi:

  • Boekoe Perjanjiannja (Buku Perjanjian VOC dan Raja-Raja): Berisi koleksi kontrak antara VOC dan kerajaan lokal, yang dijadikan acuan hukum oleh pemerintah kolonial. Dokumen ini menjadi basis legal untuk mengklaim tanah, jalur dagang, dan hasil bumi sebagai milik VOC.
  • Konsesi Lahan dan Tambang: Pemerintah kolonial menggunakan perjanjian lama untuk mengeluarkan hak eksploitasi atas tanah, hutan, dan tambang kepada perusahaan-perusahaan swasta Eropa. Raja atau rakyat tidak punya kuasa untuk menolak, karena tanahnya secara hukum telah “diserahkan” melalui perjanjian masa lalu.
  • Monopoli Pelabuhan dan Pabean: VOC mengembangkan sistem di mana setiap aktivitas dagang memerlukan izin tertulis, surat jalan, dan setoran pajak ke kantor dagang Belanda. Sistem ini menjadi cikal bakal regulasi dagang modern berbasis kontrol izin, yang menghilangkan tradisi perdagangan bebas antarpulau dan antarkelompok lokal.

Sistem perizinan ini bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga alat pengendalian politik, karena siapa yang menguasai izin berarti menguasai alur logistik dan kekayaan wilayah. Inilah struktur yang menciptakan ketergantungan ekonomi kronis dan menyulitkan rakyat untuk membangun usaha atau berdagang tanpa keterlibatan atau persetujuan kolonial.


Warisan ini tidak mati bersama bubarnya VOC atau deklarasi kemerdekaan. Banyak prinsip-prinsipnya tetap tertanam dalam sistem administrasi, birokrasi, dan hukum modern Indonesia, termasuk dalam:

  • Regulasi perizinan usaha dan pertambangan,
  • Dualisme sistem hukum warisan kolonial dan adat,
  • Hak atas tanah yang tumpang tindih antara negara dan masyarakat adat.

Dengan demikian, perjanjian-perjanjian tidak setara di masa lalu bukan sekadar arsip sejarah, melainkan akar dari berbagai ketimpangan struktural yang masih berlangsung hingga hari ini.


Perjanjian sebagai Instrumen Penjajahan Berwajah Legal

Strategi kolonial VOC dan Belanda dalam menguasai Nusantara tidak selalu dilakukan melalui kekerasan fisik. Sebaliknya, mereka menciptakan sistem penjajahan yang tampak sah secara hukum, namun secara substansi merampas kedaulatan, kekayaan, dan martabat bangsa. Melalui perjanjian-perjanjian tidak setara, kekuasaan kolonial berhasil menciptakan tatanan yang menguntungkan mereka tanpa harus mengangkat senjata di setiap wilayah.


1. VOC dan Belanda Tidak Perlu Selalu Mengangkat Senjata untuk Menguasai Nusantara

Senjata dan peperangan memang digunakan di banyak titik, tetapi kemenangan sejati kolonialisme terletak pada pena, materai, dan sistem administrasi. Dalam banyak kasus, kerajaan-kerajaan lokal justru ditaklukkan bukan karena kalah di medan perang, tetapi karena dipaksa atau diperdaya untuk menandatangani perjanjian yang:

  • Memberikan hak monopoli dagang kepada VOC.
  • Menyerahkan wilayah penting kepada Belanda.
  • Menghapus kedaulatan politik dan ekonomi kerajaan.

Setelah perjanjian ditandatangani, VOC kemudian membangun struktur birokrasi yang melemahkan kekuasaan lokal, dan memperkuat dominasi mereka atas rakyat tanpa perlawanan terbuka. Ini adalah bentuk penjajahan yang lebih halus, tetapi justru lebih bertahan lama dan sulit dilawan, karena membungkus penindasan dalam kerangka legal.


2. Hukum Dijadikan Alat Kekuasaan

Salah satu aspek paling berbahaya dari kolonialisme berbasis perjanjian adalah bahwa hukum dijadikan instrumen dominasi, bukan keadilan. Dalam sistem kolonial, perjanjian menjadi dasar hukum yang:

  • Melegalkan penguasaan tanah dan sumber daya oleh VOC.
  • Menjadikan hukum adat dan syariah sekadar simbol yang tunduk pada tafsir kolonial.
  • Mengatur siapa yang boleh berdagang, memerintah, bahkan hidup di wilayah tertentu.

Dengan demikian, kolonialisme bukan hanya bentuk kekerasan militer, tetapi juga bentuk hegemoni epistemik, di mana tafsir tentang keadilan, kedaulatan, dan kepemilikan diatur sepenuhnya oleh kekuatan asing. Ini menciptakan ilusi legalitas, yang menyembunyikan kenyataan bahwa kekuasaan rakyat atas tanah dan hidupnya sendiri telah dicabut secara sistemik.


3. Efek Jangka Panjang: Hilangnya Kontrol atas Sumber Daya oleh Rakyat Sendiri

Warisan dari perjanjian tidak setara tidak berhenti saat Indonesia merdeka. Banyak struktur yang dibentuk oleh sistem kolonial masih terus hidup dalam bentuk:

  • Hubungan tidak seimbang antara pusat dan daerah, di mana pengelolaan sumber daya masih lebih banyak ditentukan dari atas.
  • Konsesi jangka panjang kepada perusahaan asing, yang berakar dari logika eksploitatif VOC.
  • Ketimpangan akses hukum dan ekonomi, antara elite warisan kolonial dengan masyarakat adat dan kelas pekerja.

Sampai hari ini, banyak masyarakat lokal masih kehilangan hak atas tanah, laut, dan hasil bumi mereka sendiri, karena sistem hukum dan administratif yang diberlakukan sejak era perjanjian kolonial tetap dipertahankan dengan berbagai nama dan wajah baru.

Perjanjian tidak setara bukan sekadar catatan sejarah, melainkan jejak konkret bagaimana penjajahan merampas kedaulatan melalui legitimasi hukum. Inilah bentuk kolonialisme yang paling berbahaya: bukan karena bunyi meriam, tetapi karena bunyi pena di atas kertas yang menentukan nasib ribuan jiwa dan puluhan generasi.

Membongkar, memahami, dan mengkritisi warisan ini adalah langkah awal untuk membangun kembali kedaulatan sejati—bukan hanya dalam hukum dan politik, tetapi dalam seluruh relasi sosial, ekonomi, dan budaya bangsa.

About administrator