Dalam sejarah kolonialisme di Nusantara, kekuatan asing seperti VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) tidak selalu mengandalkan penaklukan militer langsung untuk menguasai wilayah. Sebaliknya, mereka kerap menggunakan strategi politik yang lebih cerdik dan mematikan: devide et impera, atau pecah belah dan kuasai. Strategi ini melibatkan manipulasi konflik internal antar kerajaan lokal, mendukung satu pihak melawan pihak lain, hingga menanamkan pengaruh struktural jangka panjang yang melemahkan kemandirian kekuasaan tradisional.
VOC, sebagai kongsi dagang yang bertransformasi menjadi penguasa kolonial, sangat bergantung pada teknik ini untuk menghindari biaya tinggi dari konfrontasi militer terbuka. Alih-alih menguasai seluruh wilayah dengan kekerasan, mereka menciptakan konflik buatan, mendukung pemberontakan, atau memfasilitasi perebutan takhta, demi menciptakan keadaan yang memungkinkan mereka masuk sebagai “penengah” dan akhirnya sebagai penguasa.
Tulisan ini akan membedah secara sistematis bagaimana strategi devide et impera dijalankan dalam tiga studi kasus utama:
- Konflik Sunda vs Banten: ketegangan dagang dan agama di wilayah pesisir barat Jawa yang dimanfaatkan VOC untuk menghancurkan kekuatan kerajaan Hindu terakhir.
- Konflik Mataram vs Bali: pertarungan kekuasaan di Jawa dan Bali yang dimanfaatkan VOC untuk memecah kekuatan Mataram dan mempertahankan kemerdekaan Bali.
- Konflik Bone vs Gowa: perang saudara di Sulawesi Selatan yang dimanipulasi VOC untuk menghancurkan kekuatan maritim Gowa dengan bantuan Bone yang dijadikan sekutu kolonial.
Dengan membongkar tiga kasus tersebut, kita akan melihat bahwa kolonialisme tidak hanya berlangsung lewat meriam dan senapan, tetapi juga lewat politik licin, aliansi semu, dan manipulasi atas dinamika lokal. Ini adalah pelajaran penting dalam memahami bagaimana struktur kolonial ditanamkan jauh sebelum kekuasaan resmi Belanda sepenuhnya mengambil alih Nusantara.
Strategi Devide et Impera dalam Politik Kolonial
a. Konsep dan Asal-Usul Strategi
Strategi devide et impera—yang berarti “pecah belah dan kuasai”—memiliki akar sejarah panjang dalam praktik kekuasaan imperial, dimulai dari Republik Romawi hingga kerajaan-kerajaan Kristen Eropa abad pertengahan. Strategi ini bekerja berdasarkan prinsip dasar: kekuatan besar yang bersatu lebih sulit ditundukkan, sehingga memecah persatuan adalah langkah awal untuk dominasi.
Dalam konteks kolonialisme modern, bangsa-bangsa seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris menggunakan strategi ini di berbagai wilayah koloninya. Namun, yang paling sistematis dan efektif menerapkannya di Asia Tenggara adalah VOC, yang tidak hanya menerapkan strategi ini secara situasional, tetapi menjadikannya sebagai alat utama ekspansi kekuasaan tanpa harus mengerahkan tentara secara langsung dalam setiap konflik.
Devide et impera memungkinkan kekuatan kolonial:
- Mendukung faksi tertentu dalam konflik internal kerajaan demi melemahkan lawan yang kuat.
- Membangun aliansi sementara yang berujung pada dominasi struktural jangka panjang.
- Memanipulasi rivalitas tradisional—baik berbasis etnis, agama, atau ekonomi—sebagai celah untuk masuknya pengaruh kolonial.
- Menghindari biaya logistik dan risiko perlawanan rakyat secara terbuka karena kekuatan lokal dihancurkan oleh sesamanya.
VOC menyadari bahwa kerajaan-kerajaan di Nusantara sering memiliki rivalitas internal dan antar wilayah, sehingga kondisi tersebut sangat ideal untuk dipelintir menjadi alat politik kolonial. Hasil akhirnya bukan hanya kemenangan militer, tapi pembentukan ketergantungan politik dan keretakan sosial yang berlangsung hingga berabad-abad kemudian.
b. Mekanisme Kerja Strategi Adu Domba
Strategi adu domba yang diterapkan oleh VOC (dan kemudian diteruskan oleh pemerintahan Hindia Belanda) bukan sekadar dukungan sepihak terhadap satu kerajaan melawan yang lain, melainkan merupakan rekayasa politik yang sistemik dan bertahap. Berikut adalah mekanisme kerjanya secara umum:
1. Identifikasi Konflik dan Friksi Lokal
VOC secara aktif mengamati konflik internal di kerajaan-kerajaan lokal, termasuk:
- Perebutan takhta antara pangeran dan elite bangsawan.
- Permusuhan antarsuku atau antarpelabuhan.
- Persaingan ekonomi, agama, atau pengaruh.
2. Dukungan kepada Salah Satu Faksi
VOC akan memihak salah satu pihak yang dinilai lebih lemah atau lebih mudah dikendalikan, misalnya:
- Memberikan senjata, tentara bayaran, atau perlindungan dagang.
- Mengakui status simbolik seperti gelar raja atau sultan sah.
- Mengintervensi dalam politik suksesi untuk memastikan boneka politik naik takhta.
3. Penciptaan Ketergantungan Politik dan Ekonomi
Faksi yang dibantu biasanya akan terikat secara struktural dengan VOC melalui:
- Perjanjian monopoli: hanya boleh berdagang dengan VOC.
- Konsesi wilayah atau pelabuhan sebagai bayaran dukungan.
- Utang militer atau logistik yang digunakan VOC sebagai alat tekan.
4. Melemahkan Faksi Lawan dan Kerajaan secara Keseluruhan
VOC tidak selalu ingin satu faksi menang mutlak. Tujuannya justru:
- Menjaga konflik tetap hidup agar kedua pihak saling melemahkan.
- Menguras sumber daya kerajaan melalui perang saudara.
- Mencegah munculnya kekuatan sentral yang bisa menandingi VOC.
5. Integrasi Politik ke dalam Sistem Kolonial
Setelah kerajaan terpecah dan lemah, VOC akan:
- Menempatkan perwakilan politik (residen) di istana.
- Mengendalikan kebijakan dagang dan hukum secara de facto.
- Meninggalkan sistem boneka politik dan elite kolaborator yang patuh.
Mekanisme ini sangat efektif karena VOC tidak harus membiayai perang besar, namun tetap bisa menguasai hasil bumi, jalur perdagangan, dan struktur politik lokal. Strategi ini juga menciptakan warisan perpecahan sosial dan politik yang masih terasa bahkan setelah kolonialisme berakhir.
Berikut narasi sejarah untuk bagian:
Kasus 1: Sunda – Banten
a. Persaingan Wilayah Pesisir Barat Jawa
Pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16, wilayah pesisir barat Pulau Jawa merupakan zona strategis dalam perdagangan internasional. Kawasan ini menjadi simpul penting dalam jaringan pelayaran Asia Tenggara, yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan utama di Selat Malaka dengan jalur ke Samudra Hindia dan Laut Jawa. Dalam konteks ini, dua kekuatan lokal saling bersaing dalam menguasai wilayah ini: Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang telah lama berdiri di pedalaman dan barat Jawa, dan Kesultanan Banten, sebuah entitas Islam baru yang bangkit melalui dinamika Islamisasi dan aliansi dagang dengan kekuatan luar.
Kerajaan Sunda menguasai pelabuhan-pelabuhan penting seperti Sunda Kalapa (Jakarta) dan Banten Lama, yang menjadi gerbang bagi komoditas dari pedalaman, terutama beras, lada, dan hasil bumi lainnya. Namun, pada saat yang sama, arus Islamisasi di wilayah pesisir—yang dipercepat oleh aktivitas para saudagar Muslim dari Gujarat, Arab, dan Palembang—telah menciptakan basis sosial baru yang lebih akomodatif terhadap ideologi dan jaringan dagang Islam.
Kesultanan Banten muncul sebagai kekuatan baru setelah peran vital para Wali Songo—khususnya Sunan Gunung Jati—yang memanfaatkan dinamika sosial-keagamaan dan perdagangan di pesisir. Pendirian Kesultanan Banten bukan hanya pergeseran keagamaan, tapi juga reposisi kekuasaan maritim yang menyaingi dominasi pedalaman Sunda. Puncaknya terjadi saat pelabuhan Sunda Kalapa direbut oleh pasukan gabungan Islam dari Cirebon dan Demak pada tahun 1527, yang menandai awal keruntuhan pengaruh Kerajaan Sunda di pesisir barat.
b. VOC dan Pendukung Islamisasi
Masuknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Belanda pada abad ke-17 memperumit dinamika ini. VOC memanfaatkan konflik-konflik lokal dan ketegangan antar kerajaan demi memonopoli jalur perdagangan rempah dan bahan pangan. VOC memainkan politik devide et impera (adu domba) dengan memanfaatkan rivalitas antara kerajaan Islam seperti Banten, Cirebon, dan Mataram, serta sisa-sisa aristokrasi Hindu-Sunda yang masih eksis di pedalaman dan beberapa wilayah terasing.
Meski VOC adalah kekuatan Kristen Eropa, mereka pada tahap awal cenderung bersimpati kepada kerajaan-kerajaan Islam pesisir seperti Banten, yang memiliki sistem perdagangan terbuka dan terhubung dengan jaringan internasional. Islamisasi wilayah pesisir, dalam konteks ini, dilihat VOC sebagai fenomena yang menguntungkan secara dagang, karena mempermudah penguasaan wilayah pelabuhan dengan penduduk dan elite lokal yang telah terdiferensiasi dari kekuatan lama.
Dengan kata lain, VOC mendukung pihak yang paling pragmatis dan menguntungkan secara ekonomi. Kesultanan Banten, yang kala itu lebih dinamis, kosmopolitan, dan bersedia bekerja sama dalam perdagangan lada dan logistik pelayaran, mendapat posisi lebih diuntungkan dalam peta aliansi VOC. Dalam banyak kasus, VOC juga menyalurkan persenjataan, dukungan logistik, atau kontrak dagang kepada Banten untuk menekan pesaing lokal lainnya, termasuk sisa-sisa loyalis Sunda yang mulai kehilangan basis kekuasaannya.
c. Eliminasi Sunda dan Naiknya Banten
Proses eliminasi Kerajaan Sunda sebagai kekuatan politik pesisir merupakan kombinasi dari faktor internal dan eksternal. Di satu sisi, kekuasaan Sunda semakin terdesak oleh bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Cirebon dan Banten. Di sisi lain, VOC berperan dalam mengonsolidasikan posisi Banten sebagai mitra dagang dan kekuatan politik utama di wilayah barat Jawa.
Setelah tahun 1527, keberadaan Sunda sebagai kekuatan maritim praktis runtuh. Banten, dengan dukungan jaringan dagang Islam dan pengakuan dari para pedagang asing seperti Belanda, Portugis, dan Arab, mengkonsolidasikan dirinya sebagai pelabuhan utama penghasil lada dan bahan pangan dari wilayah barat Nusantara. Banten juga mengembangkan sistem pemerintahan yang lebih terbuka terhadap perdagangan internasional, menjadikannya lebih relevan dibanding sistem feodal lama Kerajaan Sunda.
Sisa pengaruh Sunda hanya bertahan di daerah pedalaman seperti Pakuan Pajajaran, namun akhirnya juga mengalami kemunduran hingga akhirnya benar-benar tumbang pada tahun 1579 setelah serangan besar dari Kesultanan Banten. Runtuhnya Pajajaran menjadi simbol berakhirnya hegemoni kerajaan Hindu-Sunda dan transformasi penuh pesisir barat Jawa ke dalam dunia Islam yang terintegrasi dalam jaringan global abad ke-16 dan 17.
Dengan demikian, naiknya Banten dan runtuhnya Sunda bukan sekadar perubahan penguasa, tetapi juga mencerminkan pergeseran peradaban, dari agraris-feodal ke maritim-komersial, dari Hindu-Buddha ke Islam, dan dari kekuasaan lokal ke jejaring kekuasaan global yang mulai dikendalikan oleh kekuatan dagang seperti VOC.
Kasus 2: Mataram – Bali
a. Ambisi Ekspansi Mataram ke Bali
Pada abad ke-17, Kesultanan Mataram Islam yang berpusat di pedalaman Jawa Tengah berkembang menjadi kekuatan politik dan militer terbesar di tanah Jawa. Di bawah kepemimpinan raja-raja seperti Sultan Agung (1613–1645), Mataram bercita-cita menyatukan seluruh Jawa dan memperluas pengaruhnya ke luar pulau, termasuk ke wilayah Bali, yang saat itu masih merupakan gugusan kerajaan-kerajaan Hindu independen.
Ambisi ini bukan hanya dilandasi kepentingan politik dan kekuasaan, tetapi juga ideologis dan religius. Bali, sebagai salah satu wilayah terakhir yang mempertahankan agama Hindu secara penuh, dianggap sebagai wilayah yang perlu “disatukan” dalam visi Jawa-Islam yang dibangun Mataram. Selain itu, posisi strategis Bali dalam jalur maritim dan akses ke rempah, perak, serta perdagangan manusia (budak), menjadikan wilayah ini sangat penting dari sisi ekonomi dan geopolitik.
Mataram mulai melancarkan ekspedisi ke Bali, terutama ke wilayah-wilayah seperti Gelgel, yang saat itu merupakan kerajaan paling dominan di Bali selatan. Namun, meskipun memiliki kekuatan militer yang besar, Mataram menghadapi medan geografis dan kultural yang berbeda: masyarakat Bali lebih terfragmentasi namun memiliki tradisi militer yang kuat, sistem kasta yang solid, dan loyalitas adat yang menjadikan mereka sulit ditaklukkan secara total.
b. VOC Memanfaatkan Ketegangan
Sementara itu, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang semakin mengonsolidasikan dominasinya di wilayah kepulauan, melihat konflik antara Mataram dan Bali sebagai peluang emas. VOC mengadopsi strategi pecah-belah dan kendalikan (divide et impera) dengan memanfaatkan ketegangan antara dua kekuatan besar ini.
VOC menyadari bahwa bila Mataram berhasil menaklukkan Bali, maka kerajaan Jawa ini akan memiliki akses langsung ke laut selatan dan memperkuat kekuatannya sebagai pesaing dagang. Karena itu, Belanda lebih memilih Bali tetap terfragmentasi dan independen, sehingga mudah didekati satu per satu oleh kongsi dagang tersebut.
Maka, VOC secara aktif memberikan dukungan terselubung kepada kerajaan-kerajaan kecil di Bali, seperti Karangasem, Klungkung, dan Buleleng, baik berupa persenjataan, perjanjian dagang, maupun pengakuan simbolik sebagai “kerajaan berdaulat”. VOC memanfaatkan persaingan antar-dinasti lokal untuk mencegah terbentuknya unifikasi di Bali yang bisa menjadi ancaman bagi kontrol mereka atas jalur dagang Nusantara.
Selain itu, VOC juga melakukan taktik shadow diplomacy—mendekati Bali secara budaya dan perdagangan sembari menjaga hubungan ambigu dengan Mataram. Hal ini menyebabkan situasi di Bali tetap cair namun tidak pernah menyatu dalam entitas politik tunggal.
c. Pecahnya Kekuatan Mataram
Ekspansi militer Mataram ke luar Jawa pada akhirnya terganjal oleh sejumlah persoalan internal dan eksternal. Di dalam negeri, kesultanan menghadapi perlawanan elite lokal, pertikaian suksesi, serta pemberontakan daerah. Di sisi lain, intervensi VOC di Jawa secara sistematis melemahkan pusat kekuasaan Mataram melalui strategi pecah wilayah (terutama pasca Perjanjian Giyanti 1755), sehingga membatasi ruang geraknya.
Setelah kematian Sultan Agung, penerus-penerus Mataram tidak memiliki kapasitas militer dan politik yang setara. VOC secara bertahap mencabik kekuasaan Mataram menjadi dua (Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta), dan kemudian lebih jauh lagi dengan dibentuknya Pakualaman dan Mangkunegaran. Fragmentasi ini menyebabkan Mataram kehilangan kemampuan untuk mempertahankan klaim ekspansinya, apalagi melanjutkan ambisi ke luar Jawa.
Di sisi lain, Bali justru mampu bertahan sebagai gugusan kerajaan Hindu yang relatif mandiri, meskipun tidak bersatu secara politik. Resistensi Bali diperkuat oleh identitas kultural Hindu-Bali, sistem pertahanan berbasis komunitas (desa adat), dan dukungan luar dari VOC yang menjaga status quo.
Dengan pecahnya kekuatan pusat Mataram, proyek Islamisasi dan ekspansi ke Bali praktis gagal total. Bali pun berkembang menjadi satu-satunya wilayah besar di Nusantara yang tetap mempertahankan struktur budaya Hindu secara dominan hingga masa kolonial dan kemerdekaan Indonesia.
Kasus 3: Bone – Gowa
a. Rivalitas Dua Kekuatan Besar di Sulawesi Selatan
Pada abad ke-17, kawasan Sulawesi Selatan menjadi arena rivalitas antara dua kekuatan besar: Kesultanan Gowa dan Kerajaan Bone. Kedua kerajaan ini mewakili dua orientasi geopolitik yang bertolak belakang—Gowa sebagai kekuatan maritim dan ekspansionis, sedangkan Bone lebih bersifat agraris dan cenderung defensif. Rivalitas ini bukan sekadar konflik lokal, tetapi memiliki dimensi yang lebih luas dalam peta kekuasaan dan perdagangan di Nusantara.
Gowa, dengan pusatnya di Makassar, menjelma menjadi salah satu kekuatan maritim paling tangguh di wilayah timur Indonesia. Di bawah kepemimpinan raja-raja seperti Sultan Alauddin dan Sultan Hasanuddin, Gowa berkembang menjadi pelabuhan kosmopolitan yang terbuka bagi pedagang dari Arab, India, Tiongkok, dan Eropa. Kota Makassar menjadi simpul perdagangan rempah, tekstil, dan senjata yang menghubungkan kepulauan Maluku, Kalimantan, Jawa, dan luar negeri. Gowa juga dikenal karena politik keterbukaannya terhadap berbagai agama dan budayanya yang toleran terhadap komunitas asing.
Di sisi lain, Bone merupakan kerajaan Bugis yang kuat di pedalaman dan pantai timur Sulawesi Selatan. Sejak awal, Bone sering mengalami tekanan dari ekspansi Gowa. Bone sendiri memiliki ambisi mempertahankan otonominya dan memperluas pengaruhnya terhadap kerajaan-kerajaan Bugis lainnya. Perbedaan orientasi ini memunculkan konflik yang berkepanjangan, diperparah oleh perbedaan strategi dalam menghadapi kekuatan asing seperti VOC.
b. VOC Berkoalisi dengan Bone
Ketegangan antara Gowa dan Bone dimanfaatkan oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) untuk memperkuat dominasinya atas jalur rempah dan pelabuhan strategis. VOC melihat Gowa sebagai ancaman serius, karena Gowa menolak monopoli perdagangan yang diberlakukan oleh Belanda dan tetap membuka pelabuhan Makassar untuk pedagang non-Belanda, termasuk Inggris dan Portugis. Ini bertentangan langsung dengan misi VOC untuk mengendalikan seluruh rantai distribusi rempah-rempah di Asia Tenggara.
VOC kemudian menjalin aliansi dengan Arung Palakka, bangsawan Bone yang sebelumnya menjadi buronan politik akibat kekalahan Bone dalam perang melawan Gowa. Arung Palakka melarikan diri ke Batavia dan mendapatkan perlindungan serta dukungan militer dari VOC. Ia kemudian menjadi pion utama VOC dalam merancang serangan besar terhadap Gowa, yang dikenal sebagai Perang Makassar (1666–1669).
Perang ini menjadi konflik besar yang melibatkan ribuan prajurit, termasuk pasukan VOC, tentara Bone di bawah komando Arung Palakka, dan tentara bayaran dari Ambon dan Maluku. Gowa, di bawah Sultan Hasanuddin, melakukan perlawanan sengit dan dikenal sebagai pejuang yang gagah berani. Namun, serangan yang terus-menerus dari koalisi VOC dan Bone melemahkan pertahanan Gowa.
c. Kekalahan Gowa, Dominasi VOC
Setelah pertempuran berkepanjangan selama tiga tahun, Gowa akhirnya mengalami kekalahan besar pada tahun 1669. Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya (1667)—sebuah dokumen politik yang menjadi simbol kehancuran kedaulatan Gowa dan kemenangan besar VOC di wilayah timur Indonesia.
Isi Perjanjian Bongaya sangat merugikan Gowa, antara lain:
- VOC memperoleh monopoli perdagangan di pelabuhan Makassar.
- Gowa harus mengusir semua pedagang asing non-Belanda dari wilayahnya.
- Beberapa wilayah taklukan Gowa diserahkan kepada Bone atau langsung berada di bawah pengaruh VOC.
- VOC diizinkan mendirikan benteng dan garnisun permanen di Makassar (Benteng Rotterdam).
Dengan kekalahan Gowa dan berkuasanya Bone di bawah Arung Palakka, VOC berhasil mengendalikan jalur strategis perdagangan rempah di wilayah timur Nusantara. Namun, dominasi ini bukan tanpa konsekuensi: Bone yang semula sekutu VOC justru berkembang menjadi kekuatan hegemonik baru yang pada gilirannya juga mulai mempertanyakan dominasi Belanda dalam dekade-dekade berikutnya.
Sementara itu, Gowa sebagai pusat kekuatan maritim tidak pernah kembali ke kejayaannya semula. Perjanjian Bongaya menjadi simbol pengkhianatan, kolonialisasi, dan penghancuran kedaulatan lokal, yang terus dikenang dalam sejarah lokal Sulawesi Selatan.
Pola Umum Strategi Adu Domba
Seluruh rangkaian konflik antar kerajaan di Nusantara sejak abad ke-16 hingga ke-18 menunjukkan pola intervensi kolonial yang sangat sistematis. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebagai kekuatan dagang yang bertransformasi menjadi entitas kolonial, tidak hanya menggunakan kekuatan militer dan dagang, tetapi juga menerapkan strategi “adu domba” sebagai taktik utama dalam memperluas kontrol wilayah dan perdagangan. Strategi ini tidak bersifat kasuistik, melainkan menjadi pola umum yang direplikasi di banyak wilayah kepulauan Indonesia. Tiga elemen inti dari strategi ini adalah:
a. Dukungan kepada Pihak yang Lemah tapi Bersedia Tunduk
VOC sangat jarang berkonfrontasi langsung dengan kekuatan lokal besar, terutama jika kekuatan itu memiliki legitimasi rakyat dan militer yang kuat. Sebaliknya, VOC lebih memilih menjalin aliansi dengan kekuatan yang lebih lemah secara militer atau politik, tetapi bersedia tunduk kepada kepentingan dagang Belanda. Dukungan ini sering kali berupa:
- Perlindungan militer terhadap ancaman eksternal,
- Pengakuan politik atas kedudukan raja atau bangsawan tertentu,
- Kontrak dagang eksklusif dan pemberian fasilitas dagang di pelabuhan-pelabuhan utama.
Contohnya adalah bagaimana VOC mendukung Arung Palakka, tokoh Bone yang sebelumnya dikalahkan oleh Gowa, lalu dijadikan pion dalam menjatuhkan Sultan Hasanuddin. Atau bagaimana VOC mendukung faksi-faksi di Bali untuk menggagalkan ekspansi Mataram.
Strategi ini menciptakan ketergantungan pihak lokal kepada VOC, karena mereka hanya bisa mempertahankan kekuasaan atau eksistensinya dengan restu dan perlindungan dari Belanda. Dalam jangka panjang, ini melemahkan kemampuan lokal untuk membentuk aliansi mandiri dan memperkuat posisi kolonial sebagai “pengatur keseimbangan”.
b. Pecahnya Kerajaan Besar Menjadi Fragmen-Fragmen Kekuasaan Kecil
Setelah berhasil menundukkan kerajaan besar, VOC tidak pernah membiarkan wilayah tersebut kembali bersatu. Sebaliknya, mereka secara aktif memecah wilayah kekuasaan menjadi kerajaan kecil atau kadipaten, agar lebih mudah dikendalikan.
Contoh paling kentara adalah Perjanjian Giyanti (1755) yang memecah Kesultanan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Fragmentasi ini dilanjutkan dengan pembentukan Mangkunegaran dan Pakualaman, sehingga Mataram, yang sebelumnya menjadi poros kekuatan politik Jawa, berubah menjadi empat entitas kecil yang saling bersaing dan tidak mampu melakukan ekspansi.
Demikian pula di Maluku, VOC tidak pernah mengizinkan Ternate dan Tidore untuk membentuk federasi atau kekuatan maritim terpadu. Di Bali, VOC mencegah konsolidasi kerajaan besar pasca-Gelgel dengan memperkuat kerajaan-kerajaan kecil seperti Karangasem, Klungkung, dan Buleleng.
Dengan demikian, strategi ini menciptakan landskap politik yang tercerai-berai, penuh dengan konflik lokal, dan menjadikan kekuasaan pusat kolonial sebagai satu-satunya entitas yang memiliki kekuatan koordinatif dan militer yang utuh.
c. Penguatan Posisi VOC sebagai Penengah dan Pengatur Konflik
Setelah berhasil menciptakan konflik dan fragmentasi, VOC menempatkan dirinya sebagai penengah, pelindung, bahkan wasit bagi kerajaan-kerajaan lokal. Dalam posisi ini, VOC tidak hanya mengatur perdamaian, tetapi juga mengontrol arus perdagangan, perpajakan, penempatan benteng, dan jalur logistik.
Contoh konkret:
- Perjanjian Bongaya antara VOC dan Sultan Hasanuddin bukan hanya perjanjian damai, tapi juga menjadikan VOC sebagai otoritas hukum dan ekonomi di Makassar.
- Di Maluku, VOC memegang monopoli pembelian dan distribusi cengkih, serta mengatur kapan dan di mana raja boleh memanen atau menjual rempah.
- Di Jawa, setelah pecahnya Mataram, setiap kadipaten baru harus mendapatkan legitimasi dari VOC, bahkan dalam pengangkatan raja atau suksesi.
Dengan menjadi wasit dan penengah konflik, VOC memastikan tidak ada kekuatan lokal yang mampu tumbuh terlalu kuat, serta memperkuat citra mereka sebagai “penjaga stabilitas”, padahal sejatinya mereka adalah aktor utama destabilisasi.
Strategi adu domba bukan sekadar taktik perang atau diplomasi, melainkan kerangka sistematis penjajahan yang dirancang untuk:
- Melemahkan kekuasaan lokal,
- Menciptakan ketergantungan terhadap otoritas kolonial,
- Menjamin monopoli dagang dan dominasi jangka panjang.
Pola ini menunjukkan bahwa kolonialisme bukan hanya penjajahan fisik, tetapi juga permainan cerdas atas konflik sosial, politik, dan budaya lokal. VOC, meskipun merupakan kongsi dagang, pada akhirnya bertindak layaknya negara kolonial dengan kapasitas militer, hukum, dan politik penuh, dengan strategi adu domba sebagai tulang punggung ekspansi mereka di Nusantara.
Dampak Jangka Panjang
Setelah berabad-abad strategi adu domba dan dominasi politik kolonial dijalankan secara sistematis oleh VOC dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia Belanda, Nusantara memasuki era baru dengan struktur kekuasaan yang telah dirombak secara fundamental. Efek dari pola-pola intervensi kolonial tersebut tidak hanya terjadi dalam waktu singkat, tetapi menghasilkan dampak jangka panjang yang membentuk wajah sosial-politik Indonesia hingga masa kemerdekaan. Dua dampak utama dari strategi ini adalah:
a. Disintegrasi Kekuasaan Lokal
Salah satu akibat paling terasa dari strategi adu domba adalah hancurnya kesatuan politik lokal yang pernah eksis di berbagai wilayah Nusantara. Kerajaan-kerajaan besar seperti Mataram, Gowa, Sriwijaya, Majapahit (di masa sebelumnya), dan Ternate tidak hanya kehilangan wilayah kekuasaan, tetapi juga terpecah menjadi unit-unit kecil yang saling bersaing dan tidak memiliki kemampuan militer atau legitimasi politik yang kuat untuk menantang dominasi kolonial.
Disintegrasi ini berlangsung melalui:
- Pembentukan kadipaten-kadipaten kecil yang tunduk pada Belanda, seperti dalam kasus Mataram yang dipecah menjadi empat.
- Dihapusnya otoritas maritim kerajaan-kerajaan pelabuhan seperti Gowa dan Ternate, yang sebelumnya memiliki armada laut kuat.
- Penyempitan wilayah kekuasaan, di mana sultan hanya memerintah simbolik atas istana dan tidak lagi mengendalikan sistem perpajakan, militer, atau perdagangan.
Ketika kekuasaan lokal tidak lagi terintegrasi, tidak ada lagi pusat gravitasi politik yang mampu memimpin perlawanan skala besar terhadap kolonialisme. Gerakan perlawanan menjadi terfragmentasi dan bersifat lokal, seperti perang Diponegoro, Pattimura, dan Sisingamangaraja, yang meskipun heroik, tidak pernah mampu membentuk koalisi nasional akibat warisan disintegrasi ini.
b. Tergantinya Sistem Aliansi Tradisional dengan Sistem Kolonial
Di masa pra-kolonial, sistem aliansi di Nusantara dibangun melalui relasi kekerabatan, pernikahan politik, patronase budaya, dan solidaritas etnis atau agama. Namun, setelah dominasi VOC dan kolonialisme Belanda, sistem ini tergantikan oleh struktur hubungan yang berbasis perjanjian sepihak, subordinasi militer, dan ketergantungan ekonomi terhadap kekuasaan kolonial.
Aliansi tradisional yang dulunya memungkinkan kerajaan-kerajaan membentuk konfederasi atau federasi, seperti Wala (Bugis), mandala (Jawa/Bali), atau jaringan perdagangan antar-sultan, digantikan dengan:
- Kontrak dagang eksklusif yang membelenggu pihak lokal tanpa simetri kepentingan.
- Pengangkatan raja atau sultan yang harus disetujui oleh penguasa kolonial, bukan lagi berdasarkan legitimasi adat.
- Tunduknya hukum adat pada hukum kolonial, yang menjadikan kerajaan sebagai pelaksana kebijakan pemerintah Hindia Belanda, bukan entitas berdaulat.
Dalam konteks ini, kerajaan berubah menjadi boneka politik. Sultan, raja, atau adipati hanya menjadi simbol seremonial yang menjalankan fungsi-fungsi kolonial dalam balutan adat. Hal ini terlihat jelas dalam sistem “Zelfbestuurders” (penguasa pribumi bawahan) yang diperkenalkan oleh Belanda pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Akibatnya, legitimasi kekuasaan tradisional runtuh secara kultural dan politis, sehingga ketika era modern tiba, banyak kerajaan kehilangan peran strategis dalam membentuk kesadaran kebangsaan. Rakyat mulai melihat gerakan nasionalis modern sebagai satu-satunya kekuatan alternatif yang nyata, dan bukan lagi keraton atau kesultanan.
Dampak dari strategi adu domba dan intervensi kolonial bukan hanya soal penguasaan wilayah secara militer, tetapi jauh lebih mendalam: merombak struktur kekuasaan, menghancurkan sistem politik lokal, dan mengubah relasi sosial menjadi hierarki kolonial. Akibatnya, Indonesia memasuki abad ke-20 dalam keadaan tercerai-berai secara politik, kehilangan integritas pusat-pusat kekuasaan pribumi, dan hanya memiliki struktur sosial yang didominasi oleh kekuasaan kolonial dan birokrasi pelayan lokal.
Inilah warisan kolonialisme yang paling berbahaya: bukan hanya pendudukan, tapi pembentukan sistem kekuasaan yang mematikan daya tahan bangsa dari dalam.
Strategi adu domba yang dijalankan oleh VOC bukan sekadar taktik militer atau politik sesaat, melainkan merupakan senjata kolonial yang sangat efektif, minim biaya, namun berdampak destruktif secara jangka panjang. Alih-alih melakukan penaklukan frontal yang menguras sumber daya dan menimbulkan resistensi, VOC memanfaatkan keretakan internal, ambisi lokal, dan kelemahan sistemik dalam struktur kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk menancapkan hegemoninya secara perlahan dan mendalam.
Melalui tiga kasus besar — Sunda–Banten, Mataram–Bali, dan Bone–Gowa — kita melihat pola yang berulang:
- VOC memperkuat pihak yang lemah, asal tunduk pada kepentingan dagang dan militer kolonial.
- Pusat-pusat kekuasaan lokal dipecah dan dipaksa saling bersaing.
- VOC memosisikan diri sebagai penengah konflik, padahal sejatinya adalah pemicu dan pengendali dari semua dinamika tersebut.
Kekuatan VOC tidak hanya terletak pada persenjataan atau armada lautnya, melainkan pada kemampuannya mengendalikan politik lokal dari balik layar, menyusupi kelemahan struktural kerajaan-kerajaan lokal, dan menjadikan elite pribumi sebagai alat kendali kolonial.
Dampaknya bukan hanya kehancuran politik, tapi juga kerusakan psikologis dan sosial: munculnya rasa saling curiga antarkerajaan, hilangnya kepercayaan antar-etnis, serta merosotnya kemandirian dan harga diri politik masyarakat Nusantara.
Strategi adu domba ini akhirnya menjadi fondasi utama struktur kolonial di Indonesia, dan warisan tersebut masih terasa hingga kini dalam:
- Fragmentasi kekuasaan daerah vs pusat,
- Polarisasi elit politik dan sosial, serta
- Minimnya solidaritas nasional berbasis sejarah kolektif.
Memahami strategi ini bukan hanya soal menelusuri sejarah kolonialisme, tetapi juga membongkar akar kelemahan struktural bangsa Indonesia hari ini—sebuah tugas penting bagi generasi masa depan yang ingin membangun kedaulatan sejati: tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara mental, politik, dan budaya.