Urbanisasi dan proletarisasi masyarakat desa

Perubahan Struktur Sosial dalam Ekonomi Kolonial

Peralihan menuju sistem ekonomi liberal di Hindia Belanda pada paruh akhir abad ke-19 bukan sekadar persoalan kebijakan ekonomi atau arus modal asing. Ia merupakan transformasi sosial yang dalam dan menyeluruh, yang mengubah fondasi kehidupan masyarakat Nusantara, terutama di pedesaan. Di bawah logika kolonialisme liberal—yang berpijak pada kepemilikan pribadi, akumulasi kapital, dan orientasi ekspor—struktur sosial lama berbasis komunitas agraris dan kekerabatan digantikan oleh tatanan baru yang menuntut kerja, mobilitas, dan disiplin produksi.

Sebelum 1870, masyarakat Nusantara umumnya masih hidup dalam pola pertanian subsisten: sistem ekonomi kecil berbasis keluarga atau komunitas, dengan tujuan mencukupi kebutuhan sendiri, bukan untuk pasar. Lahan digarap bersama atau secara turun-temurun, dan kepemilikan bersifat komunal atau berdasarkan adat. Waktu kerja mengikuti irama musim dan siklus upacara adat, bukan jadwal kerja industri. Namun, kondisi ini berubah drastis ketika Hindia Belanda mulai dibuka secara sistematis bagi investasi swasta dan produksi komoditas ekspor melalui UU Agraria 1870 dan berbagai kebijakan liberal lainnya.

Masuknya perusahaan-perusahaan perkebunan, pertambangan, dan industri ke wilayah pedesaan menciptakan tekanan struktural terhadap masyarakat desa. Lahan yang dulunya digunakan untuk menanam padi atau palawija dipaksa dialihfungsikan menjadi kebun tebu, kopi, atau karet milik perusahaan. Petani kehilangan akses atas tanah, atau dipaksa menyewa kembali tanahnya sendiri. Di sisi lain, meningkatnya beban pajak dan kebutuhan tunai mendorong mereka masuk ke pasar tenaga kerja sebagai buruh upahan—baik di ladang, pabrik, maupun proyek infrastruktur kolonial.

Proses ini melahirkan dua gejala sosial yang saling terikat: urbanisasi dan proletarisasi. Urbanisasi adalah perpindahan besar-besaran penduduk desa ke kota, didorong oleh hilangnya lahan dan peluang kerja di desa serta janji kehidupan baru di kota. Sementara itu, proletarisasi merujuk pada perubahan status sosial masyarakat desa: dari produsen mandiri yang menguasai tanah dan alat produksi menjadi kelas pekerja yang hanya memiliki tenaga untuk dijual, hidup dari upah, dan tergantung pada pasar.

Fenomena ini tidak berlangsung secara spontan atau alamiah, melainkan merupakan bagian dari rekayasa kolonialisme liberal yang sengaja menciptakan reservoir tenaga kerja murah bagi sektor-sektor industri dan perkebunan. Dengan meminggirkan petani dari tanah dan memecah komunitas tradisional, sistem kolonial menciptakan tenaga kerja yang lebih fleksibel, mudah dikontrol, dan sesuai dengan logika akumulasi kapital.

Urbanisasi dan proletarisasi menjadi dua sisi dari koin yang sama—yakni transformasi sosial yang diperlukan agar sistem ekonomi kolonial bisa beroperasi secara efisien dan menguntungkan bagi modal asing. Di balik narasi modernisasi dan pembangunan, terdapat realitas sosial tentang peminggiran, keterasingan, dan kemiskinan struktural yang terus membayangi hingga kini.

Dorongan Urbanisasi: Pusat Industri dan Kota Kolonial

Urbanisasi di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 tidak terjadi sebagai akibat alami dari pertumbuhan populasi, tetapi merupakan proses historis yang sangat erat kaitannya dengan kebijakan ekonomi kolonial dan ekspansi kapitalisme liberal. Dengan dibukanya koloni bagi investasi swasta dan produksi komoditas ekspor, muncul kebutuhan akan pusat-pusat logistik, pengolahan, dan distribusi. Kota-kota kolonial pun tumbuh dan berkembang menjadi simpul-simpul utama dari sistem ekonomi baru ini.

Sejumlah kota besar seperti Batavia (Jakarta), Surabaya, Semarang, Medan, dan Padang mengalami ekspansi pesat sejak dekade 1870-an. Kota-kota ini menjadi titik temu antara produksi dari pedalaman dan jalur distribusi global melalui pelabuhan laut. Setiap kota memiliki peran spesifik:

  • Batavia sebagai pusat administrasi kolonial dan keuangan, markas besar perusahaan-perusahaan dagang, serta lokasi utama kantor bank kolonial seperti De Javasche Bank.
  • Surabaya dan Semarang menjadi simpul pengapalan komoditas dari Jawa Timur dan Tengah, sekaligus tempat berdirinya pabrik-pabrik pengolahan gula dan produk ekspor lainnya.
  • Medan tumbuh sebagai pusat industri tembakau dan kelapa sawit di Sumatra Timur, didorong oleh kehadiran perusahaan besar seperti Deli Maatschappij.
  • Padang sebagai pelabuhan utama untuk ekspor hasil tambang batubara Ombilin dan produk pertanian dari Sumatra Barat.

Pertumbuhan kota-kota ini bukan hanya fisik dan demografis, tetapi juga struktural: munculnya infrastruktur modern seperti jalan raya, jalur kereta api, pelabuhan, sistem drainase, hingga perumahan elit kolonial. Kota-kota kolonial juga menjadi tempat berlangsungnya transformasi sosial: interaksi antar kelompok etnis, pembentukan kelas pekerja urban, dan terciptanya ruang segregatif antara Eropa, Tionghoa, dan pribumi.

Urbanisasi dalam konteks ini bukan sekadar perpindahan penduduk dari desa ke kota, melainkan bagian dari proses penarikan tenaga kerja ke pusat-pusat produksi. Kota bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga mesin industrialisasi kolonial yang menyerap tenaga buruh dalam jumlah besar untuk menggerakkan ekonomi ekspor. Proyek-proyek infrastruktur, pabrik gula, gudang ekspor, serta kantor dagang dan administrasi, semuanya membutuhkan pekerja kasar, buruh teknis, pelayan rumah tangga, dan tenaga logistik.

Rakyat dari desa-desa miskin datang ke kota dengan harapan akan hidup yang lebih baik, namun sering kali hanya menemukan kemiskinan baru dalam ruang-ruang kumuh urban. Mereka hidup di pinggiran kota, dekat dengan pelabuhan atau stasiun, dalam pemukiman tanpa sanitasi, air bersih, atau fasilitas kesehatan memadai. Kota kolonial tidak didesain untuk keadilan spasial atau pemerataan, melainkan untuk menunjang efisiensi logistik dan estetika kekuasaan.

Dalam konteks ini, urbanisasi kolonial merupakan hasil dari proses politik-ekonomi yang memfungsikan kota sebagai alat kontrol dan ekspansi kapitalisme, dan penduduk kota sebagai tenaga kerja murah dan mudah dimobilisasi. Di balik façade modernitas kota kolonial, tersembunyi struktur sosial yang timpang dan reproduksi kemiskinan struktural yang berlangsung lintas generasi.


Pembangunan Pelabuhan, Pabrik, Kantor Dagang, dan Infrastruktur Kota oleh Pemerintah Kolonial dan Perusahaan Swasta

Urbanisasi di Hindia Belanda tidak dapat dilepaskan dari peran aktif pemerintah kolonial dan perusahaan swasta dalam membangun infrastruktur ekonomi perkotaan. Kota-kota kolonial dirancang bukan untuk pemukiman massal atau pusat kehidupan rakyat, melainkan sebagai titik strategis logistik, industri, dan administrasi yang menopang sistem ekspor. Pembangunan fisik kota-kota kolonial sangat selektif, mengikuti pola ekonomi ekstraktif yang berorientasi keluar.

  1. Pelabuhan Laut dan Jalur Distribusi
    • Pemerintah kolonial dan perusahaan pelayaran Belanda, seperti KPM (Koninklijke Paketvaart-Maatschappij), membangun dan memperluas pelabuhan laut di kota-kota pesisir utama.
    • Pelabuhan Tanjung Priok (Batavia), Tanjung Perak (Surabaya), Belawan (Medan), dan Teluk Bayur (Padang) dilengkapi dermaga ekspor, gudang besar, dan sistem bongkar muat untuk memudahkan pengapalan komoditas ke Eropa.
    • Pelabuhan menjadi pintu utama ekspor gula, kopi, tembakau, karet, batubara, dan timah, serta tempat pertama masuknya barang-barang impor dari Belanda.
  2. Pabrik dan Fasilitas Industri
    • Pabrik-pabrik gula, pengolahan tembakau, tekstil, penggilingan kopi, serta kilang minyak didirikan di pinggiran kota-kota besar, terutama di Surabaya, Semarang, dan Medan.
    • Fasilitas industri ini membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar dan beroperasi dengan sistem kerja upahan yang ketat, menjadikan kota sebagai lokasi konsentrasi buruh urban.
    • Pabrik-pabrik ini sering kali didanai oleh modal swasta Eropa, namun didirikan atas dasar konsesi lahan dan kebijakan pemerintah kolonial.
  3. Kantor Dagang dan Pusat Administrasi
    • Kota kolonial juga menjadi markas besar perusahaan dagang seperti Internatio, Geo Wehry, Jacobson van den Berg, dan Nederlandsch Handel-Maatschappij (NHM).
    • Bangunan megah seperti kantor pos utama, kantor gubernur, gedung bank kolonial (De Javasche Bank), dan konsulat dagang dibangun di pusat kota sebagai lambang kekuasaan dan kepercayaan investor.
    • Kawasan ini hanya bisa diakses oleh elite Eropa dan kelompok perantara kaya seperti Tionghoa atau pribumi berpendidikan tinggi.
  4. Jaringan Jalan, Rel Kereta Api, dan Drainase Kota
    • Untuk menunjang arus barang dan manusia, dibangun jaringan jalan raya dan rel kereta api yang menghubungkan pelabuhan, stasiun, pasar, dan kawasan industri.
    • Kota-kota besar seperti Surabaya dan Semarang dilengkapi trem kota, jalur logistik, serta sistem drainase dan kanal.
    • Namun pembangunan ini sangat eksklusif—terfokus pada kawasan administrasi dan ekonomi, sementara kampung-kampung buruh di pinggiran dibiarkan miskin dan tertinggal.

Infrastruktur kota kolonial tidak netral; ia dibentuk untuk melayani kebutuhan ekonomi kapitalisme kolonial. Ia mencerminkan sistem yang mengutamakan efisiensi ekspor dan mobilitas kapital, bukan kesejahteraan rakyat. Kota menjadi ruang produksi dan kontrol, dan proses urbanisasi berlangsung dalam kerangka relasi kuasa kolonial yang timpang.


Kota sebagai Magnet Migrasi Desa Akibat Kemiskinan, Kegagalan Panen, dan Kebutuhan Kerja

Urbanisasi di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 tidak hanya dipicu oleh pembangunan infrastruktur kota dan kebutuhan industri, tetapi juga oleh dorongan kuat dari desa-desa yang mengalami tekanan ekonomi dan sosial yang hebat. Dalam banyak kasus, migrasi ke kota merupakan bentuk pelarian dari kondisi hidup yang memburuk akibat kebijakan kolonial, perubahan agraria, dan bencana alam.

  1. Kemiskinan Struktural di Desa
    • Penerapan pajak tanah dan pajak kepala secara ketat oleh pemerintah kolonial membuat banyak petani kecil kehilangan daya tahan ekonominya.
    • Beralihnya tanah-tanah produktif menjadi milik negara atau perusahaan swasta, melalui sistem sewa jangka panjang (erfpacht), mengurangi akses masyarakat desa terhadap sumber penghidupan mereka sendiri.
    • Rakyat desa yang kehilangan tanahnya terpaksa mencari penghasilan tunai, dan kota menjadi satu-satunya ruang di mana peluang kerja upahan tersedia.
  2. Kegagalan Panen dan Krisis Pangan
    • Peralihan dari pertanian pangan ke komoditas ekspor (gula, kopi, tebu) atas tekanan pemerintah kolonial membuat masyarakat rentan terhadap kelaparan.
    • Ketika terjadi musim kering panjang, banjir, atau serangan hama, tidak ada cadangan pangan yang memadai karena lahan sudah didominasi tanaman ekspor.
    • Akibatnya, banyak keluarga memilih bermigrasi ke kota atau ke perkebunan jauh dari kampung halaman, meski tanpa jaminan pekerjaan atau tempat tinggal.
  3. Kebutuhan Kerja dan Impian Mobilitas Sosial
    • Kota menjanjikan akses terhadap pekerjaan upahan, meskipun pekerjaan tersebut sering kali kasar, berbahaya, dan tidak stabil.
    • Industri gula, pelabuhan, proyek kereta api, dan kantor administrasi membuka peluang kerja yang walau kecil, tetap lebih menarik dibanding hidup tanpa penghasilan di desa.
    • Selain itu, kota kolonial membawa citra modernitas: lampu listrik, trem, gedung megah, dan gaya hidup Eropa—yang menumbuhkan aspirasi baru di kalangan muda desa untuk meninggalkan kehidupan tradisional.

Namun, kenyataan yang dihadapi para migran desa sering jauh dari harapan. Mereka harus tinggal di kampung-kampung kumuh, bekerja dengan upah rendah, tanpa jaminan sosial atau perlindungan kesehatan. Banyak yang jatuh ke dalam lingkaran kemiskinan urban baru, menggantikan kemiskinan agraris yang mereka tinggalkan. Kota tidak selalu menyediakan mobilitas sosial; dalam banyak kasus, ia menjadi ruang marjinalisasi baru yang mengasingkan rakyat dari tanah, komunitas, dan martabatnya.


Kota-kota kolonial menjadi pusat tarikan (pull factor) karena kebutuhan industri dan citra kemajuan, namun juga menjadi tempat pelarian (push factor) dari desa-desa yang porak poranda akibat kapitalisme agraria kolonial. Proses ini melahirkan kelas pekerja urban baru, yang menjadi fondasi bagi struktur sosial Indonesia modern—namun terbentuk dalam konteks ketimpangan dan eksploitasi struktural.


Masyarakat Desa dan Tekanan Ekonomi Struktural

Transformasi ekonomi kolonial sejak 1870 tidak hanya menciptakan pusat-pusat industri dan urbanisasi, tetapi juga menghantam sendi-sendi kehidupan masyarakat desa secara struktural. Desa, yang sebelumnya menjadi ruang produksi subsisten dan komunitas berbasis kekerabatan, perlahan-lahan direduksi menjadi sumber tenaga kerja murah dan ladang komoditas ekspor. Dalam konteks ini, perpindahan orang desa ke kota atau ke perkebunan bukanlah pilihan bebas, melainkan respon terhadap tekanan ekonomi yang sistemik dan memiskinkan.


Perubahan Sistem Pertanian: Dari Swadaya ke Tanaman Komoditas

Sebelum masa liberalisasi kolonial, petani di Nusantara umumnya mengelola tanahnya untuk kebutuhan keluarga atau komunitas:

  • Menanam padi, palawija, buah-buahan, serta memelihara ternak sebagai bagian dari sistem agrikultur swadaya.
  • Produksi ditujukan untuk konsumsi lokal, tukar-menukar, dan cadangan musim paceklik, bukan untuk pasar luas.

Namun setelah 1870, masuknya perusahaan-perusahaan perkebunan dan dorongan pemerintah kolonial untuk ekspor mendorong konversi lahan:

  • Lahan-lahan sawah dan kebun rakyat dialihfungsikan menjadi ladang tebu, kopi, tembakau, kina, dan karet.
  • Petani dipaksa menanam tanaman komoditas melalui sistem kontrak atau kerja paksa terselubung, seringkali dengan harga jual hasil yang dikendalikan sepihak oleh pabrik atau perusahaan.

Perubahan ini menciptakan ketergantungan petani pada pasar dan pada perusahaan, serta mengikis kedaulatan mereka atas hasil produksinya sendiri. Ketika harga turun, petani menderita. Ketika gagal panen, tak ada lagi cadangan pangan.


Penyusutan Akses terhadap Tanah Akibat Konsesi Perkebunan dan Tambang

Melalui Undang-Undang Agraria 1870 dan kebijakan pertambangan kolonial, pemerintah Belanda membuka luas tanah-tanah “tak bertuan” untuk disewakan kepada perusahaan asing selama puluhan tahun:

  • Tanah ulayat dan tanah adat yang tidak terdokumentasi dalam sistem hukum kolonial dianggap tanah negara, dan bebas diberikan hak konsesi kepada investor asing.
  • Rakyat desa yang tinggal secara turun-temurun di atas tanah tersebut tidak diakui secara hukum, dan akhirnya digusur atau hanya diberi hak pakai terbatas.

Fenomena ini menyebabkan hilangnya akses tanah secara besar-besaran:

  • Petani menjadi penyewa di tanah yang dulunya milik leluhurnya sendiri.
  • Banyak yang akhirnya memilih meninggalkan desa untuk menjadi buruh di perkebunan, tambang, atau kota.

Akses terhadap tanah, yang seharusnya menjadi dasar kemandirian ekonomi, berubah menjadi alat eksploitasi dan pendorong proletarisasi desa secara sistemik.


Pajak Tanah dan Beban Fiskal Kolonial Sebagai Pemicu Migrasi Tenaga Kerja

Salah satu mekanisme yang digunakan pemerintah kolonial untuk menekan desa adalah sistem pajak:

  • Petani dikenai pajak tanah, pajak kepala, dan pajak hasil pertanian yang harus dibayar tunai.
  • Dalam situasi kehilangan tanah atau hasil panen yang tidak stabil, petani terpaksa mencari penghasilan di luar desa untuk membayar kewajiban fiskal.

Kondisi ini diperparah oleh:

  • Tidak adanya kebijakan subsidi atau jaring pengaman sosial.
  • Sistem denda dan perampasan barang jika gagal membayar pajak, yang semakin mendorong orang ke dalam kemiskinan dan utang.

Akibatnya, migrasi dari desa menjadi sebuah strategi bertahan hidup, bukan mobilitas sosial yang direncanakan. Rakyat desa terdorong menjadi buruh kontrak di perkebunan Sumatra, tambang timah di Bangka, atau pekerja pelabuhan di kota-kota pesisir.

Tekanan ekonomi yang dialami masyarakat desa di akhir abad ke-19 adalah hasil dari rekayasa kolonialisme liberal, bukan kegagalan internal desa. Perubahan sistem pertanian, penyusutan akses tanah, dan beban pajak menciptakan ketergantungan struktural yang menghancurkan fondasi ekonomi komunitas pedesaan. Urbanisasi dan proletarisasi bukan hanya akibat modernisasi, melainkan bentuk pemiskinan terencana yang melayani logika akumulasi kapital kolonial.

Munculnya Buruh Upahan: Awal Proletarisasi di Hindia

Proses urbanisasi yang massif dan tekanan struktural di pedesaan pada masa kolonial liberal tidak hanya mengubah pola migrasi dan kehidupan sosial, tetapi juga membentuk kelas sosial baru yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah Nusantara: buruh upahan. Jika pada masa sebelumnya masyarakat desa hidup sebagai petani merdeka yang bekerja di atas tanahnya sendiri, kini banyak di antara mereka yang terpaksa menjual tenaga kerja kepada pihak lain—baik perusahaan swasta kolonial, pemerintah, atau kontraktor industri—sebagai satu-satunya cara bertahan hidup. Inilah titik awal dari proletarisasi: hilangnya hak milik atas alat produksi, dan ketergantungan total pada upah untuk hidup.


Rakyat Desa Menjadi Buruh di Luar Tanahnya Sendiri

Di banyak wilayah koloni, terutama Jawa dan Sumatra, terjadi transformasi ekonomi yang dramatis:

  • Orang-orang desa tidak lagi mengolah sawah atau kebun sendiri, tetapi menjadi pekerja kontrak di perkebunan teh, tembakau, dan karet milik asing.
  • Mereka juga direkrut sebagai buruh di pabrik gula, buruh pelabuhan, tukang kayu, sopir kereta api, pemecah batu, atau pekerja tambang.
  • Banyak dari mereka bekerja jauh dari kampung halamannya, tinggal di barak atau kampung buruh yang dikontrol perusahaan.

Kondisi kerja sangat berat:

  • Jam kerja panjang, upah rendah, dan pengawasan ketat.
  • Tidak ada jaminan kesehatan, keselamatan kerja, atau hari libur.
  • Mobilitas sosial sangat terbatas—buruh tetap menjadi buruh sepanjang hidupnya.

Hilangnya Kemandirian Ekonomi dan Ketergantungan pada Upah Tetap

Sebelum era liberalisasi kolonial, petani memiliki kontrol atas waktu, jenis tanaman, dan distribusi hasil. Namun, dalam sistem kerja upahan:

  • Buruh tidak memiliki kontrol atas proses produksi maupun hasilnya.
  • Hidup mereka bergantung sepenuhnya pada besar kecilnya upah, yang seringkali tidak cukup untuk kebutuhan dasar.
  • Dalam banyak kasus, upah diberikan dalam bentuk kupon atau barang, bukan uang tunai, memperkuat ketergantungan pada toko-toko perusahaan (sistem truck).

Mereka tidak lagi punya pilihan lain selain menjual tenaganya. Mereka tidak memiliki tanah, alat produksi, atau jaringan penyangga sosial sebagaimana di desa. Ketergantungan pada upah ini menjadikan mereka sepenuhnya tunduk pada logika pasar dan perusahaan.


Pergeseran Status Sosial: Dari Petani Merdeka Menjadi Buruh Tanpa Aset

Proletarisasi bukan hanya proses ekonomi, tetapi juga perubahan status sosial yang mendalam:

  • Petani dahulu adalah bagian dari komunitas, memiliki kedudukan sosial yang dihormati, dan punya akses ke tanah serta modal sosial dalam bentuk gotong royong.
  • Dalam dunia kerja industri kolonial, status itu runtuh. Mereka menjadi individu-individu anonim, bergantung pada sistem upah, sering kali tanpa perlindungan hukum atau sosial.
  • Identitas mereka berubah: dari anggota komunitas adat menjadi tenaga kerja murah yang mudah digantikan.

Proletarisasi juga meruntuhkan nilai-nilai sosial dan budaya desa—waktu kerja diatur oleh jam pabrik, bukan oleh musim panen atau kalender adat. Disiplin kolonial menggantikan fleksibilitas kultural. Kerja tidak lagi dilihat sebagai bagian dari kehidupan kolektif, tetapi sebagai kewajiban harian demi bertahan hidup.

Munculnya buruh upahan di Hindia Belanda adalah konsekuensi logis dari sistem kolonial liberal yang memisahkan rakyat dari tanah dan alat produksinya. Proletarisasi ini menciptakan kelas sosial baru yang terpinggirkan, sekaligus menjadi fondasi tenaga kerja industri dan ekspor kolonial. Di balik pembangunan dan pertumbuhan ekonomi koloni, tersembunyi kisah jutaan manusia yang kehilangan tanah, martabat, dan otonominya—untuk menjadi roda dari mesin kapitalisme global.


Kota Kolonial dan Segmentasi Sosial-Etnis

Kota-kota kolonial di Hindia Belanda tidak hanya menjadi pusat industri dan administrasi, tetapi juga ruang yang sangat terstruktur secara sosial dan etnis. Tata ruang kota dirancang bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat secara merata, melainkan berdasarkan kepentingan kekuasaan, kontrol sosial, dan pemisahan kelas. Urbanisasi yang terjadi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 membentuk pola segregasi yang tajam, menciptakan kota sebagai ruang hierarkis yang mencerminkan sistem kolonial secara menyeluruh.


Pembagian Wilayah Kota Berdasarkan Ras dan Kelas

Di hampir seluruh kota besar kolonial—Batavia, Surabaya, Semarang, Medan, Padang—penduduk dikelompokkan berdasarkan kategori rasial dan status sosial, yang kemudian tercermin secara fisik dalam tata ruang:

  • Kawasan Eropa ditempatkan di pusat kota atau di dataran tinggi yang lebih sehat dan nyaman. Mereka tinggal di rumah besar berpagar, dengan taman luas, jalan teraspal, dan fasilitas lengkap seperti sekolah Belanda, rumah sakit, dan klub sosial.
  • Kawasan Tionghoa berada di antara pusat kota dan daerah buruh. Mereka menjadi kelas perantara dalam ekonomi kolonial: sebagai pedagang, pemilik toko, atau pengelola distribusi. Meski tidak setara dengan orang Eropa, mereka memiliki lebih banyak hak dan akses daripada pribumi.
  • Kawasan Pribumi (terutama buruh) ditempatkan di pinggiran atau dekat kawasan industri dan pelabuhan. Mereka tinggal di kampung-kampung padat, tanpa perencanaan tata ruang, rentan terhadap banjir, penyakit, dan kebakaran.

Pemisahan ini tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga diinstitusikan secara hukum dan administratif melalui sistem Wijkenstelsel (sistem distrik rasial) yang memperkuat diskriminasi struktural.


Lingkungan Kampung Buruh dan Pemukiman Kumuh Urban

Migrasi besar-besaran dari desa ke kota menciptakan ledakan populasi urban yang tidak diikuti dengan pembangunan perumahan rakyat. Akibatnya, muncullah:

  • Kampung buruh di dekat pabrik, rel kereta api, atau pelabuhan, yang terdiri dari rumah-rumah semi permanen, berdempetan, tanpa sanitasi memadai.
  • Pemukiman kumuh (slum) yang sering menjadi pusat penyakit, kekerasan, dan ketegangan sosial.

Kondisi di kampung buruh sangat memprihatinkan:

  • Air bersih terbatas, sanitasi buruk, banyak warga terjangkit kolera, malaria, dan penyakit kulit.
  • Tidak ada layanan kebersihan dari kota, dan warga sering dianggap “beban” oleh pemerintah kolonial.

Namun di sinilah terbentuk komunitas pekerja urban baru, dengan solidaritas sosial yang unik, sistem gotong royong spontan, dan resistensi kultural terhadap sistem kolonial yang menindas.


Ketimpangan Layanan Publik: Sanitasi, Pendidikan, dan Perumahan

Kota kolonial dibangun untuk melayani kebutuhan elite dan perusahaan:

  • Jalan utama, listrik, trem kota, rumah sakit modern hanya tersedia di kawasan Eropa.
  • Sekolah Belanda disediakan untuk anak-anak Eropa dan Tionghoa elite, sementara anak-anak pribumi hanya mendapat pendidikan dasar di Sekolah Rakyat yang minim fasilitas.
  • Perumahan resmi hanya disediakan untuk pegawai kolonial dan orang kaya; buruh dan rakyat kecil dibiarkan membangun tempat tinggal seadanya.

Dengan demikian, kota bukanlah ruang inklusif, tetapi ruang segregatif yang mempertajam ketimpangan sosial dan memperkuat struktur kolonial:

  • Buruh hanya “ditoleransi” sejauh mereka dibutuhkan sebagai tenaga kerja.
  • Mereka diisolasi dari akses terhadap hak-hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal yang layak.

Segregasi kota kolonial tidak hanya menunjukkan rasisme sistemik, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial. Dengan memisahkan kelompok masyarakat berdasarkan ras dan kelas, pemerintah kolonial menciptakan ruang urban yang memperkuat dominasi ekonomi-politik Eropa dan menempatkan pribumi sebagai kelas pekerja terbawah. Pola segmentasi ini masih membekas dalam struktur kota-kota Indonesia modern, di mana ketimpangan spasial dan sosial tetap menjadi tantangan serius warisan kolonialisme.


Perubahan Gaya Hidup dan Nilai Sosial

Proses urbanisasi dan proletarisasi yang terjadi pada akhir abad ke-19 di Hindia Belanda tidak hanya menciptakan pergeseran ekonomi dan struktur sosial, tetapi juga mengubah secara mendalam cara hidup, nilai, dan budaya masyarakat desa. Ketika individu berpindah dari ruang agraris komunal ke lingkungan industri dan kota kolonial, mereka tidak hanya kehilangan tanah atau pekerjaan tradisional, melainkan juga mengalami transformasi dalam cara berpikir, berperilaku, dan menilai dunia.


Adaptasi Masyarakat Desa terhadap Ritme Hidup Industri

Salah satu perubahan paling mendasar yang dihadapi migran dari desa ke kota adalah ritme hidup yang baru:

  • Dalam masyarakat agraris tradisional, waktu diatur oleh alam: musim tanam, musim panen, waktu ibadah, dan siklus adat.
  • Dalam dunia industri, waktu ditentukan oleh bel, jam masuk kerja, absensi, dan target produksi.

Para buruh dipaksa menyesuaikan diri dengan sistem:

  • Jam kerja tetap, biasanya dari pagi hingga sore tanpa fleksibilitas.
  • Sistem absensi dan disiplin ketat, di mana keterlambatan atau bolos bisa berujung pada pemotongan upah atau pemecatan.
  • Tidak ada toleransi terhadap jeda budaya seperti hari pasaran, ritual desa, atau kerja komunal.

Kehidupan menjadi lebih mekanis dan teratur, tetapi juga lebih asing dan terlepas dari ritme sosial lama yang bersifat lebih manusiawi.


Disintegrasi Sistem Gotong Royong dan Norma Komunal Desa

Dalam kehidupan desa, sistem gotong royong merupakan tulang punggung solidaritas sosial:

  • Petani membantu panen bersama, membangun rumah secara kolektif, dan saling mendukung dalam upacara keagamaan atau kematian.
  • Norma adat dan tekanan sosial menciptakan kohesi kuat dalam komunitas.

Namun, dalam dunia kerja perkotaan dan industri, sistem ini berangsur hancur:

  • Buruh hidup dalam lingkungan anonim dan individualistis, seringkali tanpa mengenal tetangga atau tanpa hubungan kekerabatan.
  • Waktu kerja dan kelelahan fisik menyulitkan partisipasi dalam kegiatan komunal.
  • Tidak adanya struktur sosial tradisional di kota menciptakan isolasi sosial, terutama bagi buruh pendatang.

Nilai-nilai seperti kebersamaan, kerelaan membantu tanpa pamrih, dan kearifan lokal mulai digantikan oleh nilai-nilai produktivitas, efisiensi, dan kompetisi.


Munculnya Individualisme Ekonomi dan Ketergantungan terhadap Pasar dan Uang

Salah satu dampak paling mencolok dari proletarisasi adalah pergeseran motivasi ekonomi:

  • Dalam sistem agraris, kerja bertujuan untuk mencukupi kebutuhan bersama; uang bukan faktor utama.
  • Dalam sistem kerja upahan, uang menjadi pusat kehidupan: satu-satunya alat untuk membeli pangan, membayar sewa, dan bertahan hidup di kota.

Akibatnya:

  • Muncul individualisme ekonomi—setiap orang bekerja untuk dirinya sendiri, bukan untuk komunitas atau keluarga besar.
  • Relasi sosial menjadi bersifat transaksional; solidaritas digantikan oleh kompetisi sesama buruh.
  • Ketergantungan terhadap pasar meningkat—baik untuk makanan, tempat tinggal, hingga pendidikan.

Di tengah keterasingan dan kesulitan hidup, sebagian buruh mengembangkan strategi bertahan seperti bekerja sambilan, menyewa kamar bersama, atau membentuk komunitas informal berdasarkan daerah asal. Namun, semua itu berlangsung dalam kerangka sosial yang sudah tidak lagi berlandaskan norma komunal lama.

Perubahan gaya hidup dan nilai sosial yang terjadi akibat urbanisasi dan proletarisasi adalah bentuk dislokasi budaya: dari ritme alam ke ritme mesin, dari komunitas ke individu, dari gotong royong ke survival ekonomi. Ini adalah proses modernisasi paksa yang tidak menyisakan ruang bagi transisi yang alami. Ia meninggalkan masyarakat dalam keadaan terombang-ambing antara dunia lama yang telah hancur dan dunia baru yang belum bisa mereka kuasai sepenuhnya.

Mobilitas Sosial dan Jebakan Kelas Bawah

Salah satu ilusi paling kuat yang mendorong masyarakat desa berpindah ke kota atau menjadi buruh adalah mimpi tentang mobilitas sosial—gagasan bahwa kehidupan di kota menawarkan kesempatan lebih besar untuk keluar dari kemiskinan, mendapatkan pendidikan, atau meraih status baru. Namun, dalam kenyataannya, sistem kolonial yang menstrukturkan kota dan dunia kerja secara hierarkis justru menjebak kelas pekerja dalam posisi bawah yang sulit untuk ditembus. Alih-alih naik kelas, banyak buruh desa yang menjadi korban lingkaran kemiskinan struktural.


Mimpi Kehidupan Kota yang Berujung pada Marginalisasi dan Kemiskinan

Kota kolonial—dengan gedung megah, jalan trem, toko-toko impor, dan gaya hidup Eropa—memiliki daya tarik yang sangat kuat bagi penduduk desa yang hidup dalam kesempitan. Mereka membayangkan:

  • Akses terhadap pekerjaan yang stabil,
  • Pendapatan tetap yang lebih tinggi,
  • Peluang membangun masa depan lebih baik untuk anak-anak.

Namun realitas berkata lain:

  • Pekerjaan yang tersedia sebagian besar adalah buruh kasar dengan jam kerja panjang dan upah minim.
  • Tidak ada jaminan sosial atau perlindungan kerja.
  • Biaya hidup di kota jauh lebih tinggi, sehingga penghasilan tidak cukup untuk menabung atau berinvestasi dalam pendidikan.

Akibatnya, banyak buruh hidup dalam pemukiman kumuh, dengan kondisi kesehatan dan gizi yang buruk, dan terjebak dalam pekerjaan informal yang tidak menjanjikan mobilitas vertikal.


Terbatasnya Akses terhadap Pendidikan dan Modal di Kalangan Buruh Urban

Kunci dari mobilitas sosial adalah pendidikan dan modal. Namun dalam struktur kolonial:

  • Sekolah berkualitas hanya tersedia untuk anak-anak Eropa dan elite Tionghoa.
  • Sekolah Rakyat untuk pribumi sangat terbatas, kurikulumnya sempit, dan sering kali tidak mampu memberikan keterampilan yang dibutuhkan untuk naik kelas dalam dunia kerja.
  • Buruh tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya secara berkelanjutan karena mereka harus ikut bekerja atau membantu penghasilan keluarga sejak kecil.

Di sisi lain, akses terhadap modal usaha hampir tidak ada:

  • Bank kolonial dan lembaga keuangan hanya melayani pengusaha Eropa atau kelompok perantara.
  • Buruh tidak memiliki jaminan, agunan, atau jaringan sosial yang cukup untuk mendapatkan kredit produktif.
  • Mereka terjebak dalam sistem ekonomi informal yang rawan utang, penipuan, dan eksploitasi.

Terbentuknya Underclass Kolonial: Tanpa Tanah, Tanpa Kuasa

Proses urbanisasi dan proletarisasi menciptakan suatu lapisan masyarakat yang tidak lagi memiliki akar agraris maupun akses ke ekonomi formal: sebuah kelas bawah permanen atau underclass kolonial:

  • Mereka tidak punya tanah, tidak punya tempat pulang di desa.
  • Mereka tidak punya posisi tawar di pasar kerja maupun dalam sistem sosial kota.
  • Mereka tidak diakui secara politik, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dan kerap diperlakukan sebagai “gangguan” dalam tata kelola kota kolonial.

Kelompok ini menjadi simbol kegagalan proyek modernisasi kolonial, yang alih-alih menciptakan kemajuan merata, justru memproduksi kemiskinan baru yang terstruktur dan sulit diputus. Di kemudian hari, kelas inilah yang menjadi ladang subur bagi radikalisasi politik, serikat buruh, dan benih-benih perlawanan terhadap kolonialisme.

Alih-alih menjadi jalan menuju kemajuan, urbanisasi dan kerja upahan dalam sistem kolonial justru menciptakan jebakan kelas bawah yang sulit ditembus. Harapan akan mobilitas sosial terbentur pada tembok struktural: diskriminasi rasial, ketimpangan pendidikan, dan dominasi modal asing. Dalam ruang yang sempit ini, muncul satu kelas sosial baru yang hidup tanpa tanah, tanpa pendidikan, dan tanpa kuasa—namun justru menyimpan potensi besar untuk menjadi penggerak perubahan sosial di masa depan.


Awal Perlawanan Sosial

Di tengah tekanan struktural, kemiskinan urban, dan ketimpangan sosial yang tajam akibat proses urbanisasi dan proletarisasi kolonial, masyarakat tidak hanya menjadi objek pasif. Dalam berbagai ruang sempit yang tersisa, muncul respon-respon sosial berupa adaptasi, solidaritas, dan bahkan embrio resistensi. Meskipun masih terbatas dan belum terorganisasi secara politik, berbagai bentuk gerakan sosial awal muncul sebagai tanda lahirnya kesadaran kolektif, terutama di kalangan buruh, kelas menengah pribumi, dan komunitas marginal urban lainnya.


Munculnya Organisasi Sosial Awal di Kota: Koperasi, Kelompok Pengajian, Serikat Buruh Embrionik

Kampung-kampung buruh dan kawasan padat pendatang di kota menjadi ruang terbentuknya jaringan sosial baru, yang berfungsi sebagai sarana bertahan sekaligus sarana membangun kekuatan:

  • Koperasi dan lumbung rakyat didirikan secara swadaya untuk mengatasi kelangkaan pangan dan pinjaman modal kecil.
  • Kelompok pengajian dan perkumpulan keagamaan menjadi ruang edukasi informal, pertukaran informasi, dan konsolidasi komunitas.
  • Pada awal abad ke-20, mulai muncul perkumpulan buruh sederhana (meskipun belum berbentuk serikat formal), yang fokus pada bantuan kematian, iuran kesehatan, atau penyampaian keluhan kepada majikan.

Gerakan sosial ini belum bersifat politis, tetapi ia membentuk modal sosial penting yang menjadi fondasi bagi munculnya serikat buruh modern dan gerakan nasionalis di kemudian hari.


Peran Kelompok Tionghoa dan Elite Pribumi dalam Menciptakan Lapangan Kerja dan Sistem Patron-Klien Urban

Dalam struktur kota kolonial, kelompok Tionghoa dan elite pribumi terpelajar (priyayi dan santri kota) memainkan peran ambivalen:

  • Sebagian menjadi perantara ekonomi kolonial, membuka toko, rumah gadai, atau menjadi kontraktor tenaga kerja.
  • Mereka menyediakan lapangan kerja informal, seperti buruh toko, pelayan rumah tangga, tukang panggul, atau juru tulis.
  • Dalam praktiknya, terbentuk sistem patron-klien: relasi yang tidak setara, tetapi tetap memberikan perlindungan minimal bagi buruh yang tidak memiliki akses lain.

Meski berperan dalam eksploitasi tenaga kerja murah, kelompok ini juga menjadi kanal transisi antara sistem kolonial dan aspirasi baru. Beberapa di antaranya mendukung pendidikan pribumi, menerbitkan surat kabar, atau bahkan menjadi simpatisan gerakan kebangsaan.


Awal dari Kesadaran Kolektif dan Embrio Gerakan Sosial Perkotaan

Proses urbanisasi dan proletarisasi secara tidak langsung menciptakan kondisi objektif bagi lahirnya kesadaran kelas:

  • Buruh mulai menyadari bahwa persoalan yang mereka hadapi bukan hanya individual, tetapi sistemik dan kolektif.
  • Diskusi di pos ronda, warung kopi, pengajian, atau koperasi menjadi arena artikulasi awal ketidakpuasan dan harapan.
  • Dari ruang-ruang ini, muncul tokoh-tokoh buruh dan pemuda perkotaan yang kemudian menjadi motor pergerakan sosial dan politik, seperti dalam Sarekat Islam, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), dan organisasi buruh lainnya.

Kesadaran ini tidak tumbuh dalam ruang hampa, tetapi dalam lanskap kota kolonial yang timpang, eksploitatif, namun juga dinamis. Kota menjadi ruang pertemuan antara penindasan dan potensi perlawanan.

Respon masyarakat terhadap proses urbanisasi dan proletarisasi menunjukkan bahwa sekalipun berada dalam posisi terpinggirkan, rakyat tetap mampu membangun bentuk-bentuk solidaritas dan perjuangan. Adaptasi sosial yang muncul bukan hanya strategi bertahan hidup, tetapi juga embrio resistensi terhadap sistem kolonial. Dari ruang-ruang sempit inilah akan tumbuh gerakan buruh, koperasi rakyat, organisasi keagamaan, dan nasionalisme perkotaan—yang kelak mengubah wajah politik Indonesia di awal abad ke-20.

Proletarisasi dan Warisan Sosial di Indonesia Modern

Proses urbanisasi dan proletarisasi yang dimulai sejak era kolonial akhir abad ke-19 tidak berhenti sebagai fenomena sejarah. Ia justru meletakkan fondasi struktural yang berlanjut hingga Indonesia merdeka, membentuk pola hubungan kota–desa, sistem kelas pekerja, serta ketimpangan sosial yang terus berulang dalam format yang diperbarui. Dalam konteks Indonesia modern, warisan kolonial ini dapat dibaca sebagai proses historis yang belum selesai, di mana logika akumulasi kapital masih terus mereproduksi ketimpangan dan eksklusi sosial.


Jejak Kelas Pekerja Urban Kolonial dalam Pembentukan Masyarakat Pekerja Pascakemerdekaan

Setelah kemerdekaan, Indonesia mewarisi struktur sosial dan ekonomi yang diciptakan oleh kolonialisme:

  • Kelas pekerja urban yang sebelumnya dibentuk melalui proses proletarisasi tetap menjadi tulang punggung sektor industri, transportasi, dan jasa.
  • Buruh pabrik, sopir, pelabuhan, dan pegawai informal kota merupakan kelanjutan langsung dari tenaga kerja murah perkotaan yang dikonstruksi oleh sistem kolonial.
  • Meskipun rezim berganti, struktur upah rendah, minimnya perlindungan sosial, dan posisi tawar buruh yang lemah tetap bertahan.

Bahkan dalam fase industrialisasi Orde Baru, buruh tetap dihadapkan pada kontrak kerja yang rapuh, eksploitasi, dan represi atas hak berserikat, memperlihatkan bahwa warisan kolonial dalam relasi kerja tidak serta-merta dihentikan oleh kemerdekaan politik.


Warisan Ketimpangan Spasial dan Sosial antara Kota dan Desa

Kolonialisme membentuk kota dan desa bukan sebagai entitas yang saling melengkapi, tetapi sebagai ruang yang terpolarisasi:

  • Kota dibangun sebagai pusat administrasi, industri, dan konsumsi, sementara desa dikonstruksi sebagai penyedia tenaga kerja dan sumber daya mentah.
  • Ketimpangan infrastruktur, pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi antara kota dan desa tetap membekas bahkan hingga abad ke-21.
  • Urbanisasi besar-besaran tetap terjadi, didorong oleh ekspektasi semu akan perbaikan hidup, padahal kota masih menyisakan segregasi dan kemiskinan struktural di pinggiran.

Model pembangunan yang lebih memihak pertumbuhan kota—dibandingkan dengan pemerataan desa—terlihat jelas dari pola migrasi, pemusatan industri di kawasan tertentu, dan perpetuasi kampung-kampung kumuh di kota besar.


Proletarisasi sebagai Proses Berkelanjutan dalam Industrialisasi Indonesia Pasca-Orde Baru

Di era pasca-Orde Baru hingga saat ini, proses proletarisasi mengalami format baru, namun tetap mencerminkan akar kolonialnya:

  • Industrialisasi berbasis investasi asing dan ekspor tetap mengandalkan tenaga kerja murah, fleksibel, dan mudah dikendalikan.
  • Munculnya kawasan industri besar di pinggiran kota (Cikarang, Karawang, Batam, Gresik, dsb.) menciptakan gelombang baru kelas pekerja, yang mengalami kondisi hidup mirip dengan buruh kolonial: padat karya, upah minimum, dan kontrak tidak tetap.
  • Digitalisasi dan ekonomi informal (ojek online, gig economy) justru memperluas bentuk-bentuk baru proletarisasi: kerja mandiri semu yang tetap tunduk pada platform dan pasar, tanpa jaminan sosial.

Proses ini menunjukkan bahwa proletarisasi bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga instrumen dominan dalam sistem kapitalisme global modern yang beroperasi di Indonesia—dengan wajah baru namun logika lama.

Proletarisasi yang lahir dari sistem kolonial liberal di abad ke-19 telah menjadi struktur sosial yang menetap dalam sejarah Indonesia. Ia membentuk wajah kota, pola mobilitas penduduk, hubungan sosial antar kelas, serta cara negara mengelola tenaga kerja. Dalam konteks Indonesia modern, tantangan utama bukan hanya menyelesaikan ketimpangan masa lalu, tetapi mewaspadai replikasi proses yang sama dalam bentuk-bentuk baru: migrasi paksa karena pembangunan, buruh digital tanpa perlindungan, dan desa yang tetap ditinggalkan.

Menangkap warisan ini bukan sekadar kerja sejarah, tetapi landasan bagi perumusan kebijakan ekonomi dan sosial yang adil dan berkeadilan struktural.

Kota Kolonial dan Transformasi Sosial Nusantara

Proses urbanisasi dan proletarisasi masyarakat desa di Hindia Belanda bukan sekadar akibat alamiah dari pertumbuhan ekonomi atau modernisasi, tetapi merupakan hasil dari rekayasa kolonial yang disengaja dan sistematis. Sejak diberlakukannya sistem ekonomi liberal kolonial pada 1870, tata ruang kota, struktur kelas, dan hubungan kerja dibentuk untuk melayani kepentingan kapital asing dan negara kolonial, bukan untuk kemakmuran rakyat pribumi.


Urbanisasi dan Proletarisasi sebagai Proyek Politik-Ekonomi Kolonial

Migrasi besar-besaran dari desa ke kota, serta transformasi petani merdeka menjadi buruh upahan, adalah konsekuensi langsung dari:

  • Perampasan tanah melalui UU Agraria dan konsesi perkebunan.
  • Hilangnya ekonomi subsisten akibat konversi tanaman rakyat ke komoditas ekspor.
  • Tekanan fiskal dan pajak yang memaksa masyarakat desa mencari uang tunai.

Kota dibentuk bukan sebagai ruang inklusi, melainkan sebagai alat untuk mengontrol, mengeksploitasi, dan mengisolasi kelompok sosial berdasarkan ras dan kelas.


Lahirnya Struktur Sosial Baru: Kelas Buruh Urban

Dalam proses ini terbentuk kelas sosial baru yang menjadi ciri masyarakat modern kolonial:

  • Buruh urban yang tercerabut dari tanah dan jejaring sosial desa.
  • Tidak memiliki alat produksi, hanya bergantung pada penjualan tenaga.
  • Mengisi sektor-sektor vital industri, perkebunan, pelabuhan, dan transportasi, namun dalam posisi sosial-politik paling lemah.

Kelas ini menjadi tulang punggung ekonomi kolonial, dan kelak—secara paradoksal—juga akan menjadi cikal bakal kekuatan sosial-politik yang melahirkan kesadaran nasional, gerakan buruh, dan tuntutan kemerdekaan.


Relevansi Sejarah untuk Kebijakan Kontemporer

Memahami urbanisasi dan proletarisasi sebagai proses historis yang terstruktur penting untuk:

  • Menilai ulang warisan kolonial dalam pembangunan kota Indonesia modern, seperti segregasi spasial, ketimpangan akses layanan publik, dan peminggiran kelompok miskin.
  • Merumuskan kebijakan ekonomi dan tata kota yang lebih inklusif dan adil secara struktural.
  • Menghargai sejarah kelas pekerja sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa, bukan sekadar pelengkap pertumbuhan ekonomi.

Dengan kesadaran ini, kita dapat melihat bahwa pembangunan yang berkeadilan bukan hanya soal pertumbuhan angka, tetapi soal rekonstruksi relasi sosial dan pengakuan terhadap kelompok yang paling lama tereksklusi dari pusat kekuasaan dan sumber daya.

About administrator