UU Agraria 1870 dan Pembukaan Investasi Swasta

Latar Belakang Sejarah

Pada pertengahan abad ke-19, Hindia Belanda memasuki masa transisi penting dalam sistem kolonialnya. Setelah hampir empat dekade memberlakukan Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa sejak 1830, tekanan dari berbagai pihak mulai menggerus legitimasi sistem eksploitasi tersebut. Sistem yang dipelopori oleh Johannes van den Bosch ini awalnya dianggap sebagai solusi terhadap krisis keuangan Kerajaan Belanda pasca peperangan Eropa dan kolonial. Tanah-tanah di Jawa dan sekitarnya dijadikan ladang tanam wajib bagi komoditas ekspor seperti kopi, tebu, nila, dan tembakau yang hasilnya dijual ke pasar Eropa, dan keuntungannya masuk langsung ke kas negara Belanda (batig slot).

Namun, semakin bertambahnya waktu, praktik-praktik tanam paksa memperlihatkan sisi gelapnya. Eksploitasi tenaga kerja petani Jawa secara sistematis, perampasan tanah pertanian rakyat, beban kerja yang berat, serta praktik korupsi di kalangan pejabat lokal dan kolonial menjadi pemantik lahirnya berbagai kritik tajam, baik dari kalangan humanis Belanda maupun tokoh-tokoh liberal. Salah satu tokoh penting yang menjadi simbol kritik terhadap sistem ini adalah Eduard Douwes Dekker, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli, melalui novelnya Max Havelaar (1860). Buku ini menggambarkan penderitaan rakyat Lebak, Banten, dan menyingkap borok sistem kolonial yang selama ini disembunyikan di balik narasi keuntungan negara.

Secara paralel, lanskap politik di Negeri Belanda juga mulai berubah. Munculnya kaum liberal dalam parlemen dan birokrasi kolonial mengubah orientasi ekonomi kolonial dari sistem koersif berbasis negara menuju sistem yang memberi ruang bagi pasar bebas dan investasi swasta. Bagi kaum liberal, tanah jajahan bukan hanya sebagai sumber kekayaan bagi negara, tetapi juga sebagai ladang investasi dan ekspansi kapital. Pandangan ini berpijak pada nilai-nilai ekonomi klasik Adam Smith dan John Stuart Mill yang mulai diadopsi dalam kebijakan kolonial.

Krisis ekonomi Eropa pada pertengahan abad ke-19 juga memperkuat dorongan ini. Belanda tidak lagi mampu atau tidak mau membiayai birokrasi besar untuk mengelola sistem tanam paksa yang memerlukan banyak tenaga administratif dan militer. Terlebih, tekanan moral dari opini publik Eropa menuntut penghapusan sistem yang dinilai tidak manusiawi.

Dalam konteks inilah, kebutuhan mendesak muncul untuk mengganti sistem koersif dengan model ekonomi yang tampak lebih ‘bebas’ dan ‘beradab’, namun tetap memberi keuntungan besar bagi pemerintah kolonial dan pengusaha Eropa. Salah satu kebijakan utama yang lahir dari semangat ini adalah pengesahan Undang-Undang Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet 1870). Undang-undang ini membuka pintu selebar-lebarnya bagi investor swasta Belanda dan asing untuk menguasai dan mengelola tanah-tanah pertanian di Hindia Belanda, terutama di luar tanah milik masyarakat adat, dengan mekanisme hak sewa jangka panjang.

Dengan demikian, lahirnya UU Agraria 1870 tidak dapat dipisahkan dari pergeseran paradigma kolonial dari ekonomi negara eksploitatif ke ekonomi liberal berbasis pasar. Namun, meskipun diklaim sebagai bentuk kemajuan hukum dan ekonomi, sistem baru ini tetap menyimpan potensi ketimpangan dan eksploitasi dalam wajah yang berbeda.

Tekanan Politik di Negeri Belanda

Perubahan arah kebijakan kolonial Hindia Belanda yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Agraria 1870 merupakan hasil dari tekanan politik yang cukup kuat di Negeri Belanda, khususnya dari kalangan liberal dan ekonom pasar bebas. Sejak pertengahan abad ke-19, Belanda mengalami perkembangan sosial-politik yang memungkinkan suara kelompok liberal semakin berpengaruh dalam parlemen dan dalam wacana publik. Kaum liberal ini terdiri dari intelektual, pengusaha, jurnalis, dan politisi yang meyakini bahwa kekayaan dan kemakmuran dapat dicapai bukan melalui monopoli negara atau eksploitasi koersif, melainkan melalui prinsip-prinsip kebebasan individu, hak milik, dan persaingan ekonomi.

Para ekonom liberal Belanda, seperti J.R. Thorbecke dan pengikut-pengikutnya, mendorong kebijakan yang menekankan pengurangan peran negara dalam urusan ekonomi, baik di dalam negeri maupun di koloni. Mereka melihat Hindia Belanda bukan sekadar wilayah administratif yang harus dikontrol ketat oleh negara, melainkan sebagai pasar terbuka bagi investasi swasta dan ekspansi modal. Dalam pandangan mereka, campur tangan negara dalam ekonomi kolonial, seperti yang terjadi dalam Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), justru mengekang efisiensi dan inovasi. Selain itu, sistem tanam paksa menimbulkan masalah moral dan citra buruk di mata dunia internasional yang mulai menggaungkan semangat anti-perbudakan dan hak asasi manusia.

Namun, di tengah arus liberalisasi ini, tetap terdapat kelompok konservatif dan birokrat kolonial yang masih mempertahankan sistem tanam paksa. Mereka menganggap bahwa Cultuurstelsel telah terbukti memberikan pemasukan besar bagi kas Belanda—yang disebut dengan batig slot—dan karena itu tidak seharusnya digantikan oleh sistem yang belum terbukti efektivitasnya. Kelompok ini juga menganggap rakyat Hindia Belanda belum siap menjalankan ekonomi pasar secara mandiri dan bahwa kontrol langsung dari negara tetap diperlukan untuk menjaga ketertiban dan stabilitas.

Perdebatan ini berlangsung sengit di parlemen dan media massa Belanda. Namun, titik balik terjadi ketika Partai Liberal meraih kemenangan politik di parlemen Belanda pada 1860-an, yang secara langsung memperkuat posisi kaum reformis dalam menentukan arah kebijakan kolonial. Kemenangan ini bukan hanya simbolik, tetapi membawa dampak struktural terhadap sistem pemerintahan Hindia Belanda. Salah satu langkah penting dari kemenangan ini adalah pembentukan Departemen Urusan Koloni yang dipimpin oleh tokoh-tokoh liberal, yang segera merancang undang-undang baru untuk menggantikan sistem lama.

Dalam semangat itulah, Agrarische Wet 1870 disusun sebagai kompromi antara tekanan moral terhadap sistem tanam paksa dan kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi kolonial melalui jalur baru, yakni liberalisasi agraria dan pembukaan investasi swasta. Undang-undang ini tidak menghapus peran negara secara total, namun menggesernya dari pelaku utama ekonomi ke peran sebagai fasilitator dan regulator bagi masuknya modal asing.

Dengan demikian, UU Agraria 1870 bukan hanya produk hukum, melainkan buah dari pergeseran ideologi kekuasaan di Negeri Belanda—dari kolonialisme koersif berbasis komando negara ke kolonialisme ekonomis berbasis modal swasta. Implikasinya besar, bukan hanya dalam penguasaan tanah dan tenaga kerja di Hindia Belanda, tetapi juga dalam struktur kekuasaan global, di mana kapitalisme Eropa semakin mengakar dalam ruang sosial-ekonomi koloni, dengan dukungan politik dari parlemen kolonial yang kini didominasi oleh prinsip-prinsip liberalisme.


Isi Pokok Undang-Undang Agraria 1870

Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet 1870) merupakan tonggak penting dalam sejarah hukum tanah di Hindia Belanda. Undang-undang ini menjadi dasar hukum bagi dimulainya rezim agraria kolonial liberal yang membuka pintu bagi investasi swasta, sekaligus mengklaim diri sebagai pelindung hak-hak rakyat pribumi atas tanah. Namun, seperti banyak produk hukum kolonial lainnya, UU ini mengandung ambiguitas struktural—antara retorika perlindungan hak pribumi dan realitas liberalisasi tanah untuk kepentingan modal asing.

Pasal-Pasal Utama dan Tujuannya

UU Agraria 1870 dirancang untuk menggantikan ketentuan agraria sebelumnya yang tidak memadai untuk menarik modal swasta. Tujuan utama undang-undang ini adalah untuk menyediakan landasan hukum yang pasti bagi pengusaha Belanda dan Eropa dalam mengakses lahan untuk keperluan perkebunan dan investasi jangka panjang, namun tanpa secara terbuka mencabut hak-hak adat atas tanah.

Beberapa prinsip utama yang diatur dalam UU ini antara lain:

  1. Tanah yang tidak terbukti sebagai hak milik rakyat dianggap sebagai tanah negara (domeinstaat).
  2. Tanah negara tersebut dapat disewakan kepada pihak swasta dalam bentuk hak erfpacht (hak guna usaha), dengan jangka waktu hingga 75 tahun.
  3. Tanah milik rakyat (tanah adat) tidak boleh dijual kepada pihak asing atau perusahaan, tetapi dapat disewa jika memenuhi syarat tertentu.
  4. Penetapan kewenangan pemerintah kolonial sebagai satu-satunya institusi yang dapat mengesahkan pengalihan dan penguasaan atas tanah negara.

Penegasan Hak Milik atas Tanah bagi Penduduk Pribumi

Salah satu elemen yang tampak “pro-rakyat” dalam UU ini adalah pengakuan terhadap hak milik rakyat pribumi atas tanah yang telah mereka kuasai secara turun-temurun. Dalam teks hukum, rakyat dijamin tidak kehilangan hak atas tanah yang mereka garap, selama mereka mampu membuktikan hak kepemilikannya secara adat atau bukti lain yang diakui negara.

Namun, dalam praktiknya, definisi “hak milik” versi kolonial sering tidak sejalan dengan sistem hak ulayat yang berlaku di banyak komunitas adat. Tanah-tanah komunal yang dikelola secara kolektif oleh masyarakat adat sering kali tidak diakui sebagai milik sah karena tidak sesuai dengan format hukum Barat. Akibatnya, banyak tanah adat secara sepihak dikategorikan sebagai “tanah negara” yang kemudian dapat disewakan kepada investor asing.

Ketentuan tentang Tanah Negara dan Hak Erfpacht 75 Tahun

Salah satu fitur kunci dari UU Agraria ini adalah mekanisme hak erfpacht, yaitu hak guna usaha jangka panjang yang memungkinkan pihak swasta mengelola tanah negara hingga 75 tahun. Ketentuan ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan kelayakan investasi jangka panjang bagi investor, terutama di sektor perkebunan.

Dengan sistem erfpacht, pengusaha tidak perlu memiliki tanah secara langsung, namun tetap dapat menguasai dan memanfaatkannya seolah-olah itu adalah milik sendiri selama masa sewa berlaku. Tanah-tanah di luar desa-desa adat atau yang tidak diduduki secara tetap oleh rakyat dengan bukti hukum dianggap sebagai tanah negara dan terbuka untuk disewakan. Ini memungkinkan ekspansi besar-besaran perkebunan Eropa, terutama di daerah-daerah subur seperti Deli (Sumatra Timur), Priangan (Jawa Barat), dan Minahasa.

Pelarangan Penjualan Tanah Milik Rakyat kepada Asing

Untuk menunjukkan sikap “melindungi” kepentingan pribumi, UU Agraria juga memuat pasal yang melarang penjualan tanah rakyat kepada pihak asing atau perusahaan swasta. Prinsip ini disebut sebagai bentuk perlindungan terhadap kemungkinan alienasi tanah rakyat secara permanen.

Namun, aturan ini tidak menutup peluang terjadinya penguasaan de facto melalui mekanisme sewa jangka panjang, pembelian hasil panen secara eksklusif, atau perjanjian kerja kontrak yang merugikan petani. Dalam praktiknya, perusahaan asing kerap menggunakan perantara lokal atau sistem kontrak agraria untuk tetap mengontrol lahan rakyat tanpa harus membelinya secara formal.


Secara keseluruhan, UU Agraria 1870 menciptakan ilusi perlindungan rakyat, namun membuka jalan bagi penguasaan sumber daya agraria oleh pihak swasta dengan legalitas penuh. Ia menandai pergeseran dari kolonialisme berbasis eksploitasi negara menjadi kolonialisme liberal yang menjadikan hukum sebagai alat justifikasi dominasi ekonomi asing atas tanah Nusantara.


4. Motif Ekonomi dan Strategi Kolonial

Di balik penyusunan dan pemberlakuan Undang-Undang Agraria 1870, terdapat kepentingan ekonomi-politik yang strategis bagi kelangsungan kolonialisme Belanda di Hindia. UU ini bukan sekadar produk hukum netral, tetapi merupakan bagian dari rekayasa kolonial yang bertujuan mempertahankan dominasi Belanda tanpa harus terus-menerus bergantung pada sistem koersif seperti Cultuurstelsel atau pada kekuatan militer secara langsung. Dalam konteks global, ini mencerminkan transisi kolonialisme Eropa dari bentuk dominasi paksa menuju kolonialisme ekonomi berbasis investasi yang menggunakan pasar dan hukum sebagai instrumen utamanya.

Mendorong Modal Swasta Masuk Tanpa Perlu Ekspansi Militer

Salah satu motif utama dari UU Agraria 1870 adalah menarik modal swasta ke Hindia Belanda tanpa harus mengerahkan sumber daya militer atau administratif dalam jumlah besar. Pemerintah Belanda menyadari bahwa ekspansi wilayah secara militer dan pengelolaan ekonomi secara langsung sangat mahal dan rawan konflik. Terlebih, berbagai perlawanan lokal di Nusantara, seperti Perang Diponegoro (1825–1830), Perang Padri, hingga konflik di Bali dan Aceh, telah menguras biaya dan tenaga.

Sebagai gantinya, dengan mengundang perusahaan swasta Eropa untuk menanamkan modal dalam sektor perkebunan dan pertambangan, pemerintah dapat memindahkan beban pembiayaan pembangunan dan eksploitasi ekonomi kepada sektor privat. Negara cukup menyediakan kerangka hukum dan jaminan keamanan, sementara keuntungan dari geliat ekonomi swasta tetap mengalir melalui pajak, bea ekspor, dan kontrol administratif.

Hal ini menjadikan UU Agraria sebagai strategi kolonial baru yang lebih efisien dan tahan lama: menguasai tanah dan tenaga kerja bukan dengan senjata, melainkan dengan kontrak, hukum, dan birokrasi.

Upaya Menciptakan “Iklim Investasi” bagi Investor Belanda dan Eropa

UU Agraria 1870 dirancang secara spesifik untuk menciptakan apa yang kini dikenal sebagai “iklim investasi”—sebuah situasi hukum, politik, dan sosial yang membuat para investor merasa aman, stabil, dan untung untuk berinvestasi dalam jangka panjang.

Dengan memberikan hak sewa (erfpacht) yang bisa mencapai 75 tahun, UU ini menghilangkan ketidakpastian hukum yang sebelumnya menghantui pengusaha Eropa. Dalam sistem tanam paksa, pengusaha hanya bertindak sebagai penyedia logistik atau kontraktor negara. Namun pasca-1870, mereka memiliki kendali langsung atas lahan, tenaga kerja, dan komoditas.

Pemerintah kolonial juga menyediakan berbagai fasilitas tambahan untuk mendukung iklim ini:

  • Pembangunan infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, kereta api perkebunan)
  • Kepastian hukum pertanahan dan arbitrase dagang
  • Perlindungan terhadap konflik agraria melalui intervensi negara
  • Kemudahan perizinan dan pembebasan pajak tertentu di masa awal investasi

Dengan kerangka ini, Hindia Belanda berubah menjadi koloni yang “ramah pasar”, tidak hanya bagi Belanda, tetapi juga bagi investor dari Inggris, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya.

Strategi Ekonomi Kolonial Berbasis Sewa Jangka Panjang

Berbeda dengan sistem kolonial sebelumnya yang berfokus pada monopoli negara dan pengumpulan pajak langsung dari rakyat, strategi pasca-UU Agraria justru mendasarkan eksploitasi ekonomi pada mekanisme sewa tanah. Ini bukan hanya lebih fleksibel, tapi juga memberi ilusi “kontrak sukarela” yang seolah tidak merugikan rakyat.

Melalui sistem erfpacht, pengusaha bisa mengakses ribuan hektare lahan untuk dikelola sebagai perkebunan komersial. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan basis produksi yang stabil dan terkonsolidasi, sekaligus menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi utama yang dapat ditransaksikan, diwariskan, atau dijadikan jaminan.

Tanah tidak lagi dipandang sebagai warisan leluhur atau simbol identitas komunal, melainkan sebagai aset produktif yang dikalkulasi dalam neraca perusahaan. Inilah salah satu perubahan besar yang dibawa UU Agraria: transformasi struktur agraria Nusantara menjadi struktur kapitalistik, di mana nilai tanah ditentukan oleh potensi keuntungan, bukan oleh nilai adat atau spiritualitas lokal.


Secara keseluruhan, motif ekonomi dan strategi kolonial di balik UU Agraria 1870 menunjukkan betapa canggih dan terencananya kebijakan ini. Ia bukan hanya soal tanah, tetapi tentang bagaimana kolonialisme beradaptasi dalam era kapitalisme global, memindahkan dominasi dari pedang ke pena, dari benteng ke kantor dagang.


Dampak Terhadap Kepemilikan Tanah Pribumi

Salah satu konsekuensi paling signifikan dari diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 adalah tergesernya struktur kepemilikan dan penguasaan tanah rakyat pribumi. Meskipun secara formal UU ini mengakui dan “melindungi” hak rakyat atas tanah mereka, dalam praktiknya, justru terjadi disintegrasi sistem agraria tradisional dan munculnya dominasi kapitalis atas tanah-tanah produktif di berbagai wilayah Nusantara. Hukum kolonial yang diusung melalui UU ini memperkenalkan dualisme yang berujung pada marjinalisasi masyarakat adat dari tanah mereka sendiri.

Dualisme Hukum Agraria: Antara Hukum Adat dan Hukum Kolonial

Setelah tahun 1870, sistem hukum tanah di Hindia Belanda berada dalam keadaan dualisme struktural. Di satu sisi, terdapat sistem hukum adat yang masih berlaku di sebagian besar masyarakat pedesaan, yang memandang tanah sebagai milik komunal (hak ulayat) dan tidak dapat diperjualbelikan. Tanah diwariskan secara turun-temurun dalam komunitas berdasarkan ikatan genealogis atau wilayah adat. Tanah dalam konteks ini bukan hanya sumber ekonomi, tetapi juga penanda identitas dan kelangsungan komunitas.

Namun di sisi lain, hukum kolonial memperkenalkan konsep hak individual, hak sewa, dan legalitas formal berbasis dokumen. Tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya menurut standar hukum Belanda akan dikategorikan sebagai tanah negara (domein), dan karenanya terbuka untuk disewakan kepada pihak swasta. Banyak komunitas adat tidak memiliki sistem dokumentasi formal yang sesuai dengan kriteria hukum kolonial, sehingga tanah-tanah mereka dengan mudah diklaim sebagai “tidak bertuan” atau “belum dimiliki secara sah”.

Dalam praktiknya, kerancuan dan benturan antara dua sistem hukum ini lebih banyak merugikan rakyat pribumi. Pengusaha Eropa, dengan bantuan pejabat kolonial, sering memanfaatkan celah legal ini untuk menguasai lahan rakyat melalui proses “legal” yang sangat tidak adil.

Rakyat Tetap sebagai Pemilik Nominal, tapi Terdesak Secara Praktik

Secara nominal, UU Agraria menyatakan bahwa rakyat pribumi tetap memiliki hak atas tanah mereka. Namun, pernyataan ini lebih bersifat simbolik daripada operasional. Di banyak daerah, rakyat memang masih tinggal di atas tanahnya, namun tidak lagi memiliki kekuatan penguasaan efektif. Tanah mereka dikepung atau bahkan diintegrasikan ke dalam konsesi perkebunan besar milik swasta.

Sebagian rakyat dipaksa untuk menyewakan lahannya karena tekanan ekonomi atau janji keuntungan. Seringkali, mereka tidak memahami isi kontrak atau nilai sebenarnya dari tanah yang mereka sewakan. Dalam banyak kasus, tanah rakyat bahkan disewa secara paksa melalui kolusi antara kepala desa, pejabat lokal, dan pengusaha Eropa. Hasilnya adalah bentuk penguasaan yang bersifat semi-feodal, di mana rakyat tetap tinggal di atas tanah, tetapi tunduk pada kontrol ekonomi dan hukum dari pihak luar.

Rakyat menjadi buruh di tanah sendiri, tanpa kontrol atas proses produksi maupun hasil ekonomi. Mereka sering dikontrak sebagai buruh harian atau kuli kontrak dalam sistem kerja yang keras, sementara perusahaan memperoleh keuntungan besar dari hasil perkebunan ekspor seperti tembakau, kopi, kina, dan teh.

Munculnya Pengusaha Landlords Baru dan Manipulasi terhadap Sistem Hak Ulayat

Selain dominasi perusahaan asing, UU Agraria juga melahirkan kelas elite baru di kalangan pribumi, yaitu para landlords lokal—elite adat, bangsawan, atau pejabat pribumi yang mulai beroperasi seperti kapitalis. Mereka menggunakan status sosial dan koneksi politiknya untuk mengklaim tanah ulayat sebagai milik pribadi, lalu menyewakannya kepada perusahaan asing. Dalam banyak kasus, hak kolektif komunitas diprivatisasi oleh segelintir elite, sering kali dengan bantuan legal dari pemerintah kolonial.

Praktik semacam ini secara perlahan menghancurkan sistem hak ulayat, yakni konsep kepemilikan komunal yang menjaga distribusi tanah secara adil dalam komunitas. Manipulasi hukum, konflik internal, serta kooptasi terhadap elite adat membuat banyak komunitas kehilangan kendali atas wilayahnya. Ini tidak hanya berdampak pada ekonomi masyarakat, tetapi juga menggoyahkan kohesi sosial dan sistem nilai tradisional.


Secara keseluruhan, UU Agraria 1870 memperkenalkan struktur agraria modern yang tampak rapi dan legal secara administratif, tetapi menyisakan ketimpangan struktural yang tajam. Ia menciptakan wajah baru kolonialisme agraria, di mana hak atas tanah ditentukan bukan oleh kedekatan dengan tanah, tetapi oleh akses terhadap hukum dan modal. Dan dalam struktur seperti itu, rakyat pribumi berada di posisi paling rentan.


Ledakan Perkebunan Swasta

Pemberlakuan Undang-Undang Agraria 1870 menandai dimulainya fase baru dalam sejarah ekonomi Hindia Belanda, yakni ledakan investasi swasta di sektor perkebunan. Bila sebelumnya kegiatan agraria didominasi oleh negara melalui sistem tanam paksa, maka setelah 1870, panggung utama beralih kepada perusahaan-perusahaan swasta Eropa yang bergerak dengan lebih bebas, agresif, dan terorganisir. UU Agraria memberikan kerangka hukum yang stabil dan insentif investasi jangka panjang, memungkinkan para pengusaha untuk mengeksploitasi lahan-lahan subur Nusantara dalam skala industri.

Masuknya Modal Swasta: Gelombang Baru Kapital Eropa

Dengan adanya kepastian hukum melalui mekanisme hak erfpacht (hak guna usaha selama 75 tahun), ribuan hektare tanah negara—dan dalam banyak kasus, tanah adat—disewakan kepada perusahaan-perusahaan swasta Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Modal Eropa mengalir deras ke Hindia Belanda, terutama ke sektor-sektor perkebunan komoditas ekspor yang menjanjikan keuntungan besar di pasar dunia.

Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya membawa modal finansial, tetapi juga memperkenalkan teknologi pertanian baru, sistem manajemen modern, serta infrastruktur pendukung seperti pabrik pengolahan, jaringan irigasi, dan jalur transportasi. Pemerintah kolonial turut membantu dengan membangun jalur kereta api, pelabuhan, dan jalan-jalan perkebunan, menjadikan koloni sebagai ruang produksi yang sangat efisien dalam skema kapitalisme global.

Komoditas Andalan: Tebu, Kopi, Teh, Tembakau, dan Kina

Beberapa komoditas utama yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial liberal pasca-1870 meliputi:

  • Tebu: Perkebunan tebu berkembang pesat di Jawa bagian timur, khususnya di Besuki, Madiun, dan Kediri. Industri gula yang semula dikendalikan oleh negara dalam tanam paksa, kini diambil alih oleh perusahaan swasta yang lebih efisien secara teknis, meski tetap eksploitatif secara sosial.
  • Kopi: Kopi Priangan yang dahulu dihasilkan lewat sistem tanam paksa, tetap menjadi primadona, tetapi kini dikelola oleh perusahaan-perusahaan Belanda yang menguasai lahan luas di Jawa Barat dan Tengah.
  • Teh: Perkebunan teh berkembang pesat di dataran tinggi Jawa Barat dan Sumatra Barat. Teh Hindia menjadi komoditas ekspor penting ke Eropa, terutama ke Inggris dan Belanda.
  • Tembakau: Komoditas ini mengalami lonjakan paling spektakuler, terutama di wilayah Deli (Sumatra Timur). Tanah-tanah subur di sekitar Medan diubah menjadi perkebunan tembakau kelas dunia. Perusahaan seperti Deli Maatschappij menjadi simbol keberhasilan model investasi agraria liberal dan memperoleh keuntungan luar biasa dari ekspor tembakau cerutu ke Eropa dan Amerika.
  • Kina: Tanaman obat ini menjadi komoditas strategis untuk pengobatan malaria, sangat dibutuhkan di seluruh penjuru imperium kolonial Eropa. Kina ditanam secara intensif di daerah-daerah dataran tinggi Jawa Barat, dan Indonesia menjadi produsen utama kina dunia pada akhir abad ke-19.

Transformasi Lanskap dan Pola Produksi

Ledakan investasi ini tidak hanya mengubah peta ekonomi, tetapi juga mengubah lanskap agraria dan sosial secara drastis. Ribuan hektare hutan dibuka, sawah rakyat dialihfungsikan, dan tenaga kerja lokal diserap secara masif ke dalam sistem kerja upahan atau kontrak. Pola produksi bergeser dari subsisten ke monokultur ekspor, di mana seluruh kawasan ditanami satu jenis tanaman demi memenuhi permintaan pasar global.

Sementara perusahaan-perusahaan meraup keuntungan dan mendiversifikasi asetnya, masyarakat lokal kehilangan otonomi atas tanah, kehilangan akses terhadap sumber daya alam, dan menjadi bagian dari rantai produksi global yang sangat tidak setara.


UU Agraria 1870, melalui ledakan perkebunan swasta, menjadikan Hindia Belanda sebagai eksperimen kolonialisme liberal yang sangat berhasil secara ekonomi, namun menimbulkan distorsi agraria dan ketimpangan sosial yang bertahan hingga jauh setelah kemerdekaan Indonesia.


Pembukaan Lahan Besar-Besaran di Sumatra Timur, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi

Dengan diberlakukannya UU Agraria 1870, terjadi perluasan lahan perkebunan secara massif di berbagai wilayah strategis Hindia Belanda. Tanah-tanah yang sebelumnya berupa hutan tropis, kebun rakyat, atau lahan adat diubah menjadi konsesi industri perkebunan berskala besar. Pembukaan ini tidak hanya didorong oleh ketersediaan tanah yang dianggap “kosong” oleh pemerintah kolonial, tetapi juga oleh strategi korporasi Eropa untuk menguasai daerah-daerah paling subur, dekat pelabuhan, dan mudah dijangkau.

Sumatra Timur: Koloni Perkebunan Kelas Dunia

Wilayah Sumatra Timur, terutama sekitar Deli, Serdang, dan Asahan, menjadi ikon keberhasilan kolonial liberal. Perusahaan seperti Deli Maatschappij dan Harrisons & Crossfield memimpin gelombang pembukaan lahan untuk tembakau cerutu berkualitas tinggi. Dengan menggunakan hak sewa erfpacht, perusahaan-perusahaan ini menguasai ribuan hektare tanah, merekrut buruh kontrak dari Jawa, dan menciptakan sistem produksi perkebunan modern. Kota Medan pun tumbuh pesat sebagai pusat administrasi dan ekspor hasil perkebunan.

Pulau Jawa: Intensifikasi dan Industrialisasi Pertanian

Di Pulau Jawa, khususnya di wilayah Priangan (Jawa Barat), Kedu-Banyumas (Jawa Tengah), dan Madiun-Kediri (Jawa Timur), terjadi perluasan dan intensifikasi perkebunan teh, kopi, tebu, dan kina. Tanah-tanah bekas tanam paksa dialihkan ke tangan swasta, dan perusahaan swasta mulai menggantikan peran negara dalam mengelola sektor pertanian ekspor.

Karena kepadatan penduduk di Jawa tinggi, proses pembukaan lahan sering menimbulkan konflik agraria, baik secara legal maupun sosial. Namun, sistem kerja upahan dan kemudahan akses logistik membuat Jawa tetap menjadi pusat utama industri pertanian kolonial.

Kalimantan: Perkebunan dan Eksperimen Ekonomi Baru

Di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat, perkebunan mulai berkembang lebih lambat dibanding Jawa atau Sumatra, tetapi tetap menunjukkan gejala ekspansi, terutama pada akhir abad ke-19. Komoditas seperti karet dan kopi mulai ditanam, terutama setelah munculnya permintaan global terhadap bahan industri. Kalimantan juga menjadi ladang eksperimen bagi kolonial dalam mengintegrasikan wilayah yang sebelumnya relatif mandiri ke dalam ekonomi global.

Sulawesi: Ekspansi Komoditas Perdagangan dan Perkebunan

Sementara itu di Sulawesi, terutama di wilayah Minahasa dan Mandar, mulai muncul perkebunan kopi dan kelapa yang dikelola secara intensif oleh perusahaan Belanda dan misi Kristen. Di Minahasa, pemerintah kolonial melakukan pembukaan lahan melalui mobilisasi rakyat lokal yang sudah lebih terdampak oleh pendidikan dan administrasi kolonial. Selain itu, eksploitasi hasil hutan dan lahan-lahan pantai juga meningkat, terutama untuk produksi kopra dan hasil perkebunan tropis lainnya.


Pembukaan lahan besar-besaran ini mengubah struktur ekologi dan sosial Nusantara secara mendalam. Hutan tropis diganti dengan ladang monokultur, pola hidup subsisten berubah menjadi ketergantungan pada sistem kerja upahan, dan relasi masyarakat terhadap tanah serta alam mengalami dislokasi. Semua ini memperlihatkan bahwa ledakan perkebunan swasta bukan hanya ekspansi ekonomi, tetapi proses kolonialisasi ruang secara sistematis, didorong oleh hukum, pasar, dan kuasa modal asing.


Berdirinya Perusahaan: Deli Maatschappij, Perkebunan Teh Priangan, dan Lainnya

Seiring dengan terbukanya keran investasi swasta akibat UU Agraria 1870, berbagai perusahaan agraria Eropa mulai berdiri dan berkembang pesat di berbagai penjuru Hindia Belanda. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya menjadi pelaku ekonomi dominan, tetapi juga aktor politik dan sosial yang mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal secara langsung. Mereka membentuk jejaring kekuasaan baru yang terdiri dari pemilik modal, birokrat kolonial, dan elite lokal yang berkolaborasi dalam menguasai tanah dan tenaga kerja.

Deli Maatschappij: Raksasa Tembakau dari Sumatra Timur

Didirikan pada tahun 1869, tepat menjelang pengesahan UU Agraria, Deli Maatschappij merupakan perusahaan tembakau terbesar dan paling ikonik dari era kolonial liberal. Berbasis di kawasan Deli, Sumatra Timur, perusahaan ini menguasai ribuan hektare lahan subur yang disewa dari pemerintah kolonial menggunakan skema erfpacht.

Deli Maatschappij memproduksi tembakau cerutu kelas premium yang sangat laku di pasar Eropa dan Amerika, menjadikan tembakau Deli sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan Hindia Belanda. Perusahaan ini juga dikenal sebagai pelopor sistem kuli kontrak, yaitu sistem kerja paksa terselubung di mana buruh (mayoritas dari Jawa) dikontrak secara ketat, diisolasi dalam barak, dan dikenai disiplin kerja yang ekstrem. Model inilah yang kemudian diikuti oleh banyak perusahaan perkebunan lainnya.

Perusahaan Teh di Priangan: Kolonisasi Dataran Tinggi Jawa

Di dataran tinggi Priangan (Jawa Barat), sejumlah perusahaan perkebunan teh bermunculan, memanfaatkan iklim sejuk dan lahan vulkanik subur. Salah satu perusahaan terkenal adalah Preanger Cultuur Maatschappij, yang mendirikan dan mengelola kebun teh di daerah Garut, Bandung, dan Sukabumi.

Teh dari Priangan menjadi komoditas penting karena meningkatnya konsumsi teh di Eropa, terutama di kalangan kelas menengah Inggris dan Belanda. Untuk mendukung produksi, perusahaan-perusahaan ini merekrut ribuan buruh lokal dan membangun infrastruktur kebun bergaya Eropa, lengkap dengan rumah-rumah administratur, gudang teh, dan jalur kereta pengangkut hasil panen ke pelabuhan-pelabuhan ekspor seperti Batavia dan Tanjung Priok.

Perusahaan Kina, Gula, dan Kopi: Diversifikasi Investasi Agraria

Selain tembakau dan teh, banyak perusahaan juga fokus pada komoditas strategis lain:

  • Perusahaan kina seperti Java Cinchona Company dan perusahaan-perusahaan Belanda lainnya berkembang pesat di kawasan pegunungan Jawa Barat. Kina menjadi sangat berharga karena kandungan quinine-nya dipakai untuk obat malaria, menjadikannya komoditas medis penting dalam imperium kolonial global.
  • Perusahaan gula, seperti NV Handelmaatschappij Suikerfabriek, mengelola pabrik-pabrik gula di Jawa Timur, menggunakan model integrasi vertikal dari kebun tebu hingga pemrosesan dan ekspor. Di Mojokerto, Pasuruan, dan Madiun, perusahaan-perusahaan ini menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar dan membentuk klaster industri gula yang sangat produktif.
  • Perusahaan kopi, yang banyak berdiri di Kedu, Priangan, dan daerah Minahasa, mengandalkan tradisi lama perkebunan kopi era tanam paksa, kini diswastakan dengan orientasi ekspor dan efisiensi yang lebih tinggi.

Kemunculan perusahaan-perusahaan agraria swasta pasca-1870 menunjukkan bahwa UU Agraria bukan hanya membuka tanah Nusantara, tetapi juga melahirkan rezim ekonomi baru: rezim di mana perusahaan swasta berperan seperti negara kecil, mengatur kerja, menguasai lahan, bahkan memengaruhi arah kebijakan lokal. Perusahaan-perusahaan ini menjadi tulang punggung kolonialisme liberal, sekaligus cikal bakal ketimpangan agraria yang diwarisi Indonesia hingga hari ini.


Perubahan Sosial dan Ketenagakerjaan

Transisi dari sistem kolonial berbasis negara menuju ekonomi liberal swasta pada akhir abad ke-19 tidak hanya mengubah struktur agraria dan pola kepemilikan tanah, tetapi juga membawa transformasi mendalam dalam struktur sosial dan dunia kerja masyarakat Hindia Belanda. Dengan runtuhnya sistem tanam paksa dan bangkitnya perkebunan swasta, muncullah model ketenagakerjaan baru yang secara formal tampak lebih “modern”, namun dalam kenyataannya tetap menyimpan unsur-unsur eksploitasi dan dominasi kelas.

Transisi dari Buruh Tanam Paksa ke Sistem Kerja Upahan

Salah satu perubahan paling nyata adalah pergeseran dari sistem kerja paksa negara (cultuurstelsel) ke sistem kerja upahan. Pada masa tanam paksa, petani diwajibkan mengerjakan lahan pemerintah atau menyetor sebagian hasil pertaniannya sebagai bentuk “pajak” dalam bentuk tenaga. Meskipun tidak dibayar, sistem ini dijustifikasi sebagai kewajiban rakyat terhadap negara.

Namun, setelah pemberlakuan UU Agraria, perusahaan swasta mulai menggunakan tenaga kerja kontrak berbayar, setidaknya dalam kerangka hukum. Secara formal, buruh kini bekerja berdasarkan perjanjian kerja dan menerima upah, tetapi dalam praktiknya, relasi kuasa tetap sangat timpang. Sistem kerja ini sering kali mengunci buruh dalam siklus kemiskinan, dengan upah minimum, utang kepada perusahaan, dan kontrol ketat terhadap mobilitas dan perilaku mereka.

Perekrutan Buruh Migran dari Jawa ke Luar Pulau (Terutama Sumatra Timur)

Ledakan industri perkebunan di wilayah luar Jawa, khususnya di Sumatra Timur, menciptakan kebutuhan besar akan tenaga kerja. Namun, karena kepadatan penduduk di Sumatra masih rendah dan masyarakat lokal sering menolak bekerja di bawah sistem kolonial, perusahaan beralih ke sumber tenaga kerja terbesar di Nusantara: Jawa.

Sejak 1880-an, dimulailah perekrutan besar-besaran buruh migran dari Jawa ke luar pulau, terutama ke Deli, Langkat, Asahan, dan sekitarnya. Proses ini dilakukan melalui agen-agen perekrut yang bekerja sama dengan kepala desa, pejabat kolonial, dan perusahaan swasta. Banyak buruh direkrut dengan janji pekerjaan dan kehidupan lebih baik, tetapi realitas yang mereka hadapi sangat berbeda.

Para buruh ini sering diangkut dalam kondisi yang memprihatinkan, kemudian ditempatkan di kamp-kamp kerja yang tertutup, jauh dari kampung halaman, tanpa akses ke peradilan atau perlindungan hukum yang memadai. Mereka menjadi bagian dari arus migrasi paksa yang menciptakan koloni buruh di tengah koloni ekonomi, memisahkan mereka dari tanah dan budaya asalnya.

Munculnya Sistem Kuli Kontrak yang Juga Eksploitatif

Puncak dari transformasi sistem kerja ini adalah lahirnya sistem kuli kontrak, yakni mekanisme kerja yang tampak sukarela dan legal di atas kertas, namun sarat dengan penipuan, tekanan, dan eksploitasi. Dalam sistem ini, buruh menandatangani kontrak kerja selama 3–5 tahun dengan perusahaan perkebunan, menerima uang muka (advance), dan disalurkan ke tempat kerja. Namun, kontrak tersebut biasanya ditulis dalam bahasa Belanda atau Melayu tinggi yang sulit dipahami oleh buruh.

Setibanya di lokasi kerja, para kuli kontrak menghadapi jam kerja panjang, disiplin militer, upah yang dipotong utang, serta hukuman fisik jika melanggar aturan. Mereka sering tidak dapat meninggalkan perkebunan hingga kontrak habis, dan dalam banyak kasus, tidak diberi pilihan untuk kembali ke kampung halaman. Buruh yang mencoba kabur atau membangkang dikenai hukuman berat oleh mandor atau polisi perkebunan.

Sistem kuli kontrak ini mengingatkan pada praktik perbudakan terselubung, di mana hak-hak dasar buruh diabaikan atas nama efisiensi produksi. Model ini tidak hanya dijumpai di Deli, tetapi juga diterapkan di perkebunan teh, kina, dan kopi di wilayah lain, termasuk Jawa Barat dan Sulawesi Utara.


Dengan demikian, meskipun sistem kerja upahan dan kontrak pasca-UU Agraria 1870 tampak lebih “modern” dibanding kerja paksa era tanam paksa, pada kenyataannya ia tetap mempertahankan karakter kolonial yang eksploitatif. Buruh pribumi menjadi roda penggerak industri perkebunan ekspor, namun tetap berada di lapisan terbawah dari struktur sosial kolonial—tanpa kuasa, tanpa tanah, dan tanpa akses atas hasil kerja mereka sendiri.


Reaksi Pribumi dan Ketimpangan Sosial

Meskipun UU Agraria 1870 disusun dalam bingkai retoris “perlindungan hak pribumi”, kenyataannya kebijakan ini membawa gelombang dislokasi sosial dan ekonomi yang sangat dirasakan oleh masyarakat lokal. Di berbagai penjuru Nusantara, mulai muncul reaksi dari rakyat dan komunitas adat terhadap dampak langsung dari dominasi perusahaan swasta, terutama dalam bentuk ketegangan agraria, penyingkiran dari tanah, dan ekspansi kekuasaan asing di ruang hidup masyarakat.

Ketegangan antara Masyarakat Adat dan Perusahaan Asing

Seiring ekspansi perkebunan swasta, benturan kepentingan antara masyarakat adat dan perusahaan asing menjadi semakin tajam. Perusahaan-perusahaan Eropa yang mendapat hak sewa jangka panjang dari pemerintah kolonial sering kali tidak mempertimbangkan keberadaan komunitas lokal yang sudah lama bermukim di atas tanah tersebut. Bagi perusahaan, hak sewa yang sah secara hukum kolonial adalah legitimasi penuh untuk menguasai dan mengelola tanah. Sementara itu, bagi masyarakat adat, tanah tersebut adalah warisan leluhur yang tidak dapat diperjualbelikan, bagian dari identitas kolektif dan spiritual mereka.

Konflik pun tak terhindarkan. Di banyak wilayah seperti Deli, Priangan, dan Minahasa, masyarakat mulai menunjukkan perlawanan, baik dalam bentuk penolakan pembukaan lahan, sabotase kecil terhadap proyek perusahaan, hingga bentuk perlawanan budaya dengan menolak sistem kerja, menolak membayar pajak tanah baru, atau secara simbolik melakukan ritual adat di tanah yang sudah disita.

Namun karena hukum berpihak pada perusahaan dan negara kolonial, suara masyarakat adat sering dianggap “gangguan keamanan” dan direspons dengan represif oleh polisi kolonial. Perlawanan yang terjadi sering diredam sebelum berkembang menjadi gerakan terbuka.

Konflik Agraria Lokal dan Penyingkiran dari Tanah Warisan Leluhur

Dampak paling nyata dari berlakunya UU Agraria 1870 adalah penyingkiran perlahan namun sistematis masyarakat lokal dari tanah mereka sendiri. Banyak kasus di mana masyarakat secara de facto masih tinggal dan bercocok tanam di lahan, namun secara de jure tanah tersebut sudah berstatus “domein” (tanah negara) yang telah disewakan kepada perusahaan.

Di Jawa Barat, misalnya, perluasan perkebunan teh menyebabkan penggusuran masyarakat desa dari lahan pertanian mereka. Di Deli, masyarakat Melayu dan Batak setempat terpinggirkan oleh sistem perusahaan-perusahaan tembakau, dan digantikan oleh buruh migran dari Jawa yang tidak memiliki ikatan kultural terhadap tanah.

Fenomena ini melahirkan konflik agraria lokal yang ditandai oleh:

  • Sengketa kepemilikan tanah antara masyarakat dan perusahaan
  • Pemaksaan relokasi masyarakat adat
  • Fragmentasi komunitas karena sebagian elite lokal justru berkolaborasi dengan perusahaan

Tanah, yang dulunya menjadi basis kohesi sosial, berubah menjadi sumber keterpecahan dan ketidakadilan.

Awal Munculnya Kesadaran Agraria dan Resistensi Pasif

Di tengah tekanan kolonial dan lemahnya posisi hukum rakyat, mulai muncul benih-benih kesadaran agraria di kalangan pribumi. Masyarakat mulai menyadari bahwa masalah mereka bukan hanya konflik dengan satu perusahaan, melainkan bagian dari struktur kolonial yang menindas hak-hak atas tanah secara sistemik.

Bentuk-bentuk resistensi awal ini belum terorganisir secara politis, tetapi sudah mulai tampak dalam:

  • Penolakan diam-diam terhadap kerja di perkebunan
  • Kepemimpinan informal dari tokoh adat atau ulama yang menyuarakan kembalinya hak atas tanah
  • Tradisi lisan dan cerita rakyat yang mulai memuat kritik terhadap “tuan kebun” dan kekuasaan asing
  • Gerakan kembali ke kampung (re-migrasi) setelah kontrak kerja selesai, sebagai bentuk penolakan terhadap sistem kolonial

Kesadaran ini kemudian menjadi fondasi bagi gerakan agraria dan nasionalisme di awal abad ke-20, terutama ketika organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Boedi Oetomo, dan Partai Komunis Indonesia mulai mengambil isu tanah sebagai bagian dari agenda perjuangan.


Dengan demikian, UU Agraria 1870 tidak hanya mengubah peta ekonomi dan hukum tanah di Nusantara, tetapi juga menyulut gelombang kesadaran sosial yang menyadari adanya ketimpangan struktural dalam penguasaan tanah. Inilah awal dari politik agraria rakyat, yang kelak menjadi medan utama dalam perjuangan menuju kemerdekaan dan keadilan sosial.


Kritik dan Evaluasi Historis

Seiring berjalannya waktu, UU Agraria 1870 mulai menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, baik dari dalam lingkungan kolonial sendiri maupun dari para pemikir etis dan nasionalis pribumi yang menyaksikan dampak destruktif undang-undang ini terhadap masyarakat adat dan struktur sosial Nusantara. Meskipun secara formal disusun dalam kerangka hukum yang rapi, serta diklaim sebagai bentuk kemajuan dari sistem tanam paksa, kenyataannya UU ini lebih berfungsi sebagai alat baru kolonialisme ekonomi yang berbalut liberalisme.

Kritik dari Tokoh-Tokoh Etis dan Nasionalis Awal

Salah satu kelompok pertama yang mengkritik dampak dari sistem agraria liberal adalah para pendukung Politik Etis, yaitu arus pemikiran di Belanda yang mulai berkembang pada akhir abad ke-19 dan menuntut tanggung jawab moral dari pemerintah kolonial terhadap kesejahteraan rakyat Hindia. Tokoh-tokoh seperti Conrad Theodor van Deventer, Pieter Brooshooft, dan Marie van Zeggelen mulai menyuarakan bahwa meskipun sistem tanam paksa telah dihapus, sistem baru yang berbasis investasi swasta tidak serta-merta lebih manusiawi.

Van Deventer dalam artikelnya yang terkenal, Een Eereschuld (Hutang Kehormatan, 1899), menegaskan bahwa Belanda memiliki utang moral kepada rakyat Hindia, karena sistem kolonial, baik koersif maupun liberal, telah memperkaya negeri induk dengan mengorbankan kesejahteraan koloni. Ia mengkritik bagaimana UU Agraria menciptakan peluang bagi modal asing untuk menguasai tanah, namun tidak memberi perlindungan nyata terhadap masyarakat lokal yang tanahnya diklaim sebagai milik negara.

Di kalangan pribumi sendiri, awal abad ke-20 menyaksikan munculnya tokoh-tokoh nasionalis awal, seperti Tjokroaminoto, Semaun, Tan Malaka, dan Soewardi Soerjaningrat, yang mulai melihat masalah tanah sebagai inti dari ketimpangan kolonial. Mereka mengkritik bagaimana rakyat pribumi telah diubah menjadi kuli di tanah sendiri, dan bahwa hukum kolonial justru menjadi sarana legalisasi penindasan.

UU Agraria sebagai Alat Kolonialisme Ekonomi Baru Berbentuk “Liberalisme”

Dalam evaluasi historis, banyak sejarawan dan akademisi melihat UU Agraria 1870 sebagai bentuk kolonialisme gaya baru. Jika sistem tanam paksa adalah kolonialisme koersif yang dilakukan oleh negara, maka sistem agraria liberal pasca-1870 adalah kolonialisme ekonomi yang dilakukan oleh korporasi swasta dengan dukungan hukum dan infrastruktur negara.

UU ini memperkenalkan mekanisme hukum modern yang memberi tampilan legalitas dan “keadilan”, namun digunakan untuk memperkuat dominasi modal asing atas tanah dan tenaga kerja pribumi. Dalam kerangka ini, liberalisme bukan berarti kebebasan bagi semua, tetapi kebebasan untuk modal, sementara rakyat lokal tetap tidak memiliki kuasa atas tanahnya, bahkan tidak mampu menuntut haknya dalam sistem hukum yang tidak mereka kuasai.

Fenomena ini mencerminkan bentuk “liberalisme kolonial” yang bersifat paradoksal: hukum, pasar, dan kontrak digunakan untuk menutupi relasi eksploitatif yang sebelumnya lebih terbuka dalam sistem koersif. Inilah kolonialisme yang tidak lagi menghunus senjata, tapi membawa pena dan surat kontrak.

Ironi dari Sistem Hukum yang Tampak Adil tapi Tetap Eksploitatif

Salah satu ironi terbesar dari UU Agraria 1870 adalah kontradiksi antara teks hukum dan realitas sosial. Secara normatif, undang-undang ini menjamin hak-hak rakyat atas tanah, melarang penjualan tanah kepada asing, dan hanya membolehkan sewa jangka panjang atas tanah negara. Namun dalam kenyataannya:

  • Mayoritas rakyat tidak mampu membuktikan hak milik menurut standar hukum kolonial
  • Tanah adat diklaim sebagai tanah negara (domein) dan disewakan ke perusahaan
  • Perjanjian sewa disusun tanpa partisipasi masyarakat lokal

Dengan demikian, hukum yang tampaknya netral dan rasional ini justru menjadi alat hegemonik untuk menyingkirkan sistem adat, menormalisasi penguasaan asing atas sumber daya lokal, dan membungkam suara masyarakat yang dirugikan.

Sejarawan agraria seperti Benoît Bérard dan Takashi Shiraishi mencatat bahwa UU Agraria adalah simbol dari proses “perampasan ruang legal” masyarakat adat, di mana hak kolektif yang tidak terdokumentasi dikalahkan oleh kepemilikan formal yang didukung negara. Ini adalah contoh sempurna dari apa yang disebut rule of law without justice—hukum berlaku, tapi keadilan absen.


Dalam pandangan kritis sejarah, UU Agraria 1870 bukanlah langkah maju menuju keadilan atau modernisasi, melainkan alat baru kolonialisme dengan wajah berbeda: hukum menjadi tameng bagi ekspansi modal, dan liberalisme menjadi kedok bagi dominasi struktural. Kritik terhadap UU ini tidak hanya relevan untuk memahami masa lalu, tapi juga menjadi cermin bagi konflik agraria kontemporer yang diwariskan dari struktur kolonial tersebut.


Warisan dan Dampak Jangka Panjang

Meski Undang-Undang Agraria 1870 secara formal tidak berlaku lagi setelah kemerdekaan Indonesia, warisan hukumnya, struktur sosial-ekonominya, dan paradigma agrarianya tetap membekas dalam sejarah panjang bangsa ini. Jejak sistem agraria kolonial liberal terus hidup dalam berbagai bentuk ketimpangan dan konflik yang hingga kini masih menjadi persoalan nasional. UU ini tidak hanya membentuk lanskap ekonomi kolonial, tetapi juga meletakkan fondasi ketimpangan agraria struktural yang sulit dikoreksi bahkan setelah Indonesia merdeka.

Jejak Sistem Perkebunan Swasta dalam Struktur Agraria Indonesia Pasca-Kemerdekaan

Pasca proklamasi 1945, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi republik baru adalah bagaimana mengelola struktur agraria warisan kolonial. Sejumlah perusahaan besar, terutama di sektor perkebunan (tebu, teh, kopi, tembakau, karet), masih menguasai lahan dalam skala luas, sering kali dengan sistem hak guna usaha (HGU) yang merupakan kelanjutan langsung dari hak erfpacht era kolonial. Banyak dari tanah ini adalah tanah bekas konsesi Belanda yang kemudian diambil alih oleh negara atau swasta nasional, namun struktur relasi kuasanya tetap timpang.

Tanah-tanah luas yang dahulu dikuasai oleh perusahaan seperti Deli Maatschappij atau Preanger Cultuur Maatschappij, tetap menjadi kawasan industri pertanian besar yang tidak terjangkau oleh petani kecil. Proses nasionalisasi di era 1950–an pun tidak secara otomatis mendistribusikan tanah kepada rakyat, karena pendekatannya lebih bersifat administratif daripada struktural.

Akibatnya, konfigurasi agraria kolonial—di mana sebagian kecil kelompok (negara, korporasi, elite) menguasai sebagian besar lahan produktif—tetap bertahan dalam format yang dimodifikasi.

Sumber Konflik Agraria Modern dan Ketimpangan Penguasaan Lahan

Warisan UU Agraria 1870 juga menjadi salah satu akar dari konflik agraria kontemporer yang terus muncul di berbagai daerah. Banyak konflik tanah hari ini, baik antara rakyat dengan perusahaan perkebunan, dengan TNI, maupun dengan pemerintah daerah, sesungguhnya adalah konflik yang akarnya berasal dari masa kolonial. Tanah-tanah yang dulu disewakan kepada perusahaan asing, kemudian berubah status menjadi tanah negara atau HGU, tanpa pernah dikembalikan atau dikonsultasikan kepada masyarakat adat atau petani penggarap.

Contoh-contoh konflik di Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Papua, hingga Jambi memperlihatkan bagaimana struktur kolonial agraria tidak benar-benar dirombak. Hak ulayat masyarakat adat tetap tidak diakui secara kuat dalam sistem hukum nasional, mirip seperti bagaimana hukum kolonial mengabaikannya lebih dari satu abad sebelumnya. Begitu pula praktik perampasan tanah atas nama investasi dan pembangunan sering memakai justifikasi legalistik yang mengulang logika kolonial: tanah negara = boleh disewakan atau dikelola tanpa persetujuan komunitas lokal.

Ketimpangan ini tercermin dalam data: sekitar 1% penguasa lahan di Indonesia menguasai lebih dari 50% lahan produktif, sementara jutaan petani masih berstatus penggarap atau tidak bertanah. Ini adalah warisan langsung dari sistem kolonial yang melembagakan kesenjangan melalui hukum agraria.

Relevansi UU Agraria 1870 dalam Perdebatan Agraria Kontemporer (hingga UUPA 1960)

Kesadaran akan pentingnya reformasi agraria mendorong lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, yang secara eksplisit ditujukan untuk menghapus dualisme hukum agraria kolonial vs adat, dan mengembalikan prinsip bahwa tanah dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

UUPA mencoba membalik logika UU Agraria 1870 dengan:

  • Menegaskan hak milik sebagai hak penuh yang tidak dapat dihapus secara sepihak
  • Mengakui hak ulayat masyarakat adat
  • Membatasi penguasaan tanah dalam skala besar, dan menjadikan reforma agraria sebagai bagian dari agenda nasional

Namun dalam praktiknya, implementasi UUPA mengalami stagnasi dan distorsi, terutama sejak Orde Baru. Alih-alih menjalankan reforma agraria sejati, pemerintah justru kembali menggunakan instrumen hukum untuk memfasilitasi investasi skala besar dalam sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. HGU kembali menjadi sarana legal untuk mengonsentrasikan tanah di tangan korporasi, mengulangi model erfpacht yang dulu digunakan oleh perusahaan kolonial.

Di era kontemporer, perdebatan tentang agraria, investasi, dan hak masyarakat adat terus berlangsung. UU Cipta Kerja (Omnibus Law), misalnya, mendapat kritik keras karena dianggap menghidupkan kembali semangat liberalisme agraria kolonial, dengan melemahkan perlindungan terhadap hak rakyat dan memberi ruang luas bagi investasi skala besar.


UU Agraria 1870 bukan hanya bagian dari sejarah kolonial, tapi juga bagian dari sejarah kontemporer. Ia adalah akar dari persoalan agraria Indonesia modern, dan cermin dari kegagalan kita untuk sepenuhnya melepaskan diri dari logika kolonialisme dalam pengelolaan tanah. Memahami undang-undang ini secara kritis adalah langkah penting untuk membangun sistem agraria yang adil, berdaulat, dan berpihak pada rakyat di masa depan.

About administrator