Pada awal abad ke-19, wilayah Nusantara—khususnya Pulau Jawa—menjadi ajang perebutan antara kekuatan kolonial Eropa di tengah gejolak global akibat Perang Napoleon. Dalam konteks ini, tahun 1811 menjadi titik balik penting: Inggris, melalui ekspedisi militer besar-besaran, berhasil merebut Pulau Jawa dari tangan Belanda yang saat itu berada di bawah pengaruh Kekaisaran Prancis. Kejatuhan Batavia pada bulan Agustus 1811 bukan sekadar pergantian kekuasaan kolonial, melainkan juga menandai masuknya model pemerintahan baru yang sangat berbeda dalam pendekatan politik, ekonomi, dan sosial.
Belanda, yang telah mendominasi wilayah Nusantara selama lebih dari dua abad melalui VOC dan kemudian pemerintahan kolonial resmi, sedang berada dalam posisi lemah. VOC dibubarkan pada tahun 1799 karena kebangkrutan, dan sejak saat itu Hindia Belanda dikelola langsung oleh negara Belanda yang kemudian berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte. Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Belanda terakhir sebelum invasi Inggris, gagal menyiapkan pertahanan yang memadai dan akhirnya digantikan oleh Jan Willem Janssens, yang tidak mampu menahan serangan Inggris. Dalam waktu singkat, pasukan Inggris yang dipimpin oleh Sir Samuel Auchmuty dan didukung oleh Thomas Stamford Raffles berhasil menguasai Jawa secara penuh.
Setelah pengambilalihan kekuasaan, Inggris tidak menjadikan Jawa sebagai bagian dari koloni permanen, tetapi memperlakukannya sebagai wilayah sementara dalam pengawasan East India Company (EIC), dengan Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Letnan Gubernur. Pemerintahan Raffles berlangsung hanya selama lima tahun (1811–1816), namun dalam waktu yang singkat itu, ia menerapkan berbagai kebijakan progresif yang mencerminkan semangat liberalisme dan rasionalisme Inggris awal abad ke-19. Periode ini menjadi fase transisi penting antara model kolonial lama berbasis feodalisme dan monopoli, menuju pendekatan baru yang mengedepankan liberalisasi perdagangan, penghapusan kerja paksa, dan reformasi administrasi.
Tulisan ini akan membahas secara mendalam masa pemerintahan Raffles dengan menyoroti tiga aspek utama yang menandai karakter reformisnya: liberalisasi sistem ekonomi dan perdagangan, penghapusan kerja rodi yang eksploitatif, serta pelaksanaan sensus dan reformasi agraria sebagai bagian dari upaya modernisasi kolonial. Meskipun bersifat eksperimental dan menghadapi banyak keterbatasan, kebijakan-kebijakan Raffles meninggalkan warisan institusional dan intelektual yang berpengaruh besar terhadap perjalanan sejarah kolonialisme di Indonesia.
Penunjukan Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Hindia
Setelah keberhasilan Inggris merebut Pulau Jawa dari tangan Belanda pada Agustus 1811, pemerintah kolonial Inggris menghadapi pertanyaan strategis: siapa yang akan memimpin wilayah sebesar dan sekompleks Hindia Timur Belanda dalam masa pendudukan yang bersifat sementara namun penuh tantangan? Jawaban atas pertanyaan itu jatuh kepada Thomas Stamford Raffles, seorang pejabat muda berbakat dari East India Company (EIC) yang sebelumnya menjabat sebagai sekretaris gubernur di Penang dan memiliki pengalaman administratif serta wawasan mendalam tentang dunia Melayu.
Penunjukan Raffles sebagai Letnan Gubernur Hindia dilakukan secara resmi oleh Lord Minto, Gubernur Jenderal British India di Kalkuta, pada tahun 1811. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Raffles dikenal sebagai sosok berideologi liberal, anti-feodal, dan tertarik pada ilmu pengetahuan, terutama sejarah dan kebudayaan Asia Tenggara. Ia dipandang sebagai alternatif ideal terhadap gaya pemerintahan otoriter Belanda yang direpresentasikan oleh Daendels dan Janssens. Bagi Inggris, pengangkatan Raffles tidak hanya bermakna administratif, tetapi juga simbol pendekatan “pencerahan” Inggris dalam mengelola koloni, berbeda dari corak eksploitatif Belanda.
Raffles diberi kewenangan penuh sebagai Letnan Gubernur di bawah struktur East India Company, namun dengan batasan tertentu:
- Ia tidak memiliki otoritas absolut seperti Gubernur Jenderal India.
- Ia wajib melaporkan kebijakan penting ke pemerintah pusat di Kalkuta.
- Masa jabatannya bersifat sementara, mengingat kemungkinan kembalinya koloni ke tangan Belanda pasca-perang Napoleon.
Meskipun demikian, dalam praktiknya Raffles menjalankan pemerintahannya dengan semangat besar dan visi jangka panjang, seolah-olah ia sedang membangun fondasi pemerintahan kolonial baru yang lebih rasional, adil, dan modern. Dalam berbagai pidatonya, ia mengungkapkan niat untuk “membawa pencerahan ke tanah Jawa” dan mengakhiri praktik-praktik feodal yang menindas rakyat.
Penunjukan Raffles menjadi titik awal eksperimen kolonialisme liberal di Nusantara—yakni pemerintahan yang, meski tetap imperialistik, mencoba menggabungkan unsur kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan kebijakan pasar bebas. Dengan latar belakang ini, kebijakan-kebijakan yang diambil Raffles dalam lima tahun pemerintahannya akan merefleksikan idealisme tersebut—meski tidak lepas dari kontradiksi dan tantangan praktis di lapangan.
Masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles di Jawa (1811–1816) menandai sebuah fase singkat namun sangat penting dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Meskipun hanya berlangsung lima tahun, periode ini memperlihatkan kontras yang tajam dengan era sebelumnya di bawah kekuasaan Herman Willem Daendels, baik dari segi pendekatan politik, ekonomi, maupun visi pemerintahan.
Jika Daendels mewakili corak kolonialisme yang militeristik, otoriter, dan berbasis kerja paksa, maka Raffles datang dengan semangat reformasi liberal yang berakar pada prinsip-prinsip rasionalisme Eropa awal abad ke-19. Ia membawa gagasan tentang pemerintahan yang lebih manusiawi, sistem perpajakan yang teratur, perdagangan bebas, serta penghapusan sistem kerja rodi yang dianggapnya tidak beradab.
Raffles juga memperkenalkan pendekatan administratif yang lebih ilmiah dan sistematis, seperti pelaksanaan sensus penduduk, survei agraria, serta dokumentasi sosial dan budaya lokal, yang sebagian besar belum pernah dilakukan oleh pemerintahan kolonial sebelumnya. Ia mendorong pembentukan lembaga ilmiah, pelestarian cagar budaya, dan menulis The History of Java sebagai upaya membangun pemahaman modern tentang Jawa dan masyarakatnya.
Meskipun banyak kebijakannya bersifat eksperimental dan tidak semua berhasil secara jangka pendek, warisan intelektual dan administratif Raffles tetap meninggalkan pengaruh jangka panjang terhadap arah kolonialisme dan pemikiran pemerintahan modern di Indonesia. Oleh karena itu, periode ini layak dipandang bukan sekadar sebagai jeda dalam kekuasaan Belanda, melainkan sebagai momen penting dalam transisi menuju bentuk kolonialisme yang lebih terstruktur dan berorientasi pada data serta prinsip liberalisme kolonial.
Profil Thomas Stamford Raffles
Latar Belakang Keluarga dan Karier di East India Company (EIC)
Thomas Stamford Raffles lahir pada tanggal 6 Juli 1781 di Port Morant, Jamaika, dalam sebuah keluarga kelas menengah Inggris yang sederhana. Ayahnya adalah kapten kapal dagang yang kemudian mengalami kesulitan keuangan, menyebabkan keluarga Raffles hidup dalam keterbatasan. Masa kecil Raffles diwarnai dengan perpindahan dan kerja keras, dan sejak usia muda ia sudah harus bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Kondisi ini membentuk karakter Raffles sebagai pribadi mandiri, ambisius, dan sangat tekun dalam belajar secara otodidak.
Pada usia 14 tahun, Raffles mulai bekerja sebagai juru tulis junior di East India Company (EIC)—sebuah korporasi perdagangan raksasa yang juga berfungsi sebagai alat imperialisme Inggris di Asia. Penugasan pertamanya adalah sebagai pegawai administrasi di kantor EIC di London, tetapi kariernya mulai menanjak setelah ia dikirim ke Pulau Penang (Pulo Pinang), Malaya, pada tahun 1805.
Di Penang, Raffles tidak hanya mengurus soal administrasi, tetapi juga menunjukkan ketertarikan besar pada kebudayaan lokal, politik kawasan, dan bahasa-bahasa Melayu. Ia belajar bahasa Melayu secara intensif dan menjalin hubungan dekat dengan para bangsawan serta ulama lokal, sebuah pendekatan yang jarang dilakukan oleh pejabat kolonial pada masanya. Pengetahuan dan kemampuannya dalam diplomasi lokal inilah yang kemudian membuat namanya dikenal di kalangan pejabat tinggi Inggris di India.
Pada tahun 1811, di tengah kondisi Eropa yang dilanda Perang Napoleon dan Belanda yang telah jatuh ke tangan Prancis, Inggris memutuskan untuk menyerang Pulau Jawa, koloni paling berharga milik Belanda. Raffles, yang saat itu menjadi asisten penting bagi Lord Minto, Gubernur Jenderal British India, ditunjuk sebagai penerjemah, penasihat politik, dan perancang strategi diplomatik ekspedisi tersebut. Peran sentral Raffles dalam operasi militer ini—baik sebagai negosiator maupun pengamat politik Jawa—mengantarkannya pada puncak karier: pengangkatan sebagai Letnan Gubernur Jawa setelah keberhasilan Inggris menduduki Batavia.
Latar belakang keluarga sederhana, pengalaman kerja sejak dini, serta proses naik dari bawah di lingkungan EIC memberikan Raffles etos kerja yang kuat, fleksibilitas dalam berinteraksi dengan masyarakat lokal, dan semangat reformis yang akan sangat mewarnai masa pemerintahannya. Ia tidak datang dari kalangan aristokrat atau militer seperti banyak tokoh kolonial sezamannya, melainkan dari jalur birokrasi dan intelektual. Hal ini menjadikan Raffles figur kolonial yang unik, yang memadukan orientasi ilmiah, semangat liberal, dan keinginan untuk membuktikan diri melalui transformasi sosial di tanah jajahan.
Pandangan Politik dan Ideologi Liberalisme Eropa Awal Abad ke-19
Thomas Stamford Raffles adalah produk dari sebuah zaman yang sedang berubah. Ia hidup dan berkarier dalam iklim intelektual Eropa awal abad ke-19, yang ditandai oleh berkembangnya liberalisme klasik, sebuah aliran pemikiran yang meyakini pentingnya kebebasan individu, akal sehat, kesetaraan di depan hukum, serta reformasi institusi negara. Dalam konteks kolonialisme, liberalisme ini tampil dengan wajah ambigu: di satu sisi memperjuangkan kebebasan dan rasionalitas, tetapi di sisi lain tetap beroperasi dalam kerangka imperialis.
Sebagai bagian dari kalangan reformis Inggris, Raffles sangat dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh seperti John Locke, Adam Smith, dan Jeremy Bentham. Ia percaya bahwa masyarakat dapat berkembang melalui pendidikan, ekonomi pasar bebas, dan sistem pemerintahan yang rasional dan efisien. Ia juga menolak sistem-sistem lama yang dianggap feodal, despotik, dan tidak adil—baik itu di Eropa maupun di koloni.
Beberapa prinsip ideologi liberal yang memengaruhi kebijakan dan pandangan politik Raffles antara lain:
1. Anti-Feodalisme dan Anti-Kerja Paksa
Raffles memandang sistem tradisional yang diwariskan oleh VOC dan diteruskan oleh Daendels—terutama dalam bentuk kerja rodi, kewajiban upeti, dan kekuasaan arbitrer bupati—sebagai bentuk perbudakan terselubung yang bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan manusia. Ia mengupayakan penghapusan kerja paksa, dan memperkenalkan hubungan kontraktual antara negara dan petani melalui sistem sewa tanah, meski belum berhasil sepenuhnya.
2. Liberalisasi Ekonomi dan Anti-Monopoli
Sebagai murid ideologis Adam Smith, Raffles menentang praktik monopoli dagang dan kontrol ekonomi yang kaku. Ia menghapus monopoli perdagangan VOC dan membuka pelabuhan-pelabuhan di Jawa bagi pedagang internasional, termasuk Cina, Inggris, dan India. Baginya, perdagangan bebas bukan hanya strategi ekonomi, tetapi juga alat pembebasan dari sistem korup dan eksploitatif.
3. Rasionalisasi Pemerintahan dan Hukum
Raffles percaya pada pentingnya pemerintahan yang rasional dan berbasis hukum tertulis, bukan kekuasaan arbitrer atau warisan adat yang tidak terstandardisasi. Ia mendukung pembentukan sistem hukum kolonial yang konsisten dan logis, meskipun tetap dalam kerangka kekuasaan imperialis. Di sisi lain, ia menunjukkan rasa hormat terhadap sistem adat selama tidak bertentangan dengan prinsip rasionalitas.
4. Misi Pencerahan dan Edukasi
Sebagai bagian dari semangat Enlightenment, Raffles melihat koloni bukan hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sebagai wilayah yang “perlu diselamatkan” dari kebodohan dan keterbelakangan (menurut sudut pandang Eropa). Ia tertarik pada sejarah, kebudayaan, dan pengetahuan lokal, dan melihat pendidikan serta dokumentasi sebagai bagian dari “misi peradaban.”
5. Humanisme Kosmopolitan
Berbeda dari banyak administrator kolonial kontemporernya, Raffles tidak sepenuhnya memandang bangsa pribumi sebagai inferior. Ia menghargai kebudayaan Jawa dan percaya bahwa dengan pendidikan dan penghapusan sistem feodal, masyarakat lokal bisa berkembang secara rasional dan mandiri. Walau tetap berada dalam kerangka kolonial, ini merupakan pandangan yang cukup progresif untuk masanya.
Dengan latar pemikiran seperti ini, tidak mengherankan bila kebijakan-kebijakan Raffles sebagai Letnan Gubernur sangat berbeda dibanding pendahulunya. Ia tidak hanya melihat Jawa sebagai wilayah pendudukan, tetapi sebagai laboratorium sosial-politik di mana prinsip-prinsip reformis liberal bisa diuji. Kendati hasilnya terbatas karena masa kekuasaan yang singkat dan struktur kolonial yang tetap eksploitatif, warisan pemikiran Raffles membentuk salah satu fondasi awal pemikiran administratif dan hukum modern di Nusantara.
Koneksi dengan Kalangan Reformis Inggris dan Orientasi Anti-Feodalisme
Thomas Stamford Raffles bukan hanya seorang birokrat kolonial biasa. Ia memiliki kedekatan intelektual dan ideologis dengan kalangan reformis Inggris pada awal abad ke-19—sebuah lingkaran yang terdiri dari tokoh-tokoh liberal, humanis, ilmuwan, dan aktivis sosial yang tengah mendorong perubahan besar di dalam dan luar negeri, termasuk penghapusan perbudakan, reformasi agraria, perluasan pendidikan, dan rasionalisasi sistem hukum.
Sebagai seorang pegawai East India Company (EIC) yang naik dari bawah, Raffles secara alami memiliki empati terhadap golongan bawah dan menolak warisan tatanan aristokratik atau feodal yang menurutnya hanya mempertahankan ketimpangan dan korupsi, baik di Eropa maupun di koloni. Dalam banyak catatan pribadinya, Raffles mengkritik sistem bupati dan kerja paksa di Jawa sebagai bentuk “tirani lokal” yang justru diperkuat oleh penjajahan Belanda.
1. Hubungan dengan Kaum Abolisionis dan Intelektual London
Selama masa cutinya ke Inggris dan dalam korespondensinya, Raffles menjalin hubungan dengan sejumlah tokoh reformis terkemuka seperti:
- William Wilberforce, tokoh utama gerakan penghapusan perbudakan.
- Jeremy Bentham, filsuf utilitarian yang mendukung rasionalisasi hukum dan pemerintahan.
- Joseph Banks, ilmuwan botani yang menjadi pelindung banyak ekspedisi ilmiah di Asia dan Pasifik.
Koneksi ini memperkuat kepercayaannya bahwa kolonialisme, jika tidak bisa dihindari, harus dijalankan dengan prinsip keadilan, pendidikan, dan rasionalitas, bukan dengan kekerasan dan kesewenang-wenangan. Pandangan semacam ini menjadikan Raffles bagian dari kelompok kecil “reformis imperial”, yang mencoba menjinakkan imperialisme melalui pembaruan sosial.
2. Anti-Feodalisme dan Kritik terhadap Sistem Tradisional Jawa
Dalam konteks Jawa, Raffles dengan tegas mengidentifikasi struktur feodal lokal—khususnya kekuasaan para bupati, keraton, dan sistem upeti—sebagai penyebab utama kemiskinan rakyat dan stagnasi sosial. Ia melihat bahwa:
- Para bangsawan hidup mewah dari kerja paksa rakyat desa.
- Tidak ada kepemilikan tanah individu; semua tanah dianggap milik raja atau elite lokal.
- Rakyat tidak memiliki hak hukum, hanya kewajiban dan beban.
Sebagai gantinya, Raffles memperkenalkan konsep-konsep liberal seperti kepemilikan individu atas tanah, pajak berdasarkan hasil nyata (bukan upeti tetap), dan penghapusan kerja rodi. Ia mencoba menjadikan negara sebagai pengatur kontrak sosial, bukan sebagai pelanjut dominasi bangsawan atas petani.
3. Modernisasi sebagai Alat Emansipasi
Anti-feodalisme Raffles tidak hanya bersifat moral, tetapi juga terhubung dengan agenda modernisasi sosial. Ia percaya bahwa:
- Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi pasar akan memajukan masyarakat pribumi.
- Sistem tradisional yang tidak fleksibel harus dirombak agar tidak menghambat pertumbuhan dan kemajuan.
- Modernisasi bukan untuk menggantikan budaya lokal, tetapi untuk menghilangkan struktur yang tidak adil dan tidak efisien.
Dalam The History of Java (1817), Raffles menulis dengan nada yang sangat kritis terhadap penguasa feodal, namun juga dengan kekaguman terhadap kebudayaan dan intelektualitas Jawa. Ini mencerminkan keyakinannya bahwa masyarakat Jawa bisa maju, jika dibebaskan dari beban struktur sosial lama yang menindas.
Dengan orientasi seperti ini, Raffles menjadi figur kolonial yang unik dan paradoksal: seorang pejabat imperialis yang ingin membebaskan koloni dari bentuk-bentuk lama perbudakan, monopoli, dan feodalisme. Meskipun pada akhirnya ia tetap beroperasi dalam kerangka penjajahan, niat dan upaya Raffles untuk menciptakan tatanan kolonial yang lebih adil membuatnya dikenang secara berbeda dari penguasa kolonial lain pada masanya.
Politik Inggris di Asia
Posisi Inggris dalam Perang Napoleon dan Perebutan Koloni Belanda
Untuk memahami latar belakang kehadiran Inggris di Jawa dan penunjukan Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur, kita harus melihat dulu dinamika global awal abad ke-19, khususnya posisi Inggris dalam Perang Napoleon (1803–1815). Dalam perang ini, Inggris menjadi kekuatan utama dalam koalisi anti-Prancis yang berusaha menghentikan ambisi ekspansionis Napoleon Bonaparte. Salah satu strategi utama Inggris dalam menghadapi Prancis adalah merebut dan mengamankan wilayah-wilayah koloni yang berada di bawah pengaruh atau kontrol Prancis, termasuk koloni Belanda.
1. Belanda sebagai Negara Vasal Kekaisaran Prancis
Setelah pendudukan Prancis atas Belanda pada 1795, negeri itu berubah menjadi Republik Batavia, dan kemudian menjadi Kerajaan Belanda (1806) yang dipimpin oleh Louis Bonaparte, adik Napoleon. Artinya, semua koloni Belanda secara efektif berada di bawah orbit kekuasaan Prancis, termasuk Hindia Belanda (Jawa dan sekitarnya). Bagi Inggris, ini menjadikan koloni Belanda sebagai target sah dalam perang global melawan Prancis, karena dinilai sebagai potensi ancaman militer dan ekonomi.
2. Strategi Inggris: Dominasi Jalur Laut dan Perdagangan Global
Sebagai kekuatan maritim terkuat saat itu, Inggris memusatkan kekuatannya pada penguasaan jalur laut dan pelabuhan-pelabuhan strategis. Tujuannya:
- Memutus rantai logistik dan suplai Prancis serta sekutunya.
- Mengamankan jalur perdagangan rempah-rempah dan komoditas Asia (seperti lada, teh, gula, kopi) dari dominasi musuh.
- Menguasai pusat-pusat dagang dan pelabuhan penting seperti Melaka, Ceylon (Sri Lanka), dan tentunya, Batavia di Jawa.
Sebagian besar operasi ini dilakukan melalui East India Company (EIC), yang bukan hanya korporasi dagang, tetapi juga kekuatan militer dan administratif Inggris di kawasan Asia.
3. Target Utama: Hindia Belanda
Dalam konteks ini, Jawa menjadi target utama militer Inggris di Asia Tenggara karena:
- Letaknya yang strategis di jalur perdagangan antara Samudera Hindia dan Pasifik.
- Statusnya sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi Belanda di Timur.
- Potensi ekonominya yang sangat besar sebagai produsen bahan pangan dan rempah-rempah.
Maka pada tahun 1811, Inggris melancarkan ekspedisi militer ke Jawa, yang dikenal sebagai Java Expedition. Ekspedisi ini dipimpin oleh Sir Samuel Auchmuty dan didukung oleh pasukan dari India (termasuk tentara Sepoy) serta armada laut yang kuat. Dalam waktu singkat, pasukan Belanda yang dipimpin Jan Willem Janssens berhasil dikalahkan, dan Batavia jatuh ke tangan Inggris pada bulan Agustus 1811.
4. Inggris Tidak Berniat Menjajah Permanen
Meskipun Inggris berhasil menguasai Jawa, niat mereka bukan untuk menjadikannya koloni permanen. Tujuan utamanya adalah:
- Melemahkan kekuatan Belanda–Prancis selama perang berlangsung.
- Mengamankan kepentingan dagang Inggris di wilayah Asia.
- Menjaga stabilitas regional agar tidak jatuh ke pengaruh Prancis.
Dengan latar ini, ditunjuklah Thomas Stamford Raffles untuk memimpin pemerintahan sementara di Jawa, dengan mandat untuk menjaga stabilitas, mengamankan ekonomi, dan—jika mungkin—melakukan reformasi administratif. Raffles tidak diberi waktu lama, namun ia justru menggunakan kesempatan tersebut untuk menguji ide-ide reformisnya di atas tanah yang baru saja ditaklukkan.
Dalam konteks inilah, pemerintahan Raffles di Jawa menjadi bagian dari strategi global Inggris untuk membendung pengaruh Prancis, sekaligus menjadi eksperimen awal dalam model kolonialisme liberal yang berbasis pada keteraturan, data, dan perdagangan bebas.
Strategi Inggris di Asia Tenggara: Dominasi Jalur Perdagangan dan Pengaruh atas Nusantara
Pada awal abad ke-19, Asia Tenggara menjadi kawasan strategis utama dalam perebutan pengaruh antara kekuatan kolonial Eropa, terutama Inggris, Belanda, dan Prancis. Bagi Inggris, kawasan ini bukan hanya sumber kekayaan alam—terutama rempah-rempah, gula, kopi, dan tekstil tropis—tetapi juga simpul penting dalam jalur perdagangan maritim global yang menghubungkan India, Tiongkok, dan Eropa. Dalam konteks inilah, strategi Inggris di Asia Tenggara dirancang bukan semata untuk pendudukan militer, melainkan untuk mengamankan dominasi jalur laut, pelabuhan dagang, dan pengaruh politik atas kerajaan-kerajaan lokal, termasuk di Nusantara.
1. Strategi Jalur Laut: Menguasai Titik-Titik Kunci Perdagangan
Sebagai kekuatan maritim terdepan pada masa itu, Inggris menerapkan pendekatan “kontrol titik” (choke point strategy) di Asia Tenggara. Tujuan utama mereka adalah:
- Menguasai selat dan pelabuhan strategis, seperti Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
- Merebut dan mempertahankan kota dagang utama: Penang, Melaka, Singapura (yang baru didirikan 1819), serta Batavia dan Surabaya secara temporer.
- Menjaga keamanan armada dagang Inggris dari serangan musuh atau gangguan politik lokal.
Dalam konteks ini, pendudukan Jawa pada 1811 adalah bagian dari strategi menyeluruh untuk mengamankan rute dari India ke Tiongkok, sekaligus mencegah Belanda (dan Prancis) menggunakan Jawa sebagai pangkalan militer dan ekonomi.
2. Pendekatan Terhadap Nusantara: Kooptasi daripada Penaklukan Langsung
Berbeda dengan Belanda yang cenderung membangun sistem administrasi langsung dan berbasis kerja paksa di wilayah kekuasaannya, Inggris dalam banyak kasus mengedepankan kooptasi elite lokal dan kontrak politik. Di berbagai wilayah Nusantara, strategi Inggris mencakup:
- Membangun aliansi dengan sultan-sultan lokal, seperti di Riau, Palembang, dan Aceh.
- Menawarkan perjanjian dagang dan perlindungan militer sebagai pengganti dominasi langsung.
- Menggunakan pendekatan diplomasi dagang, dengan memanfaatkan East India Company sebagai representasi kekuasaan Inggris.
Meski tidak sepenuhnya menghindari kekuatan militer, Inggris lebih fleksibel dalam membangun jaringan pengaruh yang tersebar, dan tidak selalu mengambil alih secara permanen wilayah yang mereka duduki. Pendekatan ini memungkinkan Inggris untuk mengelola wilayah luas dengan biaya administrasi rendah, dan tanpa mengganggu stabilitas politik lokal secara drastis.
3. Jawa sebagai Pusat Eksperimen Administratif dan Ekonomi
Pendudukan Jawa antara 1811–1816 memberikan Inggris kesempatan unik untuk bereksperimen dengan model pemerintahan kolonial baru. Thomas Stamford Raffles ditunjuk tidak hanya untuk menjaga ketertiban, tetapi juga untuk:
- Menghapus sistem lama warisan VOC dan Daendels yang dianggap korup dan represif.
- Menerapkan sistem ekonomi terbuka dan hukum rasional yang selaras dengan prinsip liberalisme Inggris.
- Melakukan pemetaan sosial, demografi, dan ekonomi sebagai dasar bagi perencanaan jangka panjang.
Dalam hal ini, strategi Inggris di Jawa bukan hanya untuk meraup keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga sebagai ujian awal terhadap model kolonialisme berbasis modernitas, data, dan prinsip pasar bebas. Jawa menjadi semacam laboratorium pemerintahan kolonial baru, di mana Inggris mencoba menciptakan tatanan administratif yang efisien dan berorientasi pada produksi.
4. Peran Strategis Raffles dalam Memperluas Pengaruh Inggris
Thomas Stamford Raffles tidak hanya bertindak sebagai administrator di Jawa, tetapi juga sebagai arsitek ekspansi pengaruh Inggris di Asia Tenggara. Ia memiliki pandangan luas tentang pentingnya kawasan ini bagi masa depan kekaisaran Inggris. Setelah masa jabatannya di Jawa berakhir, Raffles berperan penting dalam:
- Pendirian Singapura pada tahun 1819, sebagai pelabuhan bebas dan pusat dagang regional.
- Mendorong kajian dan pelestarian budaya Asia, untuk memperkuat posisi Inggris sebagai penguasa yang “beradab” dan memahami masyarakat lokal.
- Menyusun strategi agar Inggris dapat menggantikan peran Belanda sebagai kekuatan dominan di kawasan Nusantara.
Dengan demikian, strategi Inggris di Asia Tenggara selama masa Raffles merupakan perpaduan antara kekuatan militer, diplomasi dagang, dan reformasi administratif, yang bertujuan membangun dominasi jangka panjang atas jalur perdagangan dan pengaruh politik di kawasan. Jawa, sebagai pusat eksperimen, menjadi titik krusial dalam agenda ini—dan pemerintahan Raffles menjadi momentum penting dalam proses transformasi kolonialisme dari gaya lama ke gaya baru yang lebih berbasis pada logika ekonomi dan rasionalitas birokrasi.
Perbedaan Pendekatan Inggris vs Belanda dalam Administrasi Kolonial
Selama masa kolonial di Asia, Inggris dan Belanda sama-sama menjadi kekuatan imperialis yang memperebutkan wilayah dan sumber daya. Namun, cara mereka mengelola koloni berbeda secara signifikan dalam hal struktur pemerintahan, hubungan dengan masyarakat lokal, pendekatan ekonomi, dan visi jangka panjang. Perbedaan ini terlihat paling nyata saat Inggris menguasai Jawa (1811–1816) dan membandingkan pendekatan Thomas Stamford Raffles dengan warisan VOC dan kebijakan Daendels sebelumnya.
Berikut ini adalah beberapa aspek utama yang membedakan pendekatan kolonial Inggris dan Belanda:
1. Sistem Administrasi: Sentralistik vs Desentralistik Berkontrak
- Belanda (terutama warisan VOC dan Daendels):
- Mengembangkan sistem administrasi sentralistik militeristik, dengan kekuasaan besar di tangan Gubernur Jenderal.
- Banyak bergantung pada perantara lokal, seperti bupati, raja bawahan, dan kepala adat, untuk mengelola penduduk.
- Sistem ini menciptakan struktur semi-feodal, di mana elite lokal diberi kekuasaan luas, tetapi tetap tunduk pada Belanda.
- Inggris (Raffles):
- Menerapkan struktur yang lebih terbuka dan langsung, dengan niat menghapus peran elite lokal tradisional yang dianggap korup dan eksploitatif.
- Mengedepankan sistem kontrak langsung antara negara dan rakyat, terutama dalam urusan tanah dan pajak.
- Mendorong birokrasi berbasis merit dan hukum, bukan berdasarkan keturunan atau warisan jabatan.
2. Sistem Ekonomi: Monopoli vs Liberalisasi Pasar
- Belanda:
- VOC dan pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem monopoli dagang yang ketat.
- Komoditas tertentu seperti rempah-rempah, kopi, dan gula dikontrol penuh oleh negara; rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor.
- Perdagangan dibatasi untuk pedagang resmi dan melalui pelabuhan tertentu saja.
- Inggris:
- Raffles menghapus monopoli dan membuka sistem perdagangan bebas, sesuai dengan prinsip liberalisme ekonomi.
- Pelabuhan Jawa dibuka untuk pedagang asing dari berbagai negara.
- Petani diberi kebebasan dalam menentukan tanaman, meskipun dalam praktiknya belum sepenuhnya terwujud karena keterbatasan infrastruktur.
3. Sistem Tenaga Kerja: Rodi vs Kontrak
- Belanda:
- Mengandalkan kerja paksa (rodi) untuk pembangunan infrastruktur dan produksi pertanian.
- Sistem tanam paksa berkembang dari praktik kerja paksa VOC dan diperkuat oleh Daendels.
- Rakyat tidak menerima upah, dan kewajiban kerja diwariskan secara turun-temurun.
- Inggris:
- Raffles secara resmi menghapus kerja rodi, menggantinya dengan sistem kerja upahan atau kontrak sewa tanah.
- Walaupun pelaksanaannya tidak selalu ideal, secara prinsip ini merupakan langkah awal menuju penghormatan terhadap hak buruh.
- Perubahan ini juga mengubah posisi rakyat dari objek kekuasaan menjadi subjek ekonomi.
4. Pendekatan terhadap Kebudayaan Lokal
- Belanda:
- Cenderung bersikap ambivalen terhadap budaya lokal—terkadang mengeksploitasi, terkadang menoleransi.
- Fokus pada stabilitas dan kepatuhan, bukan pemahaman budaya.
- Pengetahuan tentang budaya lokal sering dimonopoli oleh segelintir orientalis atau pendeta.
- Inggris:
- Raffles dan sebagian reformis Inggris menunjukkan ketertarikan besar terhadap kebudayaan lokal, arkeologi, dan sejarah.
- Mendorong pelestarian situs budaya seperti Candi Borobudur dan Prambanan.
- Menulis dan menerbitkan karya ilmiah seperti The History of Java sebagai bentuk dokumentasi ilmiah dan apresiasi terhadap masyarakat lokal.
5. Prinsip Pemerintahan: Otoritarianisme vs Rasionalisme Liberal
- Belanda (VOC–Daendels):
- Pemerintahan berbasis kekuasaan koersif, militeristik, dan sering kali sewenang-wenang.
- Penguasa lokal digunakan sebagai alat kontrol politik dan ekonomi.
- Masyarakat pribumi dianggap sebagai obyek kekuasaan yang harus diatur dan diawasi.
- Inggris (Raffles):
- Memperkenalkan unsur rasionalisme dalam birokrasi, seperti pendataan, sensus, survei agraria.
- Menekankan kepatuhan hukum, efisiensi, dan kebebasan ekonomi.
- Melihat rakyat bukan hanya sebagai sumber kerja, tetapi juga sebagai bagian dari sistem ekonomi yang perlu diberdayakan.
Perbedaan Dua Model Kolonialisme
Perbedaan pendekatan Inggris dan Belanda menunjukkan dua model kolonialisme:
- Belanda mewakili model eksploitatif klasik, dengan penekanan pada stabilitas, kontrol elite, dan ekstraksi sumber daya.
- Inggris mencoba menerapkan model reformis-liberal, yang walaupun tetap kolonial dan imperialistik, menawarkan ruang bagi pembaruan sosial dan administratif.
Namun, penting dicatat bahwa kedua model ini tetap berdiri di atas fondasi penjajahan, dan perbedaan tersebut lebih mencerminkan gaya pengelolaan kekuasaan ketimbang penghapusan kolonialisme itu sendiri.
Kebijakan Reformis Raffles
A. Liberalisasi Ekonomi
Salah satu tonggak paling menonjol dari masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles di Jawa (1811–1816) adalah penerapan liberalisasi ekonomi—sebuah kebijakan yang secara tegas memutuskan warisan monopoli dan restriksi perdagangan kolonial ala VOC dan Daendels. Sebagai penganut liberalisme klasik Inggris, Raffles melihat sistem ekonomi kolonial Belanda sebagai sumber stagnasi, ketimpangan, dan ketidakadilan struktural yang harus dihapuskan secara menyeluruh.
1. Penghapusan Monopoli Dagang Ala VOC dan Daendels
Selama dua abad, VOC mengendalikan hampir seluruh aspek perdagangan di Nusantara: dari ekspor rempah-rempah hingga kontrol atas jalur pelayaran dan penetapan harga komoditas. Praktik ini diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda setelah pembubaran VOC pada 1799, termasuk oleh Daendels yang meskipun bersifat militeristik, tetap mempertahankan struktur dagang yang eksklusif dan sentralistik.
Raffles memandang sistem ini sebagai penghambat dinamika ekonomi dan eksploitasi terang-terangan terhadap penduduk lokal. Maka, segera setelah menjabat sebagai Letnan Gubernur, ia membubarkan bentuk-bentuk monopoli negara, termasuk:
- Monopoli atas penjualan garam, lada, dan kopi.
- Sistem penanaman wajib tanaman ekspor tertentu.
- Hak eksklusif pedagang-pedagang Belanda atas jalur dan pelabuhan tertentu.
Dengan langkah ini, ia membuka jalan bagi tumbuhnya pasar bebas di Jawa dan memungkinkan petani maupun pedagang lokal menjual hasilnya secara langsung di pasar terbuka.
2. Pembukaan Pelabuhan untuk Perdagangan Bebas
Langkah selanjutnya dari kebijakan liberalisasi ekonomi Raffles adalah membuka pelabuhan-pelabuhan utama di Jawa—terutama Batavia, Semarang, Surabaya, dan Pasuruan—bagi semua bangsa dan perusahaan dagang internasional, tanpa diskriminasi. Pelabuhan yang sebelumnya dikunci oleh regulasi ketat ala VOC kini menjadi:
- Pusat transaksi antara pedagang lokal dan asing (termasuk Inggris, Tionghoa, India, dan Arab).
- Tempat keluar-masuk barang tanpa hambatan monopoli.
- Jalur perdagangan rempah-rempah dan produk pertanian yang lebih fleksibel.
Raffles yakin bahwa kompetisi pasar bebas akan mendorong peningkatan produksi, efisiensi, dan kemakmuran, serta menciptakan iklim dagang yang lebih sehat. Ia juga menetapkan sistem bea cukai yang lebih transparan untuk menghindari pungutan liar dan praktik korupsi.
3. Upaya Menarik Pedagang Asing dan Investor
Untuk memperkuat basis ekonomi liberal, Raffles juga aktif dalam menarik investor dan pedagang asing ke Jawa. Ia:
- Menyebarkan informasi tentang potensi pertanian dan sumber daya alam Jawa ke kalangan pengusaha Inggris dan India.
- Menyediakan jaminan hukum dan keamanan bagi pedagang asing.
- Menawarkan insentif dan kemudahan regulasi kepada mereka yang ingin membuka usaha atau menjalin kontrak dagang di wilayah kekuasaan Inggris di Jawa.
Dalam pidato dan tulisan-tulisannya, Raffles menekankan bahwa Jawa memiliki potensi besar sebagai pusat dagang internasional yang hanya perlu dibebaskan dari struktur kolonial lama yang kaku dan eksploitatif. Ia ingin menjadikan Jawa seperti India dan Singapura: terbuka, kompetitif, dan modern.
Evaluasi Awal: Ambisi vs Realitas
Walaupun gagasan liberalisasi ekonomi ini progresif dan sesuai dengan semangat zaman, pelaksanaannya tidak selalu berjalan lancar:
- Banyak elite lokal yang kehilangan keuntungan dari sistem lama menolak perubahan.
- Infrastruktur perdagangan (jalan, pelabuhan, sistem keuangan) masih sangat terbatas.
- Kurangnya waktu dan kestabilan politik membuat sistem ini belum sempat menancap kuat sebelum Inggris menyerahkan kembali Jawa ke Belanda pada 1816.
Namun demikian, langkah Raffles dalam membongkar fondasi ekonomi kolonial berbasis monopoli menandai upaya awal untuk menjadikan perdagangan di Jawa lebih terbuka dan rasional, sekaligus menempatkan masyarakat lokal sebagai pelaku ekonomi, bukan hanya objek eksploitasi.
B. Penghapusan Kerja Paksa (Rodi)
Salah satu reformasi sosial paling mendasar yang dilakukan Thomas Stamford Raffles selama masa pemerintahannya di Jawa adalah penghapusan kerja paksa atau rodi, sebuah sistem eksploitasi tenaga kerja yang telah berlangsung sejak zaman VOC dan mencapai puncaknya di bawah Daendels. Bagi Raffles, kerja rodi bukan hanya sistem ekonomi yang tidak efisien, tetapi juga merupakan bentuk perbudakan terselubung yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip liberalisme modern.
1. Kritik Raffles terhadap Kerja Rodi sebagai Bentuk Perbudakan Terselubung
Dalam pandangan Raffles, kerja rodi adalah warisan sistem kolonial feodal yang:
- Memperbudak rakyat pribumi melalui kewajiban kerja tanpa bayaran.
- Memperkaya segelintir elite lokal dan pejabat kolonial dengan mengorbankan petani dan rakyat kecil.
- Merusak moral dan semangat kerja masyarakat karena tidak memberi imbalan yang adil.
Ia menulis dalam berbagai surat dan laporan bahwa sistem kerja rodi bukan saja menindas, tetapi juga tidak produktif dan menghambat kemajuan ekonomi. Rakyat dipaksa membangun jalan, benteng, dan istana tanpa kompensasi, sering kali dalam kondisi kerja yang sangat buruk, yang menyebabkan ribuan kematian seperti yang terjadi saat pembangunan Jalan Raya Pos di masa Daendels.
Raffles menilai sistem seperti ini tidak dapat diterima dalam kerangka pemerintahan modern dan rasional. Ia percaya bahwa tenaga kerja harus dihargai dan dilibatkan dalam kontrak sosial yang adil, bukan dijadikan alat kekuasaan tanpa hak.
2. Penggantian Sistem Kerja Paksa dengan Sistem Kontrak dan Upah
Sebagai gantinya, Raffles memperkenalkan sistem kerja baru yang didasarkan pada dua prinsip utama:
- Pembayaran upah atas kerja, meskipun masih dalam bentuk sederhana.
- Kontrak kerja atau sewa tanah antara rakyat dan negara sebagai pengganti kewajiban kolektif tanpa kompensasi.
Melalui sistem sewa tanah (land rent system), Raffles mendorong agar rakyat menjadi pemilik atau penyewa sah atas lahan yang mereka garap, dan sebagai gantinya mereka membayar pajak atau memberikan sebagian hasil panen kepada pemerintah. Hal ini bertujuan:
- Membangun rasa tanggung jawab petani atas tanah yang mereka kelola.
- Menghapus dominasi para bupati atau pejabat lokal yang sering memaksakan kerja rodi.
- Mendorong munculnya kelas petani kecil yang mandiri secara ekonomi.
Dalam beberapa wilayah, Raffles juga mengatur agar proyek-proyek publik seperti perbaikan jalan dan pembangunan infrastruktur menggunakan tenaga kerja kontrak yang dibayar, bukan lagi rakyat yang dipaksa bekerja secara kolektif.
3. Tantangan dan Resistensi Lokal atas Perubahan Ini
Meskipun gagasan penghapusan kerja rodi disambut baik oleh sebagian kalangan, dalam praktiknya kebijakan ini menghadapi banyak hambatan:
- Elite lokal (bupati dan bangsawan) menolak keras kebijakan ini karena menghilangkan sumber kekuasaan dan pendapatan mereka. Bagi mereka, kerja paksa adalah bentuk legitimasi sosial dan ekonomi dalam struktur tradisional Jawa.
- Pejabat kolonial Belanda yang masih bertahan di beberapa wilayah juga tidak kooperatif, karena kebijakan baru dianggap melemahkan struktur birokrasi lama yang sudah mereka bangun selama puluhan tahun.
- Kurangnya infrastruktur administratif dan logistik membuat sistem kontrak dan pembayaran upah sulit diterapkan secara merata di seluruh Jawa.
- Di beberapa wilayah, rakyat sendiri belum memahami konsep kerja kontrak dan kepemilikan lahan individu, sehingga menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran, terutama dalam masyarakat agraris yang terbiasa dengan sistem komunal atau komando elite.
Raffles pun menyadari bahwa reformasi ini terlalu besar untuk diselesaikan dalam waktu singkat dan dalam situasi politik yang tidak stabil. Namun ia tetap menekankan bahwa penghapusan kerja paksa adalah fondasi penting bagi terciptanya sistem kolonial yang lebih manusiawi dan efisien.
Kebijakan Raffles dalam menghapus kerja rodi merupakan langkah awal menuju transformasi hubungan negara dengan rakyat di koloni, dari yang sebelumnya berbasis kekuasaan koersif menjadi hubungan kontraktual. Meskipun pelaksanaannya terbatas dan menuai resistensi, gagasan ini mencerminkan keberpihakan Raffles terhadap prinsip kemanusiaan dan efisiensi, yang sangat jarang ditemui dalam praktik kolonial saat itu. Ia membuka wacana baru tentang bagaimana tenaga kerja pribumi seharusnya diposisikan—bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak dan potensi ekonomi.
C. Sensus dan Survei Penduduk
Sebagai bagian dari upaya modernisasi administrasi dan pengelolaan ekonomi kolonial secara rasional, Thomas Stamford Raffles melaksanakan sensus besar-besaran dan survei sosial-ekonomi selama masa pemerintahannya di Jawa (1811–1816). Ini adalah salah satu proyek statistik dan demografi terbesar pertama yang pernah dilakukan di Nusantara dan menjadi tonggak dalam penciptaan negara kolonial berbasis data.
1. Pelaksanaan Sensus Besar-Besaran Pertama di Jawa
Sebelum masa Raffles, tidak pernah ada usaha sistematis untuk mencatat jumlah penduduk atau menyusun informasi sosial secara menyeluruh. Data yang digunakan oleh VOC dan pemerintah kolonial sebelumnya bersifat parsial, tidak akurat, dan bergantung pada laporan pejabat lokal yang sering manipulatif.
Raffles, yang terinspirasi oleh tradisi statistik Inggris dan India, memandang bahwa:
- Pemerintahan yang efektif membutuhkan data aktual mengenai jumlah penduduk, lokasi pemukiman, dan distribusi sumber daya manusia.
- Sensus bukan hanya alat kontrol, tetapi juga instrumen pengembangan kebijakan yang berdasarkan realitas lapangan.
Maka ia memerintahkan pelaksanaan sensus menyeluruh di wilayah Jawa yang berada di bawah kontrol Inggris, dengan melibatkan residen, asisten residen, dan penguasa lokal dalam pengumpulan data.
2. Pendataan Jumlah Penduduk, Status Sosial, dan Mata Pencaharian
Sensus dan survei yang dilaksanakan di era Raffles mencakup beragam informasi penting, di antaranya:
- Jumlah penduduk di desa, distrik, dan kabupaten.
- Stratifikasi sosial, termasuk jumlah bangsawan, petani, budak, dan pengrajin.
- Jenis mata pencaharian, seperti petani padi, penggarap kebun kopi, penenun, tukang kayu, pedagang, hingga nelayan.
- Luas dan kualitas tanah pertanian serta jenis tanaman yang dibudidayakan.
- Jumlah rumah, ternak, alat produksi, dan ketersediaan air atau jalan.
Pendataan ini dilakukan secara manual dan disusun dalam laporan-laporan wilayah, yang kemudian dikompilasi oleh kantor Letnan Gubernur di Batavia.
3. Tujuan Administratif dan Pemetaan Potensi Ekonomi
Sensus dan survei yang dilakukan Raffles memiliki tujuan strategis dan praktis dalam membentuk model kolonial baru:
- Administratif: Raffles ingin membebaskan pemerintahan dari ketergantungan pada elite lokal, sehingga dengan data langsung dari lapangan, pemerintah pusat dapat menyusun sistem pajak, hukum, dan ketenagakerjaan yang lebih obyektif dan efisien.
- Ekonomi: Data hasil survei digunakan untuk menghitung potensi produksi pertanian, jenis komoditas unggulan tiap wilayah, dan menetapkan besaran sewa tanah secara proporsional. Ini menjadi dasar sistem land rent yang ingin ia terapkan menggantikan upeti dan kerja paksa.
- Sosial dan Militer: Dengan mengetahui jumlah penduduk laki-laki dewasa dan distribusi geografis, Raffles juga dapat mengorganisasi pertahanan dan pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang rawan konflik atau pemberontakan.
Selain itu, data ini juga digunakan untuk menyusun laporan-laporan penting tentang keadaan sosial-budaya masyarakat Jawa, yang kemudian menjadi bahan utama dalam karya besar Raffles, The History of Java (1817).
Warisan Jangka Panjang
Walau tidak semua datanya sempurna, sensus dan survei penduduk yang dilakukan di masa Raffles menjadi tonggak awal lahirnya tradisi statistik kolonial modern di Indonesia. Metode dan kategorisasi sosial yang diperkenalkan saat itu kelak diadopsi dan disempurnakan oleh pemerintah Belanda pasca-1816, dan bahkan menjadi landasan metode sensus zaman Hindia Belanda abad ke-19.
Sensus ini juga mencerminkan perubahan cara pandang negara terhadap rakyat: dari sekadar objek kekuasaan dan pajak, menjadi unit ekonomi dan sosial yang dapat dihitung, dikelola, dan dikembangkan. Ini adalah bagian penting dari upaya Raffles menciptakan negara kolonial berbasis rasionalitas dan data.
D. Reformasi Agraria dan Sistem Pajak
Selain menghapus kerja paksa dan memodernisasi birokrasi kolonial, Thomas Stamford Raffles juga melancarkan reformasi agraria dan sistem perpajakan yang menjadi inti dari visinya untuk menciptakan koloni yang rasional, adil, dan produktif secara ekonomi. Salah satu langkah paling radikal yang ia perkenalkan adalah percobaan sistem sewa tanah (land rent system)—sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk menggantikan sistem upeti dan penguasaan lahan ala feodal yang selama ini diberlakukan oleh VOC dan elite lokal.
1. Percobaan Sistem Sewa Tanah (Land Rent) ala Inggris
Sistem sewa tanah yang diperkenalkan Raffles merupakan adaptasi dari kebijakan serupa yang diterapkan Inggris di India (khususnya di Bengal dan Madras), yang dikenal sebagai Ryotwari System. Dalam skema ini, Raffles menetapkan bahwa:
- Tanah dianggap milik negara, bukan milik raja atau elite lokal.
- Petani sebagai penyewa langsung tanah kepada negara, membayar pajak tahunan berdasarkan hasil pertanian atau luas lahan.
- Pajak disesuaikan secara proporsional dengan jenis tanah, iklim, dan tingkat produktivitas.
Tujuan dari sistem ini adalah untuk menghapus peran perantara seperti bupati dan pejabat lokal yang selama ini menarik pajak berlapis dan mengeksploitasi rakyat kecil, sekaligus menciptakan hubungan langsung antara pemerintah dan petani.
Raffles juga meyakini bahwa dengan sistem ini, motivasi petani akan meningkat, karena mereka tahu bahwa hasil kerjanya tidak lagi disita secara sewenang-wenang oleh elite, melainkan cukup membayar sewa yang ditentukan secara rasional.
2. Pengenalan Konsep Kepemilikan Individu atas Tanah (Belum Berhasil Sepenuhnya)
Lebih dari sekadar sistem pajak, Raffles ingin mengubah secara fundamental struktur agraria Jawa. Ia memperkenalkan konsep kepemilikan individu atas tanah, di mana petani:
- Memiliki hak pakai yang tetap atas lahan yang mereka garap.
- Dapat mengalihkan, mewariskan, atau menyewakan tanah tersebut kepada pihak lain.
- Tidak lagi bergantung pada izin dari bangsawan atau pejabat lokal.
Namun, upaya ini menghadapi hambatan besar, antara lain:
- Struktur sosial Jawa yang masih sangat kolektif dan komunal, sehingga konsep kepemilikan individual sulit diterima secara luas.
- Elite lokal dan bupati menolak keras karena kebijakan ini merongrong legitimasi kekuasaan mereka atas lahan dan tenaga kerja.
- Kurangnya dokumentasi dan sistem pengukuran tanah yang akurat membuat penerapan teknis kebijakan ini sulit diwujudkan di lapangan.
Dengan demikian, meskipun semangat reformasinya kuat, Raffles gagal menciptakan sistem agraria berbasis kepemilikan individu secara menyeluruh. Namun, usahanya menanamkan gagasan baru tentang hak atas tanah dan kedaulatan petani kelak memengaruhi perkembangan hukum agraria kolonial dan nasional pada masa-masa selanjutnya.
3. Perubahan Hubungan Negara–Petani dari Feodalistik ke Kontraktual
Reformasi agraria Raffles juga dimaksudkan untuk mengakhiri hubungan politik-ekonomi feodal yang selama ini mendominasi Jawa. Di bawah sistem lama:
- Petani tunduk kepada bupati, bukan kepada negara.
- Pajak, kerja paksa, dan panen disalurkan melalui pejabat lokal yang korup dan menindas.
- Tidak ada kontrak hukum atau standar pembayaran; semuanya berdasarkan relasi kekuasaan.
Dengan sistem land rent, Raffles berusaha membangun relasi kontraktual antara negara dan petani, yaitu:
- Negara sebagai pemilik tanah yang menyewakan lahan dengan nilai tertentu.
- Petani sebagai subjek hukum dan pelaku ekonomi yang punya hak dan kewajiban jelas.
- Pajak dibayar langsung ke kas negara, bukan ke tangan perantara.
Walau pelaksanaannya tidak merata dan berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (hanya lima tahun), pergeseran paradigma ini merupakan langkah revolusioner dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Ia menandai upaya awal membentuk negara kolonial modern yang mengelola tanah dan rakyatnya melalui sistem hukum dan ekonomi, bukan hanya melalui kekuasaan kekerasan.
Reformasi agraria dan sistem pajak yang dilakukan Raffles adalah refleksi dari semangat liberal dan rasionalisme kolonial awal abad ke-19. Meski terhambat oleh resistensi elite dan keterbatasan administratif, kebijakan ini menunjukkan usaha serius untuk mengubah struktur tanah dan pajak di Jawa menjadi lebih adil dan efisien, serta membuka jalan bagi pemikiran agraria modern di masa kolonial dan pascakolonial.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Dokumentasi
Selain reformasi administratif dan ekonomi, masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles di Jawa juga ditandai oleh keterlibatan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pelestarian budaya, dan dokumentasi sistematis mengenai sejarah dan masyarakat Jawa. Ini mencerminkan sisi lain dari pemikiran liberal Eropa abad ke-19, yaitu dorongan untuk memahami dan mengklasifikasikan dunia melalui kajian ilmiah dan pengumpulan pengetahuan sebagai bagian dari proyek kolonial.
1. Pendirian Lembaga Ilmiah dan Studi Sistematis tentang Jawa
Raffles menyadari bahwa untuk mengelola dan memahami Jawa secara rasional, diperlukan basis pengetahuan yang kuat tentang geografi, budaya, hukum adat, dan sejarah masyarakat lokal. Maka dari itu, ia mendorong:
- Pendirian Batavian Society of Arts and Sciences (didukung kembali sejak 1814), yang menjadi cikal bakal lembaga ilmiah dan museum di Indonesia.
- Pengumpulan data tentang flora, fauna, bahasa, manuskrip kuno, dan arsitektur tradisional.
- Penulisan laporan dan studi sistematis oleh pejabat Inggris dan ilmuwan lokal maupun asing.
Lembaga-lembaga ini kelak berkembang menjadi pusat studi Nusantara dan menyimpan banyak koleksi penting tentang warisan budaya Indonesia yang masih digunakan para sejarawan hingga kini.
2. Pelestarian Peninggalan Sejarah: Borobudur dan Prambanan
Salah satu kontribusi paling terkenal dari Raffles adalah penemuan kembali dan pelestarian awal situs-situs arkeologi penting di Jawa, terutama:
- Candi Borobudur (Magelang): Pada tahun 1814, atas laporan pejabat lokal H.C. Cornelius, Raffles mengirim tim untuk membersihkan dan mendokumentasikan reruntuhan Borobudur yang telah tertimbun tanah dan vegetasi selama berabad-abad.
- Candi Prambanan: Meski dalam kondisi lebih rusak, situs ini juga mulai diperhatikan dan digambarkan ulang.
Meskipun restorasi menyeluruh belum dilakukan pada masa Raffles, upayanya membuka mata dunia terhadap kekayaan arsitektur dan sejarah kuno Jawa. Ia memandang peninggalan ini bukan hanya sebagai objek kebudayaan, tetapi juga bukti kemajuan intelektual dan spiritual masyarakat Nusantara di masa lalu, yang menurutnya perlu dihargai dan dilestarikan.
3. Dokumentasi Besar: The History of Java (1817)
Karya monumental Raffles, The History of Java, yang terbit dua tahun setelah ia meninggalkan Jawa, merupakan:
- Buku ilmiah pertama yang ditulis dalam bahasa Inggris tentang sejarah, budaya, hukum, kesusastraan, agama, dan tatanan sosial masyarakat Jawa.
- Memuat peta, ilustrasi arsitektur, naskah kuno, dan deskripsi etnografi secara rinci.
- Ditulis dengan semangat “orientalis-reformis”—meskipun kolonial dalam kerangkanya, namun menunjukkan apresiasi mendalam terhadap kebudayaan lokal.
Karya ini memberi pengaruh besar terhadap kajian Asia Tenggara di Eropa, dan menjadi referensi utama bagi administratur, peneliti, dan sejarawan selama lebih dari satu abad.
4. Kajian Bahasa, Hukum Adat, dan Naskah Kuno
Selain benda fisik, Raffles juga tertarik pada:
- Bahasa Jawa dan Melayu—termasuk struktur gramatikal dan aksara.
- Hukum adat (customary law)—sebagai dasar perbandingan dengan hukum kolonial Inggris.
- Naskah kuno seperti babad, suluk, dan serat—yang ia kumpulkan dan kirim ke EIC dan museum di London.
Pendekatan ini menandai awal dari arsipisasi dan dokumentasi sistematis terhadap warisan intelektual pribumi, meskipun sering kali dilakukan dengan semangat imperialisme pengetahuan.
Bidang ilmu pengetahuan dan dokumentasi pada masa Raffles mencerminkan dimensi intelektual dari kolonialisme liberal, di mana pengetahuan digunakan tidak hanya sebagai alat penguasaan, tetapi juga sebagai jembatan pemahaman antara penguasa dan masyarakat lokal. Raffles bukan hanya administrator, tetapi juga etnografer, arkeolog, dan sejarawan yang membuka era baru dalam studi tentang Jawa dan Nusantara.
Meskipun tetap berada dalam kerangka kolonial, pendekatan ini memberikan warisan akademik dan budaya yang signifikan—baik berupa pelestarian situs sejarah, penerbitan naskah penting, maupun pembentukan lembaga ilmiah yang menjadi cikal bakal museum dan pusat studi di Indonesia modern.
Penulisan The History of Java (1817) sebagai Karya Etnografi dan Sejarah Awal Jawa
Salah satu warisan intelektual paling monumental dari Thomas Stamford Raffles adalah karyanya yang berjudul The History of Java, diterbitkan pada tahun 1817, dua tahun setelah ia meninggalkan Nusantara. Buku ini bukan hanya dokumentasi administratif, tetapi merupakan karya etnografi dan sejarah awal Jawa yang sangat penting dalam tradisi penulisan kolonial, sekaligus menjadi tonggak awal bagi kajian ilmiah tentang budaya dan masyarakat Nusantara.
1. Latar Belakang Penulisan
Setelah mengakhiri masa tugasnya sebagai Letnan Gubernur di Jawa (1811–1816), Raffles kembali ke Inggris dan membawa serta berbagai dokumen, peta, artefak, serta catatan etnografis. Ia kemudian menyusun bahan-bahan tersebut dalam bentuk buku dua jilid yang mencakup:
- Sejarah kerajaan-kerajaan Jawa.
- Struktur sosial dan politik masyarakat pribumi.
- Hukum adat dan kepercayaan tradisional.
- Sistem pertanian, mata pencaharian, dan teknologi lokal.
- Bahasa dan sastra Jawa.
- Candi-candi dan peninggalan arkeologis.
Tujuannya bukan hanya untuk menyebarluaskan informasi kepada publik Eropa, tetapi juga untuk membentuk pemahaman yang ilmiah dan sistematis tentang Jawa, yang sebelumnya dianggap eksotis dan misterius oleh dunia Barat.
2. Etnografi Awal: Upaya Memahami Masyarakat Jawa
Sebagai karya etnografi, The History of Java mencoba menyajikan potret menyeluruh tentang masyarakat Jawa, dengan pendekatan yang relatif mendalam untuk ukuran zamannya:
- Raffles mendeskripsikan stratifikasi sosial masyarakat Jawa: dari bangsawan, priyayi, hingga petani dan budak.
- Ia mencatat ritual, kepercayaan, dan praktik keagamaan, baik yang bercorak Hindu-Buddha, Islam, maupun animisme lokal.
- Ia juga memerhatikan adat pernikahan, pendidikan, sistem keluarga, dan peran perempuan.
Walau tetap ditulis dari perspektif kolonial dan Barat, Raffles berupaya menampilkan empati dan kekaguman terhadap kompleksitas budaya Jawa. Ia tidak hanya mengamati, tetapi juga menginterpretasi simbol-simbol budaya lokal sebagai bukti kecanggihan intelektual Nusantara.
3. Sejarah Awal Jawa: Narasi Dinasti dan Transformasi Sosial
Raffles juga menyusun sejarah dinasti-dinasti Jawa sejak zaman Hindu-Buddha hingga masa Islam. Ia banyak menggunakan:
- Naskah-naskah babad, seperti Babad Tanah Jawi, Serat Menak, dan kronik-kronik istana.
- Laporan-laporan lisan dari elite lokal.
- Catatan sejarah Belanda dan Portugis.
Dalam bagian sejarah ini, Raffles menekankan dua hal:
- Kejayaan masa lalu Jawa sebagai pusat kerajaan besar yang memiliki sistem politik, hukum, dan seni tinggi.
- Kemunduran yang terjadi akibat intervensi asing dan keruntuhan sistem tradisional, yang menurutnya perlu dikaji agar bisa direformasi.
Raffles bahkan menyusun kronologi kerajaan Jawa secara sistematis, menciptakan narasi linier tentang kebangkitan dan kejatuhan kekuasaan lokal. Ini menjadikan The History of Java sebagai buku sejarah Jawa tertua dalam bahasa Inggris yang mendokumentasikan warisan lokal dengan gaya ilmiah.
4. Ilustrasi, Peta, dan Artefak: Visualisasi Jawa untuk Dunia Barat
Karya Raffles juga dilengkapi dengan:
- Ilustrasi candi, tokoh, pakaian, dan alat musik yang digambar oleh seniman-seniman Inggris dan lokal.
- Peta-peta wilayah dan tata ruang kerajaan.
- Dokumentasi artefak dan benda-benda budaya (wayang, keris, batik, dll.).
Hal ini menjadikan The History of Java bukan hanya teks, tetapi juga produk visual kolonial, yang memperkenalkan Jawa ke mata dunia sebagai wilayah yang eksotis, beradab, dan penuh potensi intelektual.
5. Warisan Ilmiah dan Kontroversi
Sebagai karya awal kolonial, The History of Java memiliki warisan ambivalen:
- Positif: membuka cakrawala baru dalam studi Asia Tenggara; menjadi rujukan awal ilmuwan, sejarawan, dan arkeolog Barat tentang budaya dan sejarah Jawa.
- Negatif: mengandung bias orientalis dan asumsi superioritas Barat; Raffles terkadang menyederhanakan atau menyalahartikan sistem lokal karena keterbatasan sumber dan pemahaman.
Meski demikian, buku ini tetap menjadi tonggak penting dalam studi etno-historis Nusantara, dan banyak elemennya yang dikoreksi atau diperdalam oleh generasi akademisi berikutnya.
The History of Java adalah lebih dari sekadar laporan kolonial; ia merupakan upaya awal membangun arsip pengetahuan ilmiah tentang Nusantara, meski dalam kerangka kekuasaan. Melalui etnografi, sejarah, dan dokumentasi visual, Raffles menciptakan landasan bagi kajian budaya dan sejarah Jawa modern. Karya ini menegaskan bahwa meskipun kolonialisme membawa penindasan, ia juga melahirkan instrumen pengetahuan yang membentuk cara kita memahami masa lalu.
Dukungan Terhadap Arkeologi, Botani, Zoologi, dan Studi Budaya Lokal
Masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles di Jawa (1811–1816) tidak hanya ditandai oleh reformasi politik dan ekonomi, tetapi juga oleh dukungan aktif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan alam dan humaniora, terutama dalam bidang arkeologi, botani, zoologi, dan kebudayaan lokal. Raffles mewakili tipe penguasa kolonial yang terinspirasi oleh semangat Ilmu Pengetahuan Abad Pencerahan, di mana penguasaan atas suatu wilayah disertai dengan penguasaan pengetahuan tentang alam dan masyarakatnya.
1. Arkeologi: Awal Pelestarian dan Studi Candi di Jawa
Raffles adalah pelopor dalam kegiatan arkeologi modern di Jawa. Meskipun belum dalam kerangka arkeologi sistematis seperti masa Hindia Belanda abad ke-20, Raffles:
- Memerintahkan eksplorasi dan dokumentasi berbagai situs candi kuno, termasuk Borobudur, Prambanan, Gedong Songo, dan lain-lain.
- Menginstruksikan pembersihan vegetasi, penggambaran struktur, dan penulisan laporan, terutama oleh insinyur seperti H.C. Cornelius.
- Menganggap candi-candi tersebut sebagai bukti kejayaan dan peradaban tinggi masyarakat Jawa kuno, serta warisan sejarah yang layak dilestarikan.
Ini menandai awal kesadaran arkeologis dalam pemerintahan kolonial, dan menjadi landasan bagi pelestarian warisan budaya Indonesia modern.
2. Botani: Katalogisasi Flora Tropis Jawa
Raffles memiliki ketertarikan pribadi terhadap botani, dan mendukung penuh penelitian terhadap flora lokal Jawa. Ia:
- Memfasilitasi kerja para naturalist dan ahli botani dari Eropa, seperti William Jack dan Thomas Horsfield.
- Mendukung pembangunan kebun raya (precursor dari Kebun Raya Bogor) untuk keperluan observasi dan eksperimen tanaman tropis.
- Mendorong katalogisasi spesies tanaman, termasuk tanaman pangan, obat-obatan, dan pohon langka Nusantara.
Pengetahuan ini bukan hanya bersifat ilmiah, tetapi juga berkaitan dengan potensi ekonomi tanaman untuk pertanian kolonial dan perdagangan internasional.
3. Zoologi: Penelitian Fauna Nusantara
Di bidang zoologi, pemerintahan Raffles memberikan ruang bagi eksplorasi dan klasifikasi keanekaragaman hayati di Jawa dan sekitarnya. Ia mendukung:
- Studi tentang mamalia, burung, serangga, dan reptil khas Jawa yang belum dikenal luas di dunia Barat.
- Pembuatan ilustrasi ilmiah terhadap spesies endemik oleh pelukis-pelukis ilmiah seperti George Samuel Windsor Earl.
- Pengiriman spesimen ke museum dan institusi ilmiah di Inggris dan India.
Salah satu contoh warisan zoologi dari masa ini adalah penamaan Rhinoceros sondaicus (badak Jawa), yang mulai dikenal luas dalam literatur zoologi Eropa.
4. Studi Budaya Lokal: Bahasa, Hukum, dan Sastra
Selain ilmu alam, Raffles sangat tertarik pada budaya lokal Jawa, dan menganggapnya sebagai salah satu peradaban besar Asia. Ia mendukung:
- Studi dan penerjemahan naskah kuno seperti Serat Rama, Babad Tanah Jawi, dan Suluk.
- Pengumpulan kosakata dan tata bahasa Jawa dan Melayu, sebagai bagian dari upaya pemahaman administratif dan linguistik.
- Dokumentasi sistem hukum adat, upacara keagamaan, dan praktik kesenian tradisional seperti gamelan, wayang, dan batik.
Ia melihat pentingnya memahami budaya lokal bukan hanya sebagai pendekatan ilmiah, tetapi juga sebagai alat untuk mengatur dan menghormati struktur sosial masyarakat koloni.
Dukungan Raffles terhadap ilmu pengetahuan di bidang arkeologi, botani, zoologi, dan studi budaya lokal mencerminkan perpaduan antara semangat humanisme Eropa dan kepentingan kolonial. Di satu sisi, ia membuka gerbang bagi dokumentasi dan pelestarian awal terhadap kekayaan Nusantara; di sisi lain, aktivitas ilmiah ini berfungsi sebagai sarana mengontrol dan memahami tanah jajahan melalui pengetahuan yang terstruktur.
Warisan dari masa ini, baik berupa naskah, spesimen, gambar ilmiah, maupun institusi pengetahuan, menjadi fondasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia modern dan koleksi penting di museum-museum dunia.
Tantangan, Perlawanan, dan Keterbatasan Pemerintahan Raffles
Meskipun Thomas Stamford Raffles sering dipandang sebagai figur reformis dan modernis dalam sejarah kolonial Jawa, masa pemerintahannya (1811–1816) bukan tanpa hambatan. Banyak kebijakan progresif yang ia usung mendapat perlawanan keras, terutama dari kalangan elite lokal yang merasa kekuasaan dan privilese mereka terancam. Di sisi lain, berbagai keterbatasan struktural dan geopolitik juga membatasi efektivitas reformasinya. Bagian ini membahas dinamika tantangan yang dihadapi Raffles secara politik, sosial, dan administratif.
1. Konflik dengan Bangsawan Jawa dan Elite Lokal
Salah satu hambatan utama bagi keberhasilan program reformasi Raffles adalah penolakan dari para bupati, adipati, dan elite priyayi Jawa, yang selama ini menjadi pilar kekuasaan feodal dan sekaligus mitra strategis pemerintahan kolonial Belanda.
Beberapa sumber konflik antara Raffles dan elite lokal antara lain:
- Penghapusan kerja rodi membuat para bangsawan kehilangan sumber tenaga kerja murah untuk proyek pribadi dan kerajaan kecil mereka.
- Sistem sewa tanah (land rent) yang memberikan hubungan langsung antara petani dan negara merusak struktur patronase di mana bupati berperan sebagai perantara antara rakyat dan pemerintah kolonial.
- Pemberlakuan hukum pajak dan administrasi yang seragam melemahkan kekuasaan otonom bangsawan atas wilayahnya masing-masing.
Para elite tersebut merasa bahwa reformasi Raffles merupakan bentuk pengambilalihan kekuasaan secara langsung oleh pemerintah pusat kolonial, sehingga tidak hanya mengurangi kekuasaan ekonomi mereka, tetapi juga mengancam legitimasi sosial-budaya yang telah lama mereka bangun.
Sebagai akibatnya, di banyak daerah, bupati menolak kerja sama, memanipulasi laporan sensus, atau bahkan menghasut rakyat untuk tidak tunduk pada aturan baru. Ini membuat pelaksanaan reformasi administratif dan agraria berjalan tidak merata.
2. Masalah Anggaran dan Logistik dalam Menjalankan Reformasi
Selain perlawanan dari elite lokal, pemerintahan Raffles juga dibebani oleh kendala serius dalam bidang keuangan dan logistik, yang secara langsung menghambat pelaksanaan berbagai kebijakan reformis yang ambisius.
a. Minimnya Dana Operasional dari Pemerintah Inggris
Meskipun Jawa telah diambil alih oleh Inggris dari Belanda pada 1811, pulau ini bukanlah prioritas utama London, yang pada saat itu tengah terlibat dalam Perang Napoleon dan berbagai konflik kolonial di India. Akibatnya:
- Dukungan anggaran dari East India Company (EIC) sangat terbatas.
- Raffles harus membiayai sendiri sebagian besar reformasi, termasuk pendirian lembaga ilmiah, survei agraria, serta proyek pelestarian budaya.
- Ia juga tidak mendapat cukup dana untuk mengembangkan infrastruktur pendukung sistem baru, seperti jaringan jalan, kantor administrasi, atau sistem distribusi pajak yang efisien.
Akibatnya, banyak kebijakan yang hanya bisa diterapkan sebagian atau bersifat eksperimental, tanpa tindak lanjut yang memadai.
b. Ketergantungan pada Aparat Warisan Belanda dan Lokal
Untuk melaksanakan reformasi besar-besaran seperti sensus, sistem sewa tanah, dan penghapusan kerja rodi, Raffles sangat bergantung pada:
- Aparat birokrasi peninggalan VOC dan Daendels, yang sebagian besar masih terikat pada cara kerja lama dan tidak simpatik terhadap perubahan.
- Pejabat lokal (bupati, kepala desa), yang sering menolak, memperlambat, atau bahkan mensabotase pelaksanaan kebijakan baru.
Tanpa dukungan aparatur yang kuat, sistem reformasi Raffles tidak memiliki tulang punggung administratif, dan hasilnya kerap hanya tercatat dalam laporan, bukan dalam praktik lapangan.
c. Kurangnya Infrastruktur Pendukung
Penerapan sistem baru membutuhkan:
- Jaringan transportasi yang efisien untuk menghubungkan pusat dan daerah.
- Pusat data dan sistem pencatatan yang terstandar.
- Pelatihan pegawai baru yang memahami sistem hukum dan ekonomi berbasis kontrak, bukan sistem upeti.
Namun, semua itu tidak tersedia secara memadai. Sebagian besar desa masih terpencil, tidak terjangkau komunikasi cepat, dan masyarakatnya tidak terbiasa dengan sistem kepemilikan atau pembayaran pajak formal.
d. Ketidaksesuaian antara Desain Kebijakan dan Realitas Sosial Lokal
Banyak kebijakan Raffles merupakan adaptasi dari sistem Inggris atau India (seperti Ryotwari), yang tidak selalu cocok dengan struktur sosial-budaya Jawa, misalnya:
- Konsep kepemilikan tanah individu yang sulit diterapkan di masyarakat agraris yang komunal.
- Sistem pembayaran pajak tahunan yang tak sesuai dengan fluktuasi hasil panen dan musim, menyebabkan banyak petani terjerat utang atau tak mampu membayar.
Tanpa penyesuaian lokal yang memadai, reformasi tersebut kerap menemui kebuntuan administratif atau menimbulkan kebingungan di tingkat masyarakat.
Masalah anggaran dan logistik menjadi penghalang struktural paling serius bagi keberhasilan reformasi Raffles. Meskipun ia memiliki visi besar dan pendekatan ilmiah, tanpa sokongan dana, dukungan aparatur, dan kesiapan infrastruktur, banyak kebijakannya hanya tercatat sebagai eksperimen administratif yang belum berumur panjang. Hal ini menjelaskan mengapa banyak reformasi Raffles tidak berlanjut setelah Jawa kembali ke tangan Belanda pada 1816.
3. Ketergantungan pada Militer Inggris dan Tekanan dari British Raj (India)
Salah satu aspek yang kerap luput dari narasi populer tentang pemerintahan Thomas Stamford Raffles di Jawa adalah ketergantungannya yang tinggi pada kekuatan militer Inggris dan tekanan politik dari otoritas pusat di India, yakni British Raj yang berpusat di Kalkuta. Situasi ini menjadikan pemerintahannya secara struktural tidak otonom, melainkan sangat bergantung pada keputusan dan kebijakan dari luar Jawa.
a. Militer sebagai Tulang Punggung Pemerintahan
Ketika Inggris merebut Jawa dari Belanda pada 1811, mereka mengandalkan pasukan gabungan dari India (Sepoy) dan Inggris, dipimpin oleh Jenderal Sir Samuel Auchmuty. Setelah penguasaan berhasil, Raffles sebagai Letnan Gubernur:
- Tidak memiliki birokrasi sipil yang kuat, sehingga mengandalkan militer sebagai instrumen utama kontrol administratif.
- Menempatkan pejabat militer dalam jabatan sipil di berbagai daerah (Residen dan Asisten Residen), menciptakan struktur pemerintahan semi-militeristik.
- Bergantung pada kekuatan militer untuk meredam konflik, menjaga keamanan pedesaan, dan mendukung pelaksanaan kebijakan seperti reformasi pajak dan sensus.
Meskipun Raffles dikenal sebagai tokoh liberal, militer menjadi alat praktis yang tak terpisahkan dari pemerintahannya, menciptakan paradoks antara visi reformis dan praktik koersif di lapangan.
b. Tekanan dari British Raj di Kalkuta
Sebagai bagian dari koloni sementara di bawah kontrol East India Company (EIC), Jawa tidak berdiri sendiri secara politik. Segala keputusan strategis Raffles harus:
- Mendapat persetujuan dari Dewan Gubernur Jenderal di Kalkuta, yang pada saat itu lebih fokus pada konsolidasi kekuasaan di India daripada proyek-proyek eksperimental di Jawa.
- Berhadapan dengan skeptisisme dari pejabat EIC, yang memandang Jawa sebagai wilayah transisional dan tidak seharusnya dijadikan laboratorium reformasi.
- Menghadapi tekanan agar tidak membebani keuangan perusahaan, sehingga setiap kebijakan besar harus menunjukkan nilai ekonomis yang cepat, bukan idealisme jangka panjang.
Dalam banyak kesempatan, Raffles berkonflik secara halus dengan atasannya, karena ia menganggap pendekatan birokratik di India terlalu konservatif dan tidak memahami kompleksitas sosial-budaya Jawa.
c. Ketidakpastian Status Jawa: Koloni Tetap atau Sementara?
Jawa selama masa pendudukan Inggris dianggap sebagai:
- Wilayah pendudukan militer sementara yang akan dikembalikan ke Belanda bila kondisi Eropa memungkinkan.
- Aset strategis, bukan bagian organik dari imperium Inggris seperti India atau Ceylon.
Ketidakpastian ini membuat:
- Raffles tidak memiliki mandat jangka panjang untuk membangun sistem pemerintahan permanen.
- Banyak pejabat enggan terlibat serius dalam reformasi yang mereka anggap tak akan bertahan lama.
- Investasi jangka panjang dalam pendidikan, infrastruktur, dan lembaga sipil menjadi terbatas karena status hukum Jawa sebagai wilayah titipan.
Ketergantungan Raffles pada militer Inggris dan tekanan dari otoritas British Raj menciptakan batasan struktural terhadap ambisi reformisnya. Ia harus menyeimbangkan antara idealisme liberal, realitas administratif kolonial, dan tekanan geopolitik dari pusat kekuasaan kolonial yang lebih besar. Ini menjelaskan mengapa banyak kebijakan inovatifnya tidak berkelanjutan, dan kenapa setelah Jawa dikembalikan ke Belanda pada 1816, sebagian besar reformasi Raffles tidak dilanjutkan secara utuh.
4. Pemberontakan Lokal dan Ketidakpuasan terhadap Perubahan Struktur Tradisional
Di balik citra Raffles sebagai reformis kolonial yang membawa semangat modernisasi dan liberalisme ke Jawa, tersimpan kenyataan bahwa berbagai kebijakannya memicu ketegangan sosial dan resistensi lokal, baik secara terbuka maupun terselubung. Upaya untuk menghapus struktur feodal, menata ulang sistem pajak, dan menghapus kerja paksa — meskipun progresif dari sudut pandang liberal — ternyata mengganggu keseimbangan kekuasaan lokal dan tatanan sosial yang telah mapan selama berabad-abad.
a. Reaksi Masyarakat terhadap Reformasi yang Terlalu Cepat
Bagi banyak kalangan rakyat, terutama di pedesaan Jawa, reformasi yang dibawa Raffles dianggap:
- Terlalu cepat dan membingungkan, karena mengubah sistem yang sudah mereka kenal sejak zaman VOC dan kerajaan lokal.
- Tidak sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan rakyat, karena sistem sewa tanah justru tetap menuntut pembayaran yang berat tanpa adanya jaminan panen atau perlindungan sosial.
- Menghilangkan mekanisme tradisional perlindungan sosial dari para bupati, seperti bantuan panen, ritual kolektif, atau akses informal terhadap kekuasaan.
Akibatnya, muncul ketidakpuasan luas di kalangan rakyat kecil, yang merasa terjepit antara negara kolonial dan elite lokal yang tidak lagi punya kekuasaan untuk membantu mereka.
b. Pemberontakan dan Kerusuhan di Beberapa Wilayah
Meskipun tidak meluas seperti pemberontakan Diponegoro di masa berikutnya, masa Raffles ditandai oleh sejumlah perlawanan berskala lokal, antara lain:
- Kerusuhan petani yang menolak membayar sewa tanah karena merasa tidak mampu.
- Penolakan terhadap sensus dan survei tanah, yang dicurigai sebagai upaya terselubung untuk menaikkan pajak atau mengambil alih tanah rakyat.
- Pemberontakan kecil di daerah pedalaman Jawa Tengah dan Timur, yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap hilangnya peran tokoh adat dan bangsawan.
Pemberontakan ini umumnya bersifat spontan dan lokal, namun menunjukkan bahwa reformasi Raffles tidak diterima secara universal, terutama oleh kelompok-kelompok yang merasa kehilangan stabilitas atau identitas dalam struktur sosial baru.
c. Disorientasi Elite Lokal dan Fragmentasi Kekuasaan Tradisional
Salah satu konsekuensi dari kebijakan Raffles adalah terpecahnya sistem kekuasaan lokal, di mana:
- Para bupati dan adipati kehilangan legitimasi politik karena dipaksa tunduk pada sistem administrasi Inggris yang lebih langsung dan rasional.
- Tokoh agama, pemimpin adat, dan pemuka masyarakat mengalami penurunan peran sosial, karena sistem kolonial baru tidak lagi mengakomodasi peran mereka dalam pengambilan keputusan dan distribusi sumber daya.
Akibatnya, terbentuk kekosongan otoritas moral di banyak wilayah, yang membuka ruang bagi instabilitas sosial dan gerakan bawah tanah yang menyimpan dendam terhadap pemerintahan kolonial baru.
Perubahan besar yang dilakukan Raffles terhadap struktur sosial dan ekonomi tradisional Jawa—meskipun dimaksudkan untuk memperbaiki—justru menimbulkan gejolak dan resistensi, karena tidak semua kelompok masyarakat siap atau diuntungkan. Pemberontakan lokal dan ketidakpuasan tersebut menjadi sinyal bahwa reformasi yang tidak memperhitungkan aspek kultural dan psikososial masyarakat setempat dapat memicu ketegangan dan instabilitas. Ini menjadi pelajaran penting dalam sejarah kolonialisme: bahwa modernisasi tanpa akomodasi sosial sering kali membawa dampak paradoksal.
Akhir Pemerintahan dan Kembalinya Belanda (1816)
Masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles di Jawa (1811–1816) berlangsung dalam konteks global yang sangat dinamis, terutama akibat perubahan geopolitik yang dipicu oleh kekalahan Napoleon dan restrukturisasi kekuasaan di Eropa. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada wilayah metropolitan di Eropa, tetapi juga langsung memengaruhi nasib koloni-koloni di Asia, termasuk Hindia Timur. Penarikan Raffles dan penyerahan kembali Jawa kepada Belanda adalah konsekuensi langsung dari tatanan baru pasca-Napoleon yang ditetapkan dalam Kongres Wina.
1. Kekalahan Napoleon dan Restorasi Eropa (Kongres Wina)
Napoleon Bonaparte, yang semula mendominasi daratan Eropa dan menjadi pemimpin tidak langsung kerajaan Belanda (di mana Daendels pernah diangkat), mengalami kekalahan besar dalam Perang Koalisi Keenam (1814) dan akhirnya dibuang ke Pulau Elba. Tahun berikutnya, dalam Kongres Wina (1815), negara-negara besar Eropa berkumpul untuk:
- Mengatur kembali keseimbangan kekuasaan di Eropa dan koloni-koloninya.
- Mengembalikan dinasti-dinasti lama ke tahtanya (restorasi monarki).
- Menyusun tata ulang wilayah kekuasaan kolonial agar stabilitas pasca-perang dapat terjaga.
Dalam semangat rekonsiliasi dan pemulihan tatanan lama, koloni-koloni yang direbut Inggris dari Belanda sejak awal abad ke-19 diputuskan akan dikembalikan kepada Kerajaan Belanda, yang kini berada di bawah kepemimpinan Wangsa Oranye-Nassau. Ini termasuk:
- Suriname,
- Kepulauan Maluku,
- dan Pulau Jawa.
Meskipun Inggris menganggap Jawa sebagai posisi strategis, mereka lebih berkepentingan mempertahankan koloni-koloni penting di India dan wilayah laut Tiongkok Selatan. Jawa, yang dianggap “sudah selesai dimanfaatkan,” diserahkan kembali sesuai dengan prinsip-prinsip Kongres Wina.
2. Penarikan Raffles dan Transisi Kekuasaan
Sebagai akibat dari keputusan politik tingkat tinggi tersebut:
- Raffles menerima perintah dari Kalkuta untuk menyerahkan pemerintahan kepada Belanda.
- Ia mengakhiri masa jabatannya pada 1816, dan menyerahkan kekuasaan kepada pejabat Belanda, Baron van der Capellen, atas nama Kerajaan Belanda yang telah direstorasi.
Transisi ini berlangsung secara relatif damai dan administratif, meskipun menyisakan persoalan:
- Banyak kebijakan Raffles tidak dilanjutkan oleh pemerintah Belanda, yang memilih kembali pada sistem kolonial konservatif berbasis kerja paksa dan kontrol elite lokal.
- Beberapa pejabat Inggris ditarik, dan arsip serta koleksi penting (termasuk naskah, peta, artefak) dibawa ke Inggris oleh Raffles, yang kemudian memperkaya museum dan perpustakaan di London.
3. Kembali ke Sistem Lama
Pasca-1816, pemerintahan kolonial Belanda:
- Membatalkan banyak reformasi liberal Raffles, termasuk sistem sewa tanah, kebijakan pasar bebas, dan penghapusan kerja rodi.
- Mengembalikan kekuasaan para bupati dan elite lokal sebagai mitra administratif kolonial.
- Menerapkan kembali struktur sentralistik dan eksploitatif yang pernah dikembangkan sejak masa VOC.
Dengan demikian, masa Raffles hanya menjadi selingan singkat dalam sejarah kolonialisme Hindia Belanda, tetapi meninggalkan jejak penting dalam bentuk dokumentasi ilmiah, gagasan reformasi, dan narasi alternatif tentang hubungan antara negara dan rakyat koloni.
Akhir pemerintahan Raffles ditentukan oleh dinamika geopolitik global, bukan oleh kegagalan total kebijakannya. Penyerahan Jawa kembali ke Belanda menunjukkan betapa nasib koloni sering kali ditentukan oleh negosiasi di luar wilayahnya sendiri, tanpa partisipasi rakyat lokal. Meski hanya berlangsung lima tahun, masa Raffles menjadi masa transisi penting dalam sejarah kolonial Nusantara, dan penarikannya menandai kembalinya sistem kolonial konservatif yang bertahan hingga pertengahan abad ke-19.
4. Penyerahan Kembali Jawa kepada Belanda dan Pembubaran Pemerintahan Raffles
Penyerahan kembali Jawa kepada Belanda pada tahun 1816 menandai berakhirnya masa pemerintahan Inggris yang singkat namun signifikan di tanah Jawa. Peristiwa ini merupakan bagian dari implementasi keputusan Kongres Wina (1815) yang bertujuan mengembalikan stabilitas tatanan kolonial di Eropa dan wilayah seberangnya setelah kekalahan Napoleon. Dalam kerangka besar ini, Inggris tidak memiliki kepentingan jangka panjang untuk mempertahankan Jawa, dan karena itu melaksanakan transfer kekuasaan secara formal dan administratif kepada Kerajaan Belanda.
a. Transisi Kekuasaan: Dari Inggris ke Belanda
Pada pertengahan tahun 1816, setelah menerima instruksi resmi dari East India Company dan British Raj di Kalkuta, Raffles mempersiapkan proses penyerahan administratif. Beberapa langkah penting yang dilakukan adalah:
- Penyusunan laporan akhir pemerintahan, termasuk ringkasan kebijakan reformasi dan keadaan umum wilayah Jawa.
- Persiapan pengarsipan dan pemindahan aset, termasuk dokumen, peta, sensus, dan barang-barang ilmiah yang sebagian besar dibawa ke Inggris.
- Serah terima kekuasaan kepada delegasi Belanda, yaitu Baron van der Capellen, yang datang mewakili Kerajaan Belanda yang telah dipulihkan setelah kekuasaan Prancis.
Transisi ini berlangsung tanpa kekerasan militer, dan ditandai dengan pengibaran kembali bendera Belanda di Batavia.
b. Pembubaran Struktur Pemerintahan Raffles
Dengan kembalinya kekuasaan kepada Belanda, maka secara otomatis:
- Seluruh struktur pemerintahan Raffles dibubarkan.
- Kebijakan-kebijakan reformis seperti sistem sewa tanah (land rent), pembebasan kerja rodi, dan liberalisasi perdagangan dihentikan atau direvisi sesuai dengan sistem Belanda yang lebih konservatif.
- Para pejabat Inggris yang ditunjuk Raffles, baik sipil maupun militer, ditarik kembali ke India atau Inggris, dan digantikan oleh aparat Belanda.
Bagi masyarakat Jawa, perubahan ini sebagian besar terlihat dalam bentuk:
- Kembalinya otoritas bupati dan elite lokal sebagai penghubung utama antara rakyat dan penguasa.
- Berakhirnya eksperimen kebijakan kolonial liberal, dan kembalinya sistem yang lebih familiar namun menindas—terutama kerja paksa dan monopoli hasil bumi.
c. Nasib Raffles dan Warisan yang Dibawanya
Setelah menyerahkan kekuasaan, Raffles:
- Kembali ke Inggris, lalu ditugaskan ke Bengkulu (1818–1824) sebagai Letnan Gubernur wilayah kecil di Sumatra.
- Mempublikasikan karya monumentalnya, The History of Java (1817), yang mengabadikan catatan ilmiah dan reformasi yang ia lakukan di Nusantara.
- Membawa sejumlah besar artefak budaya, manuskrip, dan spesimen botani-zoologi ke Inggris, yang kemudian menjadi bagian koleksi penting di British Museum dan Kew Gardens.
Penyerahan kembali Jawa kepada Belanda pada tahun 1816 secara resmi mengakhiri masa reformasi kolonial yang singkat dan penuh eksperimen di bawah Thomas Raffles. Pembubaran pemerintahan Inggris di Jawa tidak hanya menunjukkan kekuasaan kolonial sebagai hasil kompromi antar-imperium, tetapi juga menggambarkan rapuhnya reformasi ketika tidak didukung oleh struktur kekuasaan jangka panjang.
Meskipun banyak kebijakannya dibatalkan, warisan intelektual dan dokumentatif Raffles tetap bertahan dan menjadi bagian penting dalam pemahaman sejarah dan kebudayaan Nusantara di era modern.
Warisan Pemerintahan Raffles
Masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles di Jawa (1811–1816), meskipun singkat dan berakhir dalam skema geopolitik global, meninggalkan jejak yang kompleks: sebuah warisan ambivalen antara gagasan reformasi dan kenyataan kolonialisme. Evaluasi atas masa ini harus dilihat dalam dua dimensi: kegagalan praktis dalam jangka pendek, dan pengaruh simbolik serta intelektual dalam jangka panjang—baik bagi kolonialisme Belanda, Inggris, maupun sejarah Indonesia itu sendiri.
1. Reformasi Liberal: Gagal Jangka Pendek, Pengaruh Jangka Panjang
Secara administratif dan ekonomis, banyak kebijakan Raffles dapat dikatakan gagal dalam implementasi langsung:
- Sistem sewa tanah (land rent) tak dapat diterapkan luas karena resistensi lokal dan kendala logistik.
- Penghapusan kerja rodi tidak bisa diinstitusionalisasi dalam sistem birokrasi kolonial yang belum siap.
- Sensus dan reformasi hukum hanya menyentuh permukaan, tanpa perubahan mendalam di tingkat masyarakat.
Namun demikian, pengaruh jangka panjangnya tak bisa diabaikan:
- Gagasan hubungan langsung antara petani dan negara, serta penghapusan eksploitasi feodal, menjadi benih dalam diskursus reformasi agraria di Hindia Belanda dan Indonesia merdeka.
- Penolakan terhadap kerja paksa dan monopoli ditiru dalam masa-masa kemudian, meski sering bersifat formal.
- Model administrasi rasional, berbasis data dan sistem hukum tertulis, menjadi acuan bagi pembentukan birokrasi modern kolonial.
2. Perbandingan dengan Masa Daendels dan Pemerintahan Belanda Setelahnya
Jika dibandingkan dengan pendahulunya, Herman Willem Daendels, dan pemerintahan Belanda pasca-1816:
- Daendels mewakili pendekatan militeristik, sentralistik, dan otoriter, dengan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas dan penguatan kontrol pusat atas pribumi.
- Raffles, sebaliknya, membawa semangat liberalisme, individualisme, dan efisiensi berbasis hukum, namun lemah dari sisi sumber daya dan legitimasi politik.
- Pemerintahan Belanda setelah 1816 kembali pada sistem konservatif: menghidupkan kembali kerja rodi dan memperkuat peran bupati dalam struktur kolonial, hingga sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) diberlakukan pada 1830-an.
Dengan demikian, Raffles berada di antara dua rezim kolonial keras, dan dalam konteks itu, ia tampil sebagai anomali yang berupaya memperlunak kolonialisme melalui hukum dan sains.
3. Warisan Institusional dan Intelektual
Meski banyak kebijakan administratif Raffles dibatalkan, warisan yang paling bertahan justru terletak pada bidang ilmu pengetahuan dan dokumentasi, antara lain:
- The History of Java (1817) sebagai karya etnografi dan historiografi besar pertama tentang Jawa dalam bahasa Inggris.
- Sensus penduduk, survei tanah, katalogisasi candi, flora, fauna, dan manuskrip kuno yang dikirim ke Eropa.
- Dukungan terhadap lembaga-lembaga ilmiah seperti Batavian Society of Arts and Sciences, cikal bakal dari LIPI dan Museum Nasional Indonesia.
- Peta topografi dan etnografis awal yang menjadi referensi penting dalam perencanaan kolonial selanjutnya.
Warisan ini menjadikan Raffles sebagai arsitek awal “arsip pengetahuan” tentang Nusantara, yang ironisnya justru lebih dihargai oleh akademisi modern daripada oleh pemerintah kolonial Belanda sendiri pada masanya.
4. Simbolisme Raffles dalam Memori Sejarah Indonesia dan Kolonialisme Inggris
Dalam memori sejarah Indonesia, Raffles menempati posisi ambivalen:
- Sebagai penjajah, ia tetap bagian dari struktur kolonial yang mengeksploitasi tanah dan rakyat Nusantara.
- Namun sebagai reformis, ia dikenang karena memperkenalkan nilai-nilai liberal, menolak kerja paksa, dan mendukung pelestarian budaya lokal.
Beberapa warisan simbolik dan fisik masih melekat:
- Nama Raffles diabadikan dalam tumbuhan Rafflesia, kota (Raffles City di Singapura), serta koleksi di museum-museum Inggris.
- Ia menjadi simbol kolonialisme Inggris yang lebih “lunak” dibanding Belanda, meskipun tetap dalam kerangka kekuasaan imperial.
Di sisi lain, sejarawan Indonesia modern menempatkannya dalam wilayah abu-abu: tidak sepenuhnya pembebas, namun juga bukan penindas yang brutal. Perannya dalam menyelamatkan Borobudur, menulis sejarah Jawa, dan mengenalkan Nusantara ke dunia luar membuat namanya tetap dibahas secara serius dalam historiografi nasional.
Pemerintahan Raffles adalah episode kolonial yang unik—singkat, ambisius, penuh eksperimen, namun dibatasi oleh realitas kekuasaan dan konflik sosial. Reformasinya tidak berhasil menancap kuat dalam birokrasi atau tatanan ekonomi, tetapi gagasannya hidup jauh lebih lama dari kekuasaannya. Warisan intelektual dan institusionalnya menjadi bagian penting dalam pemahaman modern tentang Jawa dan Indonesia, serta membentuk narasi alternatif terhadap kolonialisme yang biasanya hanya dilihat dari sisi kekerasan dan eksploitasi.
Konflik abadi antara liberal dan realitas imperium
Masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles di Jawa (1811–1816) menandai satu fase unik dalam sejarah kolonialisme di Nusantara—sebuah periode transisi antara dua bentuk kekuasaan Eropa (Belanda dan Inggris), tetapi juga antara dua paradigma pemerintahan kolonial: yang bersifat eksploitatif dan koersif, serta yang bercorak reformis dan rasional. Dalam kerangka ini, pengalaman Raffles bukan hanya kisah tentang seorang individu, tetapi tentang konflik abadi antara niat liberal dan realitas imperium.
1. Refleksi atas Pendekatan Liberal Kolonialisme: Niat Reformis vs Struktur Kekuasaan
Raffles datang ke Jawa dengan visi yang dipengaruhi oleh liberalisme Eropa awal abad ke-19: anti-feodalisme, perdagangan bebas, penghapusan kerja paksa, dan pemerintahan berbasis hukum dan data. Namun, sepanjang masa kekuasaannya, ia dihadapkan pada berbagai paradoks:
- Niat reformisnya terbentur oleh infrastruktur kekuasaan kolonial yang masih otoriter dan hierarkis.
- Upaya pembebasan rakyat dari feodalisme tidak disertai alat negara yang memadai dan sering kali menciptakan kekosongan otoritas yang memicu instabilitas.
- Struktur ekonomi kolonial yang eksploitatif tidak bisa diubah hanya melalui idealisme, tanpa perubahan fundamental dalam relasi produksi dan kontrol sumber daya.
Dengan demikian, pendekatan liberal kolonial seperti yang dicoba Raffles menunjukkan batasannya sendiri: tanpa mandat jangka panjang, dukungan anggaran, atau kesetaraan dalam relasi kekuasaan, reformasi kolonial sering berujung pada kegagalan atau distorsi.
2. Signifikansi Masa Raffles dalam Narasi Transisi Kolonial dan Pemikiran Modern di Jawa
Meskipun singkat, masa Raffles memberi kontribusi penting dalam narasi sejarah Jawa dan Indonesia modern, antara lain:
- Membuka ruang bagi penggunaan data dan ilmu pengetahuan dalam pengambilan keputusan pemerintahan—sebuah pendekatan baru dalam sejarah kolonial lokal.
- Mempromosikan pemikiran tentang relasi negara dan rakyat yang berbasis kontrak dan bukan dominasi feodal mutlak, meski gagal diimplementasikan sepenuhnya.
- Menjadi peralihan antara era feodalisme kolonial VOC dan eksperimen pemerintahan rasional yang akan menginspirasi generasi reformis kolonial Belanda di kemudian hari.
Selain itu, karya-karyanya seperti The History of Java dan pelestarian situs-situs arkeologis mewariskan arsip pengetahuan yang hingga kini menjadi rujukan penting dalam kajian sejarah, arkeologi, dan antropologi Indonesia.
3. Pelajaran dari Masa Raffles untuk Pembangunan yang Adil dan Berbasis Data di Masa Kini
Refleksi atas masa Raffles juga relevan dalam konteks Indonesia modern, terutama dalam hal:
- Pentingnya pengumpulan data sosial-ekonomi yang akurat untuk merumuskan kebijakan publik yang adil dan tepat sasaran.
- Perlunya transisi kekuasaan atau reformasi struktural yang tidak hanya memotong sistem lama, tetapi menyediakan alternatif institusional yang kuat dan berakar lokal.
- Kesadaran bahwa pembangunan yang cepat tanpa partisipasi masyarakat, tanpa pemahaman budaya lokal, dan tanpa kesiapan infrastruktur bisa menimbulkan resistensi, disorientasi, bahkan konflik.
Raffles memberikan contoh bahwa niat baik dan gagasan besar tidak cukup, jika tidak ditopang oleh dukungan sosial, struktur institusional, dan sensitivitas terhadap realitas masyarakat.
Masa Raffles adalah jendela kecil dalam sejarah besar kolonialisme, namun dari jendela kecil itu kita dapat mengintip kemungkinan jalan lain—jalan di mana pemerintahan kolonial bisa meniru bentuk negara modern, meskipun gagal menutupi watak eksploitatifnya. Dalam sejarah Indonesia, periode ini memberi pelajaran penting tentang batas-batas idealisme dalam struktur yang timpang, dan tentang bagaimana pengetahuan dan kekuasaan selalu bertaut dalam politik kolonial.
Sebagai bagian dari memori sejarah, warisan Raffles menantang kita untuk menimbang ulang peran reformasi, kekuasaan, dan data dalam proyek besar membangun bangsa yang berdaulat dan adil di masa kini.