Aksara dan Bahasa Tradisional Nusantara

Jejak Literasi, Identitas, dan Kearifan Lokal


Bahasa sebagai Pilar Peradaban

Bahasa dan aksara adalah fondasi dari peradaban. Melalui keduanya, pengetahuan diwariskan, sejarah dituliskan, hukum ditetapkan, dan identitas dibentuk. Di Nusantara—yang terdiri dari ribuan pulau dan ratusan kelompok etnis—perkembangan bahasa dan aksara menjadi salah satu aspek penting dalam pembentukan budaya dan peradaban lokal.

Sebelum datangnya aksara Latin melalui kolonialisme, masyarakat Nusantara telah mengenal berbagai sistem tulisan yang berkembang secara lokal dan transnasional. Bahasa Sanskerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, Bali, Bugis, Rejang, Batak, hingga aksara Kaganga dan Lontara adalah bukti bahwa wilayah ini memiliki kekayaan literasi tinggi sejak era kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha hingga Kesultanan Islam.

Tulisan ini akan menelusuri perjalanan panjang aksara dan bahasa Nusantara, melihat transformasinya dari simbol ritual menjadi medium intelektual dan politik, serta relevansinya bagi identitas kebangsaan hari ini.


Akar Sejarah: Pengaruh India dan Adaptasi Lokal

1. Masuknya Aksara Pallawa dan Sanskerta

Pengaruh India pada awal milenium pertama Masehi membawa serta sistem tulisan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Hal ini terlihat dari prasasti-prasasti awal di Nusantara seperti:

  • Prasasti Yupa di Kutai (abad ke-4 M)
  • Prasasti Ciaruteun dan Kebon Kopi (Tarumanagara)
  • Prasasti Nalanda dan Ligor (Sriwijaya)

Bahasa Sanskerta menjadi bahasa sakral dan administratif, sementara aksara Pallawa diadaptasi menjadi berbagai bentuk lokal seperti Kawi, Grantha, dan Jawa Kuno.

2. Lahirnya Aksara Nusantara

Dari pengaruh Pallawa dan adaptasi budaya lokal, muncul aksara-aksara baru seperti:

  • Aksara Kawi (Jawa Tengah dan Timur)
  • Aksara Sunda Kuno
  • Aksara Rejang dan Kaganga
  • Aksara Batak
  • Aksara Lontara (Bugis dan Makassar)
  • Aksara Bali
  • Aksara Lampung

Setiap aksara ini mengandung nilai fonetik dan estetik yang unik, serta berkembang bersama dengan sastra lokal dan sistem hukum adat.


Bahasa Tradisional sebagai Media Intelektual dan Sastra

1. Jawa Kuno dan Sastra Hindu-Buddha

Bahasa Jawa Kuno menjadi medium utama karya sastra agung seperti:

  • Kakawin Ramayana
  • Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa
  • Sutasoma karya Mpu Tantular (asal motto “Bhinneka Tunggal Ika”)
  • Negarakertagama karya Mpu Prapanca

Sastra ini tidak hanya menceritakan kisah-kisah epik, tetapi juga mengandung nilai-nilai kenegaraan, etika, dan filsafat, yang menunjukkan tingginya literasi politik dan spiritual masa itu.

2. Melayu Kuno dan Kesusastraan Islam

Di Sumatra dan Semenanjung Melayu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dunia perdagangan dan penyebaran Islam. Sastra Islam berkembang dengan cepat:

  • Hikayat Raja-Raja Pasai
  • Syair Hamzah Fansuri
  • Bustan al-Salatin karya Nuruddin ar-Raniri

Bahasa Melayu ditulis dalam aksara Jawi (Arab Melayu) dan menjadi medium dakwah, diplomasi, dan hukum syariah di berbagai kesultanan.


Fungsi Sosial Aksara: Prasasti, Hukum, dan Upacara

1. Prasasti sebagai Dokumen Politik

Aksara digunakan dalam prasasti sebagai:

  • Alat legitimasi kekuasaan raja
  • Pemberitahuan hak tanah (sima)
  • Pengakuan status sosial

Contoh:

  • Prasasti Kalasan (778 M)
  • Prasasti Balitung
  • Prasasti Gajah Mada di Singhasari dan Majapahit

2. Lontara dan Sistem Sosial Bugis

Aksara Lontara digunakan dalam:

  • Catatan silsilah keluarga bangsawan (Patturioloang)
  • Kitab hukum dan adat (ade’)
  • Sastra epos (La Galigo)

Dokumen ini menunjukkan bahwa aksara adalah alat membangun sistem sosial dan hukum adat yang kompleks.

3. Batak dan Aksara Ritual

Aksara Batak tidak hanya digunakan dalam surat, tetapi juga dalam pustaha (kitab ramalan, obat, dan mantra). Aksara ini menjadi alat spiritual, hanya dikuasai oleh datu (dukun).


Islamisasi dan Adaptasi Aksara Arab (Jawi)

Masuknya Islam membawa transformasi penting:

  • Aksara Arab diadaptasi menjadi Aksara Jawi
  • Digunakan untuk menulis bahasa Melayu, Bugis, Minangkabau, dan lainnya
  • Menjadi medium utama tafsir, fiqh, hadis, dan sastra sufi

Kitab kuning di pesantren ditulis tangan dalam Arab gundul dan diterjemahkan dalam bahasa lokal. Ini membentuk komunitas ilmiah pesantren yang kuat dan berkelanjutan.


Kolonialisme dan Latinisasi

Kedatangan Belanda dan Portugis memperkenalkan aksara Latin:

  • Digunakan dalam dokumen resmi, administrasi, dan pendidikan
  • Perlahan menggantikan aksara lokal dalam konteks formal

Namun, banyak bahasa lokal tetap bertahan di tingkat lisan, dan sebagian aksara tradisional masih digunakan untuk upacara, sastra lisan, dan ekspresi budaya.


Upaya Pelestarian dan Revitalisasi

Dalam era modern, aksara dan bahasa lokal mengalami tantangan serius: digitalisasi, globalisasi, dan hilangnya penutur. Namun, sejumlah langkah pelestarian dilakukan:

  • Revitalisasi Aksara Jawa dan Bali dalam pendidikan lokal
  • Festival Aksara Nusantara
  • Digitalisasi naskah kuno di Perpustakaan Nasional dan universitas
  • Aksara Kawi dan Lontara diajarkan kembali di sekolah-sekolah daerah
  • Unicode kini telah mengadopsi banyak aksara Nusantara (Jawa, Sunda, Batak, Bugis)

Aksara dan Bahasa dalam Identitas Kebangsaan

Bahasa dan aksara tradisional adalah bagian dari identitas nasional yang kaya dan beragam. Meskipun Bahasa Indonesia menyatukan bangsa, bahasa daerah dan aksara lokal adalah:

  • Cerminan kedaulatan budaya
  • Sumber kebijaksanaan lokal
  • Bukti keagungan peradaban Nusantara

Melestarikan dan mengajarkannya bukan sekadar tindakan romantik, tapi strategi kebudayaan dan geopolitik untuk mempertahankan keberagaman dalam era globalisasi.


Menulis Ulang Masa Depan Lewat Aksara

Dari batu prasasti di Kalimantan Timur hingga pustaha di tanah Batak, dari lontara Bugis hingga aksara Bali di naskah lontar—setiap goresan huruf adalah jejak jiwa Nusantara. Di tengah arus zaman, mempertahankan aksara dan bahasa tradisional adalah cara terbaik untuk menulis ulang masa depan, dengan akar yang kuat dan mahkota yang menjulang.

About administrator