Khazanah Tertulis sebagai Pilar Intelektual dan Budaya
Naskah Sebagai Cermin Peradaban
Peradaban besar selalu meninggalkan warisan tertulis. Di Nusantara, manuskrip dan naskah klasik merupakan bukti bahwa masyarakat kita sejak dahulu telah mengenal sistem pengetahuan, nilai, hukum, dan imajinasi yang tinggi, tertuang dalam teks-teks beragam bahasa dan aksara. Naskah-naskah ini bukan hanya alat dokumentasi, melainkan media transmisi ilmu, spiritualitas, sastra, dan ideologi.
Warisan naskah di Nusantara sangat kaya: dari kitab keagamaan hingga hukum adat, dari ajaran filsafat hingga puisi dan epos kepahlawanan, dari kalender pertanian hingga pengobatan tradisional. Ditulis dalam berbagai aksara – seperti Kawi, Jawi, Lontara, Batak, Bali, dan Pegon – naskah-naskah ini menunjukkan kekuatan literasi lokal yang selama berabad-abad menopang peradaban kerajaan dan kesultanan.
Jenis dan Fungsi Manuskrip Nusantara
1. Manuskrip Keilmuan
Naskah keilmuan memuat beragam ilmu tradisional dan ilmu Islam klasik, seperti:
- Ilmu falak (astronomi dan perhitungan waktu)
- Kedokteran dan pengobatan tradisional (herbal, jampi, rukyah)
- Ilmu nujum dan primbon (perhitungan hari baik, arah, perjodohan)
- Matematika dan geometri (khususnya dalam perhitungan arsitektur dan bangunan sakral)
Contoh:
- Kitab Tib (pengobatan tradisional dalam aksara Jawi)
- Primbon Betaljemur Adammakna dari Jawa
- Babad Palintangan dari Bali (ilmu perbintangan)
2. Manuskrip Agama dan Tasawuf
Manuskrip ini mencakup tafsir, fikih, akidah, dan tasawuf, berperan dalam penyebaran dan penguatan Islam di berbagai kesultanan. Umumnya ditulis dalam bahasa Arab Melayu (Jawi) atau Pegon.
Contoh:
- Bustan al-Salatin (Nuruddin ar-Raniri, Aceh)
- Syarah Hikam (Abdurrauf Singkel)
- Suluk Malang Sumirang, Suluk Sukarsa (Jawa)
Naskah-naskah ini menjadi panduan spiritual dan etika di pesantren dan keraton.
3. Manuskrip Sejarah dan Hukum
Jenis ini mencakup:
- Babad (sejarah dinasti atau daerah): Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Giyanti
- Undang-undang kerajaan: Undang-undang Tanjung Tanah (Kerajaan Melayu)
- Silsilah kerajaan dan tokoh lokal
Fungsinya meliputi dokumentasi sejarah, legitimasi kekuasaan, dan pengajaran politik.
4. Sastra Klasik: Kakawin, Serat, dan Syair
Sastra klasik sangat melimpah dan menjadi ekspresi estetika dan etika. Contohnya:
- Kakawin: Arjunawiwaha, Ramayana, Sutasoma (Jawa Kuno)
- Serat: Serat Centhini, Serat Wedhatama (Jawa Baru)
- Syair: Syair Perang Mengkasar, Syair Hamzah Fansuri (Melayu)
- Pantun dan gurindam sebagai bentuk puisi lisan tertulis
Sastra ini mengandung nilai moral, filsafat hidup, serta pengetahuan sosial dan keagamaan.
Pusat Produksi dan Penyimpanan Naskah
1. Keraton dan Kesultanan
Keraton Jawa, Kesultanan Aceh, Cirebon, Bone, Gowa, Ternate, dan Tidore adalah produsen sekaligus pelindung naskah. Di tempat ini, pujangga istana, ulama, dan empu menulis naskah atas perintah raja atau sebagai kontribusi pribadi.
2. Pesantren dan Dayah
Pesantren menciptakan budaya tulis salin tangan kitab klasik:
- Kitab kuning berbahasa Arab dan Jawi
- Tafsir dan syarah atas kitab yang diwarisi
- Koleksi manuskrip tersimpan dalam khazanah pesantren
3. Pustaha dan Lontar
- Pustaha (Batak): berisi ramalan, obat, dan mantra, ditulis di kulit kayu.
- Lontar (Bali dan Lombok): ditulis pada daun lontar, mencakup ajaran agama, cerita rakyat, dan teknik pertanian.
Aksara dan Media Penulisan
1. Bahan Penulisan
- Lontar: daun lontar kering, dibakar atau dicetak dengan pisau kecil.
- Dluwang: kertas dari kulit kayu.
- Kulit kayu (pustaha): Batak dan Rejang.
- Kertas Eropa (abad 17 ke atas): diperkenalkan kolonial, tapi tetap ditulis dalam aksara lokal.
2. Aksara Tradisional
- Kawi dan Jawa Kuno: sastra Hindu-Buddha
- Pegon dan Jawi: ilmu agama Islam
- Lontara (Bugis): silsilah dan hukum adat
- Rejang dan Incung: catatan lokal Sumatera
- Bali dan Sunda: sastra dan kalender tradisional
Setiap aksara mengandung nilai artistik tersendiri dan sering digunakan dalam ilustrasi dekoratif.
Naskah sebagai Pengetahuan Hidup
Naskah klasik bukan hanya arsip, tetapi juga materi pengajaran aktif dalam masyarakat:
- Dihafalkan dan diajarkan dari guru ke murid
- Digunakan dalam upacara adat dan ritual
- Dikutip dalam pidato resmi, khutbah, atau ajaran moral
Di banyak daerah, membaca naskah dianggap sebagai kegiatan bernilai spiritual dan budaya tinggi, seperti mekidung di Bali atau suluk di pesantren.
Kolonialisme dan Tantangan Pelestarian
1. Perampasan dan Eksploitasi Naskah
Banyak naskah Nusantara dibawa ke Belanda, Inggris, dan negara-negara Eropa selama masa kolonial. Ribuan naskah kini tersimpan di:
- Leiden University Library
- British Library
- Staatsbibliothek zu Berlin
2. Kemunduran Tradisi Tulisan
Modernisasi dan pendidikan kolonial menggantikan bahasa lokal dan aksara tradisional dengan bahasa Belanda dan Latin. Akibatnya, banyak naskah:
- Hilang atau rusak karena iklim dan perawatan buruk
- Tidak dikenali generasi muda
- Tidak terdata dalam katalog ilmiah
Upaya Revitalisasi dan Digitalisasi
1. Proyek Digitalisasi
Lembaga seperti Perpusnas RI, EFEO (Prancis), dan British Library bekerja sama dalam proyek:
- Digitalisasi ribuan manuskrip
- Pemetaan lokasi naskah lokal
- Pengembangan katalog naskah daring
Contoh: Digital Library of Indonesian Literature (D-Library), Naskah Nusantara Online
2. Pendidikan Naskah di Akademisi
Beberapa universitas membuka program:
- Filologi (kajian naskah lama)
- Paleografi (kajian aksara kuno)
- Sastra tradisional Nusantara
Contoh: UGM, UI, Unpad, Unhas, dan Undiksha.
Naskah dan Identitas Bangsa
Naskah klasik Nusantara membuktikan bahwa bangsa Indonesia:
- Telah berpikir filsafati dan spiritual sejak lama
- Mengembangkan ilmu dan estetika berbasis lokal
- Mengelola informasi dan hukum dalam bentuk tertulis
- Mewariskan bahasa dan pandangan dunia yang khas
Membaca dan mengkaji naskah klasik bukan hanya nostalgia, tetapi penguatan jati diri, kritik atas sejarah dominasi luar, dan langkah strategis membangun kebudayaan nasional berbasis warisan intelektual sendiri.
Naskah sebagai Cermin Jiwa Nusantara
Dalam lembaran naskah yang berdebu tersimpan kebijaksanaan zaman, jejak jiwa leluhur, dan percikan peradaban yang belum habis ditafsirkan. Tugas kita kini bukan hanya menyimpannya, tapi menghidupkan kembali makna, mengajarkannya kepada generasi muda, dan menulis ulang masa depan Indonesia yang kuat—berakar dari naskah dan pikiran bangsanya sendiri.