“Suara Kedua dari Yogyakarta: Antara Diplomasi, Budaya, dan Loyalitas pada Republik”
Sebuah Kadipaten di Tengah Kejayaan Yogyakarta
Kadipaten Pakualaman adalah satu-satunya kadipaten di Indonesia yang diakui secara resmi dan setara dalam struktur kenegaraan, sejajar dengan Kesultanan Yogyakarta dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdiri pada tahun 1812 sebagai hasil kompromi politik antara pihak Inggris dan Kesultanan Yogyakarta, Pakualaman menjadi simbol dari kelenturan diplomatik, kontinuitas aristokrasi, dan pelestari budaya Jawa yang unik.
Meski berstatus sebagai “bagian dalam” dari struktur Yogyakarta, Pakualaman bukan sekadar pelengkap. Ia punya sistem istana sendiri, garis keturunan pangeran sendiri, dan sejarah panjang keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa besar Nusantara, dari kolonialisme, perang kemerdekaan, hingga pembangunan budaya nasional.
Latar Belakang Sejarah: Konflik, Inggris, dan Lahirnya Pakualaman
1. Krisis Internal Yogyakarta
Pada awal abad ke-19, Kesultanan Yogyakarta mengalami guncangan politik internal akibat dominasi VOC dan konflik dalam istana. Sultan Hamengkubuwono II yang menentang campur tangan Belanda sering berkonfrontasi dengan penasihat kolonial. Situasi ini menciptakan ketegangan yang memuncak pada 1812.
2. Intervensi Inggris dan Thomas Stamford Raffles
Saat Belanda takluk kepada Prancis, dan Inggris mengambil alih wilayah kolonialnya, Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur Jawa. Melihat instabilitas politik di Yogyakarta, ia melancarkan serangan ke Keraton Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwono II turun takhta.
Dalam upaya menstabilkan pemerintahan dan menghargai jasa Pangeran Notokusumo (saudara Sultan HB II) yang membantu pihak Inggris, maka dibentuklah Kadipaten baru dengan nama Pakualaman, dan Notokusumo diangkat sebagai Paku Alam I.
Struktur Pemerintahan dan Hubungan dengan Yogyakarta
1. Sistem Kadipaten
Pakualaman memiliki sistem pemerintahan sendiri:
- Adipati Paku Alam sebagai penguasa tertinggi, bergelar “Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA)”,
- Mengelola wilayah kadipaten, tanah lungguh, dan sistem birokrasi lokal,
- Memiliki simbol-simbol kekuasaan, prajurit, upacara adat, dan gaya arsitektur istana sendiri.
2. Hubungan dengan Kesultanan
Secara struktural, Pakualaman merupakan entitas politik yang berdampingan dan bukan bawahan Kesultanan Yogyakarta. Keduanya berstatus setara dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta, namun Pakualaman memiliki wilayah dan pengaruh yang lebih kecil dibandingkan Kesultanan.
Peran Budaya dan Sastra Jawa
Pakualaman dikenal sebagai pusat kesusastraan dan pelestarian budaya:
- Paku Alam II hingga Paku Alam V adalah penulis, penyadur, dan kolektor karya sastra Jawa dan Melayu,
- Mengembangkan Babad Pakualaman, kronik sejarah dinasti dan keraton,
- Mendorong pendidikan aksara Jawa, tembang macapat, dan tari klasik.
Perpustakaan Kadipaten menyimpan banyak manuskrip penting dan masih aktif dalam pendidikan budaya hingga kini.
Keterlibatan dalam Sejarah Nasional dan Politik Modern
1. Dukungan terhadap Republik Indonesia
Pada masa proklamasi kemerdekaan, Kadipaten Pakualaman bersama Kesultanan Yogyakarta menyatakan dukungan penuh kepada Republik Indonesia. Bersama Sultan Hamengkubuwono IX, Paku Alam VIII menjadi tokoh penting dalam pengorganisasian administrasi dan keamanan republik di Yogyakarta saat menjadi ibu kota (1946–1949).
2. Pengakuan Resmi dalam Struktur Kenegaraan
Paku Alam VIII ditunjuk sebagai Wakil Gubernur DIY oleh Presiden Soekarno. Peran ini kemudian dilembagakan dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY, di mana posisi Wakil Gubernur secara otomatis dijabat oleh Paku Alam yang sedang bertakhta.
Pakualaman Pasca-Kemerdekaan: Seremonial dan Pelestarian Budaya
1. Fungsi Seremonial dan Sosial
Meski tidak memiliki kekuasaan administratif besar, Paku Alam tetap memainkan peran dalam pelestarian adat:
- Upacara Kirab Budaya, Labuhan, dan peringatan hari kelahiran Paku Alam,
- Menjadi pemimpin spiritual dalam ritual adat dan budaya Jawa.
2. Pendidikan dan Kegiatan Sosial
Kadipaten aktif dalam:
- Kegiatan kemanusiaan dan keagamaan,
- Mendorong pendidikan tradisi seperti bahasa Jawa, pedalangan, dan gamelan,
- Menjadi tempat magang dan riset budaya bagi mahasiswa dan akademisi.
Daftar Paku Alam dan Peran Masing-Masing
- Paku Alam I (1812–1829): Pendiri Kadipaten, mendampingi Raffles.
- Paku Alam II (1829–1858): Pengembang karya sastra.
- Paku Alam III–V: Memperkuat posisi budaya kadipaten dan memperluas hubungan ke luar Jawa.
- Paku Alam VI–VII: Masa kolonial dan penguatan pendidikan.
- Paku Alam VIII (1937–1998): Peran penting dalam perjuangan kemerdekaan dan menjadi Wakil Gubernur DIY.
- Paku Alam IX (1999–2015): Pelestari budaya dan penguat hubungan keraton–masyarakat.
- Paku Alam X (2016–kini): Tokoh aktif dalam pendidikan budaya dan program modernisasi.
Pakualaman dan Keistimewaan DIY
Bersama dengan Sultan Yogyakarta, Adipati Paku Alam diakui sebagai pemimpin daerah berdasarkan:
- UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY
- Menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY seumur hidup
Ini menjadikan Pakualaman satu-satunya kadipaten yang institusinya diakui dan terintegrasi dalam struktur pemerintahan republik secara legal-formal.
Tantangan dan Masa Depan
1. Ancaman terhadap Warisan Budaya
Kemodernan dan urbanisasi membuat pelestarian kadipaten menghadapi tantangan:
- Berkurangnya minat generasi muda terhadap aksara dan seni tradisi,
- Perluasan kota yang menggerus lahan dan fungsi tradisional istana.
2. Peluang Diplomasi Budaya
Pakualaman berpeluang menjadi pusat diplomasi budaya Nusantara:
- Sebagai pusat pelatihan seni Jawa,
- Menjadi destinasi wisata sejarah berbasis aristokrasi yang bersahaja,
- Menjadi mediator nilai-nilai moderat Islam Jawa di tengah tantangan ideologis global.
Keagungan dalam Kesederhanaan
Kadipaten Pakualaman mungkin kecil dalam wilayah dan populasi, namun besar dalam kontribusi sejarah, budaya, dan nasionalisme. Ia adalah contoh nyata bagaimana struktur aristokrasi bisa berpadu dengan semangat republik, bagaimana warisan bisa dijaga tanpa menjadi beban, dan bagaimana kesetiaan pada tradisi bisa memberi makna baru dalam dinamika zaman.
Pakualaman tidak menuntut tahta yang luas, tetapi memilih menjadi pelayan budaya dan rakyat — takhta yang agung dalam bentuknya yang paling halus.