Kerajaan Aceh Darussalam (1496 – 1903 M)

“Benteng Islam, Ilmu, dan Perlawanan dari Ujung Barat Nusantara”


Matahari Terbit dari Serambi Mekah

Dari ujung barat Pulau Sumatra, di antara desau ombak Samudra Hindia dan semilir angin lembut Selat Malaka, berdiri Kerajaan Aceh Darussalam, salah satu kerajaan terbesar, paling berpengaruh, dan paling lama bertahan dalam sejarah Nusantara. Didirikan pada tahun 1496 oleh Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh tumbuh menjadi pusat Islam, pusat ilmu, dan benteng terakhir perlawanan terhadap penjajahan Barat, hingga akhirnya ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1903.

Aceh Darussalam bukan hanya kerajaan biasa:

  • Ia adalah warisan dari Samudera Pasai dan Perlak,
  • Menjadi pusat diplomasi dan pendidikan Islam internasional,
  • Mewujudkan perlawanan politik, militer, dan kultural terhadap penjajahan yang berlangsung berabad-abad.

Asal-Usul dan Pendirian Kerajaan

1. Warisan dari Pasai dan Perlak

Kerajaan Aceh Darussalam lahir dari reruntuhan dua kesultanan besar: Perlak dan Samudera Pasai. Ketika Pasai jatuh ke tangan Portugis pada awal abad ke-16, banyak bangsawan, ulama, dan pedagang Muslim melarikan diri ke wilayah lebih selatan—yakni Aceh Besar, yang sebelumnya adalah sebuah pelabuhan kecil namun strategis.

2. Sultan Ali Mughayat Syah: Pendiri Dinasti

Pada tahun 1496 M, seorang tokoh visioner bernama Ali Mughayat Syah memproklamasikan berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, menyatukan wilayah Aceh Besar dan memantapkan Islam sebagai fondasi pemerintahan. Beliau kemudian:

  • Mengusir pengaruh Portugis dan lawan politik lokal,
  • Memulai tradisi jihad fi sabilillah,
  • Membangun struktur pemerintahan Islam yang kokoh.

Struktur Pemerintahan dan Institusi Keulamaan

1. Pemerintahan Sultanat

Sultan merupakan kepala negara dan pemimpin spiritual. Ia dibantu oleh:

  • Wazir (Perdana Menteri),
  • Qadi Malikul Adil (hakim agung),
  • Syahbandar (kepala pelabuhan dan perdagangan),
  • Dewan ulama dan tokoh adat (uleë balang).

Sistem administrasi Aceh sangat terstruktur dan birokratis, dengan pengaruh kuat dari model pemerintahan Turki Utsmani dan Persia.

2. Peran Ulama dan Lembaga Ilmu

Aceh dikenal sebagai “Serambi Mekah” karena peran penting ulama dalam kehidupan negara. Tokoh-tokoh seperti:

  • Syekh Nuruddin ar-Raniri,
  • Syekh Abdurrauf as-Singkili,
  • Syekh Hamzah Fansuri
    berperan besar dalam pendidikan, hukum Islam, tasawuf, dan diplomasi spiritual.

Masa Kejayaan: Pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607–1636)

1. Ekspansi Wilayah dan Kekuasaan

Di bawah Sultan Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaan:

  • Menaklukkan Deli, Aru, Johor, dan Pahang,
  • Menguasai jalur perdagangan Selat Malaka dan memperluas pengaruh politik hingga ke Tanah Melayu.

Aceh menjadi kekuatan maritim besar yang disegani oleh VOC, Portugis, dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya.

2. Sistem Hukum dan Sosial

Iskandar Muda memberlakukan hukum Islam dengan disiplin, termasuk:

  • Pelaksanaan hudud,
  • Penertiban pasar dan zakat,
  • Distribusi tanah dan hasil bumi secara adil.

Beliau juga membentuk struktur sosial berdasarkan hukum Islam, seperti jabatan Qadi, Imam Syafi’i, dan jabatan adat yang tunduk pada syariat.

3. Seni dan Sastra

Masa ini juga dikenal sebagai masa keemasan budaya:

  • Lahirnya karya sastra sufi, hikayat, dan syair,
  • Bangkitnya seni ukir, arsitektur, dan seni Islam lokal.

Perdagangan, Diplomasi, dan Hubungan Internasional

1. Pusat Ekonomi Maritim

Pelabuhan Aceh menjadi:

  • Sentra ekspor lada, emas, dan rempah-rempah,
  • Persinggahan utama kapal dari Arab, Gujarat, Persia, Tiongkok, dan Eropa.

Aceh mengeluarkan mata uang emas sendiri dan menjalin perdagangan bilateral dengan Kesultanan Utsmani dan Kesultanan Mughal.

2. Diplomasi Internasional

Aceh menjalin hubungan diplomatik dengan:

  • Turki Utsmani, yang memberikan senjata dan teknologi militer,
  • Maroko, Mesir, dan Mughal India,
  • Bahkan mengirimkan utusan ke Eropa dan meminta bantuan melawan Portugis.

Aceh membentuk blok Islam melawan dominasi Katolik Portugis dan Calvinis Belanda.


Perempuan dalam Kekuasaan: Sultanah Aceh

Uniknya, Aceh memiliki sejarah empat sultanah (ratu) yang memerintah:

  • Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641–1675),
  • Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah,
  • Dan dua sultanah lainnya hingga akhir abad ke-17.

Mereka mempertahankan stabilitas kerajaan dan menjadi simbol keistimewaan perempuan dalam struktur Islam lokal Aceh.


Kemunduran dan Perlawanan Terhadap Belanda

1. Fragmentasi Internal dan Intervensi VOC

Setelah kematian Iskandar Muda, Aceh mengalami:

  • Fragmentasi kekuasaan,
  • Melemahnya otoritas sultan pusat dan meningkatnya kekuatan uleë balang,
  • Intervensi VOC Belanda dalam perdagangan dan politik lokal.

2. Perang Aceh (1873–1903)

Perang Aceh merupakan:

  • Salah satu perlawanan terpanjang di dunia kolonial, berlangsung 30 tahun,
  • Dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Panglima Polim, dan Tgk. Cik Di Tiro,
  • Perang yang menelan lebih dari 100.000 jiwa, dan menimbulkan biaya besar bagi Belanda.

Aceh menjadi lambang perlawanan, keberanian, dan syahid fi sabilillah di seluruh Nusantara.


Akhir Kekuasaan dan Warisan

Pada 1903, Sultan Muhammad Daud Syah menyerah kepada Belanda, menandai:

  • Berakhirnya secara formal Kesultanan Aceh,
  • Tapi tidak pernah memadamkan semangat perlawanan rakyat Aceh yang terus berlangsung dalam bentuk gerakan bawah tanah, tarekat, dan semangat jihad.

Warisan Aceh Darussalam antara lain:

  • Pusat penyebaran mazhab Syafi’i dan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah,
  • Sumber awal kebangkitan nasionalisme Islam Indonesia,
  • Budaya Islam kuat yang masih bertahan dalam hukum adat dan kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.

Kesultanan Aceh Darussalam adalah puncak peradaban Islam Nusantara yang tidak hanya menandai kedalaman ilmu dan keindahan budaya, tetapi juga keteguhan dalam mempertahankan kedaulatan dan iman di tengah tekanan imperialisme global. Dari Serambi Mekah, Islam menyebar, ilmu berkembang, dan nyala api jihad tak pernah padam.

About administrator