“Dinasti Bugis dan Ketahanan Maritim Sulawesi Selatan”
Kebangkitan Bugis sebagai Kekuatan Mandiri
Kerajaan Bone merupakan salah satu kerajaan paling berpengaruh dalam sejarah Bugis di Sulawesi Selatan. Berdiri sejak abad ke-14, Bone tidak hanya dikenal karena kekuatan militernya, tetapi juga karena diplomasi, adat, dan ketahanan budayanya dalam menghadapi berbagai tantangan, mulai dari konflik antar kerajaan hingga kolonialisme Belanda.
Bone menjadi pusat politik, militer, dan kebudayaan Bugis, dan memainkan peran sentral dalam dinamika kerajaan-kerajaan di Sulawesi, baik melalui aliansi maupun konflik. Tradisi ketatanegaraan yang kuat, kepemimpinan visioner, dan nilai-nilai siri’ na pacce menjadi fondasi kekuasaan yang tahan lama.
Asal-Usul dan Pembentukan Kerajaan Bone
1. Konteks Sosial Awal Bugis
Masyarakat Bugis dikenal sebagai etnis pelaut dan agraris yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan (siri’) dan solidaritas (pacce). Sebelum terbentuknya kerajaan-kerajaan formal, wilayah Bugis terdiri atas komunitas-komunitas adat (wanua) yang dipimpin oleh matowa atau tetua adat.
Pada abad ke-14, terjadi proses konsolidasi dan sentralisasi politik yang melahirkan kerajaan-kerajaan besar Bugis, termasuk:
- Bone (wilayah barat),
- Wajo (wilayah tengah),
- Soppeng (wilayah utara),
- Luwu (yang lebih tua dan dominan pada awalnya).
2. Berdirinya Bone dan Raja-Raja Awal
Kerajaan Bone didirikan sekitar tahun 1330 oleh Mata Silompoe, yang dianggap sebagai penguasa pertama. Pusat pemerintahan awal berada di Watampone, dan sistem kekuasaan dibangun berdasarkan:
- Konsensus elite adat,
- Tradisi turun-temurun,
- Legitimasi spiritual dan moral dari para panrita (bijak bestari).
Bone sejak awal memiliki visi sebagai kerajaan yang berdiri sejajar, bukan takluk, dengan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya.
Struktur Pemerintahan dan Hukum Adat Bugis
1. Arung dan Ade’
Raja Bone dikenal dengan sebutan Arung Mangkau’, yang berarti pemimpin agung. Di bawahnya terdapat sistem birokrasi adat yang terdiri dari:
- Ade’ Pitu: tujuh adat utama yang menjadi dasar pemerintahan,
- Arung Pattae: penasihat utama raja dari berbagai klan,
- To Maradeka (rakyat merdeka), dan Ata (hamba atau budak).
2. Lontara’ dan Hukum Tertulis
Kerajaan Bone memiliki tradisi tulis kuat melalui aksara Lontara’, digunakan untuk:
- Menulis silsilah, hukum, perjanjian antar kerajaan,
- Merekam sejarah dinasti dan pertempuran,
- Menyimpan kearifan lokal, termasuk Buku Ade’ Bone yang memuat hukum kerajaan.
Hukum dan struktur sosial Bone tertulis secara sistematis dan diwariskan lintas generasi, menunjukkan kedewasaan dalam politik hukum tradisional.
Masa Kejayaan Bone: Arung Palakka (1634–1696)
1. Latar Belakang dan Konflik dengan Gowa
Bone sempat berada di bawah dominasi Kesultanan Gowa yang ekspansif. Penindasan dan dominasi Gowa melahirkan tokoh legendaris Bone: Arung Palakka, yang menjadi simbol perlawanan.
Setelah mengalami pengasingan ke Batavia, Arung Palakka bergabung dengan VOC dan memimpin:
- Perang Bone-Gowa (1666–1669),
- Berhasil mengalahkan Sultan Hasanuddin dari Gowa,
- Menandatangani Perjanjian Bungaya, yang memperkuat posisi Bone.
2. Kepemimpinan Arung Palakka
Sebagai Arumpone (Raja Bone), Arung Palakka:
- Menata kembali sistem pemerintahan dan militer,
- Menjadi mitra strategis VOC di Sulawesi,
- Memperluas pengaruh Bone hingga Toraja, Mandar, dan Soppeng.
Masa ini disebut sebagai “zaman keemasan” Bone, meskipun penuh kritik karena kedekatan dengan VOC.
Perdagangan, Maritim, dan Jaringan Diplomatik
Kerajaan Bone memiliki armada laut tangguh dan tradisi pelayaran jauh. Pedagang dan pelaut Bone:
- Menjelajah hingga Malaka, Kalimantan, Ambon, dan Papua,
- Menguasai jalur rempah alternatif dan perdagangan budak,
- Menjalin aliansi dagang dan perjanjian diplomatik dengan kerajaan luar.
Kapal padewakang dan lombo menjadi simbol kekuatan maritim Bugis.
Budaya, Sastra, dan Warisan Adat
1. Epik La Galigo
Bone menjadi salah satu pelestari dan pemilik warisan sastra besar dunia: Sureq La Galigo, epik Bugis yang lebih panjang dari Mahabharata, berisi:
- Mitologi penciptaan dan asal-usul manusia,
- Nilai-nilai moral, adat, dan kepemimpinan,
- Kisah para bangsawan Bugis kuno dan kerajaan Bone.
2. Tarian, Musik, dan Pakaian
Budaya Bone mencerminkan perpaduan nilai kepahlawanan dan spiritualitas:
- Tari Pajaga Bone, musik gambus Bugis, dan alat musik seperti soling,
- Pakaian adat dengan songkok to Bone, simbol kehormatan dan status sosial,
- Peran perempuan Bugis dalam seni dan adat sangat penting dan terhormat.
Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Akhir Kekuasaan
1. Perang Bone-Belanda
Bone mengalami beberapa kali konflik bersenjata dengan Belanda:
- Perang Bone Pertama (1824),
- Perang Bone Kedua (1859–1860), yang menyebabkan hilangnya sebagian kedaulatan,
- Perang Bone Ketiga (1905) yang berujung pada penghapusan status kerajaan sebagai entitas politik independen.
2. Strategi Bertahan
Meski mengalami tekanan, Bone tetap menjaga:
- Hukum adat dan Lontara’,
- Struktur budaya dan masyarakat adat,
- Peran Raja Bone sebagai simbol dan pemersatu identitas Bugis.
Warisan Bone dalam Indonesia Modern
Bone tetap menjadi pusat budaya Bugis:
- Tokoh-tokoh nasional asal Bone seperti Andi Mappetahang Dg. Patappe’ (Andi Mappanyukki), pejuang kemerdekaan dan tokoh adat,
- Bahasa Bugis dan Lontara dipelajari di berbagai universitas,
- Sistem adat Bone menjadi model struktur masyarakat Bugis modern.
Kerajaan Bone adalah bukti nyata bagaimana sebuah masyarakat lokal dengan tradisi kuat bisa tumbuh menjadi kekuatan regional yang tangguh. Tradisi hukum, sastra, dan perlawanan menjadikan Bone sebagai simbol ketahanan budaya dan politik Bugis.
Dari Arung Palakka hingga Lontara’, dari armada maritim hingga sistem adat—Bone menegaskan peran penting Sulawesi Selatan dalam membentuk wajah sejarah Nusantara.