“Penjaga Islam dan Peradaban di Timur Nusantara”
Bima dalam Lintasan Sejarah Maritim Nusantara
Kesultanan Bima merupakan salah satu pusat peradaban Islam di kawasan timur Nusantara, yang berkembang pesat dari sebuah kerajaan Hindu menjadi kesultanan yang dinamis dan strategis di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Berdiri secara resmi sebagai kesultanan pada tahun 1620, Bima bukan hanya pusat politik dan ekonomi lokal, tetapi juga penjaga nilai-nilai Islam, pelabuhan penting dalam jaringan perdagangan, dan benteng perlawanan terhadap kolonialisme.
Bima sebagai Penyangga Islam Timur Nusantara
Kesultanan Bima menempati posisi strategis di bagian timur Indonesia, tepatnya di pesisir timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ia merupakan contoh luar biasa dari keberhasilan Islamisasi yang berpadu harmonis dengan budaya lokal, menghasilkan satu bentuk peradaban Islam yang kuat namun tetap membumi dalam adat istiadat. Berdiri secara resmi sebagai kesultanan pada tahun 1620, Bima menjadi kekuatan politik, spiritual, dan ekonomi yang berpengaruh di kawasan timur Nusantara, bahkan menjalin hubungan dengan kerajaan besar seperti Ternate, Gowa, dan Mataram Islam.
Kesultanan ini bertahan hingga tahun 1958, menjadikannya salah satu kerajaan Islam yang memiliki umur panjang dan kontribusi signifikan dalam sejarah nasional. Identitas Bima dibentuk oleh semangat taat beragama, kepatuhan pada hukum adat, serta keterbukaan terhadap ilmu dan diplomasi.
Asal-Usul dan Sejarah Awal Bima
1. Masa Pra-Islam: Kerajaan Hindu-Buddha
Sebelum masuknya Islam, Bima telah berkembang sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang menjalin kontak dengan kerajaan-kerajaan dari Bali dan Jawa. Raja-raja awal Bima menggunakan gelar “Sangaji” atau “Dewa”, dan sistem pemerintahan bersifat turun-temurun. Dalam periode ini, kepercayaan masyarakat Bima mencampur antara animisme, Hindu, dan pemujaan leluhur.
2. Hubungan dengan Majapahit dan Bali
Bima sempat berada dalam pengaruh Majapahit, sebagaimana tercatat dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), dan memiliki hubungan politik-kultural dengan kerajaan Bali melalui jalur pelayaran. Sisa-sisa peninggalan masa ini masih dapat dilihat dari toponimi lokal dan struktur kosmologi kepercayaan masyarakat Bima.
Proses Islamisasi dan Transformasi Menjadi Kesultanan
1. Peran Tuan Guru dan Dakwah dari Makassar
Proses Islamisasi Bima dipercepat oleh masuknya ulama-ulama dari:
- Makassar dan Gowa, terutama setelah Islam mapan di Sulawesi Selatan,
- Ulama Ternate dan Buton yang melintasi jalur dagang timur.
Salah satu tokoh utama dalam proses ini adalah Tuan Guru Sultan Muhammad Salahuddin, yang diyakini berperan sentral dalam menyebarkan Islam ke istana dan masyarakat.
2. Raja Pertama yang Memeluk Islam
Pada tahun 1620, Raja La Kai memeluk Islam dan bergelar Sultan Abdul Kahir, sekaligus menandai transformasi resmi Bima menjadi kesultanan Islam. Setelah itu, Islam dijadikan agama negara dan diterapkan sebagai dasar dalam sistem hukum dan pemerintahan.
3. Dakwah dan Pendidikan Islam
Islamisasi dilakukan secara damai dan didukung penuh oleh bangsawan serta para ulama. Beberapa bentuk implementasi syariat dalam kehidupan masyarakat:
- Pendirian masjid kesultanan,
- Pembentukan pengadilan agama,
- Pengajaran Al-Qur’an dan fiqih di pusat-pusat pendidikan.
Struktur Pemerintahan Kesultanan Bima
1. Hierarki Politik dan Gelar Tradisional
Kesultanan Bima memiliki struktur pemerintahan yang terorganisasi:
- Sultan sebagai pemimpin tertinggi (politik dan agama),
- Ruma Bicara: penasihat utama,
- Sangaji: kepala wilayah (setingkat distrik),
- Rato: pemimpin adat lokal.
Sistem ini mengombinasikan struktur aristokratik lokal dengan prinsip Islam dalam pelaksanaan pemerintahan.
2. Integrasi Adat dan Syariat
Salah satu kekhasan Kesultanan Bima adalah sinergi antara hukum adat dan hukum Islam, tercermin dalam:
- Hukum waris dan pernikahan berlandaskan fiqh,
- Pelaksanaan zakat dan wakaf,
- Penyelesaian konflik melalui sistem musyawarah (majlis syura’).
Pusat Perdagangan dan Diplomasi Maritim
1. Letak Strategis dan Aktivitas Dagang
Pelabuhan Bima menjadi salah satu pusat perdagangan strategis di kawasan timur. Produk andalan Bima antara lain:
- Kuda Sumbawa (yang terkenal hingga ke luar negeri),
- Madu, rotan, kapas, dan garam,
- Produk pertanian dan hasil laut.
2. Jaringan Diplomasi
Kesultanan Bima menjalin hubungan erat dengan:
- Kesultanan Gowa dan Ternate, dalam aliansi keagamaan dan militer,
- Kesultanan Buton dan Bone, dalam perdagangan dan penyebaran Islam,
- Belanda (VOC dan kemudian Hindia Belanda), meski dalam posisi yang sering tidak setara.
Perlawanan terhadap Kolonialisme
1. Interaksi Awal dengan VOC
VOC mulai memasuki Bima pada pertengahan abad ke-17. Meskipun tidak secara langsung menjajah, VOC membentuk perjanjian monopoli yang merugikan. Hal ini ditolak oleh beberapa sultan, dan menghasilkan:
- Perlawanan diplomatik,
- Aliansi dengan kekuatan lokal untuk menekan dominasi VOC.
2. Perang dan Pembatasan Kekuasaan
Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Belanda melakukan upaya sistematis melemahkan kekuasaan sultan:
- Intervensi dalam pengangkatan pejabat lokal,
- Pembatasan sistem hukum adat dan syariat,
- Perang kecil dan resistensi rakyat di daerah pegunungan.
Masa Akhir Kesultanan dan Integrasi ke Republik
1. Kemerdekaan dan Akhir Kesultanan
Setelah kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Bima tetap eksis secara simbolik. Namun, pada tahun 1958, status kesultanan resmi dihapus melalui Undang-Undang Pemerintahan Daerah, meskipun:
- Keturunan sultan masih dihormati,
- Struktur sosial-adat masih berpengaruh di pedalaman dan desa.
2. Peran Tokoh Bima dalam Kemerdekaan
Beberapa tokoh penting dari Bima menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara, termasuk:
- Pejabat daerah, pendidik, dan ulama,
- Tokoh militer yang aktif dalam mempertahankan kemerdekaan di Nusa Tenggara.
Warisan Budaya dan Literasi Islam
1. Manuskrip dan Tradisi Tulis
Kesultanan Bima meninggalkan banyak manuskrip Arab-Melayu dan aksara lokal yang memuat:
- Tafsir dan fiqh klasik,
- Warkah kerajaan dan surat diplomatik,
- Hikayat dan silsilah sultan.
2. Kesenian dan Arsitektur
Warisan lain meliputi:
- Masjid Kesultanan Bima, yang masih berdiri kokoh,
- Tari dan musik Sera serta seni bela diri khas Bima,
- Pakaian adat sultan dan bangsawan Bima.
Bima dalam Konstelasi Islam Nusantara
Kesultanan Bima bukan hanya benteng pertahanan Islam di timur Indonesia, tetapi juga simbol integrasi yang harmonis antara adat lokal dan syariat Islam. Dengan pemerintahan yang bijak, jaringan dagang yang luas, serta pendidikan Islam yang kuat, Bima memainkan peran sentral dalam membentuk karakter keislaman masyarakat Sumbawa dan sekitarnya.
Warisan Kesultanan Bima tidak sekadar tertulis dalam naskah dan silsilah, tapi hidup dalam nilai, tradisi, dan identitas kolektif masyarakat NTB hingga kini.