“Islamisasi, Lontara, dan Dinamika Kekuasaan Bugis di Sulawesi Selatan”
Dari Kerajaan Adat ke Kesultanan Islam
Transformasi Kerajaan Bone menjadi Kesultanan Bone merupakan peristiwa monumental dalam sejarah Bugis dan Islamisasi di Sulawesi Selatan. Bone, yang telah berdiri sejak abad ke-14 sebagai kerajaan adat dengan struktur aristokratik yang kuat, mengalami evolusi politik, spiritual, dan kultural melalui masuknya Islam yang secara bertahap menggantikan sistem kepercayaan lama berbasis animisme dan siri’ adat menjadi pemerintahan berbasis nilai-nilai Islam.
Transformasi ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan:
- Perebutan pengaruh antar bangsawan dan elite agama,
- Hubungan dengan kesultanan-kesultanan Islam lain di Indonesia bagian timur,
- Adaptasi hukum Islam ke dalam struktur Lontara’ (kode etik Bugis),
- Integrasi antara nilai-nilai siri’ na pacce (kehormatan dan solidaritas) dengan syariat Islam.
Latar Belakang: Bone Sebagai Kerajaan Adat Bugis
1. Struktur Awal Kerajaan Bone
Sejak didirikan oleh Mata Silompoe pada sekitar tahun 1330, Bone sudah menjadi salah satu kerajaan utama di antara federasi kerajaan Bugis, bersama Wajo, Soppeng, dan Luwu. Pemerintahan Bone awalnya berdasarkan:
- Sistem matowa (kepala marga),
- Dewan adat Ade’ Pitu (Tujuh Adat),
- Hukum tidak tertulis berbasis konsensus dan ritual.
Raja Bone disebut Arumpone, dan pemerintahannya bersifat kolektif, tidak absolut.
2. Sistem Nilai dan Kepercayaan Tradisional
Sebelum Islam, masyarakat Bone menganut sistem spiritual berbasis kepercayaan pada:
- Dewata Seuwae (dewa tunggal),
- Roh leluhur dan benda sakral (batu, keris, padi, dan air),
- Hubungan magis antara penguasa dan kekuatan kosmik.
Sistem ini membentuk hierarki adat yang sangat kuat dan mengakar dalam kehidupan sosial rakyat Bugis.
Masuknya Islam ke Tanah Bugis
1. Gelombang Islamisasi Sulawesi Selatan
Islam masuk ke Sulawesi Selatan melalui jalur laut dari:
- Ulama dari Minangkabau (Sumatra Barat),
- Kesultanan Ternate dan Gowa-Tallo,
- Perdagangan dari Melayu dan Gujarat.
Proses Islamisasi dimulai sekitar akhir abad ke-16, dipercepat oleh misi ulama Minangkabau yang dikenal sebagai:
- Dato’ ri Bandang,
- Dato’ ri Tiro,
- Dato’ Patimang.
Ketiga ulama ini memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam ke Bugis dan Makassar, termasuk ke Bone.
2. Islamisasi Kerajaan Tetangga
Islam lebih dulu diterima oleh:
- Gowa (1605),
- Wajo dan Soppeng (~1610-an),
- Bone secara resmi baru menerima Islam sekitar tahun 1611.
Sebelum resmi mengislamkan diri, Bone sempat menolak tekanan Gowa yang telah menjadi kekuatan militer dan politik Islam terkuat di kawasan.
Proses Transformasi Bone Menjadi Kesultanan
1. Sultan La Tenritatta Arung Palakka
Meski Islam masuk ke Bone pada 1611, Bone secara politis baru benar-benar bertransformasi menjadi kesultanan di bawah figur monumental: La Tenritatta To Sappewali Arung Palakka, yang menjadi Sultan Bone dan tokoh Bugis paling berpengaruh abad ke-17.
Arung Palakka, setelah diasingkan ke Batavia dan bersekutu dengan VOC, kembali untuk:
- Mengalahkan Gowa pada 1669,
- Meneguhkan kekuasaan Islam di Bone,
- Membangun sistem pemerintahan kesultanan yang menggabungkan syariat dengan hukum adat.
2. Simbiosis Adat dan Syariat
Proses transformasi ini tidak menghapus sistem adat Bugis, tetapi menyatukannya dengan Islam melalui:
- Penyesuaian Lontara’ Ade’ dengan syariat,
- Pengangkatan Qadhi dan Imam sebagai pejabat resmi,
- Konsultasi hukum melalui dewan ulama dan pemuka adat.
Dengan demikian, Bone menjadi kesultanan dengan karakter khas: Islam tradisional yang ditopang oleh adat siri’ dan struktur Lontara’.
Sistem Pemerintahan dalam Era Kesultanan
1. Hierarki Pemerintahan Kesultanan Bone
Struktur pemerintahan Bone pasca-Islamisasi mencakup:
- Sultan (Arumpone) sebagai pemimpin spiritual dan duniawi,
- Bissu (pendeta adat, kemudian digantikan fungsinya oleh ulama),
- Sara’ sebagai institusi hukum Islam,
- Ade’ Pitu tetap dipertahankan sebagai penyeimbang adat.
2. Pendidikan Islam dan Penyebaran Ilmu
Kesultanan Bone mendirikan pesantren dan madrasah awal di Sulawesi Selatan, menjadikan:
- Bahasa Arab dan aksara Arab-Melayu sebagai bagian dari budaya elit,
- Ulama-ulama Bone dihormati hingga ke Kalimantan dan Nusa Tenggara,
- Bone sebagai pusat penyebaran Islam di daerah-daerah pedalaman dan pesisir.
Interaksi Kesultanan Bone dengan Dunia Islam
1. Diplomasi dengan Kesultanan Lain
Bone menjalin hubungan diplomatik aktif dengan:
- Kesultanan Gowa dan Tallo (setelah konflik),
- Kesultanan Ternate dan Tidore (dalam perdagangan dan penyebaran Islam),
- Aceh dan Johor melalui jalur dakwah dan perdagangan.
2. Perlawanan terhadap Kolonialisme Belanda
Kesultanan Bone menjadi basis perlawanan Islam terhadap ekspansi VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda. Tiga kali terjadi perang besar antara Bone dan Belanda:
- Perang Bone I (1824),
- Perang Bone II (1859–60),
- Perang Bone III (1905), berakhir dengan penghapusan status kesultanan.
Namun semangat siri’ dan keislaman membuat rakyat Bone tetap menjaga struktur sosial dan kultural mereka secara mandiri.
Warisan Kesultanan Bone dalam Budaya Bugis
1. Lontara’ Islam dan Hukum
Manuskrip Lontara’ Bone pasca-Islamisasi menunjukkan:
- Integrasi fiqh, tafsir, dan tasawuf dalam hukum adat,
- Fatwa-fatwa ulama ditulis dalam Lontara sebagai dokumen resmi,
- Adat disesuaikan, bukan ditinggalkan: “Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah.”
2. Sastra dan Kesadaran Sejarah
Epik Sureq Galigo, walau lahir sebelum Islam, terus dihargai sebagai warisan luhur dan tidak dianggap bertentangan dengan Islam. Kesultanan Bone juga menghasilkan karya-karya:
- Hikayat kepahlawanan Sultan Arung Palakka,
- Warkah diplomasi dengan kerajaan luar,
- Nasihat kerajaan untuk pendidikan dan kepemimpinan Islam.
3. Arsitektur dan Identitas Islam
Masjid tua, keraton kayu khas Bugis-Islam, serta batu nisan bertuliskan Arab Jawi menunjukkan kesinambungan budaya Islam dalam arsitektur Bugis.
Kesultanan Bone sebagai Model Integrasi Adat dan Islam
Transformasi Bone dari kerajaan adat menjadi kesultanan bukan hanya transisi politik, tapi juga sebuah contoh akulturasi kultural dan spiritual yang luar biasa. Bone tetap mempertahankan jati diri Bugis, tetapi membuka diri terhadap ajaran Islam dan menjadikannya pilar utama dalam struktur negara dan masyarakat.
Dari Arung Palakka hingga Qadhi Lontara’, dari perang suci hingga warkah diplomasi, Kesultanan Bone membuktikan bahwa Islam dan adat lokal bisa menyatu dalam bingkai kehormatan, solidaritas, dan kemajuan. Jejak-jejaknya masih hidup dalam sistem sosial, nilai, dan literasi masyarakat Bugis hari ini.