Kesultanan Buton (1332 – 1960)

“Konstitusionalisme Maritim Nusantara: Dari Pulau Buton ke Peradaban Murtabat Tujuh”


A. Pendahuluan: Sebuah Kerajaan Konstitusional dari Timur

Kesultanan Buton, yang berpusat di Pulau Buton (sekarang bagian dari Sulawesi Tenggara), merupakan salah satu kesultanan Islam unik di Nusantara karena memiliki sistem pemerintahan konstitusional tertulis paling awal di kepulauan Indonesia: “Murtabat Tujuh”. Kerajaan ini bukan hanya pusat kekuasaan politik dan agama, tetapi juga pelopor dalam sistem tata kelola berbasis hukum dan adat.

Dengan wilayah kekuasaan yang meliputi:

  • Pulau Buton dan sekitarnya (Muna, Wakatobi, Bau-Bau),
  • Jalur-jalur pelayaran strategis di Laut Banda,
  • Hubungan dagang hingga Maluku dan Kalimantan,

Kesultanan Buton menjadi pemain utama dalam jaringan Islam maritim dan konstitusionalisme lokal sebelum era kolonialisme benar-benar mencengkeram Indonesia Timur.


Asal-Usul dan Pembentukan Kerajaan Buton

1. Buton Sebelum Islam

Pulau Buton sejak dahulu dikenal sebagai salah satu wilayah penting dalam jalur pelayaran dan perdagangan di Laut Banda. Wilayah ini dihuni oleh berbagai kelompok etnolinguistik Austronesia yang memiliki sistem pemerintahan adat berbasis persekutuan marga (liwu) dan kerajaan lokal kecil.

Menurut tradisi lisan dan naskah kuno “Sarakuna Wolio”, Buton telah menjadi kerajaan sejak tahun 1332, dengan raja pertamanya adalah Wa Kaa Kaa, seorang wanita bangsawan yang menjadi simbol legitimasi awal kekuasaan Buton.

Kerajaan ini semula bercorak animisme yang kuat, kemudian berkembang menerima pengaruh Hindu dan akhirnya Islam.

2. Transformasi Menjadi Kesultanan

Proses Islamisasi di Buton dimulai sekitar abad ke-15, seiring dengan meningkatnya kontak dagang dan hubungan spiritual dengan pusat-pusat Islam di Gowa, Ternate, dan pesisir Kalimantan. Puncak dari proses ini adalah saat Raja Buton Lakilaponto memeluk Islam dan naik takhta sebagai Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis, yang berarti “Khalifah Kelima”, menandai kelahiran Kesultanan Buton.


Islamisasi dan Lahirnya Pemerintahan Konstitusional

1. Peran Ulama dan Pendidikan Islam

Masuknya Islam membawa transformasi besar:

  • Pendirian masjid-masjid dan lembaga pendidikan,
  • Pemanfaatan tulisan Arab-Melayu dalam administrasi,
  • Ulama dari Sumatra, Makassar, dan Ternate menetap di Buton.

Buton menjadi pusat syiar Islam di kawasan Sulawesi Tenggara, bahkan pengaruhnya sampai ke pesisir timur Kalimantan dan Nusa Tenggara.

2. Konstitusi Murtabat Tujuh

Yang membuat Kesultanan Buton istimewa adalah diberlakukannya konstitusi tertulis yang disebut “Murtabat Tujuh”. Ini bukan sekadar hukum adat atau syariat, melainkan struktur pemerintahan yang mengatur:

  • Kedudukan sultan,
  • Hak dan kewajiban rakyat,
  • Struktur lembaga pemerintahan,
  • Pembagian kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Konstitusi ini bersumber dari:

  • Nilai-nilai Islam,
  • Filsafat sufistik tujuh tingkatan (wahdatul wujud),
  • Struktur adat Wolio.

Dengan ini, Buton menjadi kerajaan konstitusional lokal paling awal di Nusantara, mendahului struktur serupa di Eropa modern.


Struktur Pemerintahan dan Kelembagaan

Pemerintahan Kesultanan Buton dibagi ke dalam:

  • Sultan: pemimpin spiritual dan administratif.
  • Bonto Ogena: Dewan Menteri (8 pejabat utama).
  • Bonto Lima: Dewan penasihat agama dan budaya.
  • Sara: Lembaga yudikatif dan keagamaan.
  • Kapita: Komando militer dan angkatan laut.
  • Timba: Badan pengumpul pajak dan hasil bumi.

Mekanisme checks and balances ini menjamin sultan tidak bertindak sewenang-wenang. Jika melanggar konstitusi, sultan bisa dimakzulkan.


Pusat Maritim dan Perdagangan

Kesultanan Buton menjalin hubungan niaga dengan:

  • Ternate, Tidore, dan Gowa,
  • Banjarmasin dan Bima,
  • Kupang dan Banda Neira,
  • Bahkan hingga Batavia dan Singapura.

Komoditas utama:

  • Kain tenun Buton,
  • Hasil hutan dan laut (damar, ikan kering, garam),
  • Rempah dan emas dalam jumlah terbatas.

Pelabuhan Baubau berkembang menjadi kota pelabuhan penting. Armada kapal lombo dan pinisi kecil menjadi simbol kekuatan Buton di laut.


Budaya, Bahasa, dan Arsitektur

1. Bahasa dan Sastra

Bahasa utama adalah Wolio, ditulis dalam aksara Arab-Melayu. Banyak karya sastra ditulis dalam bentuk syair keislaman, hikayat sejarah, dan naskah hukum.

2. Seni dan Tradisi

Kesenian seperti tarian Lariangi, musik gambusu, dan tenun ikat Buton berkembang pesat.

3. Arsitektur

Kota Benteng Keraton Buton adalah struktur pertahanan batu terbesar di Indonesia, seluas 23 hektar, yang menunjukkan kekuatan arsitektur tradisional Buton.


Hubungan dengan Kolonialisme dan Perlawanan

1. Aliansi Strategis

Buton awalnya menjalin hubungan diplomatis dengan Belanda dan Inggris secara selektif:

  • Menandatangani perjanjian dagang,
  • Mengizinkan pelayaran asing dengan pajak pelabuhan.

Namun, tetap menolak pendudukan atau monopoli hasil bumi.

2. Perlawanan terhadap Dominasi

Pada awal abad ke-19, tekanan Belanda meningkat:

  • Pemaksaan monopoli perdagangan,
  • Campur tangan dalam pengangkatan sultan,
  • Eksploitasi sumber daya dan pelayaran.

Rakyat dan elite Buton melakukan perlawanan diplomatis, bahkan gerilya. Namun, pada akhir abad ke-19, pengaruh Belanda makin menguat, meski tidak pernah benar-benar menghapus otonomi lokal.


Masa Akhir dan Penghapusan Kesultanan

Pada 1960, seiring dengan kebijakan nasionalisasi dan integrasi daerah, Kesultanan Buton secara resmi dihapuskan sebagai entitas administratif.

Namun:

  • Lembaga adat Sara masih aktif hingga kini,
  • Sultan tetap diakui secara adat sebagai pemimpin simbolis,
  • Tradisi Murtabat Tujuh tetap dijaga dan dipelajari di kalangan intelektual lokal.

Warisan dan Signifikansi Historis

Kesultanan Buton menjadi teladan dalam hal:

  • Konstitusi lokal dan demokrasi tradisional,
  • Model checks and balances ala Nusantara,
  • Penyebaran Islam damai dan berbasis pendidikan,
  • Simbol peradaban maritim yang tangguh dan cerdas secara politik.

Murtabat Tujuh adalah warisan luar biasa yang menegaskan bahwa masyarakat Nusantara telah mengenal sistem konstitusi jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.

Kesultanan Buton bukan hanya tentang pelabuhan dan perdagangan, tetapi juga tentang peradaban hukum, spiritualitas, dan kebudayaan yang kompleks. Dalam kerangka besar NUSALOGI, Buton adalah bukti bahwa di pinggiran Nusantara pun tumbuh peradaban dengan visi hukum dan tata negara yang maju, layak dibanggakan sebagai pilar sejarah bangsa.

About administrator