“Transformasi Maritim Sulawesi: Dari Kerajaan Hindu Lokal ke Pusat Islam di Timur”
Dua Kerajaan Menjadi Satu
Kesultanan Gowa-Tallo adalah hasil penyatuan dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan: Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kedua kerajaan ini merupakan pusat kekuatan maritim di kawasan timur Nusantara, yang kemudian bersatu dan berkembang menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang tangguh, terutama sejak memasuki era Islam pada awal abad ke-17. Puncak kejayaannya terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653–1669), yang dikenal sebagai “Ayam Jantan dari Timur”.
Sebelum masuk Islam, Gowa dan Tallo telah menjalin hubungan dagang dan pelayaran dengan Maluku, Jawa, hingga Filipina. Islamisasi membawa perubahan mendasar, memperkuat peran ulama, merestrukturisasi pemerintahan, dan menumbuhkan semangat resistensi terhadap kolonialisme Eropa—terutama VOC.
Asal-Usul dan Penyatuan Gowa-Tallo
1. Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo
Wilayah pesisir selatan Sulawesi, khususnya sekitar Makassar, sejak abad ke-13 hingga ke-15 telah dihuni oleh banyak kerajaan kecil, dua di antaranya adalah Gowa dan Tallo.
- Gowa berada di bagian barat daya Makassar, dikenal sebagai kerajaan agraris sekaligus pelaut kuat.
- Tallo, di sisi timur lautnya, lebih kosmopolitan dan terbuka pada pengaruh luar, seperti dari Maluku dan Jawa.
Hubungan kedua kerajaan ini semula bersifat kompetitif, namun meningkat menjadi strategis pada abad ke-16, ketika ancaman eksternal mulai meningkat dan perdagangan laut menjadi lebih dominan.
2. Proses Penyatuan
Penyatuan terjadi melalui perjanjian strategis dan kekeluargaan. Tokoh sentralnya adalah Karaeng Tunipalangga Ulaweng dari Gowa, yang memperluas wilayah kekuasaan dan menjadikan Tallo sebagai sekutu permanen.
Pada masa selanjutnya, penggabungan institusional dua kerajaan ini menjadikan Gowa-Tallo sebagai kekuatan maritim besar di bagian timur Nusantara, sering disebut sebagai Kesultanan Makassar oleh sumber asing.
Islamisasi dan Dakwah di Gowa-Tallo
1. Kedatangan Islam
Islam mulai masuk ke Sulawesi Selatan melalui jalur dagang sejak abad ke-15, namun baru berkembang secara signifikan pada awal abad ke-17.
Tiga ulama dari Minangkabau yang dikenal sebagai Tiga Datuk memainkan peran penting:
- Dato’ ri Bandang (Abdul Makmur),
- Dato’ Patimang (Sulaiman),
- Dato’ Tiro (Abdul Jawad).
Mereka berhasil mengislamkan raja Gowa Karaeng Matowaya Tumamenaga Ri Agamanna pada tahun 1605, yang kemudian bergelar Sultan Alauddin. Tallo pun mengikutinya tak lama berselang.
2. Islam sebagai Transformasi Sosial
Setelah masuk Islam, Gowa-Tallo mengadopsi sistem pemerintahan Islam:
- Pengangkatan Qadhi (hakim syariah),
- Pendekatan hukum berbasis syariat dan adat Bugis-Makassar,
- Pendidikan Islam berbasis pesantren dan halaqah,
- Diplomasi dan korespondensi dengan kerajaan Islam lain, termasuk Aceh dan Johor.
Islamisasi juga memperkuat kesatuan dua kerajaan dalam satu pemerintahan teokratik yang semakin kuat secara militer dan ekonomi.
Kejayaan Maritim dan Ekonomi
1. Pelabuhan Makassar sebagai Hub Dagang Global
Makassar menjadi pelabuhan internasional pada abad ke-17:
- Pusat perdagangan rempah antara Maluku, Jawa, dan luar negeri,
- Kedatangan pedagang dari Gujarat, Arab, Cina, Portugis, Inggris, dan Belanda,
- Kota ini dijuluki sebagai Venesia dari Timur oleh pelaut Portugis.
Kesultanan Makassar/Gowa-Tallo menolak monopoli dan membuka pasar bebas, menarik berbagai bangsa dan memperkuat perekonomian lokal.
2. Armada Laut dan Kekuasaan Wilayah
Kesultanan ini memiliki:
- Armada laut kuat, termasuk kapal-kapal pinisi dan lambo,
- Kekuatan militer dengan sistem pertahanan berlapis di sepanjang pantai,
- Pengaruh yang menjangkau Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, hingga Filipina selatan.
Sultan Hasanuddin dan Perlawanan terhadap VOC
1. Latar Belakang Kepemimpinan
Sultan Hasanuddin (berkuasa 1653–1669), dikenal sebagai “Ayam Jantan dari Timur”, adalah sultan termasyhur dari Gowa-Tallo. Ia:
- Berani menolak dominasi Belanda dan VOC,
- Memperkuat kekuatan armada dan diplomasi,
- Menjadi simbol perlawanan politik Islam di kawasan timur.
2. Peperangan Melawan VOC
Sultan Hasanuddin menyatakan perang terhadap monopoli VOC:
- Menyerang pos-pos VOC di Ambon dan Batavia,
- Melindungi pelaut dan pedagang dari blokade VOC,
- Membangun benteng pertahanan seperti Benteng Somba Opu.
Perang besar antara Gowa dan VOC berlangsung sejak 1666–1669, dengan bantuan Cornelis Speelman, VOC akhirnya:
- Mengalahkan Makassar,
- Memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).
Perjanjian ini memaksa Gowa-Tallo:
- Menyerahkan wilayah ke VOC,
- Membubarkan sebagian besar armada,
- Mengizinkan monopoli Belanda atas pelabuhan dan rempah-rempah.
Struktur Pemerintahan dan Masyarakat
Pemerintahan Gowa-Tallo dipimpin oleh:
- Sultan sebagai kepala negara dan agama,
- Tumailalang (perdana menteri),
- Anrongguru (ulama dan penasihat spiritual),
- Panglima laut dan darat, yang mengoordinasikan ekspedisi dan pertahanan.
Masyarakat terbagi dalam strata:
- Keluarga bangsawan dan keturunan raja,
- Kaum ulama dan intelektual,
- Pedagang dan pelaut,
- Petani dan nelayan.
Bahasa yang digunakan adalah Makassar dan Bugis, tetapi juga Melayu dan Arab dalam urusan diplomasi dan keagamaan.
Budaya, Sastra, dan Warisan
1. Arsitektur dan Urbanisasi
Gowa-Tallo terkenal dengan arsitektur benteng dan masjid:
- Benteng Somba Opu, pusat pemerintahan dan simbol ketahanan,
- Masjid Katangka di Tallo, salah satu masjid tertua di Sulawesi.
2. Sastra dan Manuskrip
Terdapat peninggalan naskah-naskah kuno seperti:
- Lontara Bilang, teks sejarah dan pemerintahan,
- Lontara Welenrengae, yang memuat hukum adat dan etika kerajaan.
3. Identitas Bugis-Makassar
Sistem nilai siri’ na pacce (harga diri dan solidaritas) menjadi karakter budaya yang bertahan hingga kini.
Kemunduran dan Warisan
1. Pascakekalahan Hasanuddin
Setelah 1669, kekuatan Gowa-Tallo:
- Melemah drastis akibat intervensi VOC,
- Wilayahnya terpecah dan dikendalikan Belanda,
- Sisa-sisa kerajaan tetap bertahan secara budaya dan spiritual.
2. Warisan Nasional
Sultan Hasanuddin dikenang sebagai:
- Pahlawan Nasional Indonesia (ditetapkan 1973),
- Simbol keteguhan dalam mempertahankan kedaulatan dan perdagangan bebas.
Warisan budaya Bugis-Makassar tetap hidup:
- Bahasa, sastra lontara, seni perkapalan (pinisi),
- Adat istiadat dan jaringan diaspora Bugis hingga Malaysia, Brunei, Kalimantan, dan Papua.
Kesultanan Gowa-Tallo adalah representasi kekuatan maritim Islam yang tangguh, dengan peradaban maju, ekonomi terbuka, dan sistem pemerintahan berakar pada nilai-nilai lokal.
Melalui perjuangan Sultan Hasanuddin, Gowa-Tallo tidak hanya menjadi kekuatan lokal, tapi juga ikon perlawanan terhadap kolonialisme dan inspirasi Islam maritim Nusantara.