42. Kesultanan Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur, Abad ke-13 – Kini)
“Dari Yupa ke Singgasana Islam: Evolusi Kekuasaan dan Budaya di Tanah Borneo”
Dua Kutai dalam Satu Jejak Sejarah
Nama “Kutai” dalam sejarah Indonesia merujuk pada dua entitas politik besar yang saling berkesinambungan: Kerajaan Kutai Martadipura (Hindu, abad ke-4 M), dan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Islam, berdiri abad ke-13 M dan bertahan hingga kini secara simbolik). Kesultanan Kutai Kartanegara bukan hanya penerus warisan kerajaan Hindu tertua di Nusantara, tetapi juga entitas Islam yang kuat dan berpengaruh dalam sejarah Kalimantan Timur dan seluruh Nusantara bagian timur.
Terletak di kawasan strategis sepanjang Sungai Mahakam, Kutai Kartanegara memerankan peran penting dalam jalur perdagangan, penyebaran agama, budaya lokal, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Hari ini, meskipun tidak lagi memegang kekuasaan administratif, Kesultanan Kutai tetap diakui secara budaya dan sejarah sebagai simbol kejayaan Kalimantan Timur.
Asal-Usul: Dari Martadipura ke Kartanegara
1. Warisan Kerajaan Kutai Martadipura
Kutai Martadipura yang dikenal dari prasasti Yupa berbahasa Sanskerta di Muara Kaman merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Berdiri sekitar abad ke-4 M oleh Raja Kudungga dan berkembang di bawah raja-raja seperti Aswawarman dan Mulawarman. Namun, kekuasaan ini mengalami kemunduran sekitar abad ke-10–11 M karena pergeseran politik dan perdagangan di Kalimantan.
2. Berdirinya Kutai Kartanegara
Kesultanan Kutai Kartanegara didirikan sekitar abad ke-13 M oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang diyakini sebagai keturunan penguasa lokal bercorak Hindu-Buddha. Awalnya, sistem pemerintahannya masih animistis dan bercorak lokal, dengan unsur Hindu yang kental. Namun, terjadi transisi yang kuat pada abad ke-16 seiring masuknya Islam ke Mahakam.
Proses Islamisasi dan Transformasi Politik
Islam mulai masuk ke Kutai Kartanegara melalui jalur perdagangan dari Kesultanan Demak, Banjar, dan para ulama yang berdakwah dari pesisir. Proses ini mencapai puncaknya ketika Aji Raja Mahkota memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Aji Muhammad Idris, menjadikan Kutai sebagai kesultanan Islam pertama di Kalimantan Timur. Sejak saat itu, gelar sultan mulai digunakan dan sistem pemerintahan mengalami transformasi, menggabungkan hukum adat, syariat Islam, dan struktur kerajaan Melayu-Islam.
Masa Keemasan dan Ekspansi Wilayah
1. Puncak Kekuasaan: Sultan Aji Muhammad Sulaiman
Masa keemasan Kesultanan Kutai terjadi pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19, terutama di bawah Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1845–1899), yang berhasil memperkuat struktur politik, memperluas wilayah kekuasaan ke hulu Mahakam, dan mempererat hubungan dagang dengan Kesultanan Banjar dan Kesultanan Sulu. Sultan ini juga dikenal karena kepiawaiannya berdiplomasi dengan Belanda.
2. Kekuasaan Ekonomi dan Maritim
Kesultanan Kutai menguasai jalur perdagangan penting di Sungai Mahakam yang menghubungkan pedalaman Kalimantan dengan jalur laut ke Selat Makassar. Komoditas seperti damar, rotan, sarang burung, dan emas menjadi barang dagang utama. Pelabuhan di Tenggarong dan sekitarnya menjadi pusat pertukaran dagang antarbangsa.
Relasi Politik: Kolonialisme dan Strategi Bertahan
Kutai Kartanegara, seperti banyak kerajaan Nusantara lain, menghadapi tekanan dari kolonialisme Belanda. Namun, berbeda dari kerajaan yang ditaklukkan dengan kekerasan, Kutai memilih pendekatan diplomatis dan berkompromi dalam bentuk perjanjian politik (korte verklaring) dengan VOC dan kemudian Hindia Belanda. Ini memberi Kutai semacam otonomi terbatas, meski mengurangi kedaulatan secara perlahan.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Sultan Kutai menjadi penguasa simbolik, sementara kendali ekonomi dan militer dipegang Belanda. Namun, status ini memungkinkan Kesultanan tetap eksis secara budaya dan sosial hingga masa kemerdekaan.
Peran Budaya, Sosial, dan Agama
1. Islam dan Hukum Adat
Kesultanan Kutai Kartanegara mengembangkan sistem hukum Islam lokal, menggabungkan syariat dan hukum adat Dayak serta Melayu. Peradilan dijalankan oleh pengadilan agama istana, dan pendidikan agama diajarkan di madrasah-madrasah milik istana.
2. Seni, Bahasa, dan Warisan Budaya
Bahasa Melayu Kutai berkembang sebagai lingua franca lokal. Berbagai bentuk seni sastra lisan, wayang Kutai, pantun Keraton, serta seni arsitektur istana berkembang pesat.
- Istana Mulawarman (didirikan ulang oleh Belanda di Tenggarong) menjadi simbol kebesaran keraton,
- Upacara adat Erau, pesta rakyat warisan istana, tetap digelar setiap tahun hingga kini.
Kutai di Masa Kemerdekaan dan Status Simbolik
1. Integrasi ke dalam Negara Republik Indonesia
Pada 1945–1949, Sultan Aji Muhammad Parikesit menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia. Namun, pada 1959 Kesultanan secara administratif dibubarkan dalam sistem pemerintahan republik.
Meski tidak lagi memiliki otoritas politik formal, Kesultanan Kutai Kartanegara tetap dipertahankan sebagai lembaga budaya. Keturunan sultan masih memegang jabatan simbolik, memimpin upacara adat, dan menjadi penjaga warisan sejarah.
2. Revitalisasi Era Modern
Istana Mulawarman kini difungsikan sebagai museum, dan Sultan Kutai masih dilibatkan dalam kegiatan kebudayaan, termasuk festival Erau Internasional, kerja sama budaya dengan negara lain, dan upaya pelestarian manuskrip sejarah Kutai.
Daftar Sultan Kutai Kartanegara (Singkat)
- Aji Batara Agung Dewa Sakti – pendiri kerajaan (abad ke-13)
- Sultan Aji Muhammad Idris – awal Islamisasi
- Sultan Aji Muhammad Salehuddin I & II
- Sultan Aji Muhammad Sulaiman – masa keemasan
- Sultan Aji Muhammad Parikesit – masa transisi ke republik
- Sultan Aji Muhammad Salehuddin II (putra Parikesit) – simbol budaya masa kini
Tantangan dan Masa Depan
Kesultanan Kutai Kartanegara kini menghadapi tantangan:
- Urbanisasi dan pergeseran nilai budaya,
- Minimnya regenerasi ahli waris budaya,
- Keterbatasan dokumentasi sejarah,
- Ketidakterlibatan generasi muda dalam pelestarian warisan.
Namun, ada peluang besar:
- Pariwisata sejarah dan budaya Kalimantan Timur,
- Digitalisasi arsip dan kerja sama akademik,
- Peran keraton dalam diplomasi budaya di era Ibu Kota Negara (IKN) yang sedang dibangun di wilayah sekitarnya.
Jejak Abadi dari Hulu Mahakam
Kesultanan Kutai Kartanegara adalah bukti nyata bahwa kekuasaan bisa berubah wujud, namun tetap hidup dalam ingatan dan kebudayaan. Dari prasasti Yupa yang menggetarkan sejarah Nusantara, hingga festival Erau yang memeriahkan Tenggarong hari ini, Kutai tetap hadir sebagai penjaga memori dan simbol kehormatan masyarakat Kalimantan Timur.
Ia bukan sekadar lembaga tua, melainkan akar sejarah, pembentuk identitas, dan penunjuk jalan masa depan. Dalam arus globalisasi dan tantangan kontemporer, Kutai Kartanegara masih memiliki peran penting dalam menjaga jati diri Borneo dan Nusantara.