Kesultanan Langkat (Sumatra Utara, 1946)

“Antara Kekuasaan Adat, Islam, dan Intrik Kolonialisme di Pantai Timur Sumatra”


Langkat dalam Jaringan Kesultanan Pesisir Timur

Kesultanan Langkat merupakan salah satu entitas politik Islam-Melayu yang penting di wilayah pantai timur Sumatra, berdiri sejak abad ke-17 dan tetap eksis hingga paruh pertama abad ke-20. Terletak di antara Deli, Serdang, dan Aceh, Langkat memiliki posisi strategis dalam geopolitik Sumatra karena kekayaan alam, pelabuhan, serta relasi dagang dan politik yang kuat, terutama dengan Belanda.

Namun, sejarah Langkat juga penuh kontroversi karena keterlibatannya dalam strategi kolonial Belanda. Kesultanan ini dipandang sebagai representasi dari kekuasaan adat yang bersifat kolaboratif dengan penjajah, sekaligus sebagai pusat penting kebudayaan Melayu dan Islam.


Langkat dan Peran Strategis di Sumatra Timur

Kesultanan Langkat adalah satu dari empat kesultanan Melayu besar di pantai timur Sumatra (bersama Deli, Serdang, dan Asahan) yang memainkan peranan penting dalam sejarah politik, budaya, dan ekonomi di Sumatra Utara. Kesultanan ini menjadi saksi sejarah atas berbagai dinamika peralihan kekuasaan, dari masa kejayaan tradisional, kolonialisme Belanda, hingga pergolakan awal kemerdekaan Indonesia.

Langkat secara geografis terletak di jalur strategis antara pelabuhan perdagangan dan jalur pertanian-perkebunan yang makmur. Dalam konteks kolonialisme, Langkat sering kali dicitrakan sebagai kesultanan yang pro-Belanda, namun dalam kenyataannya, peran Langkat jauh lebih kompleks. Ia adalah contoh bagaimana kesultanan Melayu menghadapi tekanan modernisasi, kapitalisme kolonial, dan perjuangan mempertahankan adat serta identitas Islam-Melayu.


Asal Usul dan Awal Berdirinya Kesultanan Langkat

1. Keturunan dan Relasi dengan Kesultanan Aceh

Kesultanan Langkat bermula dari wilayah kekuasaan Aceh yang luas di sepanjang pantai timur Sumatra. Pada abad ke-17, Aceh mulai memberikan otonomi terbatas kepada para pemimpin lokal Melayu di daerah seperti Deli, Serdang, dan Langkat. Para pemimpin ini kemudian mengembangkan sistem pemerintahan sendiri dan mengadopsi gelar-gelar aristokratik seperti Raja dan Sultan.

Keturunan pemimpin Langkat, termasuk Raja Kahar dan Sultan Musa, dikenal sebagai tokoh-tokoh yang cerdas secara politik dan berpengaruh dalam membentuk arah pemerintahan lokal. Seiring waktu, gelar Sultan secara resmi digunakan oleh pemimpin Langkat, menunjukkan tingkat otonomi dan pengakuan dari kekuatan regional lainnya.

2. Penetapan Kesultanan secara Formal

Langkat secara resmi diakui sebagai kesultanan berdaulat oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19. Pengakuan ini memperkuat kedudukan Sultan Langkat dalam sistem administrasi kolonial sebagai “penguasa pribumi” yang tunduk pada struktur pemerintahan Belanda, tetapi tetap memiliki kekuasaan otonom di wilayahnya sendiri.


Struktur Pemerintahan dan Kehidupan Istana

Kesultanan Langkat memiliki struktur birokrasi yang terorganisir:

  • Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi,
  • Orang Empat Besar, terdiri dari penasihat politik dan kepala suku,
  • Mufti dan Qadhi, yang menangani hukum Islam dan fatwa,
  • Pejabat adat yang menangani tanah, adat, dan penyelesaian sengketa.

Istana Sultan Langkat tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tapi juga tempat diplomasi, pendidikan, dan penyebaran Islam. Kehidupan istana sangat dipengaruhi budaya Melayu, Islam, serta unsur modern dari hubungan dengan Belanda.


Ekonomi dan Kekayaan Kesultanan Langkat

1. Perkebunan dan Pendapatan Sultan

Langkat dikenal sebagai salah satu wilayah terkaya di Sumatra akibat ekspansi industri perkebunan, khususnya:

  • Tembakau Deli yang sangat terkenal di Eropa,
  • Karet dan kelapa sawit, ditanam secara luas di bawah perusahaan-perusahaan asing,
  • Hasil hutan dan pertambangan, seperti damar, rotan, dan minyak bumi di Pangkalan Brandan.

Sultan Langkat menerima royalti dari perusahaan-perusahaan Belanda, menjadikan kekayaan istana bertambah pesat. Istana Kesultanan dibangun megah dan menjadi salah satu simbol aristokrasi Melayu terkaya di Hindia Belanda.

2. Koneksi Dagang dan Politik

Langkat memiliki hubungan dagang intensif dengan:

  • Belanda dan perusahaan-perusahaan Eropa,
  • Pedagang Cina dan Arab,
  • Pelabuhan Singapura dan Penang.

Langkat juga menjadi titik transit penting antara jalur laut dan jalur darat di Sumatra bagian utara.


Relasi dengan Pemerintah Kolonial Belanda

Kesultanan Langkat dikenal sebagai salah satu mitra strategis pemerintah kolonial Belanda. Hubungan ini memberikan keuntungan besar bagi kedua belah pihak, meski memunculkan kritik dari kalangan nasionalis.

1. Perjanjian Politik dan Kooptasi Kekuasaan

Belanda memberikan pengakuan resmi atas Sultan Langkat sebagai penguasa lokal dengan syarat kesetiaan kepada pemerintah kolonial. Dalam sistem ini:

  • Sultan diberikan kekuasaan atas wilayah adat dan rakyatnya,
  • Belanda bertugas dalam urusan keamanan, pajak, dan ekspor,
  • Kedua pihak bekerja sama dalam pengembangan infrastruktur, pendidikan, dan perkebunan.

2. Kontroversi dan Tuduhan Kolaborasi

Sultan Langkat kerap dituduh terlalu tunduk kepada kepentingan Belanda. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa banyak bangsawan Langkat mendapat pendidikan Barat, gaya hidup Eropa, dan hubungan dagang eksklusif. Beberapa bahkan menjadi anggota Dewan Rakyat atau penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda.


Perkembangan Islam dan Budaya Melayu di Langkat

1. Pusat Dakwah dan Pendidikan Islam

Kesultanan Langkat menjadikan Islam sebagai dasar pemerintahan dan kehidupan sosial:

  • Madrasah-madrasah dan surau berkembang pesat,
  • Qadhi dan ulama memiliki wewenang dalam perkara hukum Islam,
  • Banyak kitab keagamaan ditulis dalam bahasa Arab-Melayu.

Ulama dari Langkat bahkan dikenal di luar negeri, dan sering diundang ke Malaysia dan Singapura.

2. Pelestarian Bahasa dan Sastra Melayu

Kesultanan Langkat juga menjadi pusat perkembangan sastra dan bahasa Melayu klasik. Hikayat, syair, pantun, serta karya keagamaan banyak dilestarikan dan menjadi bagian dari warisan budaya Sumatra Timur.


Revolusi Sosial 1946 dan Kejatuhan Kesultanan

1. Munculnya Sentimen Anti-Feodalisme

Pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945, muncul gerakan rakyat yang menuntut keadilan sosial dan menghapuskan struktur aristokrasi feodal. Di Langkat, kemarahan terhadap kekayaan istana dan dugaan kolaborasi dengan Belanda menjadi pemicu.

2. Peristiwa Revolusi Sosial di Sumatra Timur

Pada tahun 1946, terjadi Revolusi Sosial yang sangat keras di Sumatra Timur:

  • Istana Langkat diserbu dan dijarah,
  • Banyak anggota keluarga bangsawan dibunuh atau ditahan,
  • Arsip, kitab, dan peninggalan budaya dihancurkan.

Kesultanan Langkat secara de facto berakhir, dan wilayahnya diintegrasikan ke dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia.


Warisan dan Relevansi Kesultanan Langkat

1. Jejak Arsitektur dan Sejarah

Meskipun banyak situs dihancurkan saat revolusi, beberapa peninggalan Kesultanan Langkat masih tersisa:

  • Kompleks makam sultan dan tokoh penting,
  • Naskah kuno dan kitab keagamaan,
  • Tradisi lisan dan adat istiadat Melayu Langkat.

2. Kebudayaan yang Tetap Hidup

Identitas Melayu Langkat masih hidup dalam:

  • Bahasa dan kesusastraan Melayu,
  • Tradisi keagamaan dan adat pernikahan,
  • Seni musik dan tari tradisional Melayu Langkat.

Langkat sebagai Cermin Sejarah Politik dan Budaya

Kesultanan Langkat mencerminkan:

  • Kompleksitas hubungan antara kekuasaan adat, kolonialisme, dan agama,
  • Kekuatan adaptif budaya Melayu dalam menghadapi tantangan zaman,
  • Kisah tragis namun penting dari benturan antara tradisi dan modernitas.

Meskipun institusi kesultanan tidak lagi eksis, warisan budaya dan sejarah Langkat tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi kebangsaan Indonesia dan sejarah Islam-Melayu di Sumatra.

About administrator