Kesultanan Mataram Islam (1586 – 1755 M)

“Hegemoni Islam Jawa dan Ambisi Menyatukan Nusantara”


Dari Pajang Menuju Imperium Pedalaman

Kesultanan Mataram Islam berdiri di tengah Jawa sebagai kelanjutan dari Kesultanan Pajang dan menjadi kekuatan Islam terbesar di pedalaman Jawa pada abad ke-17. Di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613–1645), Mataram mencapai masa kejayaan—baik secara militer, politik, maupun budaya.

Dengan pusat di Kotagede, kemudian Kartasura, dan akhirnya Yogyakarta dan Surakarta, Kesultanan Mataram Islam:

  • Mewujudkan visi penyatuan tanah Jawa di bawah panji Islam,
  • Berhadapan langsung dengan kekuatan kolonial Belanda (VOC),
  • Mewariskan kebudayaan Jawa-Islam yang mendalam.

Asal-Usul dan Pendirian Mataram Islam

1. Dari Pajang ke Mataram

Kesultanan Mataram Islam merupakan kelanjutan dari Kesultanan Pajang, yang berdiri setelah runtuhnya Demak. Ketika Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) memimpin Pajang, ia memberikan wilayah Mataram sebagai daerah perdikan kepada salah satu pengikutnya, Ki Ageng Pemanahan, atas jasa dalam memenangkan pertempuran melawan Arya Penangsang.

Setelah wafatnya Ki Ageng Pemanahan, kekuasaan di Mataram jatuh ke tangan putranya, Danang Sutawijaya, yang kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Dialah yang melepaskan diri dari Pajang dan mendirikan Kesultanan Mataram pada 1586 M dengan pusat pemerintahan di Kotagede (sekarang bagian dari Yogyakarta).

2. Visi Islam Pedalaman

Mataram membawa semangat baru: bukan sekadar Islam pesisir sebagaimana Demak atau Banten, tetapi Islam Jawa pedalaman, yang menggabungkan:

  • Dakwah sufistik dan kebudayaan agraris,
  • Legitimasi spiritual dan genealogi kerajaan Majapahit,
  • Sistem kekuasaan terpusat yang bersifat absolut.

Panembahan Senopati: Fondasi Mataram

Sebagai pendiri Mataram, Panembahan Senopati (berkuasa 1586–1601) memulai proses:

  • Islamisasi wilayah pedalaman dengan pendekatan spiritual dan militer,
  • Mengkonsolidasikan kekuatan elite lokal, terutama dari klan Mataram dan keturunan Majapahit,
  • Menjadikan Mataram sebagai kerajaan bercorak Islam-Jawa yang kuat.

Ia dikenal menjalin hubungan mistik dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, sebagai simbol kekuasaan spiritual yang memperkuat legitimasi politiknya.


Sultan Agung (1613–1645): Puncak Kejayaan

1. Konsolidasi Wilayah

Sultan Agung adalah sultan terbesar Mataram. Di bawah kekuasaannya:

  • Seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian besar Jawa Barat berhasil ditaklukkan,
  • Mengalahkan kerajaan-kerajaan kecil seperti Surabaya, Gresik, Tuban, dan Madura,
  • Mataram menjadi satu-satunya kerajaan besar yang menguasai daratan Jawa.

2. Perlawanan terhadap VOC

Sultan Agung menyadari ancaman VOC yang mulai menguasai Batavia. Ia melancarkan dua ekspedisi besar:

  • 1628 dan 1629, menyerang Batavia,
  • Namun gagal menembus benteng VOC karena lemahnya logistik dan penyakit di pasukan.

Meskipun gagal secara militer, Sultan Agung tetap dikenang sebagai:

  • Simbol perlawanan Islam-Jawa terhadap kolonialisme Barat,
  • Penguasa dengan visi geopolitik besar untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Islam-Jawa.

3. Reformasi Kebudayaan dan Kalender

Sultan Agung juga dikenal sebagai reformator budaya:

  • Menciptakan Kalender Jawa-Islam, yang menggabungkan sistem Hijriyah dan Saka,
  • Menyusun ulang sistem administrasi dan keagamaan berbasis Islam dan tradisi lokal,
  • Menjadi pelindung utama sastra, seni pertunjukan, dan arsitektur klasik Jawa.

Pemerintahan dan Struktur Sosial

Mataram mengembangkan sistem kekuasaan terpusat:

  • Sultan memegang kekuasaan absolut, dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi,
  • Adanya struktur birokrasi priyayi, dari bupati, patih, hingga kepala desa,
  • Lembaga keagamaan seperti penghulu, imam, dan kadi dijadikan bagian dari struktur negara.

Kehidupan masyarakat ditata dalam hierarki:

  • Raja dan keluarga kerajaan di puncak,
  • Priyayi (bangsawan-birokrat),
  • Santri dan ulama,
  • Wong cilik (rakyat biasa, petani, pengrajin).

Budaya, Arsitektur, dan Keilmuan

1. Seni dan Sastra

Pada masa Sultan Agung dan penerusnya, berkembang pesat:

  • Karya sastra suluk dan serat spiritual seperti Suluk Malang Sumirang, Serat Centhini, dan Suluk Sukarsa,
  • Wayang kulit sebagai media dakwah dan pendidikan,
  • Gamelan, tembang macapat, dan tarian keraton menjadi representasi harmoni budaya Islam dan Jawa.

2. Arsitektur

Keraton Mataram (di Kotagede, kemudian Kartasura) dibangun dengan konsep kosmologi Jawa-Islam, yaitu:

  • Alun-alun sebagai pusat interaksi rakyat,
  • Masjid dan paseban sebagai pusat spiritual dan pemerintahan,
  • Benteng dan gapura sebagai simbol perlindungan duniawi dan ukhrawi.

Kemunduran dan Fragmentasi

1. Perang Suksesi dan Pemberontakan

Setelah Sultan Agung wafat, Mataram mulai melemah karena:

  • Perebutan kekuasaan antar pangeran,
  • Pemberontakan daerah, terutama dari wilayah pesisir yang tidak puas atas dominasi pedalaman.

Sultan-sultan berikutnya seperti Amangkurat I dan II menghadapi:

  • Perlawanan Trunajaya (1675–1680) dari Madura,
  • Kerusuhan berdarah di keraton dan intervensi Belanda.

2. Intervensi VOC dan Giyanti

Keterlibatan VOC dalam urusan dalam negeri Mataram mencapai puncaknya pada abad ke-18. Akhirnya:

  • Terjadi Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Mataram menjadi dua:
    • Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwana,
    • Kesultanan Yogyakarta di bawah Hamengkubuwana.
  • Tahun 1757, Pakualaman dibentuk sebagai pecahan dari Yogyakarta.

Warisan Sejarah dan Budaya

  1. Pusat Peradaban Islam-Jawa
    Mataram adalah pencipta tradisi Islam-Jawa yang hidup hingga kini:
  • Ritual sekaten, grebeg, slametan, dan upacara keraton adalah hasil sintesis Islam dan budaya lokal.
  1. Simbol Perlawanan terhadap Penjajah
    Sultan Agung menjadi lambang perlawanan terhadap VOC dan tokoh yang dijadikan pahlawan nasional.
  2. Pelestari Bahasa dan Sastra Jawa
    Keraton Mataram dan pecahannya (Surakarta dan Yogyakarta) menjadi pusat pengembangan bahasa, seni, dan ilmu pengetahuan klasik.

Kesultanan Mataram Islam adalah kerajaan yang paling berhasil dalam menyatukan Jawa secara politik, budaya, dan spiritual. Dengan fondasi Islam yang berpadu dengan nilai-nilai Jawa, Mataram melahirkan warisan budaya yang mendalam dan panjang.

Dari Sultan Agung hingga pecahnya melalui Giyanti, Mataram meninggalkan jejak sebagai kerajaan agung dengan ambisi besar, sekaligus sebagai contoh kompleksitas antara kekuasaan lokal dan tekanan kolonialisme asing.

About administrator