Kesultanan Pontianak (1771 – 1950)

“Negeri di Muara Kapuas: Islam, Maritim, dan Politik Melayu di Kalimantan Barat”


Sungai, Islam, dan Kesultanan

Kesultanan Pontianak merupakan salah satu kesultanan Melayu paling penting di wilayah Kalimantan, didirikan pada tahun 1771 oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie, keturunan Rasulullah dari Hadramaut yang datang melalui jalur dakwah dan perdagangan. Kesultanan ini tumbuh di muara Sungai Kapuas, pusat lalu lintas maritim yang strategis, dan sejak awal menggabungkan kekuatan spiritual, diplomasi dagang, dan pengaruh genealogis keislaman yang kuat.

Pontianak bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga simbol Islam transnasional yang tumbuh dalam konteks lokal Melayu, dan menjalin relasi erat dengan dunia Arab, kesultanan di Nusantara, serta kekuatan kolonial.


Pontianak sebagai Simbol Islam Maritim di Kalimantan

Kesultanan Pontianak, yang berdiri pada tahun 1771 di tepi muara Sungai Kapuas, merupakan entitas politik, keagamaan, dan budaya yang penting dalam sejarah Kalimantan Barat. Didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie, seorang ulama dan keturunan Rasulullah dari Hadramaut (Yaman), Pontianak merupakan pertemuan antara kekuatan spiritual Islam, tradisi Melayu, dan dinamika pelayaran internasional.

Pontianak menjadi pusat:

  • Dakwah Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,
  • Hub perdagangan antara pedagang Arab, Cina, dan Bugis,
  • Perlawanan diplomatik terhadap kolonialisme,
  • Pusat pendidikan Islam dan literasi Arab-Melayu di wilayah Kalimantan.

Kesultanan ini bukan hanya simbol politik, tetapi juga benteng peradaban Islam yang terorganisir dengan sistem birokrasi berbasis adat dan syariat.


Asal-Usul dan Pendirian Kesultanan Pontianak

1. Latar Belakang Kedatangan Keturunan Arab di Nusantara

Gelombang migrasi Arab, khususnya dari Hadramaut, telah berlangsung selama berabad-abad. Keturunan Ba Alawi sering disebut sebagai pembawa Islam ke berbagai wilayah Nusantara. Mereka mendirikan kesultanan atau menjadi penasihat spiritual dan elite di berbagai wilayah, termasuk Aceh, Palembang, Banjarmasin, dan akhirnya Pontianak.

2. Pendirian oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie

Syarif Abdurrahman merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Ia berlayar dari Mempawah menuju wilayah muara Sungai Kapuas dan mendirikan pusat kekuasaan baru di lokasi yang kemudian dikenal sebagai Pontianak. Pada 23 Oktober 1771, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai sultan pertama.

Pemilihan lokasi didasarkan pada:

  • Posisi strategis jalur dagang laut dan sungai,
  • Kemudahan akses ke pedalaman dan pesisir,
  • Potensi ekonomi dari hasil hutan, lada, dan emas.

Struktur Pemerintahan dan Sistem Sosial

1. Kelembagaan Kesultanan

Kesultanan Pontianak memiliki sistem pemerintahan berjenjang:

  • Sultan sebagai pemimpin tertinggi spiritual dan duniawi,
  • Mufti dan Qadhi sebagai otoritas keagamaan dan hukum syariah,
  • Majelis Adat dan Menteri yang menjalankan fungsi pemerintahan,
  • Lurah dan Mandor untuk mengelola wilayah administratif.

Sistem ini menggabungkan unsur Arab-Hadramaut dengan tradisi pemerintahan Melayu dan struktur feodal lokal.

2. Islam sebagai Dasar Pemerintahan

Syariat Islam menjadi dasar konstitusi informal. Hukum-hukum Islam diterapkan terutama dalam:

  • Nikah dan waris,
  • Waqaf dan zakat,
  • Pendidikan dan pengajaran agama.

Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman menjadi pusat kegiatan keagamaan dan juga simbol negara.


Dinamika Ekonomi dan Hubungan Perdagangan

1. Pontianak sebagai Pelabuhan Dagang

Kesultanan Pontianak menjelma menjadi pelabuhan dagang utama di Kalimantan. Komoditas utama meliputi:

  • Lada hitam dan rempah-rempah,
  • Hasil hutan (rotan, kayu ulin),
  • Emas dari pedalaman,
  • Sarang burung walet dan hasil laut.

2. Jaringan Dagang Internasional

Kesultanan ini menjalin hubungan perdagangan dengan:

  • Pedagang Bugis dan Makassar dari Sulawesi,
  • Pedagang Cina dari Singkawang dan Kubu Raya,
  • Pedagang Arab dari Hadramaut,
  • Kapal-kapal dagang Belanda dan Inggris.

Kebijakan perdagangan sultan cenderung terbuka dan akomodatif terhadap berbagai bangsa, asalkan tidak mengancam kedaulatan lokal.


Hubungan dengan Kolonial Belanda dan Politik Regional

1. Awal Kontak dan Perjanjian Awal

VOC mulai menjalin kontak dengan Pontianak sejak akhir abad ke-18. Dalam upaya mengamankan dominasi atas jalur dagang Kalimantan, VOC memaksa kesultanan-kesultanan lokal untuk menandatangani perjanjian yang merugikan. Pontianak pada awalnya berusaha menjaga kedaulatan dengan jalur diplomasi.

2. Intervensi dan Kooptasi Kekuasaan

Pada abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda:

  • Memaksakan kehadiran Residen kolonial di lingkungan istana,
  • Membatasi kekuasaan sultan hanya pada urusan adat dan agama,
  • Menjadikan Pontianak sebagai bagian dari sistem pemerintahan kolonial.

Meski begitu, beberapa sultan Pontianak seperti Sultan Syarif Yusuf Alqadrie dan Sultan Syarif Muhammad Alkadrie tetap berperan aktif dalam menjaga martabat Islam dan adat melalui strategi negosiasi dan perlawanan kultural.


Pontianak sebagai Pusat Pendidikan dan Keilmuan Islam

1. Tradisi Literasi Islam

Pontianak memiliki tradisi penulisan dan pendidikan Islam yang kuat. Banyak manuskrip ditemukan mencakup:

  • Kitab tafsir dan fiqih dalam bahasa Arab-Melayu,
  • Naskah-naskah khutbah dan fatwa kesultanan,
  • Hikayat sejarah Islam dan silsilah Alawiyyin.

2. Madrasah dan Dakwah

Kesultanan mendirikan madrasah dan surau sebagai pusat pendidikan rakyat. Dakwah Islam tersebar hingga pedalaman Kapuas Hulu, dan peran dai dari Pontianak diakui luas hingga wilayah Melayu lainnya di Kalimantan dan Malaysia Barat.


Masa Akhir Kesultanan dan Integrasi ke Republik

1. Masa Jepang dan Revolusi

Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), banyak anggota keluarga kesultanan dan elite Melayu ditangkap atau dibunuh dalam Peristiwa Mandor. Ini menjadi salah satu tragedi besar dalam sejarah Kalimantan Barat.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Hamid II sempat terlibat dalam:

  • Konferensi Meja Bundar,
  • Perumusan Lambang Negara (Garuda Pancasila),
  • Upaya memperkuat integrasi kesultanan ke dalam NKRI.

2. Penghapusan Status Kesultanan

Pada tahun 1950, Pontianak menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Barat dalam sistem Republik Indonesia. Status kesultanan dihapus, namun:

  • Garis keturunan Alqadrie masih dihormati,
  • Budaya dan adat Melayu tetap hidup dalam struktur sosial masyarakat.

Warisan Budaya dan Identitas Melayu Islam Pontianak

1. Arsitektur dan Simbol Kesultanan

Warisan fisik Kesultanan Pontianak yang masih ada hingga kini:

  • Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman,
  • Keraton Kadariah di tepi Sungai Kapuas,
  • Nisan dan pemakaman bangsawan Alqadrie.

2. Bahasa dan Sastra

Pontianak menjadi pusat penyebaran bahasa Melayu dialek Kalimantan Barat yang kini menjadi lingua franca di daerah tersebut. Karya sastra berupa syair, hikayat, dan kitab keagamaan ditulis dalam aksara Arab-Melayu (Jawi) dan aksara Latin sejak abad ke-19.


Kesultanan Pontianak dan Relevansinya Hari Ini

Kesultanan Pontianak adalah contoh keberhasilan Islamisasi yang damai dan produktif, membentuk sistem pemerintahan yang kuat, toleran, dan terbuka terhadap pengaruh luar namun tetap menjaga akar budaya lokal. Ia merupakan simbol peradaban Islam Melayu yang adaptif dan dinamis.

Hingga kini, masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat masih menjadikan nilai-nilai dari Kesultanan—seperti keadaban, adab Islam, musyawarah, dan kemajuan ilmu—sebagai pilar dalam membangun identitas daerah dan bangsa Indonesia secara lebih luas.

About administrator