Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350–1389 M) dikenal sebagai puncak kejayaan politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam sejarah klasik Nusantara. Di bawah kepemimpinan sang raja yang bijak dan Mahapatih Gajah Mada yang visioner, Majapahit berhasil membentuk sebuah mandala kekuasaan luas yang meliputi hampir seluruh wilayah kepulauan Indonesia modern. Masa ini dikenang bukan hanya karena kekuatan militernya, tetapi juga karena keberhasilannya menyatukan beragam wilayah dengan cara yang kompleks—melalui diplomasi, aliansi pernikahan, pengaruh budaya, dan, jika perlu, kekuatan senjata.
Salah satu momen penting dalam sejarah ekspansi Majapahit adalah ekspedisi ke wilayah timur Nusantara yang berlangsung secara bertahap dari tahun 1357 hingga sekitar 1370 M. Ekspedisi ini mencakup penaklukan atau integrasi kawasan seperti Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, hingga Nusa Tenggara dan bagian timur lainnya. Proses ini bukan sekadar perluasan teritorial, tetapi juga strategi untuk memastikan kendali atas jalur perdagangan maritim yang vital, sumber daya penting seperti rempah-rempah dan kayu cendana, serta untuk memperluas pengaruh ideologis Majapahit sebagai pusat peradaban Jawa-Hindu-Buddha di Asia Tenggara.
Secara kronologis, ekspedisi ini terjadi pasca tragedi Perang Bubat tahun 1357, yang mengguncang hubungan diplomatik Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan menimbulkan dampak moral-politik di istana. Namun alih-alih menjadi titik kemunduran, Majapahit justru mengalihkan orientasi ekspansi ke arah timur. Hal ini menunjukkan kemampuan adaptasi strategis Gajah Mada, yang tetap berkomitmen menyelesaikan Sumpah Palapa—tekadnya untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.
Dalam ekspedisi ini, peran Mahapatih Gajah Mada sangat sentral. Ia tidak hanya bertindak sebagai pemimpin militer, tetapi juga sebagai perancang besar strategi ekspansi lintas kepulauan. Keberhasilan ekspedisi ke timur memperlihatkan sinergi antara kekuatan laut (armada jong), diplomasi halus (pengiriman utusan, pernikahan politik), dan kontrol budaya yang menyentuh sendi-sendi pemerintahan lokal.
Kebesaran Majapahit di Bawah Hayam Wuruk (1350–1389 M)
Masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja keempat Kerajaan Majapahit, secara umum dianggap sebagai masa keemasan dalam sejarah politik dan peradaban Jawa kuno. Di bawah kepemimpinannya, Majapahit mencapai puncak ekspansi teritorial, kematangan administratif, kejayaan diplomatik, serta kemegahan budaya yang diabadikan dalam berbagai karya sastra dan arsitektur. Nama Hayam Wuruk, yang juga dikenal dengan gelar Rajasanagara, sangat identik dengan sosok Mahapatih Gajah Mada, arsitek ekspansi dan stabilitas Majapahit.
1. Luas Wilayah Kekuasaan
Negarakretagama (1365), karya Mpu Prapanca, mencatat lebih dari 98 daerah taklukan yang berada di bawah pengaruh Majapahit. Wilayah tersebut mencakup:
- Seluruh pulau Jawa,
- Sumatra dan Semenanjung Malaya (Malaka),
- Kalimantan,
- Sulawesi,
- Bali, Nusa Tenggara, dan bagian timur Nusantara,
- Hingga pengaruh ke wilayah luar seperti Tumasik (Singapura), Gurun (Maluku), dan Bakulapura (Kalimantan Barat).
Ini menunjukkan bahwa Majapahit adalah kerajaan mandala maritim, bukan hanya kekuatan daratan.
2. Sistem Pemerintahan yang Terstruktur
Majapahit di bawah Hayam Wuruk memiliki sistem birokrasi yang kompleks dan tertata:
- Raja sebagai kepala negara dan pusat sakral kekuasaan,
- Mahapatih (Gajah Mada) sebagai pemegang kuasa administratif tertinggi,
- Dewan Adipati yang memimpin daerah-daerah vasal,
- Utusan dan penghulu dagang yang menjembatani hubungan diplomatik dan ekonomi lintas wilayah.
Pembagian wilayah dan urusan administrasi menunjukkan kemajuan dalam manajemen kekuasaan multikultural dan multibahasa di seluruh kepulauan.
3. Kejayaan Sastra, Seni, dan Arsitektur
Di masa ini berkembang karya sastra dan intelektual luar biasa:
- Negarakretagama (Mpu Prapanca), yang mencatat sistem pemerintahan dan wilayah Majapahit secara rinci,
- Sutasoma (Mpu Tantular), yang memuat ajaran toleransi dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika,
- Karya arsitektur seperti Candi Penataran di Blitar yang merupakan salah satu kompleks candi terbesar era Majapahit.
Kebudayaan Majapahit menunjukkan sinkretisme Hindu-Buddha dan menjadi model budaya Jawa klasik hingga berabad-abad setelah keruntuhannya.
4. Stabilitas Politik dan Dominasi Regional
Meski menghadapi konflik internal seperti Perang Bubat (1357), Hayam Wuruk mampu mempertahankan stabilitas dengan:
- Menyusun kembali struktur dalam negeri,
- Melanjutkan proyek ekspansi ke wilayah timur untuk menjaga semangat unifikasi Nusantara yang diusung Gajah Mada.
Majapahit menjadi pusat koalisi maritim besar, menandingi Sriwijaya sebelumnya, dan menguasai jalur rempah utama Asia Tenggara.
5. Diplomasi dan Ekonomi yang Mengglobal
Majapahit menjadi poros penting dalam jaringan dagang maritim Asia:
- Hubungan dengan Tiongkok (Dinasti Yuan dan Ming), Champa, dan India,
- Pelabuhan-pelabuhan seperti Canggu dan Tuban menjadi pusat distribusi komoditas seperti rempah, emas, kayu cendana, dan beras,
- Mata uang dan sistem takaran mulai distandardisasi.
Majapahit menjadi kekuatan perdagangan global, sejajar dengan pusat-pusat dagang besar Asia lainnya.
Kebesaran Majapahit di bawah Hayam Wuruk tidak hanya terletak pada luas wilayah atau kekuatan militernya, tetapi juga pada konsolidasi budaya, sistem pemerintahan, ekonomi, dan diplomasi. Inilah fondasi kuat yang memungkinkan kerajaan ini melakukan ekspedisi besar ke kawasan timur—melanjutkan visi geopolitik “Nusantara” yang pernah dirancang oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa.
Pasca Perang Bubat (1357) dan Stabilitas Internal
Peristiwa Perang Bubat pada tahun 1357 menjadi salah satu episode paling tragis sekaligus menentukan dalam sejarah politik Majapahit. Insiden ini bukan sekadar konflik militer antara dua kerajaan besar, tetapi juga menjadi ujian bagi kepemimpinan Hayam Wuruk dan kredibilitas Gajah Mada sebagai Mahapatih utama. Di balik tragedi berdarah itu, tersimpan dinamika penting yang menjadi latar belakang langsung ekspedisi Majapahit ke kawasan timur Nusantara.
A. Tragedi Bubat: Politik yang Berujung Perang
Awalnya, Perang Bubat dipicu oleh niat Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka, putri dari Kerajaan Sunda. Niat tersebut sejatinya dimaksudkan untuk mempererat hubungan antara dua kekuatan besar di Jawa: Majapahit di timur dan Sunda Galuh di barat.
Namun, niat ini diinterpretasikan berbeda oleh Gajah Mada. Sang Mahapatih, yang masih mengemban Sumpah Palapa (tekad menyatukan seluruh Nusantara), menganggap pernikahan itu sebagai momen untuk menundukkan Sunda secara politik. Maka diaturlah agar Dyah Pitaloka datang ke Bubat (di dekat ibu kota Majapahit) untuk “diserahkan” sebagai bentuk penaklukan, bukan aliansi setara. Kerajaan Sunda menolak interpretasi ini, dan konflik bersenjata pun tak terhindarkan. Raja Sunda beserta putrinya dan seluruh pengiringnya gugur.
B. Dampak Internal Perang Bubat
Insiden ini menimbulkan trauma diplomatik:
- Hubungan Majapahit–Sunda memburuk secara drastis hingga ratusan tahun berikutnya.
- Hayam Wuruk mengalami tekanan batin dan reputasi, karena niat baiknya berubah menjadi tragedi besar.
- Gajah Mada kehilangan dukungan moral di kalangan bangsawan, meskipun tetap menjabat sebagai Mahapatih.
Namun, dari sudut pandang kekuasaan, Majapahit tidak runtuh karena insiden ini. Justru sebaliknya—kerajaan semakin mengonsolidasikan kekuatan di dalam untuk meneguhkan posisinya secara regional. Hayam Wuruk menata ulang hubungan internal istana dan wilayah, sambil menjaga peran Gajah Mada sebagai tokoh sentral.
C. Stabilitas Pasca-Bubat dan Orientasi Baru
Alih-alih terjebak dalam konflik domestik berkepanjangan, Majapahit melakukan manuver strategis:
- Memperkuat pusat kekuasaan di Jawa Timur melalui kontrol administrasi dan pergantian pejabat.
- Mengalihkan ekspansi ke arah timur yang relatif lebih cair secara politik dan belum memiliki kerajaan besar pesaing.
- Menggunakan ekspansi ini sebagai penebusan moral dan pembuktian kekuatan kembali, terutama oleh Gajah Mada yang mulai dipertanyakan kredibilitasnya.
Ekspedisi ke timur pun dimulai tak lama setelah insiden Bubat, dengan Bali sebagai batu loncatan, disusul oleh penaklukan atau integrasi daerah-daerah seperti Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, hingga Nusa Tenggara.
Titik Balik Strategis
Perang Bubat menandai akhir dari ekspansi diplomatik Majapahit ke barat, namun menjadi pemicu ekspansi aktif ke wilayah timur. Dalam konteks ini, Hayam Wuruk menunjukkan kemampuan seorang raja untuk bangkit dari krisis, sementara Gajah Mada tetap memainkan peran penting dalam menjalankan visi geopolitik Nusantara secara lebih agresif dan sistematis.
Dengan stabilitas internal yang dijaga dan energi politik yang dialihkan ke luar pulau Jawa, ekspedisi ke timur menjadi proyek unifikasi baru yang membawa Majapahit ke puncak kejayaannya.
Peran Strategis Gajah Mada dalam Pelaksanaan Ekspansi ke Wilayah Timur
Mahapatih Gajah Mada merupakan figur sentral dalam politik ekspansionis Majapahit abad ke-14. Ia bukan hanya tokoh administratif, melainkan juga arsitek geopolitik yang memiliki pandangan luas tentang Nusantara sebagai suatu entitas yang bisa dan harus dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit. Dalam konteks ekspansi ke timur yang berlangsung antara tahun 1357 hingga sekitar 1370 M, peran Gajah Mada sangat menonjol—baik dalam aspek militer, diplomatik, maupun ideologis. Ekspedisi ini bukan hanya kelanjutan dari ambisinya dalam Sumpah Palapa, tetapi juga menjadi ladang pembuktian ulang setelah reputasinya sempat terguncang oleh insiden Perang Bubat.
1. Pelanjut dan Penggerak Sumpah Palapa
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada dalam Pararaton menyebutkan niatnya untuk tidak menikmati “palapa” (kenikmatan duniawi) sebelum seluruh wilayah Nusantara tunduk kepada Majapahit. Dalam daftar sumpah tersebut, wilayah-wilayah seperti Bali, Lombok, Dompo, Makassar, Buton, Seram, dan Tanjungpura secara eksplisit disebut sebagai target.
Setelah keberhasilannya mengintegrasikan Sumatra, Kalimantan, dan Malaka, wilayah timur menjadi sasaran berikutnya. Gajah Mada memandang kawasan ini strategis dari sisi:
- Geopolitik: mengamankan sisi timur Majapahit dari potensi pesaing atau pemberontakan.
- Ekonomi: penguasaan atas sumber daya seperti cendana, budak, dan hasil laut.
- Kultural: penyebaran pengaruh Hindu-Buddha sebagai alat ideologis dan administratif.
2. Perancang Strategi Ekspedisi Lintas Laut
Sebagai seorang negarawan dan jenderal, Gajah Mada tidak hanya duduk di istana. Ia terlibat langsung dalam:
- Penyusunan armada laut besar (jong-jong Majapahit) untuk menaklukkan atau menyapa wilayah kepulauan timur.
- Delegasi militer dan diplomatik yang dikirim ke Bali, Lombok, Sumbawa, dan Sulawesi Selatan.
- Penataan struktur kekuasaan lokal pasca-penaklukan, termasuk penempatan penguasa baru yang loyal kepada Majapahit.
Beberapa sumber, seperti Negarakretagama dan catatan lisan lokal, menyebut bahwa Gajah Mada mengutus para panglima dan arya (bangsawan) untuk menduduki posisi strategis di daerah baru, seperti di Bali (Dinasti Arya Kepakisan), yang memperkuat kontrol administratif dan ideologis Majapahit.
3. Ahli Diplomasi dan Koalisi Politik
Ekspansi ke timur tidak selalu dilakukan melalui kekuatan militer brutal. Gajah Mada dikenal pula sebagai:
- Arsitek diplomasi tributari, di mana kerajaan-kerajaan lokal diminta untuk tunduk sebagai bawahan Majapahit, tanpa harus ditaklukkan secara militer.
- Pengusung aliansi melalui pernikahan politik, misalnya pengiriman bangsawan Jawa untuk menikahi putri lokal sebagai bentuk legitimasi kekuasaan baru.
- Pelindung raja-raja lokal yang bersedia mengakui kekuasaan Majapahit, sambil memberi mereka otonomi terbatas.
Pendekatan ini menciptakan semacam “jaringan mandala Majapahit” yang lebih stabil daripada dominasi dengan penindasan.
4. Pengelola Informasi dan Intelejen Wilayah
Sebelum ekspedisi dilaksanakan, Gajah Mada dikenal sangat teliti:
- Mengumpulkan data geografis dan politik daerah target melalui jalur dagang dan utusan,
- Memetakan kekuatan, budaya, dan potensi konflik di masing-masing wilayah,
- Mengklasifikasi wilayah yang bisa ditundukkan melalui pendekatan lunak dan mana yang harus ditaklukkan secara militer.
Pendekatan berbasis informasi ini menunjukkan bahwa Gajah Mada memiliki prototipe sistem intelijen dan perencanaan teritorial jauh sebelum konsep geopolitik modern berkembang.
5. Penentu Warisan Kekuasaan Lintas Pulau
Warisan terbesar Gajah Mada dari ekspansi ke timur bukan hanya penguasaan geografis, melainkan juga:
- Pengintegrasian sistem kekuasaan Jawa ke dalam struktur lokal,
- Penyebaran bahasa dan simbol Majapahit (seperti lambang surya-majapahit, sistem kasta adaptif),
- Pembentukan cikal bakal hubungan historis dan politis antara Jawa dan kawasan timur Nusantara yang bertahan bahkan hingga masa kolonial dan Indonesia modern.
Gajah Mada Sebagai Arsitek Nusantara Timur
Ekspedisi ke wilayah timur adalah perwujudan visi Gajah Mada tentang Nusantara sebagai satu entitas politik dan kultural. Ia menggunakan gabungan antara kekuatan militer, diplomasi cerdas, dan simbolisme budaya untuk memperluas pengaruh Majapahit tanpa perlu menaklukkan semuanya dengan kekerasan.
Dengan latar belakang krisis akibat Perang Bubat, ekspedisi ini menjadi bentuk rehabilitasi nama Gajah Mada sekaligus bukti kematangan politik Majapahit dalam memperluas hegemoni secara berkelanjutan.
Strategi Militer, Diplomatik, dan Integrasi Budaya Majapahit di Kawasan Timur Nusantara
Ekspedisi Hayam Wuruk ke kawasan timur Nusantara pada pertengahan abad ke-14 merupakan manuver geopolitik besar yang tidak hanya bersifat militer, tetapi juga komprehensif dan multidimensi. Majapahit, di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, menerapkan tiga pilar utama dalam membangun dominasi terhadap kerajaan-kerajaan timur: kekuatan militer, kecanggihan diplomasi, dan strategi integrasi budaya.
Wilayah timur Nusantara—yang mencakup Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, dan Maluku—sangat penting karena lokasinya yang strategis dalam jalur perdagangan, kekayaan alamnya (seperti cendana, mutiara, emas, dan budak), serta potensi geopolitik yang besar. Untuk itu, Majapahit tidak hanya datang membawa pasukan, tapi juga peradaban.
1. Strategi Militer: Kekuatan Laut dan Proyeksi Kekuatan
Majapahit dikenal memiliki armada laut yang tangguh, terdiri dari kapal-kapal besar seperti jong, yang mampu mengangkut pasukan, perbekalan, dan perlengkapan tempur lintas samudra.
Ciri strategi militer Majapahit di wilayah timur:
- Ekspedisi berskala besar: Pengerahan armada dalam jumlah besar menandakan keseriusan Majapahit dalam menguasai wilayah secara permanen, bukan hanya sebagai razia.
- Serangan terukur: Kekerasan hanya digunakan terhadap kerajaan yang menolak tunduk secara diplomatik. Contohnya di Sumbawa dan Bali.
- Penguasaan pelabuhan: Pelabuhan-pelabuhan strategis dijadikan pangkalan logistik, baik di Bali utara (Buleleng), Pejanggik (Lombok), dan Luwu (Sulawesi Selatan).
- Kampanye bergelombang: Ekspedisi dilakukan bertahap, wilayah demi wilayah, dengan pendekatan yang disesuaikan terhadap konteks lokal.
Majapahit tidak menerapkan kebijakan bumi hangus, tapi mengganti elite lokal dengan loyalis, atau menjadikan wilayah sebagai vasal dengan pengawasan terbatas.
2. Strategi Diplomatik: Tributari, Aliansi, dan Pernikahan Politik
Diplomasi adalah senjata halus Majapahit. Tidak semua wilayah ditaklukkan dengan kekerasan. Beberapa tunduk secara sukarela setelah pendekatan simbolik, diplomatik, atau religius.
Ciri khas diplomasi Majapahit:
- Sistem tributari: Kerajaan lokal yang tunduk tetap diberi otonomi, asalkan mengakui kedaulatan Majapahit dan mengirim upeti berkala.
- Pernikahan politik: Beberapa bangsawan Jawa dinikahkan dengan putri atau pangeran lokal untuk membangun ikatan darah yang sah dan legitimatif.
- Pengangkatan penguasa baru: Bila penguasa lama ditumbangkan, Majapahit menempatkan “Arya” atau bangsawan Majapahit sebagai penguasa baru, seperti di Bali (Arya Kepakisan) dan Lombok.
- Pengiriman duta budaya dan ulama Siwa-Buddha: Hal ini menyertai ekspansi sebagai “pembawa peradaban”.
Diplomasi ini menciptakan jejaring kekuasaan yang tidak kaku, fleksibel, dan dapat disesuaikan dengan kondisi lokal.
3. Strategi Integrasi Budaya: Penaklukan Simbolik dan Soft Power
Majapahit menyadari bahwa menguasai wilayah luas tidak bisa bertumpu pada militer saja. Maka dilakukanlah strategi “penaklukan simbolik dan budaya”:
A. Penyebaran Simbol Politik & Keagamaan
- Penggunaan lambang surya Majapahit, cap kerajaan, dan sistem kasta adaptif diterapkan di wilayah-wilayah baru.
- Penyebaran agama Siwa-Buddha sebagai kekuatan legitimasi. Candi dan tempat pemujaan dibangun untuk menyatukan kepercayaan lokal.
B. Bahasa & Sistem Pemerintahan
- Bahasa Kawi dan Jawa Kuna mulai digunakan sebagai bahasa birokrasi dan sastra lokal.
- Tata pemerintahan Majapahit diadopsi oleh beberapa kerajaan daerah dengan modifikasi lokal, menciptakan semacam “franchise kekuasaan”.
C. Seni, Arsitektur & Sastra
- Patung, relief, dan struktur candi bercorak Majapahit ditemukan di berbagai wilayah timur (misalnya di Bali, Lombok, hingga Trowulan).
- Pengaruh sastra Majapahit masuk ke kerajaan-kerajaan lokal, seperti dalam bentuk babad dan kidung daerah.
4. Keseimbangan: Kekuasaan Tanpa Penindasan
Keunggulan strategi Majapahit adalah kemampuannya menyatukan kekuasaan keras (hard power) seperti militer, dan kekuatan lunak (soft power) seperti diplomasi dan budaya.
Dengan strategi terpadu ini, Majapahit:
- Menciptakan stabilitas relatif di kawasan timur selama beberapa dekade,
- Menjadikan kerajaan-kerajaan baru sebagai bagian dari “mandala Majapahit”,
- Mengamankan jalur ekonomi penting (rempah, budak, hasil laut),
- Membangun fondasi kultural yang bertahan hingga masa kolonial dan bahkan memengaruhi identitas regional Indonesia timur hingga kini.
Majapahit tidak hanya memperluas wilayah secara fisik, tetapi juga mengintegrasikan sistem politik, budaya, dan ekonomi dalam satu kerangka besar kekuasaan Nusantara. Strategi ekspansi ke timur ini menjadi model keberhasilan dalam penyatuan kepulauan yang beragam secara damai dan berkelanjutan. Inilah wujud konkret “Cakrawala Mandala Maritim” — sebuah imperium kepulauan yang dikelola dengan kecanggihan luar biasa untuk zamannya.
Latar Belakang Ekspansi ke Timur
Ekspansi Majapahit ke wilayah timur Nusantara pada masa pemerintahan Hayam Wuruk bukanlah keputusan spontan, melainkan bagian dari rencana jangka panjang yang berakar pada perkembangan politik, ekonomi, dan ideologis kerajaan. Di bawah pengaruh Mahapatih Gajah Mada, ekspansi ini diarahkan untuk memperkuat hegemoni Majapahit atas kepulauan, terutama setelah tragedi Perang Bubat (1357) yang menandai kegagalan diplomasi ke arah barat (Sunda).
Langkah ekspansionis ini berakar dari berbagai faktor penting, yang akan dijabarkan dalam beberapa subbagian berikut:
A. Situasi Politik Majapahit (1350-an)
Setelah naik takhta pada tahun 1350, Hayam Wuruk mewarisi Majapahit dalam keadaan relatif stabil, berkat kerja keras ayahandanya Raden Wijaya dan kakeknya Kertarajasa. Namun, wilayah kekuasaan Majapahit kala itu masih terbatas secara de facto pada pulau Jawa dan sebagian pesisir Sumatra serta Kalimantan.
Situasi internal sangat bergantung pada figur Gajah Mada, yang bertindak sebagai pemegang kendali utama atas urusan luar negeri dan ekspansi wilayah. Ia telah sukses memperluas pengaruh Majapahit melalui ekspedisi diplomatik dan militer ke barat (Ekspedisi Pamalayu), dan kini beralih fokus ke arah timur.
Dengan dukungannya yang kuat dari Raja, serta jaringan pejabat dan panglima di berbagai daerah, Majapahit saat itu sangat siap untuk:
- Menyusun ekspedisi maritim besar,
- Mengelola administrasi lintas pulau,
- Mengintegrasikan wilayah baru ke dalam struktur mandala kekuasaan.
B. Kawasan Timur: Potensi dan Fragmentasi
Wilayah timur Nusantara saat itu, yang mencakup Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, hingga Maluku, berada dalam kondisi politik terfragmentasi:
- Tidak ada satu kerajaan besar yang mendominasi seluruh kawasan,
- Terdapat banyak kerajaan kecil, seperti Bali Dwipa, Pejanggik (Lombok), Dompo dan Bima (Sumbawa), Luwu dan Gowa (Sulawesi Selatan), dan entitas lokal lain yang masih bersifat mandiri,
- Hubungan antardaerah umumnya bersifat dagang atau ritual, bukan politik terpusat.
Hal ini menjadikan kawasan timur sebagai target strategis yang bisa ditundukkan tanpa perang besar seperti di Jawa atau Sumatra.
C. Jalur Perdagangan dan Sumber Daya
Motif ekonomi Majapahit sangat kuat untuk menaklukkan kawasan timur:
- Kayu cendana (Timor), mutiara (Lombok, Maluku), rempah-rempah (Maluku), dan budak dari Sumbawa dan Sulawesi Selatan adalah komoditas bernilai tinggi di jaringan dagang Asia,
- Kawasan ini juga menjadi persinggahan penting dalam jalur laut dari Jawa ke Maluku, Tiongkok, dan India.
Menguasai kawasan ini berarti mengendalikan jalur logistik dan produksi komoditas utama, sekaligus menyingkirkan pesaing dagang lokal.
D. Pemenuhan Sumpah Palapa
Ekspansi ke timur juga berkaitan langsung dengan tekad politik Mahapatih Gajah Mada, sebagaimana tercatat dalam naskah Pararaton:
“Lamun huwus kalah Nusantara, ingsun amukti palapa…”
Wilayah timur secara eksplisit disebut sebagai target sumpahnya:
“… Bali, Sunda, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Makassar, Buton…”
Maka secara ideologis, ekspansi ini adalah pelaksanaan sumpah politik dan simbolis untuk menyatukan seluruh wilayah kepulauan di bawah naungan Majapahit.
E. Rekonsolidasi Pasca-Perang Bubat
Tragedi Bubat telah:
- Merusak hubungan diplomatik Majapahit dengan barat (kerajaan Sunda),
- Meninggalkan luka moral dan politik bagi Hayam Wuruk serta Gajah Mada.
Namun bukannya terpuruk, Majapahit justru mengalihkan energi politik dan militer ke wilayah timur yang lebih terbuka dan tidak terlalu sensitif secara diplomatik. Inilah bentuk resiliensi dan adaptasi strategis Majapahit, sekaligus rekonsolidasi legitimasi internal pasca trauma Bubat.
Ekspansi Majapahit ke timur mencerminkan gabungan antara kebutuhan politik, ekonomi, simbolis, dan strategi geopolitik jangka panjang. Kawasan timur Nusantara yang kaya akan sumber daya dan belum terorganisir dalam kekuatan besar menjadi peluang ideal bagi Majapahit untuk memperluas pengaruhnya dan mengokohkan statusnya sebagai imperium maritim terbesar di Asia Tenggara.
Stabilitas Pusat Kekuasaan di Jawa Timur
Keberhasilan ekspansi Majapahit ke wilayah timur Nusantara pada pertengahan abad ke-14 tidak dapat dilepaskan dari kondisi internal yang stabil dan kuat di pusat pemerintahan, yaitu di Trowulan, ibu kota Majapahit di Jawa Timur. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350–1389 M), didukung oleh Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai masa keemasan dalam hal tata kelola pemerintahan, kekuatan militer, dan kapasitas logistik untuk ekspansi luar Jawa.
A. Struktur Birokrasi yang Tertata dan Efisien
Majapahit memiliki sistem administrasi kerajaan yang kompleks namun stabil, terdiri atas:
- Rakryan Mahamantri i Hino, i Halu, i Sirikan: jabatan-jabatan utama yang mengatur birokrasi dan pengawasan.
- Dharmmadhyaksa: pejabat tinggi keagamaan, memastikan stabilitas ideologi dan sosial.
- Adipati dan Arya: penguasa daerah yang diberi otonomi terbatas di bawah kendali pusat.
Struktur ini menciptakan distribusi kekuasaan yang tidak terlalu tersentralistik, namun tetap menjaga supremasi istana Trowulan.
B. Keamanan dalam Negeri dan Kontrol Elite
Setelah fase-fase pemberontakan di awal berdirinya Majapahit (seperti Arya Wiraraja dan Ra Kuti di masa lalu), pada masa Hayam Wuruk hampir tidak ada pemberontakan internal besar. Hal ini disebabkan oleh:
- Koalisi elite bangsawan dan militer yang solid, terutama antara keluarga raja dan Gajah Mada.
- Distribusi jabatan dan tanah perdikan kepada loyalis.
- Penegakan hukum dan adat kerajaan secara konsisten.
Majapahit berhasil memadukan antara kekuatan militer dan legitimasi moral, sehingga pusat kerajaan di Jawa Timur menjadi basis stabil untuk melancarkan ekspedisi ke luar pulau.
C. Infrastruktur dan Logistik Majapahit
Jawa Timur sebagai pusat Majapahit memiliki:
- Pelabuhan utama di Canggu, Tuban, dan Surabaya, yang menjadi basis pengiriman armada ke wilayah timur.
- Sistem irigasi dan pertanian yang menghasilkan surplus beras dan bahan pangan sebagai bekal logistik.
- Jaringan jalan dan sungai untuk distribusi hasil bumi ke pusat pemerintahan dan gudang perbekalan.
Faktor ini menjadikan Majapahit memiliki keunggulan strategis logistik dibandingkan kerajaan-kerajaan kecil lain yang tersebar di Nusantara.
D. Sentralisasi Ideologi dan Budaya
Hayam Wuruk dan Gajah Mada menguatkan stabilitas internal dengan:
- Menjadikan pusat kerajaan sebagai sumber budaya dan spiritual, melalui pembangunan pura, candi, dan pusat pendidikan Siwa-Buddha.
- Menyebarkan sistem nilai Majapahit: seperti kesetiaan, tata krama kerajaan, konsep kesatuan Nusantara, dan etika kekuasaan.
Dengan pendekatan ini, bukan hanya wilayah secara geografis yang dikendalikan, tetapi juga pemikiran elite lokal dan masyarakat bawah.
E. Dukungan dari Jaringan Daerah Bawahan
Stabilitas pusat juga didukung oleh wilayah Jawa lainnya, seperti:
- Pajang, Lasem, Tuban, dan Malang, yang telah sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem Majapahit.
- Wilayah ini tidak hanya setia, tetapi juga menyediakan prajurit, perahu, dan bahan pangan untuk ekspedisi luar pulau.
Sistem tributari dan kontrol budaya memastikan loyalitas daerah-daerah ini, menjadikan Jawa Timur sebagai inti imperium yang mampu memproyeksikan kekuatan hingga ke kawasan timur.
Stabilitas pusat kekuasaan di Jawa Timur menjadi pondasi utama keberhasilan ekspedisi Majapahit ke wilayah timur Nusantara. Dengan birokrasi yang solid, sistem logistik yang efisien, elite yang bersatu, dan kekuatan simbolik budaya, Majapahit mampu mengekspansi wilayah tanpa kehilangan kekuasaan internal. Dalam sejarah Nusantara, kondisi seperti ini sangat langka, dan menjadi salah satu kunci mengapa Majapahit bisa mencapai pengaruh yang luas dan tahan lama.
Konsolidasi Internal Pasca Perang Bubat (1357 M)
Perang Bubat (1357 M) adalah peristiwa krusial yang mengguncang tatanan diplomatik dan moral kerajaan Majapahit. Konflik ini terjadi bukan karena invasi asing atau pemberontakan internal, melainkan insiden tragis dalam diplomasi pernikahan antara Majapahit dan Kerajaan Sunda. Akibatnya bukan hanya hilangnya hubungan antar kerajaan, tetapi juga keretakan emosional dan politik di dalam tubuh Majapahit, terutama menyangkut Mahapatih Gajah Mada.
Namun, alih-alih jatuh dalam krisis berkepanjangan, Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk justru mampu melakukan konsolidasi internal yang sangat efektif, menjadi pijakan penting untuk ekspansi ke wilayah timur dalam dekade-dekade berikutnya.
A. Kronologi Singkat Perang Bubat
- Pada 1357, Hayam Wuruk berniat menikahi Dyah Pitaloka, putri Kerajaan Sunda.
- Raja Sunda datang ke Majapahit membawa rombongan besar ke Lapangan Bubat, dekat ibu kota Majapahit.
- Gajah Mada menganggap kehadiran rombongan itu sebagai bentuk penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit, bukan murni untuk pernikahan diplomatik.
- Ketidaksepahaman ini berujung pada pertempuran dan bunuh diri massal keluarga kerajaan Sunda, termasuk Dyah Pitaloka.
- Peristiwa ini tercatat dalam Kidung Sundayana dan Pararaton sebagai aib besar dalam sejarah Majapahit.
B. Dampak Psikologis dan Politik
Perang Bubat bukan hanya tragedi diplomatik, tapi juga:
- Merusak reputasi Gajah Mada, yang sebelumnya dielu-elukan karena Sumpah Palapa.
- Menimbulkan rasa malu mendalam di kalangan elite Majapahit, terutama Hayam Wuruk.
- Membuat hubungan Jawa Barat–Timur terputus selama berabad-abad, menciptakan luka sejarah yang masih dibicarakan hingga kini.
Namun yang menarik, Majapahit tidak mengalami pemberontakan besar atau kehancuran pasca Bubat. Ini menunjukkan kapasitas tinggi kerajaan dalam menyerap guncangan internal.
C. Langkah Konsolidasi Internal Hayam Wuruk
Hayam Wuruk segera melakukan berbagai strategi untuk memulihkan wibawa dan stabilitas internal, antara lain:
- Menjaga Gajah Mada dalam jabatan – meskipun reputasinya menurun, Hayam Wuruk tidak langsung mencopot Mahapatih Gajah Mada. Hal ini penting untuk mencegah kekacauan birokrasi dan konflik elite.
- Reformulasi kebijakan luar negeri – Fokus Majapahit dialihkan dari ekspansi ke barat (yang sensitif) menuju kawasan timur yang lebih terbuka dan “netral” secara diplomatik.
- Menggalang dukungan elite bangsawan dan daerah – Dengan cara memberi tanah perdikan, gelar kehormatan, dan kedudukan strategis kepada tokoh-tokoh penting dari Lasem, Tuban, dan Malang.
- Meningkatkan aktivitas budaya dan religius – Termasuk pembangunan candi, perayaan upacara besar, dan penghimpunan naskah-naskah hukum, yang memperkuat identitas Majapahit sebagai kerajaan dharma.
D. Stabilitas Struktural Birokrasi Majapahit
Konsolidasi juga ditopang oleh birokrasi Majapahit yang matang:
- Sistem Rakryan i Hino – Halu – Sirikan tetap berfungsi dengan baik.
- Gajah Mada tetap aktif sebagai pengatur ekspedisi luar, namun tidak lagi terlalu menonjol dalam urusan domestik.
- Tokoh-tokoh baru, seperti Mpu Prapanca dan Mpu Tantular, mulai mendapat peran dalam narasi ideologis kerajaan, mengalihkan fokus dari luka politik ke kebesaran budaya dan spiritual.
E. Perubahan Arah Ekspansi: Ke Timur Nusantara
Salah satu hasil paling signifikan dari konsolidasi pasca Bubat adalah pengalihan fokus ekspansi dari barat ke timur:
- Wilayah timur tidak memiliki sensitivitas diplomatik tinggi seperti Sunda atau Sumatra.
- Bali, Lombok, Sumbawa, dan Sulawesi masih bersifat politai kecil yang terbuka terhadap diplomasi dan dominasi Majapahit.
- Fokus ini sekaligus menjadi bentuk pemulihan reputasi Gajah Mada di mata raja dan rakyat.
Perang Bubat adalah titik krisis dalam sejarah Majapahit, namun juga menjadi momen pembuktian kecanggihan pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Melalui konsolidasi politik yang hati-hati, reformasi diplomasi, dan pengalihan fokus ekspansi ke kawasan timur, Majapahit mampu bangkit dan bahkan mencapai puncak kejayaannya di dekade berikutnya. Konsolidasi ini menjadi fondasi bagi keberhasilan ekspedisi Hayam Wuruk ke Timur, yang memperluas pengaruh Majapahit hingga ke seluruh penjuru Nusantara.
Kebijakan Luar Negeri Gajah Mada: Sumpah Palapa dan Cita-Cita Penyatuan Nusantara
Di antara tokoh-tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Nusantara, Mahapatih Gajah Mada menempati posisi istimewa. Ia bukan hanya perdana menteri kerajaan Majapahit, tetapi juga arsitek besar kebijakan luar negeri yang secara langsung membentuk lanskap geopolitik Asia Tenggara abad ke-14. Kebijakan itu dituangkan secara simbolik dan monumental dalam apa yang dikenal sebagai Sumpah Palapa — tekad suci untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.
1. Isi dan Makna Sumpah Palapa
Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada saat pengangkatannya sebagai Patih Amangkubhumi sekitar tahun 1334 M, sebagaimana dicatat dalam kitab Pararaton:
“Lamun huwus kalah Nusantara, ingsun amukti palapa…
Ingsun tan amukti palapa, lamun durung amangkon Nusantara,
Geni, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik…”
Makna Sumpah Palapa:
- “Tan amukti palapa”: Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati “kenikmatan duniawi” sebelum menaklukkan seluruh Nusantara.
- Nusantara: Di sini merujuk pada kerajaan-kerajaan luar Jawa yang harus ditundukkan atau masuk dalam orbit Majapahit.
- Sumpah ini adalah manifesto politik luar negeri: pengintegrasian Nusantara sebagai satu entitas politik di bawah Majapahit.
2. Daftar Wilayah Target Sumpah Palapa
Wilayah yang disebutkan Gajah Mada mencerminkan:
- Jangkauan geografis luas: dari Sumatra (Palembang, Haru) hingga Semenanjung Malaka (Pahang, Tumasik), Kalimantan (Tanjungpura), hingga timur Indonesia (Dompo di Sumbawa, Bali).
- Kerajaan-kerajaan penting maritim: menunjukkan bahwa kendali atas jalur dagang dan pelabuhan adalah fokus utama.
Sumpah ini menjadikan Majapahit sebagai kerajaan yang berorientasi maritim dan bukan hanya agraris-Jawa-sentris.
3. Ciri Khas Kebijakan Luar Negeri Gajah Mada
A. Ekspansionisme Strategis
- Gajah Mada tidak menyarankan ekspansi membabi buta, tetapi menargetkan kerajaan-kerajaan dengan nilai strategis, ekonomi, dan simbolik tinggi.
B. Penggabungan Kekuatan Militer & Diplomasi
- Menaklukkan Dompo dan Bali secara militer.
- Mencapai kesepakatan damai atau tributari dengan kerajaan lain, seperti Pahang dan Tumasik.
C. Integrasi, Bukan Asimilasi Penuh
- Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetap dibiarkan menjalankan otonomi lokalnya, selama mengakui kedaulatan Majapahit dan mengirim upeti berkala.
- Ini adalah bentuk awal sistem mandala politik: pusat kuat dikelilingi wilayah bawahan dengan loyalitas bertingkat.
D. Menyebarkan Budaya Jawa & Agama Siwa-Buddha
- Mengiringi ekspansi dengan pengaruh budaya: seni, bahasa Kawi, struktur birokrasi, dan kepercayaan spiritual.
- Mengintegrasikan kerajaan lokal melalui perkawinan politik dan pengangkatan adipati lokal dari Majapahit.
4. Implementasi Nyata: Dari Pamalayu hingga Timur
Sumpah Palapa tidak tinggal sebagai retorika. Beberapa implementasinya meliputi:
- Ekspedisi Pamalayu (1275–1292): cikal bakal hegemoni Majapahit di Sumatra.
- Penaklukan Bali (1343): di bawah perintah langsung Gajah Mada dan Arya Damar.
- Ekspansi ke Sumbawa, Lombok, Sulawesi Selatan: dilakukan bertahap antara 1357–1370.
- Diplomasi dan dominasi atas Tumasik, Pahang, Brunei: melibatkan kombinasi perjanjian dan pengaruh dagang.
Dengan strategi ini, Gajah Mada memperluas Majapahit dari kerajaan daratan menjadi imperium kepulauan yang luas dan multietnis.
5. Warisan dan Relevansi Historis
Sumpah Palapa tidak hanya memengaruhi politik Majapahit, tapi juga:
- Menjadi landasan konseptual wawasan kebangsaan modern Indonesia: “Nusantara” sebagai satu kesatuan geopolitik.
- Menunjukkan visi strategis jangka panjang, bukan sekadar ambisi pribadi.
- Mewujudkan bahwa pemimpin bisa menciptakan narasi nasionalisme pra-modern jauh sebelum konsep negara modern dikenal.
Gajah Mada, melalui Sumpah Palapa, telah:
Membentuk kerangka integrasi Nusantara,
Menjadikan ekspansi bukan hanya militer, tapi juga budaya dan spiritual,
Meninggalkan warisan tentang pentingnya penyatuan dalam keberagaman.
Kawasan Timur sebagai Target Strategis
Kawasan timur Nusantara — mencakup wilayah Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, hingga sebagian Maluku — menjadi sasaran ekspansi Majapahit setelah konsolidasi internal dan kegagalan diplomatik ke arah barat (Perang Bubat, 1357). Bagi Majapahit, kawasan timur bukan sekadar perluasan wilayah, tetapi merupakan kunci penting dalam strategi geopolitik dan ekonomi kerajaan. Penaklukan kawasan ini membawa dampak jangka panjang dalam integrasi Nusantara.
1. Kondisi Politik Kawasan Timur Abad ke-14
Secara umum, wilayah timur Nusantara pada abad ke-14 terdiri atas:
- Kerajaan-kerajaan kecil yang terdesentralisasi, seperti Bali Dwipa, Pejanggik dan Selaparang (Lombok), Dompo dan Bima (Sumbawa), serta Luwu dan Gowa di Sulawesi.
- Belum ada satu kekuatan besar dominan seperti Sriwijaya di Sumatra atau Sunda di barat Jawa.
- Banyak wilayah masih berada dalam struktur politai lokal, yaitu kepemimpinan adat, kepala suku, atau kerajaan kecil tanpa sistem birokrasi kompleks.
Kondisi ini menjadikan kawasan timur sebagai wilayah yang lebih mudah ditaklukkan melalui kombinasi diplomasi, aliansi, dan intervensi militer terbatas.
2. Kepentingan Ekonomi dan Jalur Perdagangan
Kawasan timur kaya akan komoditas penting yang menjadi incaran Majapahit, seperti:
- Kayu cendana dari Timor.
- Mutiara dan hasil laut dari Sumbawa dan Lombok.
- Rempah-rempah (cengkih, pala) mulai mengalir dari Maluku.
- Budak dan tenaga kerja dari Sumbawa dan Sulawesi.
Selain itu, wilayah timur merupakan bagian dari jalur laut strategis yang menghubungkan:
Jawa – Bali – Lombok – Sumbawa – Sulawesi – Maluku – Mindanao (Filipina Selatan) – Tiongkok.
Menguasai wilayah timur berarti menguasai logistik maritim Nusantara bagian tengah dan timur, serta memutus potensi jalur dagang saingan dari kerajaan luar Jawa.
3. Alasan Ideologis dan Simbolis
Dalam Sumpah Palapa, Gajah Mada menyebut banyak wilayah timur sebagai target penaklukan:
“…Bali, Dompo, Makassar, Buton…”
Hal ini menunjukkan bahwa:
- Kawasan timur dianggap belum tunduk secara simbolik pada Majapahit.
- Penaklukan mereka penting untuk menyempurnakan mandala kekuasaan.
- Majapahit tidak sekadar ingin dominasi ekonomi, tapi legitimasi politik Nusantara dalam kerangka kekuasaan pusat (Trowulan) terhadap seluruh kepulauan.
Dengan kata lain, kawasan timur adalah “wilayah wajib tunduk” untuk mewujudkan cita-cita kesatuan Nusantara ala Majapahit.
4. Tantangan dan Peluang di Wilayah Timur
Tantangan:
- Medan geografis sulit (pegunungan, laut dalam, kepulauan terpencar).
- Struktur sosial tidak selalu hierarkis; sulit menyatukan kekuatan politik.
Peluang:
- Belum ada kekuatan besar penyatu wilayah.
- Banyak wilayah memiliki konflik lokal yang bisa dimanfaatkan Majapahit untuk mendukung satu pihak dan menundukkan yang lain.
- Adanya elite lokal yang bersedia menjadi vasal Majapahit demi stabilitas dan perlindungan dagang.
5. Wilayah Timur sebagai Batu Ujian dan Batu Loncatan
Kawasan timur bukan hanya target alternatif pasca kegagalan ekspansi ke barat, tapi juga:
- Wilayah kunci secara ekonomi dan geopolitik untuk dominasi maritim Nusantara.
- Sarana pembuktian kekuatan Majapahit, baik secara militer, diplomatik, maupun budaya.
- Langkah krusial menuju imperium Nusantara, yang kelak dikenal sebagai kebesaran Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
Ekspansi ke timur tidak hanya memperluas wilayah, tetapi menyatukan identitas kepulauan dalam satu sistem mandala yang akan menjadi warisan ideologis bagi generasi berikutnya.
Kepulauan Timur Nusantara dalam Ekspedisi Majapahit
Majapahit menargetkan wilayah timur karena kompleksitas strategis, ekonomi, dan simbolis. Kawasan ini mencakup pulau-pulau yang hari ini kita kenal sebagai Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, hingga Maluku. Ekspedisi ke wilayah ini dilakukan melalui perpaduan kekuatan militer, diplomasi, dan integrasi kultural.
1. Bali
- Ditaklukkan tahun 1343 oleh ekspedisi Majapahit di bawah Gajah Mada dan Arya Damar (Raja Palembang bawahan Majapahit).
- Kerajaan Bali Dwipa saat itu diperintah oleh Raja Astasura Ratna Bumi Banten, yang akhirnya kalah.
- Majapahit menempatkan pejabat lokal dari Jawa, termasuk keluarga Arya Kepakisan, sebagai wakil kerajaan untuk memerintah Bali.
- Bali kemudian menjadi wilayah penting dan loyal, bahkan tetap mempertahankan budaya Hindu-Jawa pasca keruntuhan Majapahit.
Makna strategis:
- Bali adalah pintu gerbang ke kepulauan timur.
- Sumber beras dan logistik, serta budaya spiritual yang mendukung ekspansi ideologi Majapahit.
2. Lombok dan Sumbawa
- Kawasan ini terdiri atas kerajaan kecil seperti Pejanggik dan Selaparang di Lombok, serta Dompo dan Bima di Sumbawa.
- Sumpah Palapa menyebut “Dompo” secara eksplisit, menunjukkan pentingnya kawasan ini bagi proyek penyatuan Nusantara.
- Penaklukan diperkirakan terjadi antara 1357–1370, setelah stabilitas dicapai di Bali.
Potensi ekonomi dan politik:
- Kaya akan madu, beras, budak, dan kuda.
- Letaknya strategis di jalur pelayaran antara Bali dan Sulawesi–Maluku.
- Elite lokal kemungkinan dijadikan vasal atau sekutu tributari, bukan dihapuskan total.
3. Sulawesi Selatan
- Wilayah ini belum dipersatukan dalam satu kerajaan besar; yang menonjol antara lain:
- Kerajaan Luwu di pesisir timur Sulawesi Selatan.
- Kerajaan Gowa dan Tallo, yang baru berkembang pada abad ke-15.
- Majapahit kemungkinan menjalin hubungan diplomatik dan dagang, bukan invasi penuh, mengingat medan yang berat dan kekuasaan lokal yang masih bersifat adat.
Indikasi keterlibatan:
- Negarakretagama menyebut wilayah ini sebagai tanah bawahan Majapahit.
- Jalur perdagangan besi dan bahan makanan sangat penting, menjadikan Sulawesi sebagai mitra dagang dan titik logistik.
4. Nusa Tenggara
- Wilayah ini mencakup Flores, Sumba, dan Timor.
- Belum ada kerajaan besar, tetapi masyarakat sudah mengenal struktur lokal dan pertukaran regional.
- Timor dikenal menghasilkan kayu cendana dan madu, komoditas yang sangat diminati.
Keterlibatan Majapahit:
- Tidak ada catatan langsung penaklukan, namun sistem tributari dan dagang kemungkinan diberlakukan.
- Pengaruh budaya Jawa dan sistem kasta mulai terlihat di beberapa wilayah ini di masa pasca-Majapahit.
5. Maluku
- Kawasan ini mencakup Ternate, Tidore, Bacan, dan Seram.
- Maluku adalah pusat awal perdagangan rempah-rempah (cengkih dan pala).
- Majapahit mulai menjalin kontak diplomatik untuk mengamankan hak dagang, meskipun tidak sampai pada dominasi politik penuh.
- Bukti hubungan dagang terlihat dari nama-nama pulau yang disebut dalam naskah Jawa, serta pengaruh budaya dan bahasa Kawi.
Pentingnya Maluku:
- Menghubungkan Nusantara bagian timur dengan Asia Timur.
- Menjadi sasaran penting dalam perluasan pengaruh dagang Majapahit, sekaligus menanamkan akar pengaruh budaya Jawa–Hindu.
Wilayah | Status Ekspansi Majapahit | Peran Strategis |
---|---|---|
Bali | Ditaklukkan langsung (1343) | Basis logistik & pusat penyebaran budaya |
Lombok | Ditundukkan secara bertahap | Jalur dagang & penghasil budak/kuda |
Sumbawa | Ditaklukkan (Dompo) | Sumber logistik dan komoditas lokal |
Sulawesi | Aliansi dagang & pengaruh terbatas | Sumber logam, makanan, dan armada laut |
Nusa Tenggara | Dominasi dagang, bukan politik total | Komoditas eksotik, daerah tributari lunak |
Maluku | Diplomasi & hak dagang | Rempah-rempah dan jalur laut strategis |
Kawasan timur Nusantara menjadi ruang uji kekuatan dan keluwesan kebijakan luar negeri Majapahit. Melalui perpaduan perang, diplomasi, dan integrasi kultural, kerajaan ini berhasil membangun jaringan hegemoni yang tidak selalu berwujud penjajahan langsung, tetapi tetap efektif mengontrol jalur kekuasaan dan perdagangan di kepulauan Indonesia bagian timur.
Pentingnya Penguasaan Jalur Laut dan Komoditas Strategis di Kawasan Timur
Salah satu motivasi utama di balik ekspedisi Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada ke wilayah timur Nusantara adalah keinginan menguasai jalur laut vital dan komoditas bernilai tinggi yang menjadi tulang punggung ekonomi dan geopolitik Asia Tenggara abad ke-14. Dalam dunia pra-modern, kekayaan kerajaan ditentukan bukan hanya oleh hasil bumi daratannya, tetapi terutama oleh kontrol atas arus perdagangan laut dan hak distribusi komoditas kunci.
1. Jalur Laut sebagai Tulang Punggung Kekuasaan Maritim
Kawasan timur Nusantara terletak di tengah jalur pelayaran utama yang menghubungkan:
India – Selat Malaka – Jawa – Bali – Nusa Tenggara – Maluku – Mindanao – Tiongkok Selatan.
Majapahit sadar bahwa:
- Barang dagang tidak bisa hanya dikendalikan dari pelabuhan Jawa saja, karena titik-titik asal (origin) rempah, emas, dan kayu berada jauh di timur.
- Menguasai titik-titik simpul seperti pelabuhan di Bali, Lombok, Sumbawa, dan Maluku akan membuat Majapahit menjadi pengatur lalu lintas dagang internasional.
Dengan demikian, ekspedisi ini bukan hanya untuk penaklukan simbolik, tetapi:
- Untuk mengamankan rute kapal-kapal pedagang dari kerajaan asing.
- Untuk membentuk sistem pungutan upeti dan pajak pelabuhan.
- Untuk memotong jalur dagang pesaing, terutama yang dikuasai oleh kerajaan luar Jawa.
2. Komoditas Utama dari Kawasan Timur
A. Rempah-rempah (Cengkih, Pala, Kayu Manis)
- Terutama berasal dari Maluku, yang saat itu sudah dikenal sebagai “Kepulauan Rempah”.
- Komoditas paling dicari di seluruh dunia: harganya sangat tinggi di pasar India, Arab, dan Tiongkok.
- Majapahit tidak menguasai Maluku secara langsung, tetapi menjalin perjanjian tributari dan kendali pelayaran agar kapal dagang tetap melalui pelabuhan Majapahit.
B. Kayu Cendana (Timor)
- Digunakan untuk upacara keagamaan dan ritual pengobatan di India dan Tiongkok.
- Komoditas langka dan berharga, serta menjadi simbol kekayaan dan spiritualitas.
- Majapahit memerlukan jalur distribusi dan hak pungutan atas cendana yang dikirim melalui Bali dan Sumbawa.
C. Emas dan Logam
- Ditemukan di beberapa daerah Nusa Tenggara dan Sulawesi.
- Selain digunakan dalam sistem barter dan pajak, emas adalah simbol kekuasaan kerajaan.
- Kontrol atas tambang emas memberi Majapahit posisi tawar tinggi terhadap kerajaan lain dan pedagang asing.
D. Budak dan Tenaga Kerja
- Dari wilayah seperti Sumbawa, Flores, dan Sulawesi.
- Budak digunakan sebagai tenaga untuk pertanian, perkapalan, dan istana kerajaan.
- Dalam dunia perdagangan saat itu, budak adalah komoditas legal dan berharga, dengan nilai tinggi di pasar Malaka dan India.
3. Penguasaan Maritim vs Kekuasaan Daratan
Majapahit adalah kerajaan daratan yang bertransformasi menjadi kekuatan maritim:
- Penguasaan wilayah darat seperti Bali dan Dompo memberikan pelabuhan transit.
- Dari pelabuhan inilah armada Majapahit bisa mengawasi, mengatur, dan memungut pajak dari kapal-kapal pedagang luar.
Hayam Wuruk dan Gajah Mada menyadari bahwa:
“Siapa yang menguasai laut, dialah yang menguasai Nusantara.”
Penguasaan ini bukan melalui kolonialisasi penuh, melainkan melalui:
- Aliansi tributari dengan penguasa lokal.
- Penempatan “wakil kerajaan” di pelabuhan strategis.
- Patroli laut dan pengamanan jalur dagang dari bajak laut atau pesaing asing.
4. Keterkaitan dengan Sistem Mandala Majapahit
Konsep mandala (pusat dan lingkar pengaruh) Majapahit memungkinkan mereka:
- Tidak harus menaklukkan semua wilayah secara fisik.
- Cukup menjadikan kerajaan atau pelabuhan sebagai bagian dari jejaring kekuasaan dan dagang.
- Sistem ini memungkinkan penguasaan efisien terhadap wilayah luas seperti kepulauan timur.
Dengan menguasai simpul dagang dan komoditas utama, Majapahit:
- Mendapat pemasukan ekonomi stabil.
- Menjaga supremasi simbolik dan politik di Nusantara.
- Memastikan bahwa kekayaan Nusantara tidak langsung jatuh ke tangan asing.
Elemen Strategis | Kepentingan bagi Majapahit |
---|---|
Jalur Laut | Kontrol perdagangan, distribusi logistik, dan mobilisasi militer |
Rempah-rempah | Sumber devisa utama, incaran pedagang India & Tiongkok |
Kayu Cendana | Komoditas eksotis berharga tinggi dan spiritual |
Emas dan Logam | Stabilitas moneter dan prestise kerajaan |
Budak | Tenaga produksi dan komoditas perdagangan legal |
Penguasaan jalur laut dan komoditas inilah yang menjadikan ekspansi ke timur bukan sekadar pencapaian militer, melainkan fondasi ekonomi-politik kejayaan Majapahit sebagai kekuatan maritim terbesar di Asia Tenggara pra-modern.
Eksistensi Kerajaan-Kerajaan Lokal di Kawasan Timur Nusantara
(Pejanggik, Dompu, Makassar/Gowa, dan Bali Dwipa sebelum penaklukan atau integrasi ke dalam orbit Majapahit)
Sebelum ekspedisi besar-besaran Majapahit ke kawasan timur pada abad ke-14, wilayah-wilayah seperti Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, dan Bali telah memiliki struktur kekuasaan lokal yang mandiri, meski belum sebesar kekuasaan pusat seperti Majapahit. Kerajaan-kerajaan ini menjadi target politik Gajah Mada karena:
- Letaknya strategis di jalur dagang timur–barat Nusantara.
- Memiliki kekayaan sumber daya.
- Berada di bawah struktur pemerintahan yang memungkinkan diplomasi atau subordinasi.
Berikut adalah profil masing-masing:
1. Pejanggik (Lombok Tengah)
- Letak: Wilayah tengah Pulau Lombok.
- Sifat pemerintahan: Monarki lokal bercorak Hindu-Jawa, dengan pengaruh dari Bali dan Jawa Timur.
- Struktur sosial: Dikenal memiliki sistem kasta dan masyarakat agraris–maritim.
- Kontak luar: Meskipun tidak sekuat kerajaan di Bali, Pejanggik aktif dalam perdagangan dan hubungan dengan Bali serta Sumbawa.
Kaitan dengan Majapahit:
- Diduga menjadi salah satu kerajaan pertama yang diintegrasikan ke dalam sistem vasal Majapahit pada paruh kedua abad ke-14.
- Karena wilayah Lombok dekat dengan Bali, pengaruh Majapahit sangat cepat merembes melalui ekspedisi budaya dan militer dari Bali yang sudah ditaklukkan terlebih dahulu.
2. Dompu (Sumbawa Timur)
- Letak: Bagian timur Pulau Sumbawa, dikenal dalam Sumpah Palapa sebagai salah satu wilayah target: “Lamun huwus kalah Nusantara… Dompo…”.
- Kekuatan lokal: Dompu merupakan kerajaan maritim kecil namun tangguh dengan armada laut sederhana dan struktur kekuasaan raja (Dewa Dompu).
- Ekonomi: Kaya akan hasil laut, madu, kuda, dan budak, serta hasil pertanian pegunungan.
Hubungan dengan Majapahit:
- Dompu ditundukkan dalam ekspedisi militer yang kemungkinan besar langsung dipimpin oleh utusan Gajah Mada sekitar 1357–1360.
- Setelah penaklukan, Majapahit mengangkat pemimpin lokal sebagai bawahan kerajaan, menerapkan sistem pajak dan upeti tahunan.
- Muncul pengaruh budaya Jawa dalam upacara istana dan bahasa istana.
3. Makassar dan Gowa (Sulawesi Selatan)
- Letak: Pesisir barat dan selatan Sulawesi Selatan.
- Gowa dan Tallo: Dua kerajaan penting yang kelak menyatu menjadi Kesultanan Gowa-Tallo di abad ke-16.
- Abad ke-14: Gowa masih dalam tahap awal perkembangan politik dan kekuatan militer. Belum menjadi kekuatan utama seperti pada era Sultan Hasanuddin.
- Luwu adalah kerajaan yang lebih dahulu mapan di Sulawesi Selatan bagian timur.
Kaitan dengan Majapahit:
- Kemungkinan tidak ditaklukkan secara militer langsung, tetapi terikat melalui hubungan dagang dan diplomatik.
- Negarakretagama menyebut Gowa dan Luwu sebagai bagian dari daerah-daerah yang memberi upeti ke Majapahit.
- Pengaruh budaya Kawi dan sistem gelar Jawa mulai terlihat dalam kronik Bugis dan Lontaraq.
4. Bali Dwipa
- Letak: Pulau Bali secara keseluruhan.
- Sistem politik: Diperintah oleh Raja Astasura Ratna Bumi Banten sebelum 1343, kerajaan ini bercorak Hindu-Siwa dan sangat erat dengan budaya Jawa Kuno.
- Seni dan budaya: Pusat kesenian, arsitektur, dan ritual keagamaan yang berkembang paralel dengan Jawa.
Peristiwa penting:
- Ditaklukkan oleh Gajah Mada dan Arya Damar pada tahun 1343.
- Pasca-penaklukan, Majapahit menempatkan Arya Kepakisan dan keturunannya sebagai wakil kerajaan (adipati).
- Bali menjadi bagian penting dari Majapahit, bahkan tetap mempertahankan ajaran Hindu Majapahit hingga ratusan tahun setelah keruntuhan Majapahit sendiri.
Analisis Perbandingan Strategis
Kerajaan | Tipe Dominasi Majapahit | Jalur Masuk Pengaruh | Peran Strategis |
---|---|---|---|
Pejanggik | Vasalisasi diplomatik | Ekspansi budaya dari Bali | Titik tengah jalur laut antara Jawa–Sumbawa |
Dompu | Invasi militer langsung | Ekspedisi Gajah Mada | Sumber logistik & tenaga kerja |
Makassar | Hubungan dagang longgar | Jalur laut dan pelabuhan | Pintu ke Sulawesi dan Maluku |
Bali Dwipa | Penaklukan total | Armada Majapahit | Basis logistik dan politik di timur |
Keempat kerajaan ini memperlihatkan bagaimana:
- Majapahit mengadopsi pendekatan beragam: invasi, aliansi, diplomasi, hingga akulturasi.
- Struktur lokal tidak dihancurkan, melainkan dimanfaatkan dalam sistem mandala Majapahit.
- Eksistensi awal kerajaan-kerajaan timur menjadi fondasi penting integrasi Nusantara oleh Majapahit, dengan warisan budaya yang masih hidup hingga kini di Bali, Lombok, dan sebagian Sulawesi.
Tujuan dan Motivasi Ekspedisi Majapahit ke Wilayah Timur
Ekspedisi ke wilayah timur Nusantara pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada bukan hanya ekspansi militer semata, melainkan strategi multi-dimensi untuk memperkuat posisi Majapahit sebagai kekuatan hegemonik di Asia Tenggara. Berbagai catatan seperti Negarakretagama, Pararaton, dan prasasti lokal mencerminkan bahwa ekspedisi ini bersifat politis, ekonomis, ideologis, dan simbolis.
Berikut adalah uraian rinci mengenai tujuan dan motivasi utama ekspedisi ke Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Maluku:
1. Tujuan Politik dan Strategis
a. Menuntaskan Sumpah Palapa
- Gajah Mada telah bersumpah tidak akan menikmati “palapa” (kenikmatan hidup) sebelum seluruh Nusantara bersatu di bawah Majapahit.
- Wilayah timur seperti Dompo, Bali, Makassar, Buton secara eksplisit disebut dalam teks sumpahnya.
b. Pengamanan Perbatasan dan Jalur Laut
- Dengan menguasai wilayah timur, Majapahit mampu:
- Menutup akses kerajaan asing (termasuk Tiongkok dan pedagang Islam dari barat) ke wilayah-wilayah strategis.
- Membangun sabuk kekuasaan dari Jawa hingga Kepulauan Maluku.
c. Penguatan Struktur Mandala Kekuasaan
- Mandala Nusantara bukanlah sistem kolonial langsung, melainkan sistem pengaruh berjenjang.
- Tujuannya adalah menciptakan lingkaran kerajaan vasal yang loyal melalui aliansi politik dan pengiriman upeti.
2. Tujuan Ekonomi dan Perdagangan
a. Kendali atas Jalur Dagang Timur-Barat
- Wilayah seperti Lombok, Sumbawa, dan Maluku adalah simpul dagang penting:
- Menyediakan pelabuhan, logistik, dan tempat transit bagi pedagang dari Tiongkok, India, dan Arab.
- Menghubungkan rute laut antara Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda.
b. Eksploitasi Komoditas Bernilai Tinggi
- Kawasan timur menyimpan kekayaan alam yang vital:
- Cendana (Timor)
- Rempah-rempah (Maluku)
- Budak & kuda (Sumbawa)
- Ikan, mutiara, dan garam laut (Lombok, Flores, Makassar)
- Dengan penguasaan atas produsen langsung, Majapahit bisa menghilangkan peran perantara asing, dan mengatur harga serta distribusi.
c. Penguasaan Pelabuhan dan Pajak Maritim
- Majapahit menempatkan petugas kerajaan dan wakil lokal loyalis untuk menarik upeti dan pajak dari pelabuhan strategis seperti Bali, Bima, dan Buton.
3. Tujuan Ideologis dan Kultural
a. Penyebaran Pengaruh Hindu-Jawa
- Dalam banyak kerajaan di timur, ekspedisi Majapahit membawa budaya Kawi, aksara Jawa Kuna, agama Hindu-Buddha, dan sistem birokrasi istana.
- Contohnya di Bali: sistem kasta, arsitektur pura, dan ritual Hindu adalah jejak pengaruh Majapahit pasca-penaklukan 1343.
b. Simbol Supremasi Hayam Wuruk sebagai Maharaja
- Di Negarakretagama, wilayah-wilayah seperti Bali, Lombok, Dompo, hingga Gowa dicatat sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit.
- Hal ini bukan hanya laporan geopolitik, tetapi pernyataan klaim ideologis bahwa seluruh Nusantara adalah mandala kekuasaan Jawa–Majapahit.
c. Penyatuan Spiritual Maritim
- Dalam konsep Hindu-Jawa, penguasa ideal (cakravartin) harus menyatukan daratan dan lautan sebagai wujud keharmonisan kosmis.
- Ekspedisi ke timur mencerminkan transformasi Majapahit dari kerajaan agraris ke kerajaan maritim-spiritual.
4. Tujuan Diplomatik dan Stabilitas Regional
a. Aliansi dengan Penguasa Lokal
- Tidak semua wilayah ditaklukkan secara militer: beberapa menerima aliansi strategis.
- Misalnya, kerajaan seperti Luwu dan Buton dijadikan sekutu dagang atau pengirim upeti tanpa invasi penuh.
b. Mencegah Munculnya Kekuatan Pesaing
- Jika Majapahit tidak bergerak ke timur, maka kekuatan asing (terutama dari India dan Arab) bisa membangun koloni atau pengaruh di sana.
- Oleh karena itu, ekspedisi juga berfungsi preventif, mencegah terbentuknya aliansi non-Jawa yang bisa mengganggu hegemoni Majapahit.
5. Motivasi Pribadi dan Legitimasi Sejarah
- Hayam Wuruk dan Gajah Mada sadar bahwa ekspedisi ke timur akan menjadi warisan kekuasaan monumental.
- Mereka berupaya menyamai dan bahkan melampaui kebesaran Sriwijaya, yang dulu juga menguasai jalur timur dan Selat Malaka.
- Keberhasilan ini akan mengukuhkan mereka sebagai simbol raja sejati nusantara.
Tujuan/Motivasi | Penjabaran |
---|---|
Politik & Strategi | Menyatukan Nusantara, cegah intervensi asing, tuntaskan Sumpah Palapa |
Ekonomi & Dagang | Kuasai rempah, cendana, budak, dan pelabuhan dagang penting |
Ideologis & Budaya | Sebar Hindu-Jawa, legitimasi Maharaja, harmonisasi kosmos kerajaan |
Diplomasi & Aliansi | Bangun sistem tributari, mencegah kekuatan tandingan di luar Jawa |
Warisan Kekuasaan | Mengukir sejarah sebagai penguasa terbesar dalam lintasan sejarah Nusantara |
Tokoh-Tokoh Sentral dalam Ekspedisi ke Wilayah Timur
Ekspedisi besar ke wilayah timur Nusantara tidak hanya menjadi bagian dari kebijakan ekspansi Majapahit semata, tetapi juga merupakan cerminan dari kemampuan kepemimpinan para tokoh sentral dalam struktur kekuasaan kerajaan. Para tokoh ini memainkan peran strategis — mulai dari perumusan visi geopolitik, penyusunan strategi militer dan diplomatik, hingga pelaksanaan langsung di lapangan.
Berikut adalah para tokoh kunci yang membentuk keberhasilan ekspedisi Majapahit ke Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku pada abad ke-14:
1. Hayam Wuruk – Raja dan Penguasa Simbolik Ekspedisi
- Nama lengkap: Rajasanagara Hayam Wuruk.
- Pemerintahan: 1350–1389 M.
- Peran utama: Pemimpin tertinggi Majapahit yang menyetujui dan mendukung penuh program ekspansi Nusantara.
- Dalam Negarakretagama, wilayah timur seperti Bali, Dompo, Sumba, Buton, dan Makassar disebut sebagai bagian dari mandala kekuasaannya.
- Hayam Wuruk adalah simbol dari cakravartin, raja ideal yang menguasai seluruh wilayah “tanah air” (Dwipantara).
🔹 “Negarakretagama tidak hanya memuji Hayam Wuruk sebagai penguasa Jawa, tapi juga sebagai Maharaja Nusantara.”
2. Gajah Mada – Mahapatih dan Arsitek Ekspedisi
- Jabatan: Mahapatih Amangkubhumi Majapahit.
- Peran strategis:
- Arsitek utama ekspansi wilayah.
- Pelaksana Sumpah Palapa (disebutkan dalam Pararaton), yang menyatakan ia tidak akan menikmati kenikmatan duniawi sebelum seluruh Nusantara tunduk pada Majapahit.
- Pemimpin lapangan dalam beberapa ekspedisi militer ke luar Jawa, termasuk Bali (1343).
- Mengkoordinasikan strategi diplomasi, penempatan adipati, dan pengiriman utusan serta upeti.
🔹 “Bali, Dompo, Makassar, Buton…” – adalah wilayah yang disebut langsung dalam Sumpah Palapa, menunjukkan fokus ekspansi ke timur yang diprioritaskan oleh Gajah Mada.
3. Adityawarman – Pendahulu Strategi Ekspedisi Lintas Pulau
- Kedudukan: Tokoh penting di masa awal Hayam Wuruk (meski lebih aktif pada masa Kertanegara).
- Pengalaman: Berperan besar dalam ekspedisi Pamalayu (1275–1292), pernah menjadi raja di Dharmasraya (Sumatra) dan membawa pulang putri Melayu yang kemudian menjadi ibu dari Raden Wijaya.
- Warisan penting: Konsep ekspansi lintas pulau yang menggabungkan kekuatan militer dengan strategi budaya dan pernikahan politik.
- Walau bukan tokoh langsung dalam ekspedisi timur, gaya dan model Adityawarman menjadi cetakan awal bagi ekspansi di era Hayam Wuruk.
🔹 Ia mewariskan pemahaman bahwa pengaruh tidak harus melalui invasi penuh, tapi bisa lewat penempatan elite lokal dan integrasi budaya.
4. Para Panglima dan Duta Majapahit di Timur
Walaupun nama-nama spesifik tidak disebut lengkap dalam naskah kuno, berbagai tradisi lokal dan lontar daerah menyebutkan tokoh-tokoh militer dan bangsawan Majapahit yang diutus ke timur:
a. Arya Damar (Palembang/Bali)
- Terlibat dalam penaklukan Bali (1343).
- Diduga memainkan peran penting dalam ekspansi ke Nusa Tenggara.
b. Arya Kenceng dan Arya Kepakisan (Bali)
- Dikirim ke Bali untuk memerintah sebagai wakil Majapahit pasca-penaklukan.
- Keturunannya membentuk aristokrasi Bali hingga masa kolonial.
c. Utusan Diplomatik ke Buton dan Gowa
- Misi diplomatik Majapahit mengirim emas, arca, serta teks keagamaan sebagai bentuk persuasi politik dan simbol kekuasaan.
- Kerajaan-kerajaan ini kemudian masuk dalam daftar wilayah upeti (Negarakretagama, pupuh XIII–XV).
🔹 Tradisi lisan Bugis dan Buton mencatat pengaruh Majapahit melalui pengiriman wakil dan pengaruh sistem pemerintahan berbasis “adat dan raja”.
Peran Tokoh
Tokoh | Peran Sentral |
---|---|
Hayam Wuruk | Pemimpin simbolik, pemilik legitimasi tertinggi |
Gajah Mada | Pelaksana sumpah dan arsitek ekspansi militer-diplomatik |
Adityawarman | Pencetus model ekspansi maritim lintas pulau di masa sebelumnya |
Arya Damar, Kepakisan, duta | Pelaksana lokal, pengatur pasca-penaklukan, penjaga kestabilan |
Tokoh-Tokoh Wilayah Timur yang Berperan dalam Ekspedisi Majapahit
Keberhasilan ekspedisi Majapahit ke wilayah timur Nusantara tidak hanya ditentukan oleh kepemimpinan pusat seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada, tetapi juga melibatkan tokoh-tokoh lokal dari berbagai kerajaan di Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, hingga Maluku. Para tokoh ini berperan sebagai mitra, penerima pengaruh, atau bahkan lawan yang kemudian berintegrasi ke dalam sistem Majapahit. Peran mereka sangat penting dalam memperlancar proses integrasi, menjaga stabilitas pasca-ekspedisi, serta menjadi jembatan antara kekuasaan Jawa dengan masyarakat lokal.
1. Sri Astasura Ratnabumi Banten (Raja Bali)
- Memerintah Bali sekitar pertengahan abad ke-14.
- Menjadi simbol penaklukan Bali oleh Majapahit pada 1343, meski proses integrasinya berlanjut hingga masa Hayam Wuruk.
- Setelah penaklukan, Bali dijadikan provinsi penting Majapahit, dan dinasti penguasa lokal diganti dengan bangsawan yang loyal pada pusat.
2. Arya Kenceng dan Dinasti Kepakisan (Bali)
- Arya Kenceng adalah tokoh Jawa yang ditunjuk Majapahit untuk mengatur Bali pasca-penaklukan.
- Bersama Dalem Ketut (Kepakisan), mereka mendirikan struktur kerajaan baru yang loyal kepada Majapahit di Gelgel (cikal bakal kerajaan Bali Hindu).
- Dinasti ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Majapahit dan menanamkan nilai-nilai Hindu-Siwa dalam masyarakat Bali hingga kini.
3. Penguasa Pejanggik (Lombok Timur)
- Salah satu kerajaan Sasak utama pada masa itu.
- Awalnya menunjukkan resistensi, namun kemudian menjalin relasi tributari dengan Majapahit.
- Beberapa lontar menyebut pengiriman upeti dan kedatangan utusan Majapahit ke Lombok sebagai bentuk diplomasi pasca-ekspedisi.
4. Raja Dompu dan Bima (Sumbawa)
- Kawasan penting dalam jalur dagang dan perlintasan ke Maluku.
- Setelah ekspedisi Majapahit, kerajaan ini diintegrasikan secara simbolik ke dalam sistem vazal, ditandai dengan pengaruh arsitektur dan gelar-gelar ala Jawa.
- Budaya Jawa dan Siwaisme mulai memengaruhi ritus-ritus adat dan pemerintahan lokal.
5. Penguasa Luwu dan Gowa (Sulawesi Selatan)
- Luwu dikenal sebagai kerajaan Bugis awal yang memiliki hubungan dagang dengan Majapahit.
- Gowa (pra-Islam) dalam masa transformasi menuju kerajaan besar, menjalin relasi awal dengan Majapahit dalam bentuk pertukaran dagang dan aliansi maritim.
- Meskipun tidak sepenuhnya ditaklukkan secara militer, pengaruh budaya dan diplomasi Majapahit masuk lewat jalur niaga dan pernikahan politik.
6. Para Kepala Suku di Timor, Flores, dan Maluku
- Wilayah ini lebih banyak diintegrasikan lewat pengaruh dagang dan pengiriman hadiah dari Majapahit, seperti arca dan kitab suci.
- Beberapa naskah menyebut daerah seperti Wehali (Timor) sebagai pusat cendana yang mengakui dominasi Majapahit.
- Di Maluku, penguasa Ternate dan Tidore awal memiliki interaksi dagang dan tributari dengan armada Majapahit.
Peran Tokoh Lokal: Mitra dalam Mandala
Tokoh Lokal | Peran Utama | Wilayah |
---|---|---|
Arya Kenceng & Kepakisan | Administrator Majapahit di Bali | Bali |
Raja Pejanggik | Relasi tributari & penerimaan pengaruh budaya | Lombok Timur |
Raja Dompu & Bima | Integrasi niaga dan budaya Jawa | Sumbawa |
Penguasa Luwu & Gowa | Sekutu dagang dan aliansi maritim | Sulawesi Selatan |
Kepala Wehali & Timor | Sumber komoditas & pengakuan simbolik kekuasaan | Timor |
Kepala suku Maluku | Hub dagang rempah dan penerima utusan kerajaan | Maluku |
Tokoh-tokoh ini memperlihatkan bahwa ekspedisi Majapahit tidak berdiri di atas dominasi mutlak, melainkan melalui kooptasi elite lokal dan asimilasi nilai budaya Jawa yang menjadikan kawasan timur sebagai bagian integral dari cakrawala Nusantara. Mereka adalah penghubung antara pusat kekuasaan di Trowulan dan masyarakat pulau-pulau timur yang beragam dan kompleks.
Jalannya Ekspedisi ke Wilayah Timur (1357–1370)
Ekspedisi ke wilayah timur Nusantara yang dilancarkan oleh Majapahit di bawah komando Hayam Wuruk dan Gajah Mada berlangsung bertahap dan terencana. Berbeda dari invasi besar-besaran yang mengandalkan kekuatan penuh, ekspedisi ini mengombinasikan pendekatan militer, diplomatik, dan integratif. Tujuannya adalah untuk menundukkan kerajaan-kerajaan lokal, menstabilkan jalur dagang, dan memperluas cakrawala mandala Majapahit.
Struktur Umum Ekspedisi:
- Waktu: Dimulai sekitar 1357 M (pasca-Perang Bubat) hingga awal 1370-an M.
- Wilayah target: Bali, Lombok, Sumbawa (Dompo, Bima), Sulawesi Selatan (Gowa, Luwu), Nusa Tenggara, dan sebagian Maluku.
- Jenis ekspedisi: Gabungan intervensi militer, penempatan adipati, dan diplomasi upeti.
A. Penaklukan Ulang dan Konsolidasi di Bali (Setelah 1343)
- Bali sebelumnya sudah ditaklukkan pada 1343 M oleh Gajah Mada dan Arya Damar.
- Pasca-penaklukan, Majapahit menempatkan Arya Kepakisan sebagai adipati Bali.
- Namun, perlawanan kecil masih muncul dari elit lokal seperti Dinasti Warmadewa dan pendeta Siwa-Buddha.
- Pada masa ekspedisi timur ini (1357–1370), Hayam Wuruk mengirim ulang pasukan untuk:
- Mengukuhkan kekuasaan pusat.
- Menerapkan sistem adat Majapahit sebagai dasar hukum dan sosial.
- Menjadikan Bali sebagai basis logistik ekspansi ke Lombok dan Nusa Tenggara.
B. Penundukan Lombok: Pejanggik dan Selaparang
- Pejanggik (Lombok Tengah) dan Selaparang (Lombok Timur) merupakan kerajaan kecil Hindu-Buddha.
- Ekspedisi Majapahit mendarat melalui jalur timur Bali dan melakukan pendekatan semi-militer:
- Beberapa catatan menyebut adanya perlawanan dari pemimpin lokal.
- Namun sebagian pemimpin menerima status sebagai vasal Majapahit.
- Hasilnya:
- Penempatan wakil Majapahit dalam struktur istana Lombok.
- Mulainya pengaruh budaya Jawa Kuno dalam aksara, ritual, dan arsitektur Lombok.
C. Penaklukan Dompu dan Bima (Sumbawa)
- Berdasarkan Negarakretagama (pupuh XIII), wilayah Dompo adalah target langsung Sumpah Palapa.
- Pasukan Majapahit menyeberang dari Lombok ke Sumbawa dan:
- Menghadapi perlawanan kuat dari Dompu.
- Terjadi perang besar antara armada Majapahit dan pasukan darat Dompu.
- Pada akhirnya, Dompu kalah dan penguasanya dipaksa mengirim upeti dan menyatakan kesetiaan.
- Bima, yang saat itu masih kecil, mengikuti nasib Dompu.
- Dampak:
- Wilayah Sumbawa mulai mengadopsi struktur pemerintahan Jawa.
- Masuknya ajaran Hindu-Siwa dan istilah-istilah administratif seperti “ratu”, “patih”, dan “kadatwan”.
D. Relasi Diplomatik dengan Sulawesi Selatan (Gowa, Luwu)
- Gowa dan Luwu di Sulawesi Selatan belum menjadi kerajaan besar pada abad ke-14.
- Namun, mereka penting sebagai titik dagang dan penghasil hasil laut serta kayu.
- Majapahit tidak menginvasi langsung, tetapi:
- Mengirimkan utusan diplomatik membawa hadiah dan teks agama.
- Menjalin aliansi dan perjanjian dagang dengan elite lokal.
- Luwu disebut dalam Negarakretagama sebagai salah satu kerajaan yang mengirim upeti ke Majapahit.
- Tradisi lokal Bugis menyebut pengaruh dari Jawa yang mengajarkan sistem kerajaan dan hukum adat.
E. Penetrasi ke Maluku dan Nusa Tenggara Timur
- Informasi ekspedisi ke Timor, Alor, Maluku Tenggara sangat terbatas, tetapi:
- Catatan Negarakretagama menyebut daerah seperti:
- Wwanin (sering ditafsirkan sebagai Kei/Watubela).
- Sran (kemungkinan Seram).
- Hutan Kadali, wilayah kaya rempah.
- Pendekatan Majapahit berupa:
- Pengiriman misi dagang dan keagamaan.
- Pemberian perlindungan terhadap raja-raja kecil dengan imbalan upeti.
- Catatan Negarakretagama menyebut daerah seperti:
- Wilayah ini menjadi bagian dari mandala kekuasaan simbolik Majapahit yang memperluas pengaruh budaya Kawi dan sistem kepercayaan Hindu-Buddha.
F. Penempatan Adipati dan Agen Majapahit
- Di banyak wilayah yang telah tunduk, Majapahit tidak mengubah total sistem lokal.
- Namun, ditempatkan adipati atau wakil kerajaan dari Jawa:
- Arya Kepakisan di Bali.
- Kelompok “Arya” di Lombok dan Sumbawa.
- Tugas mereka:
- Menjaga keamanan dan menyalurkan upeti.
- Mengintegrasikan budaya Majapahit ke dalam masyarakat lokal.
- Menjadi penyambung kekuasaan Trowulan di kawasan timur.
Wilayah | Metode Integrasi | Tokoh Utama/Strategi | Hasil |
---|---|---|---|
Bali | Penaklukan total | Arya Damar, Arya Kepakisan | Pusat logistik dan kultur Majapahit di timur |
Lombok | Diplomasi dan dominasi | Adipati lokal dari Bali | Struktur kerajaan bercorak Hindu-Jawa |
Sumbawa (Dompu) | Invasi militer | Panglima Gajah Mada | Penyerahan upeti dan pengaruh budaya |
Sulawesi Selatan | Aliansi diplomatik | Duta dan teks Majapahit | Upeti dan sistem kerajaan lokal berkembang |
Maluku & NTT | Diplomasi dan tributasi | Misi dagang dan agama | Mandala kekuasaan simbolik Majapahit |
A. Strategi Diplomasi dan Militer Ekspedisi Timur
Dalam pelaksanaan ekspedisi ke wilayah timur Nusantara, Majapahit di bawah Hayam Wuruk dan Gajah Mada menerapkan strategi yang tidak seragam. Setiap wilayah disesuaikan dengan tingkat perlawanan, posisi strategis, dan nilai ekonominya. Pendekatan diplomasi dan militer digunakan secara selektif dan sinergis, mencerminkan kecanggihan geopolitik Majapahit sebagai kekuatan maritim dan daratan sekaligus.
1. Pendekatan Kooperatif: Diplomasi Tributari
Alih-alih menggunakan kekerasan di semua wilayah, Majapahit lebih dahulu menerapkan pendekatan diplomatik kooperatif di daerah yang:
- Tidak memiliki kekuatan militer besar.
- Menginginkan hubungan dagang dengan pusat kekuasaan Jawa.
- Memiliki hubungan budaya atau agama yang bisa diperkuat.
Strategi kooperatif ini meliputi:
a. Pengiriman Hadiah dan Utusan
- Majapahit mengirimkan emas, arca, kitab suci, dan tekstil Jawa ke raja-raja kecil.
- Dalam teks Negarakretagama, banyak kerajaan di Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Maluku disebut sebagai pengirim upeti secara berkala.
b. Pernikahan Politik dan Ikatan Darah
- Terdapat strategi pernikahan antara keluarga bangsawan Majapahit dan elite lokal:
- Seperti yang terjadi di Bali, di mana dinasti Arya Kepakisan membaur dengan keluarga bangsawan setempat.
- Hal ini memungkinkan penerimaan sosial terhadap pemerintahan perwakilan Majapahit.
c. Pengakuan dan Pemberian Gelar
- Raja-raja lokal yang menyatakan setia diakui sebagai penguasa sah dan diberi gelar kehormatan:
- Contoh: gelar seperti “raja upeti”, “ratu bawahan”, atau “adipati maritim” muncul dalam inskripsi lokal.
- Mereka tetap berdaulat secara administratif, tetapi harus tunduk secara simbolik dan politik pada Majapahit.
2. Pendekatan Koersif: Intervensi dan Penaklukan Langsung
Namun, tidak semua wilayah menerima pendekatan damai. Majapahit juga menjalankan strategi koersif, terutama jika:
- Raja lokal menolak upeti.
- Terjadi pemberontakan atau pengkhianatan.
- Wilayah tersebut strategis secara ekonomi dan militer.
Strategi koersif ini mencakup:
a. Ekspedisi Laut Militer
- Armada Majapahit, yang terdiri dari jong-jong besar dan kapal perang kecil, mengangkut pasukan infanteri dan kavaleri laut.
- Operasi militer dijalankan dengan:
- Penyerangan pelabuhan utama (seperti di Dompu dan Bima).
- Pendudukan benteng dan titik air strategis.
- Pemaksaan penyerahan simbolik seperti arca, kitab, dan bendera.
b. Penggantian Penguasa Lokal
- Bila terjadi perlawanan keras, Majapahit akan:
- Menurunkan raja lokal dan menggantikannya dengan tokoh yang pro-Majapahit.
- Contohnya: di Bali, setelah penaklukan oleh Arya Damar, Majapahit menunjuk Arya Kepakisan sebagai penguasa wakil.
c. Represaliasi dan Perjanjian Baru
- Setelah wilayah takluk, biasanya disusun ulang struktur kekuasaan lokal agar:
- Wilayah tetap damai.
- Upeti bisa dikirim secara teratur.
- Budaya Majapahit bisa ditanamkan lewat aksara, seni, dan agama.
Sinergi Kedua Pendekatan: Diplomasi-Militer
Majapahit tidak mengandalkan satu metode saja. Justru, keberhasilan ekspedisi ke timur terletak pada kemampuan adaptasi strategi:
- Bila diplomasi berhasil → militer tidak digunakan.
- Bila diplomasi gagal → militer menjadi alat legitimasi dan penaklukan.
- Setelah penaklukan → diplomasi dan integrasi budaya diberlakukan untuk meredam resistensi dan membangun loyalitas jangka panjang.
Strategi Ekspedisi Timur
Pendekatan | Taktik Utama | Contoh Wilayah |
---|---|---|
Kooperatif | Utusan, hadiah, upeti, pernikahan | Luwu, Buton, sebagian Maluku |
Koersif | Armada militer, penggantian raja lokal | Dompu, Bima, Bali |
Gabungan | Diplomasi → Militer → Integrasi Budaya | Lombok, Bali pasca-penaklukan |
B. Penaklukan dan Integrasi Wilayah
Ekspedisi ke kawasan timur Nusantara oleh Majapahit di bawah Hayam Wuruk dan Gajah Mada merupakan bagian dari realisasi ambisi maritim dan geopolitik yang tertuang dalam Sumpah Palapa. Strategi ini mencakup kombinasi kekuatan militer, diplomasi, dan integrasi budaya. Tujuan akhirnya adalah menghubungkan pusat kekuasaan Jawa Timur dengan berbagai wilayah penghasil rempah, kayu, dan emas di timur kepulauan, sekaligus membangun sistem tributari dan mandala kekuasaan. Berikut ini penjelasan mendalam per wilayah:
1. Bali: Penaklukan dan Konsolidasi
- Penaklukan awal Bali terjadi pada tahun 1343 M, dipimpin oleh Gajah Mada dan Arya Damar, di masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi.
- Namun, pada masa Hayam Wuruk, Majapahit melakukan konsolidasi ulang terhadap struktur kekuasaan Bali.
- Penempatan Arya Kepakisan sebagai adipati Majapahit di Bali menjadi fondasi kuat kekuasaan Jawa di sana.
- Bali dijadikan sebagai pusat pemerintahan regional untuk ekspedisi ke pulau-pulau timur.
Integrasi:
- Diperkenalkan adat Majapahit, sistem kasta Hindu, aksara Kawi, dan seni pewayangan.
- Bali kemudian berkembang sebagai benteng budaya Jawa-Hindu, bahkan setelah Majapahit runtuh.
2. Lombok dan Sumbawa: Pejanggik, Dompu, dan Bima
Lombok:
- Kerajaan Pejanggik (Tengah) dan Selaparang (Timur) dihadapi dengan strategi campuran.
- Majapahit menggunakan diplomasi, aliansi, dan penempatan wakil dari Bali untuk memperluas pengaruh.
Sumbawa:
- Dompu adalah target eksplisit dalam Sumpah Palapa, dianggap kuat secara militer.
- Menghadapi perlawanan keras dan harus ditundukkan melalui kekuatan penuh armada Majapahit.
- Setelah Dompu jatuh, Bima menyusul dan menerima kekuasaan Majapahit melalui penyerahan simbolis (upeti, lambang kerajaan, dll).
Integrasi:
- Diperkenalkan struktur kerajaan Majapahit, termasuk jabatan “patih”, “ratu”, dan “adipati”.
- Sistem aksara dan kepercayaan Hindu-Buddha mulai menyebar.
- Elite lokal dijadikan bagian dari struktur kekuasaan baru.
3. Sulawesi Selatan: Kontak dengan Gowa dan Luwu
- Wilayah ini belum mengalami sentralisasi kekuasaan seperti di kemudian hari (Gowa–Tallo).
- Luwu dan Gowa adalah kerajaan kecil yang berkembang pesat sebagai pusat perdagangan dan logistik.
Strategi:
- Majapahit tidak menyerang langsung, tetapi mengirim utusan, hadiah, dan kitab sebagai bentuk diplomasi.
- Negarakretagama mencatat Luwu sebagai wilayah pengirim upeti.
Integrasi:
- Terjadi asimilasi budaya dan sistem politik secara damai.
- Beberapa gelar dan jabatan Bugis kemudian mengadopsi gaya Majapahit (misalnya, “batara”, “tomanurung” sebagai konsep raja sakral).
- Jalur dagang antara Sulawesi dan Jawa berkembang pesat.
4. Flores, Timor, dan Maluku: Dominasi Maritim dan Diplomatik
Wilayah:
- Meliputi Alor, Solor, Ende, Timor, serta wilayah Maluku Tengah dan Tenggara (Seram, Ambon, Banda, Kei, Aru).
Strategi:
- Ekspedisi militer terbatas, lebih dominan pengaruh maritim dan ekonomi.
- Majapahit menempatkan kawasan ini dalam kategori “nagari bawahan” (negara tributari), bukan sebagai provinsi langsung.
Integrasi:
- Hubungan dagang dibangun dengan pertukaran rempah, emas, dan kayu cendana.
- Majapahit mengirim kitab suci, arca, dan lambang kekuasaan.
- Budaya Jawa mulai masuk melalui pelaut dan pedagang, dan tercermin dalam beberapa artefak lokal.
Wilayah | Strategi | Integrasi | Dampak Jangka Panjang |
---|---|---|---|
Bali | Militer + administrasi | Sistem kasta Hindu-Jawa | Pelestari budaya Majapahit pasca keruntuhan |
Lombok | Diplomatik | Elite lokal adopsi sistem Jawa | Perubahan struktur kerajaan lokal |
Sumbawa | Militer penuh | Upeti & pemaksaan loyalitas | Masuknya pengaruh Hindu dan administrasi |
Sulawesi Selatan | Diplomatik & dagang | Relasi simbolik & pertukaran budaya | Pengaruh struktur pemerintahan Jawa |
NTT & Maluku | Dagang + simbolik | Mandala budaya dan tributasi | Akar relasi maritim Jawa–Timur |
Dampak Ekspedisi Timur Majapahit
Ekspedisi Hayam Wuruk ke wilayah timur Nusantara selama pertengahan abad ke-14 tidak hanya meninggalkan jejak militer dan politik, tetapi juga memberikan pengaruh yang luas dalam dimensi ekonomi, budaya, spiritual, dan peradaban. Dampaknya terasa hingga ratusan tahun kemudian, bahkan melampaui masa kejayaan Majapahit itu sendiri. Berikut adalah tiga ranah utama yang menunjukkan transformasi pasca-ekspedisi timur:
A. Politik dan Kekuasaan
Penguatan Posisi Majapahit sebagai Kerajaan Mandala Maritim
Ekspedisi ke wilayah timur memperkuat posisi Majapahit sebagai kerajaan mandala maritim, yakni kekuatan besar yang mengatur sistem kekuasaan melalui hubungan simbolik, jaringan pelabuhan, dan loyalitas politik, bukan dominasi teritorial langsung. Dalam struktur ini:
- Majapahit menjadi pusat gravitasi kekuasaan di Nusantara, bukan hanya secara militer tetapi juga secara ideologis dan diplomatis.
- Ekspedisi ke Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, dan Maluku menjadikan Hayam Wuruk sebagai raja cakravartin — penguasa universal dalam kosmologi Hindu-Buddha yang memerintah dunia melalui harmoni dan dharma, bukan sekadar kekerasan.
- Kekuasaan Majapahit tidak dibatasi oleh batas geografis tetap, tetapi menjangkau wilayah-wilayah yang secara periodik mengirimkan upeti (tributari) dan tunduk secara simbolik melalui pengakuan atas supremasi raja Jawa.
Majapahit berhasil menciptakan bentuk hegemoni politik berbasis maritim, yang berbeda dari kekuasaan imperialis daratan seperti di Tiongkok atau India. Keunggulan ini menjadikannya model kerajaan maritim paling berhasil dalam sejarah Indonesia pra-modern.
Sistem Vasal dan Tributari sebagai Kontrol Tidak Langsung
Untuk mempertahankan wilayah luasnya tanpa kehadiran militer permanen di semua daerah, Majapahit mengembangkan sistem vasal (bawahan) dan hubungan tributari, yaitu bentuk kontrol tidak langsung dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kekuasaan Bersifat Relasional, Bukan Absolut
- Raja atau penguasa lokal di luar Jawa tetap memerintah wilayahnya, namun dalam status sebagai “nagari bawahan” atau kerajaan vazal.
- Mereka wajib mengakui supremasi Majapahit, mengirim upeti, dan dalam beberapa kasus menempatkan simbol kekuasaan Majapahit di istana mereka.
2. Upeti Berkala dan Pengakuan Politik
- Upeti bisa berupa emas, rempah, kayu cendana, hasil pertanian, bahkan budak atau tenaga kerja.
- Penyerahan upeti ini menjadi ritus diplomatik yang mengikat kekuasaan lokal ke pusat Majapahit.
3. Pemberian Gelar dan Status
- Majapahit memberikan gelar kehormatan kepada raja-raja lokal: “adipati”, “bhagawanta”, “ratu anom”, dan lain-lain.
- Gelar ini memperkuat legitimasi lokal sambil menunjukkan subordinasi terhadap kekuasaan pusat.
4. Pengiriman Pejabat dan Perwakilan
- Dalam beberapa kasus, seperti di Bali, Majapahit menempatkan pejabat utusan kerajaan (seperti Arya Kepakisan) untuk mengatur urusan lokal dan memastikan kelancaran hubungan dengan pusat.
- Di wilayah yang sangat strategis, ini berubah menjadi semi-kolonisasi administratif, dengan birokrasi dan adat Majapahit diperkenalkan secara langsung.
5. Relasi Diplomatik yang Terbuka
- Majapahit tidak selalu memaksakan dominasi. Kerajaan-kerajaan seperti Luwu dan Buton menjalin hubungan sebagai sekutu atau mitra dagang, bukan sebagai taklukan.
- Sistem ini fleksibel dan berorientasi pada stabilitas serta kepentingan ekonomi bersama, menjadikannya bertahan lama bahkan setelah era Hayam Wuruk berakhir.
Sistem Politik Ekspansi Timur
Aspek | Karakteristik |
---|---|
Tipe Kekuasaan | Hegemoni maritim, bukan kekuasaan teritorial absolut |
Metode Kontrol | Vasal, tributari, perwakilan elite |
Simbol Supremasi | Upeti, pemberian gelar, penempatan pejabat Majapahit |
Model Relasi | Diplomatik, fleksibel, berbasis manfaat bersama |
Hasil Akhir | Terbentuknya sistem kekaisaran mandala yang mampu mengikat Nusantara |
B. Ekonomi dan Perdagangan
Ekspedisi Hayam Wuruk ke wilayah timur Nusantara bukan semata bersifat militer dan politik, tetapi juga merupakan bagian dari strategi ekonomi maritim jangka panjang Majapahit. Kawasan timur — Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Maluku — adalah kunci dalam rantai komoditas berharga dunia. Dengan berhasil mengintegrasikan wilayah-wilayah ini, Majapahit tidak hanya memperluas pengaruh, tetapi juga mengkonsolidasikan kekayaannya sebagai kerajaan pelabuhan.
1. Penguasaan Jalur Komoditas: Rempah, Kayu Cendana, dan Logam
Rempah-rempah (cengkih, pala, lada):
- Komoditas utama dunia sejak abad ke-14.
- Sumber utamanya berada di Maluku (Ternate, Tidore, Banda) dan bagian timur Sulawesi.
- Pengaruh Majapahit di Maluku dilakukan dengan relasi tributari dan dagang, menjadikannya perantara utama perdagangan rempah ke barat Nusantara dan India.
Kayu cendana:
- Dihasilkan dari Timor, salah satu komoditas paling berharga karena digunakan dalam ritual Hindu-Buddha dan juga sebagai parfum di dunia Arab dan India.
- Majapahit menjalin hubungan erat dengan kerajaan-kerajaan lokal seperti Wehali untuk memastikan aliran cendana.
Timah dan logam lain:
- Logam timah berasal dari wilayah pesisir timur Sumatra dan sebagian timur Nusantara.
- Sangat penting dalam industri senjata dan kerajinan logam Majapahit.
Budak dan tenaga kerja:
- Budak dari Sumbawa, Flores, dan Sulawesi juga menjadi komoditas ekspor, walau lebih jarang dibahas.
- Mereka digunakan sebagai pelayan, pelaut, hingga prajurit di istana atau kapal-kapal dagang.
2. Integrasi Jaringan Pelabuhan Timur–Barat
Majapahit membangun dan mengawasi rantai pelabuhan-pelabuhan penting sebagai titik transit dan pusat kendali ekonomi:
Kawasan | Pelabuhan Kunci | Fungsi Strategis |
---|---|---|
Jawa Timur | Tuban, Gresik, Sedayu | Pusat distribusi barang dari timur ke barat |
Bali | Serangan, Kusamba | Hub penghubung antara pelabuhan Jawa dan Nusa Tenggara |
NTB & NTT | Labuhan Lombok, Ende | Titik transit dagang dan kontrol laut tengah |
Maluku | Banda, Ternate, Tidore | Sumber utama rempah, basis jaringan dagang transregional |
Sulawesi | Luwu, Bajoe | Kontak dagang dengan wilayah Bugis dan pelabuhan dagang |
Pelabuhan-pelabuhan ini memperkuat akses maritim lintas timur–barat, memungkinkan Majapahit mengalirkan kekayaan dari timur ke pusat kerajaan dan menjualnya ke pedagang dari India, Gujarat, Tiongkok, dan Arab.
3. Sistem Ekonomi Tributari dan Pajak Maritim
- Setiap wilayah bawahan atau sekutu wajib mengirimkan upeti dalam bentuk barang berharga.
- Selain itu, Majapahit mengelola sistem bea cukai untuk kapal asing yang singgah atau melintasi wilayah kekuasaan.
- Hal ini menciptakan model ekonomi yang tidak hanya bergantung pada produksi internal, tapi juga redistribusi kekayaan antar pulau dan antar bangsa.
4. Perekonomian Berbasis Maritim, Bukan Agraris
Berbeda dengan kerajaan agraris seperti Mataram Kuno atau Tarumanagara, Majapahit membangun model ekonomi yang sepenuhnya bertumpu pada laut, yaitu:
- Armada niaga dan kapal jung raksasa digunakan untuk mengangkut barang dalam jumlah besar.
- Sistem pelayaran reguler dibentuk antara pelabuhan pusat (Tuban, Gresik) ke luar pulau.
- Pengaruh Majapahit menyebar bukan lewat garnisun militer, tetapi lewat jalur dagang dan jejaring pelabuhan.
Dampak Ekonomi
Aspek | Dampak Ekspedisi Timur |
---|---|
Komoditas Utama | Rempah, cendana, logam, budak |
Kontrol Jalur Dagang | Laut Banda, Selat Lombok, Laut Timor |
Jaringan Pelabuhan | Terintegrasi Jawa–Timur Indonesia |
Pendapatan Kerajaan | Upeti, bea pelabuhan, hasil perdagangan antar pulau |
Model Ekonomi | Thalassokrasi (kerajaan maritim berbasis redistribusi) |
C. Budaya dan Keagamaan
Ekspedisi Majapahit ke wilayah timur Nusantara bukan hanya bertujuan menaklukkan secara militer dan ekonomi, tetapi juga membawa serta arus budaya, spiritualitas, dan pemerintahan yang kuat. Di balik kekuatan jung dan tombak, Majapahit menanamkan tatanan kosmologis berdasarkan agama Hindu-Siwa dan Buddha, yang berpadu dalam satu sistem kepercayaan. Budaya Jawa Majapahit juga menyebar luas—mengakar dalam bahasa, seni, dan struktur politik banyak wilayah timur Indonesia hingga kini.
1. Penyebaran Sistem Kepercayaan Siwa-Buddha
Majapahit mewarisi dan mengembangkan sinkretisme Hindu-Siwa dan Buddha Tantrayana, dua sistem kepercayaan utama yang mengatur seluruh aspek kehidupan kerajaan. Dalam ekspedisi ke wilayah timur, ajaran ini dibawa oleh:
- Pendeta kerajaan, yang bertugas membangun pura dan vihara.
- Kitab suci dan arca-arca suci (seperti Amoghapasa dan Mahākāla) yang dikirim sebagai simbol kehadiran kekuasaan spiritual.
- Bangunan candi dan pura didirikan sebagai pusat pemujaan dan pemerintahan spiritual.
Contoh penyebaran:
- Di Bali, sistem kasta Hindu disebarkan dan bertahan hingga kini. Pura besar seperti Pura Besakih berkembang sebagai “Gunung Mahameru” versi lokal.
- Di Lombok, jejak Hindu-Buddha tertinggal di desa-desa Wetu Telu dan dalam nama-nama tempat.
- Di Timor dan Flores, meski proses konversi tidak seluas Bali, pengaruh kosmologis tetap terlihat dalam struktur ritus adat dan upacara agraris.
2. Perkembangan Bahasa dan Sistem Pemerintahan Jawa
Majapahit juga membawa serta elemen bahasa, tulisan, dan struktur administratif yang sangat mempengaruhi wilayah timur Nusantara:
Bahasa dan Aksara:
- Aksara Kawi dan Jawa Kuna mulai digunakan di prasasti-prasasti lokal, menggantikan sistem oral dan simbolik sebelumnya.
- Bahasa Jawa Kuna menjadi lingua franca di kalangan elit dan cendekiawan, terutama di Bali dan Lombok.
- Dalam beberapa lontar Bali dan Sulawesi ditemukan teks yang merujuk langsung pada tata bahasa dan struktur kalimat Jawa Majapahit.
Struktur Pemerintahan:
- Diterapkan sistem jabatan seperti patih, rakryan, bhagawanta, ratu anom, dan sistem pembagian wilayah seperti “wanua”, “nagara”, atau “mandala”.
- Penguasa lokal diberi gelar yang diadopsi dari struktur pusat, menjadikan elite lokal sebagai perpanjangan tangan kekuasaan Majapahit.
- Sistem hukum berbasis Dharmaśāstra dan adat Majapahit mulai diadopsi secara luas, bahkan setelah keruntuhan pusat kekuasaan di Trowulan.
3. Jejak Seni dan Tradisi Budaya
Selain agama dan pemerintahan, Majapahit menyebarkan seni pertunjukan, arsitektur, dan sistem sastra yang menjadi warisan budaya abadi:
Seni:
- Wayang kulit dan wayang beber menyebar hingga Bali dan sebagian NTT.
- Tari-tarian istana seperti gambuh dan legong berasal dari pengaruh Jawa Majapahit.
Arsitektur:
- Pura dan bangunan pemerintahan meniru gaya candi Majapahit: atap bertingkat, bata merah, dan pola relief pewayangan.
- Peninggalan ini dapat dilihat di pura-pura Bali dan situs-situs tua di Lombok, Bima, dan Sumbawa.
Sastra dan Lontar:
- Lontar berisi ajaran Siwa-Buddha, ilmu pertanian, pengobatan, dan pemerintahan disebarkan sebagai bentuk edukasi budaya.
- Beberapa lontar bahkan merekam riwayat ekspedisi dan silsilah tokoh-tokoh Majapahit di daerah timur.
Kesimpulan Budaya dan Keagamaan
Aspek | Dampak Ekspedisi Timur |
---|---|
Agama | Penyebaran Siwa-Buddha, sinkretisme spiritual |
Bahasa & Aksara | Aksara Kawi, Bahasa Jawa Kuna sebagai lingua franca |
Pemerintahan | Adopsi struktur birokrasi dan hukum Majapahit |
Seni & Sastra | Penyebaran wayang, tarian istana, lontar, dan seni rupa |
Arsitektur | Pura dan bangunan bergaya Majapahit di luar Jawa |
Pencapaian dan Warisan
Ekspedisi Hayam Wuruk ke wilayah timur Nusantara bukan hanya momen kejayaan sesaat, tetapi tonggak penting dalam sejarah pembentukan identitas Nusantara. Di bawah kepemimpinan simbolik Hayam Wuruk dan visi geopolitik Gajah Mada, Majapahit mencapai puncak terluas kekuasaan maritimnya. Warisan ekspedisi ini melampaui batas waktu dan geografi—mempengaruhi struktur politik, budaya, dan identitas kawasan timur selama berabad-abad setelahnya.
1. Hayam Wuruk: Raja dengan Wilayah Terluas dalam Sejarah Jawa
- Di masa pemerintahannya, Majapahit menjadi kerajaan dengan cakupan terluas dalam sejarah Nusantara pra-modern, mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia kini serta sebagian Semenanjung Malaya.
- Menurut Negarakretagama (1365 M), daftar wilayah vasal mencakup Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, hingga Papua bagian barat.
- Hayam Wuruk diakui sebagai raja cakravartin dalam konsep Hindu-Buddha: penguasa universal yang tidak sekadar menguasai, tetapi menjaga harmoni (dharma) antarwilayah.
2. Konsolidasi Awal Nusantara Timur sebagai Bagian dari Konsep “Dwipantara”
- Istilah Dwipantara (atau Nusantara) pertama kali digunakan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, dan dieksekusi penuh oleh Hayam Wuruk.
- Wilayah timur—yang sebelumnya dianggap perifer—mulai diposisikan sebagai bagian strategis dari identitas dan kekuatan Majapahit.
- Integrasi kawasan timur menciptakan kesadaran geopolitik awal bahwa seluruh kepulauan di bawah satu jaringan mandala adalah satu entitas berbudaya, ekonomi, dan spiritual yang saling terhubung.
3. Pengaruh Jangka Panjang terhadap Struktur Kerajaan Lokal di Timur
Ekspedisi ini tidak hanya menjadikan kerajaan-kerajaan lokal sebagai bawahan, tetapi menciptakan proses transformasi struktural dan budaya yang bertahan hingga zaman kolonial, bahkan era kemerdekaan.
a. Politik dan Pemerintahan
- Kerajaan-kerajaan lokal seperti Pejanggik (Lombok), Dompu dan Bima (Sumbawa), Luwu dan Gowa (Sulawesi Selatan), serta beberapa komunitas di Maluku dan Timor mulai mengadopsi sistem pemerintahan ala Majapahit: jabatan patih, ratu, rakryan, dll.
- Banyak dinasti lokal mengklaim keturunan dari pejabat atau bangsawan Majapahit, sebagai bentuk legitimasi.
b. Hukum dan Adat
- Struktur hukum lokal mengalami pengaruh Dharmaśāstra dan hukum adat Jawa.
- Di Bali dan sebagian NTT, sistem kasta dan adat kerajaan merupakan adaptasi dari struktur sosial Majapahit.
c. Budaya dan Kepercayaan
- Sistem pura dan tradisi Hindu di Bali sepenuhnya dibangun di atas fondasi spiritual Majapahit.
- Di Sulawesi dan NTT, unsur kosmologis Jawa seperti konsep “kerajaan pusat” dan “tanah adat suci” tercermin dalam adat dan ritus lokal.
Warisan Ekspedisi Timur
Aspek | Dampak & Warisan Panjang |
---|---|
Kepemimpinan | Hayam Wuruk sebagai raja cakravartin Nusantara |
Identitas Nusantara | Konsolidasi kawasan timur dalam konsep geopolitik Dwipantara |
Struktur Kerajaan Lokal | Adaptasi sistem pemerintahan, gelar, dan legitimasi dari Majapahit |
Hukum & Adat | Penerapan Dharmaśāstra dan hukum adat ala Jawa |
Budaya & Spiritualitas | Warisan Hindu-Buddha di Bali, Lombok, Timor, hingga Sulawesi |
Ekspedisi ke wilayah timur Nusantara yang dijalankan di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada bukan sekadar penaklukan militer, melainkan ekspresi tertinggi dari kematangan sistem politik dan pemerintahan Majapahit. Dengan memadukan strategi diplomasi, kekuatan maritim, dan pengaruh budaya, ekspedisi ini menciptakan jaringan kekuasaan yang menyatukan berbagai kerajaan, etnis, dan pulau ke dalam satu orbit kekuasaan yang fleksibel namun kohesif.
Keberhasilan ekspedisi ini mencerminkan kemampuan administrasi kerajaan yang kompleks, pengelolaan logistik lintas pulau, serta penguasaan atas jalur perdagangan dan komunikasi maritim. Tidak ada kerajaan pra-modern lain di wilayah Asia Tenggara yang mampu menyamai skala dan cakupan kendali Majapahit atas kawasan yang begitu luas, tanpa mendirikan koloni secara langsung. Ini menegaskan keunggulan konsep mandala maritim, yang menjadi ciri khas peradaban Nusantara.
Lebih jauh, ekspedisi ini menjadi titik awal pembentukan kesadaran geografis dan budaya Nusantara. Integrasi wilayah timur ke dalam struktur politik dan budaya Majapahit menciptakan fondasi awal bagi semangat kebangsaan yang di kemudian hari dikenal sebagai Indonesia. Konsep Dwipantara yang diusung Gajah Mada bukan sekadar mimpi ekspansi, melainkan visi geopolitik yang mendahului zamannya.
Warisan ekspedisi ini tetap hidup dalam berbagai bentuk:
- Dalam sistem pemerintahan lokal yang mengadopsi birokrasi Majapahit.
- Dalam adat dan sistem kasta di Bali, tradisi hukum di Timor, hingga seni pertunjukan dan arsitektur di Sulawesi.
- Dalam identitas maritim Indonesia yang terus menjadi poros pembangunan dan peradaban.
Dengan demikian, ekspedisi Hayam Wuruk ke timur bukan hanya bagian dari narasi kejayaan masa lalu, tetapi refleksi tentang bagaimana strategi budaya, politik, dan ekonomi dapat membentuk kohesi kebangsaan lintas kepulauan—sebuah pelajaran abadi bagi visi Indonesia masa depan.
📚 DAFTAR REFERENSI
🔸 Sumber Primer dan Naskah Kuno
Negarakretagama – Mpu Prapanca (1365 M). Menyebutkan daftar daerah taklukan Majapahit di timur Nusantara, termasuk Bali, Lombok, dan wilayah Maluku.
Pararaton (Kitab Raja-Raja) – Naskah sejarah Jawa yang menyinggung pemerintahan Hayam Wuruk dan peran Gajah Mada dalam penyatuan Nusantara.
Babad Dalem – Lontar Bali yang menyebutkan dinasti Kepakisan dan integrasi Bali ke dalam sistem Majapahit pasca-penaklukan.
Lontar Usana Bali dan Lontar Raja Purana Pura Besakih – Catatan sejarah Bali yang menyinggung masuknya kekuasaan Majapahit melalui Arya Kenceng dan Dinasti Gelgel.
🔸 Buku & Karya Akademik
Muljana, Slamet. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Pigeaud, Theodore G.Th. Java in the 14th Century. The Hague: Martinus Nijhoff, 1960.
Zoetmulder, P. J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan, 1974.
Munoz, Paul Michel. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet, 2006.
🔸 Penelitian dan Artikel Ilmiah
Wirawan, I Nyoman. “Majapahit dan Integrasi Budaya di Bali.” Jurnal Humaniora UGM, Vol. 22, No. 2, 2010.
Herwanto, Djoko. “Wilayah Maritim Majapahit dan Strategi Ekspansi Timur.” Jurnal Arkeologi, 2018.
Ramli, Syamsul. “Relasi Gowa dan Majapahit dalam Naskah Lontara.” Jurnal Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, Vol. 4, No. 1, 2021.
🔸 Sumber Eropa Klasik
Pires, Tomé. Suma Oriental. 1512. Diterjemahkan oleh Armando Cortesão, London: Hakluyt Society, 1944. Menyebut jejak kekuasaan Majapahit hingga Maluku dan Timor.
🔸 Situs & Ensiklopedia Online
Wikipedia Bahasa Indonesia:
- Kerajaan Majapahit
- Ekspedisi Hayam Wuruk
- Kerajaan Pejanggik
- Kerajaan Gowa Tua
Historia.id – “Ketika Majapahit Menyebrang ke Timur”, 2020.
Kompas.com – “Dari Bali hingga Timor: Jejak Pengaruh Majapahit di Timur Nusantara”, 2021.