Perang Kerajaan-Kerajaan Bali Melawan Belanda (1846–1908), Ekspedisi militer Belanda ke Buleleng, Karangasem, Bangli, hingga puncak perlawanan dan puputan di Badung (1906) dan Klungkung (1908). Seluruh tokoh, latar belakang politik, strategi perang, dan dampak kolonial akan dijelaskan secara menyeluruh.
Latar Belakang Konflik Kolonial di Bali
Bali pada abad ke-19 masih terdiri atas sejumlah kerajaan Hindu otonom (Buleleng, Karangasem, Bangli, Gianyar, Badung, Klungkung, dll.) yang saling bersekutu secara longgar. Pemerintah Hindia Belanda, yang berkuasa di Pulau Jawa, mulai mengincar Bali untuk melengkapi penguasaan kolonialnya. Salah satu isu utama adalah hukum tawan karang—yaitu hak raja setempat merampas kapal karam dan isinya di perairan Bali. Pemerintah Kolonial Belanda menilai praktek tradisional ini melanggar hukum internasional, sehingga menuntut penghapusannya dalam perjanjian-perjanjian tahun 1841 dan 1843. Namun, Raja Buleleng (di Bali Utara) menolak klausul tersebut karena dianggap merugikan dan tidak adil bagi Bali. Gagalnya diplomasi damai ini, ditambah insiden penangkapan kapal dagang Belanda di wilayah Buleleng pada tahun 1844, membuat Belanda bersikap keras. Akhirnya, Hindia Belanda melancarkan ekspedisi militer ke Bali untuk memaksa kerajaannya tunduk.
Ekspedisi Belanda ke Bali Utara (Buleleng) 1846–1849
Belanda mengadakan tiga ekspedisi militer utama ke wilayah Buleleng (Bali Utara) antara 1846 dan 1849, yang dikenal sebagai Perang Bali I (1846), Perang Bali II atau Perang Jagaraga (1848), dan Perang Bali III/Kusamba (1849).
- Ekspedisi 1846 (Perang Bali I). Pada 17–20 Juni 1846, armada Belanda berjumlah sekitar 40 kapal perang dan 1.700 tentara (termasuk 400 pasukan Eropa) mendarat di pantai Buleleng di bawah pimpinan Laksamana Engelbertus van den Bosch dan Letnan Kolonel Gerhardus Bakker. Pasukan Bali (dipimpin Raja I Gusti Ngurah Made Karangasem dari Buleleng) berjumlah sekitar 10.000 orang melakukan perlawanan sengit. Meskipun begitu, formasi Belanda akhirnya menembus benteng pertahanan Bali dan menaklukkan kota Singaraja. Setelah itu Belanda menggelar perundingan damai dengan Raja Buleleng dan Raja Karangasem, menghasilkan perjanjian damai (Pertanggaran 20 Juni 1846), di mana kedua kerajaan secara formal tunduk kepada Hindia Belanda. Namun, ketegangan belum hilang, dan Belanda membangun benteng militer di Buleleng untuk memantau pelaksanaan perjanjian.
- Ekspedisi 1848 (Perang Bali II / Perang Jagaraga). Keruntuhan awal ini tidak bertahan lama. Belanda menganggap Raja Buleleng telah melanggar perjanjian (misalnya masih menjalankan tawan karang secara rahasia). Pada Mei 1848, Belanda kembali menyerang Bali Utara. Panglima Belanda, Mayor Jendral Carel van der Wijck, mendarat di pantai Sangsit pada 7 Juni 1848 dengan kekuatan sekitar 2.400 tentara (termasuk pasukan Jawa-Madura dan 1 kompi infanteri Afrika). Pasukan Bali di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik (bantuan Raja Buleleng) berkekuatan lebih besar, sekitar 16.000 orang dengan 1.500 senjata api. Mereka mundur ke benteng Jagaraga yang strategis, hanya 4 km dari pantai Sangsit. Belanda menyerbu pertahanan Jagaraga pada 8 Juni 1848, namun medan panas dan perangkap alam kawasan tersebut membuat Belanda kesulitan. Dalam pertempuran pertama ini Balinese justru berhasil menewaskan ratusan pasukan Belanda (diperkirakan sekitar 250 orang tewas). Kegagalan ekspedisi kedua ini meningkatkan reputasi Jelantik dan semangat perlawanan Bali – bahkan dikatakan berita kemenangan Bali tersebar luas ke Jawa dan Sumatra, memalukan nama besar Belanda.
- Ekspedisi 1849 (Perang Bali III / Perang Kusamba). Belanda kemudian merencanakan serangan besar-besaran. Pada April 1849, Mayor Jendral Andreas Victor Michiels memimpin “ekspedisi ketiga” yang jauh lebih besar, membawa 15.000 prajurit terlatih (infanteri, kavaleri, artileri, penjinak benteng) dan puluhan kapal perang dari Jawa. Pasukan Belanda mendarat lagi di Sangsit (15 April 1849) dan mengepung benteng Jagaraga dari dua arah. Setelah benteng Jagaraga dibombardir hebat, pasukan Bali mempertahankan posisi tanpa mundur sedikitpun, hingga akhirnya seluruh benteng jatuh ke tangan Belanda pada 19 April 1849. Dalam peristiwa itu Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Patih I Gusti Ketut Jelantik gugur bersama para pengikutnya (termasuk Jro Jempiring, istri Jelantik). Dengan jatuhnya Buleleng, maka Bali Utara (termasuk daerah Karangasem yang ikut) sepenuhnya dikuasai Belanda. Setelah perang, Belanda menggabungkan administrasi wilayah: kerajaan Buleleng dicaplok dan disatukan dengan kerajaan Bangli (Raja Bangli diangkat menjadi penguasa atas bekas wilayah Buleleng), sementara Kerajaan Karangasem digabung dengan Selaparang (Lombok) sebagai stedehouder.
Pertahanan dan Diplomasi I Gusti Ketut Jelantik
I Gusti Ketut Jelantik (yang sering disebut patih Jelantik) adalah tokoh sentral dalam perlawanan Bali Utara. Setelah kekalahan awal 1846, Jelantik bersama Raja Buleleng melarikan diri ke daerah Jagaraga (kini di Singaraja Utara) untuk membangun pertahanan baru. Posisi Jagaraga yang berada di punggung bukit dengan jalan masuk terbatas sangat menguntungkan untuk bertahan dan melakukan serangan mendadak. Di lokasi inilah Jelantik mengorganisasi ulang angkatan perang Buleleng. Ia membangun benteng-benteng pertahanan di lereng Jagaraga, melatih seluruh pasukan (termasuk seribu prajurit bersenjata senapan) dan membangkitkan semangat juang rakyat setempat. Rumah-rumah penduduk dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan logistik dan pengintaian musuh. Strategi ini membuat pasukan Belanda kewalahan saat menyerang Jagaraga dalam ekspedisi 1848.
Di samping itu, Jelantik juga berupaya diplomasi: ia meminta bantuan persenjataan dan dukungan dari raja-raja Bali lain (meskipun tidak semua bersatu). Rakyat Buleleng menggunakan taktik perang tradisional seperti “Supit Surang” (tabuh terompet bambu sebagai kode serangan) dan Makara Wyuhana (membentangkan kain putih lalu senjata rahasia) untuk menimbulkan ketakutan dan kekacauan pada pasukan Belanda. Belanda sendiri mengakui bahwa strategi gabungan Jelantik dan rakyat Jagaraga sangat mengganggu dan memancing ketegangan hingga serangan balasan besar-besaran dilakukan pada 1849. Secara keseluruhan, kombinasi taktik militansi Jelantik dan semangat nasional Bali Utara mampu menunda dominasi kolonial selama tiga tahun sebelum akhirnya terobosan senjata api Belanda memecah benteng Jagaraga.
Ekspedisi Belanda ke Bangli, Karangasem, dan Gianyar
Setelah menundukkan Bali Utara, Belanda meluaskan pengaruhnya ke wilayah Bali lain. Pada 1849, setelah menang atas Buleleng, Hindia Belanda menandatangani perjanjian dengan kerajaan-kerajaan kecil seperti Bangli, Gianyar, dan Jembrana untuk menghapus tawan karang dan mengakui kekuasaan Belanda. Bangli dan Gianyar (sekaligus Klungkung) menerima pengawasan kolonial dalam perjanjian tersebut. Dampak praktisnya, Raja Bangli diangkat menjadi penguasa atas wilayah bekas Buleleng dibawah protektorat Belanda, sedangkan Karangasem tak lagi menjadi entitas merdeka (digabung dengan Lombok).
Pada dekade-dekade berikutnya, intervensi Belanda di Bali berlanjut dalam skala kecil. Misalnya, pada 1894 Belanda menaklukkan Lombok dan sekaligus mengamankan Karangasem. Namun, yang lebih penting bagi Bali sendiri adalah terjadi ketegangan akhir abad ke-19 akibat kebijakan kolonial, terutama kebijakan monopoli opium. Raja Klungkung (Dewa Agung Jambe II) dan beberapa bangsawan Bali menolak monopoli tersebut karena dianggap merugikan rakyat. Penolakan ini memicu kerusuhan seperti pembakaran opium store di Gelgel (Karangasem) pada 16 April 1908. Itulah pemicu perang besar berikutnya.
Perang Puputan Badung (1906)
Latar Belakang
Konflik baru merebak di wilayah Bali Selatan menjelang abad ke-20. Isu pemicu langsung adalah insiden kapal Sri Kumala, sebuah kapal dagang Cina berbendera Belanda yang kandas di Sanur pada 27 Mei 1904. Waktu menurunkan barang bawaan, kalangan Cina tersebut melaporkan sebagian muatannya hilang dan menuntut ganti rugi dari Kerajaan Badung. Raja Badung saat itu, I Gusti Ngurah Made Agung, bersikeras tidak ada pencurian yang dilakukan oleh rakyatnya. Pihak Belanda, yang melihat klaim ini mengancam monopoli dan wibawa kolonial, mengirim ultimatum agar ganti rugi dibayarkan. I Gusti Ngurah Made Agung menolak tuntutan tersebut dan tetap menegakkan kedaulatan kerajaan Badung.
Menanggapi pembangkangan Raja Badung, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Govert Loft (Van Heutsz), mengutus armada perang untuk memblokade laut Badung pada akhir 1904. Setelah ultimatum dan pengepungan laut tak digubris, Belanda mempersiapkan ekspedisi militer besar-besaran. Pada September 1906, kapal-kapal Belanda –termasuk kompi kavaleri dan artileri– dikumpulkan di perairan utara Sanur. Mayor Jenderal Marinus van Rost van Tonningen ditunjuk memimpin serangan (ekspedisi militer Keenam ke Bali Selatan).
Jalannya Perang Puputan Badung
Pasukan Belanda mendarat di pantai Sanur sekitar 14 September 1906 tanpa perlawanan berarti. Sesaat kemudian, sepasukan tentara Badung di Kesiman (salah satu anak kerajaan Badung) telah melakukan puputan kecil: Raja Kesiman tewas oleh kematian terhormat (dibunuh pendeta kerajaan sendiri) karena menolak memimpin tentara melawan Belanda. Istana Kesiman ludes dibakar, dan wilayah Badung selatan segera jatuh.
Pada 20 September 1906 pasukan Belanda memasuki pusat pemerintahan kerajaan Badung di Denpasar. Dalam sebuah adegan yang tragis dikenal sebagai Puputan Badung, raja Denpasar, I Gusti Ngurah Made Agung (raja besar Badung), memimpin iring-iringan perang ritual. Berpakaian putih kremasi dan membawa keris, ia berjalan berbaris bersama prajurit, pejabat, permaisuri, dan rakyat jelata—semua telah menjalani ritual pengorbanan diri. Setelah tiba di depan istana Belanda, raja menatap musuh dan saling membunuh sampai semuanya gugur. Saat terjadi percikan senjata dan tusukan tombak, tentara Belanda membuka tembakan artileri dan senapan, membantai ratusan bahkan ribuan orang Bali dalam sekejap. Pada hari yang sama, di istana tetangganya di Pemecutan, Gusti Gede Ngurah (raja pemecutan) dan kerabatnya juga melakukan puputan, mematikan diri daripada menyerah.
Tokoh utama Badung: Raja I Gusti Ngurah Made Agung (Denpasar) dan Gusti Gede Ngurah (Pemecutan) gugur dalam puputan. Pihak Belanda dipimpin Mayor Jendral Van Rost van Tonningen. Operasi Belanda berhasil menghancurkan seluruh kekuatan militer Badung selatan, sehingga memuluskan kontrol kolonial atas kawasan itu.
Setelah puputan, sisa-sisa elit Badung ditawan dan diasingkan ke Lombok, sementara Belanda menjadikan Badung (sebagian sekarang termasuk Denpasar) sebagai daerah residen baru. Peristiwa mengenaskan ini menjadi simbol perlawanan hingga kemudian dibangun Taman Puputan Badung (Monumen Bajra) di pusat kota Denpasar sebagai peringatan jasa para pahlawan Bali.
Perang Puputan Klungkung (1908)
Latar Belakang
Dua tahun berselang, koloni Belanda menghadapi perlawanan terakhir dari kerajaan tertua Bali, Klungkung. Pemicu utamanya adalah kebijakan Belanda tentang monopoli opium. Raja Dewa Agung Jambe II (Klungkung) bersama bangsawan Karangasem menolak monopoli tersebut karena dinilai merugikan rakyat Bali. Pada April 1908, konflik meletus saat seorang pedagang opium Jawa dibunuh oleh penduduk Gelgel (Karangasem). Kerajaan Klungkung kemudian mengerahkan pasukan menutup dan menyerang gudang opium Belanda.
Belanda segera mengirim bala bantuan. Panglima Rost van Tonningen, yang memimpin pasukan Bali Selatan 1906, kembali bertindak. Pada 16 April 1908 pasukan Belanda menyerbu Gelgel, menewaskan sekitar 100 penduduk dan memaksa penguasa Gelgel melarikan diri ke Klungkung. Belanda lalu membombardir ibu kota Klungkung.
Jalannya Perang Puputan Klungkung
Konfrontasi klimaks terjadi pada 18 April 1908. Dewa Agung Jambe II keluar dari istana Klungkung bersama kira-kira 200 pengikut bersenjata keris, mengenakan pakaian ritual perang berwarna putih. Dengan harapan mukjizat kerisnya, mereka maju menyerang ke pasukan Belanda. Namun Belanda cepat menembaki rombongan. Raja Klungkung terkena peluru dan tewas di tengah medan. Segera setelah itu, enam permaisuri raja melakukan puputan (bunuh diri dengan keris), diikuti para pengikut lainnya. Istana Klungkung pun dibakar habis oleh Belanda.
Klimaks berdarah ini mengakhiri dominasi kerajaan Bali. Setelah jatuhnya Klungkung, Raja Bangli menyatakan tunduk dan pada Oktober 1908 setuju menjadi protektorat Belanda sebagaimana Kerajaan Gianyar dan Karangasem telah dilakukan sebelumnya. Puputan Klungkung (18 April 1908) menandai bubarnya kedaulatan kerajaan Hindu di Bali: Dewa Agung Jambe II menjadi raja terakhir yang gugur melawan penjajah.
Dampak Jangka Panjang Perang-perang Bali
Perang-perang Bali (1846–1908) membawa perubahan besar bagi masyarakat dan pemerintahan Bali, serta mengokohkan cengkeraman kolonial Belanda. Secara politik, semua kerajaan Bali akhirnya kehilangan kedaulatan penuh dan berubah status menjadi bawahan Hindia Belanda atau dihapus kedudukannya. Banyak raja digantikan oleh patihnya sendiri atau oleh bupati (residen) Belanda, mengakhiri sistem monarki tradisional. Misalnya, Bangli dan Karangasem diadministrasikan langsung oleh Belanda sebagai protektorat; Klungkung tidak lagi berdaulat; sedangkan Bali selatan (Badung, Tabanan, dll.) dilebur menjadi wilayah administratif residen. Sistem kasta dan adat-istiadat Bali yang semula melekat kuat pada pemerintahan kerajaan tetap bertahan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, tetapi secara formal peradilan adat mulai digantikan aturan hukum Hindia Belanda setelah 1908.
Dari sisi sosial-budaya, puputan menjadi lambang heroisme dan identitas Bali dalam melawan kolonialisme. Kisah puputan juga diabadikan dalam monumen (Bajra Sandhi) serta buku-buku sejarah Indonesia. Meskipun Belanda menindak keras budaya tertentu seperti praktik sati dan merombak sistem tawan karang, kebanyakan tradisi Hindu Bali lainnya tetap dipelihara oleh masyarakat. Bali pun relatif terlindung dari penetrasi budaya asing yang masif oleh kebijakan Belanda yang menutup pulau ini untuk turisme sebelum tahun 1910-an. Namun ekonomi Bali berubah drastis: masuknya tanam paksa rempah di beberapa daerah, perpindahan perdagangan (kaum ningrat kehilangan monopoli bisnis), dan integrasi ke ekonomi global Belanda.
Secara kolonial, keberhasilan menaklukkan Bali menyempurnakan dominasi Hindia Belanda di Nusantara. Setelah 1908 Bali sepenuhnya menjadi bagian Hindia Belanda hingga kemerdekaan RI. Belanda menerapkan kontrol administrasi yang kaku, namun di sisi lain memberikan perhatian pula pada pelestarian seni dan agama Bali sebagai “keunikan eksotik” bawah kolonial. Dampaknya jangka panjang, politik feodal kerajaan digantikan pemerintahan modern kolonial, tetapi terlahir kebangkitan nasionalisme di kalangan elit Bali—terinspirasi dari semangat puputan—yang kelak berperan di masa perjuangan kemerdekaan.
Tokoh-Tokoh Utama
Dari pihak Bali: Patih I Gusti Ketut Jelantik (pemimpin Buleleng) dan Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem, serta istri Jelantik (Jro Jempiring) adalah tokoh penting di utara. Di selatan, Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung (Denpasar) dan Gusti Gede Ngurah (Pemecutan) menjadi ikon Puputan 1906. Raja Klungkung Dewa Agung Jambe II adalah tokoh utama peristiwa 1908. Selain itu, raja-raja kecil (Kesiman, Tabanan, Gianyar) juga menunjukkan perlawanan atau pun melakukan puputan pribadi.
Dari pihak Belanda: Pemimpin ekspedisi Belanda meliputi Laksamana Engelbertus van den Bosch dan Letnan Kolonel Gerhardus Bakker (1846); Mayor Jendral Carel van der Wijck (1848); Mayor Jendral Andreas Victor Michiels (1849); serta Mayor Jendral Marinus van Rost van Tonningen (1906). Di Puputan 1906, Rost van Tonningen memimpin “Ekspedisi Keenam” yang terdiri atas 3 batalyon infanteri, unit kavaleri, artileri, dan armada laut. Para perwira kolonial ini berperan menghancurkan perlawanan Bali dengan kekuatan militer modern—terutama senjata api dan meriam—yang akhirnya menentukan kemenangan Belanda.
📚 DAFTAR PUSTAKA
🔸 Buku & Karya Ilmiah
- Agung, I. A. G. Gde. (1988). Bali Pada Abad XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford: Stanford University Press.
- Vickers, Adrian. (1989). Bali: A Paradise Created. Ringwood: Penguin Books.
- Korn, Victor E. (1932). Bali: Its People and Art. Amsterdam: International Institute of Asian Studies.
- Putra, I Made Wiana. (2005). Puputan Badung: Harga Diri dan Perjuangan Rakyat Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
- Hadiwijono, Harun. (1993). Religi Orang Jawa. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- Pringle, Robert. (2004). A Short History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm. Crows Nest: Allen & Unwin.
- Pigeaud, Th.G.Th. (1960). Java in the 14th Century. The Hague: Martinus Nijhoff.
🔸 Arsip Kolonial & Sumber Sejarah Belanda
- Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Koleksi Arsip Ekspedisi Bali (1846–1908).
- Nationaal Archief Belanda (Den Haag): Koloniale Verslagen Bali 1846–1908.
- Verslag van de Militaire Operatiën op Bali in 1846, 1848 en 1849. Departement van Oorlog, Batavia.
- De Puputan van Badung en Klungkung, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Leiden.
🔸 Jurnal & Skripsi Akademik
- Yuliani, Ni Made. (2018). Perang Puputan Badung 1906. Skripsi, Universitas Udayana.
- Surya, I Nyoman. (2019). Puputan Klungkung 1908: Studi Tentang Perlawanan Raja Bali Terakhir. Tesis, Universitas Pendidikan Ganesha.
- Mahadika, I Made. (2020). “Tawan Karang dan Perang Buleleng,” Jurnal Sejarah dan Budaya Bali, Vol. 12, No. 1.
- Ariyanto, Y. (2016). “Ketut Jelantik dan Pertahanan Rakyat Bali.” Jurnal Sejarah Nusantara, Vol. 8, No. 2.
🔸 Sumber Daring & Situs Resmi
- Kompas.com. (2022). Perang Puputan Bali, Dari Badung hingga Klungkung.
- Balebengong.net. (2019). Puputan: Darah, Keris, dan Api Perlawanan Bali.
- Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. (2020). Tokoh Pahlawan Bali: I Gusti Ketut Jelantik dan Puputan.
- Museum Bali Online. (2021). Peta Konflik Kerajaan-Kerajaan Bali Melawan Belanda.