Ekspedisi Pamalayu (1275–1292), Menundukkan kerajaan-kerajaan di Sumatra, menyatukan wilayah maritim

Latar Belakang Ekspedisi Lintas Pulau di Nusantara

Sejak zaman prasejarah, wilayah Nusantara telah ditandai oleh dinamika hubungan antarpulau yang padat dan kompleks. Gugusan pulau-pulau yang membentang dari barat ke timur, dari Sumatra hingga Papua, menciptakan tantangan sekaligus peluang bagi kekuasaan-kekuasaan lokal untuk mengembangkan jaringan politik, ekonomi, dan budaya lintas wilayah. Dalam konteks inilah, ekspedisi lintas pulau menjadi bagian penting dari ekspansi dan konsolidasi kekuasaan bagi kerajaan-kerajaan besar di masa lampau.

Kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa dikenal memiliki armada laut yang kuat, yang digunakan bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga untuk menaklukkan, menjalin aliansi, dan mengontrol daerah-daerah yang jauh dari pusat kerajaan. Ekspedisi maritim bukan sekadar upaya militer, melainkan strategi geopolitik dan ekonomi jangka panjang yang berfungsi untuk:

  1. Menguasai jalur perdagangan strategis,
  2. Mengamankan akses terhadap komoditas penting seperti emas, lada, dan beras,
  3. Menegakkan hegemoni budaya dan keagamaan.

Pada abad ke-13, peta kekuasaan di Nusantara mengalami perubahan besar. Kekuasaan Sriwijaya yang selama berabad-abad mendominasi perairan Asia Tenggara mulai melemah. Di Sumatra timur, muncul kerajaan Melayu Dharmasraya sebagai pewaris kekuatan lokal Sriwijaya. Sementara itu, di Jawa Timur, berdirilah Kerajaan Singhasari yang berkembang pesat di bawah pemerintahan Raja Kertanegara.

Kertanegara adalah sosok yang menyadari pentingnya laut sebagai poros kekuasaan. Di tengah kemajuan ekonomi dan budaya yang dicapai kerajaannya, ia melihat bahwa kekuasaan di Nusantara tidak bisa hanya bergantung pada kekuatan darat semata. Untuk benar-benar menjadi penguasa wilayah kepulauan, ia harus menguasai jalur maritim utama Nusantara—khususnya Selat Malaka, yang menjadi urat nadi perdagangan antara India, Cina, dan kawasan Asia Tenggara.

Di saat yang sama, ancaman dari utara semakin nyata. Kekaisaran Mongol di bawah Kubilai Khan tengah menjalankan ekspansi besar-besaran ke Asia Tenggara. Kertanegara menilai bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan kemerdekaan Jawa adalah dengan memperkuat pengaruhnya atas wilayah strategis di barat sebelum Mongol datang. Dalam kerangka pemikiran inilah ekspedisi lintas pulau ke wilayah Melayu dirancang dan dijalankan. Tujuannya tidak hanya menaklukkan kerajaan Melayu, tetapi juga menyatukan kekuatan-kekuatan maritim di Sumatra untuk menghadapi ancaman eksternal bersama.

Lebih dari sekadar kampanye militer, ekspedisi lintas pulau yang dirintis oleh Kertanegara lewat Ekspedisi Pamalayu merupakan tonggak awal dari konsep geopolitik Nusantara—yakni gagasan bahwa kekuatan maritim dan kendali atas wilayah kepulauan merupakan kunci kejayaan sebuah kerajaan. Strategi ini kemudian akan diwarisi oleh Majapahit dan bahkan menjadi fondasi pemikiran kebangsaan modern Indonesia, yang melihat laut sebagai pemersatu, bukan pemisah, bangsa-bangsa kepulauan.


Posisi Kerajaan Singhasari di Akhir Abad ke-13

Menjelang akhir abad ke-13, Kerajaan Singhasari muncul sebagai kekuatan dominan di Jawa Timur dan menjadi aktor penting dalam percaturan politik Asia Tenggara. Kerajaan ini berdiri sejak tahun 1222 setelah Ken Arok mengalahkan Raja Kertajaya dari Kediri dalam Perang Ganter. Namun, baru pada masa pemerintahan Raja Kertanegara (1268–1292), Singhasari benar-benar tampil sebagai kekuatan yang melampaui batas teritorial Jawa.

Kertanegara adalah raja terakhir Singhasari sekaligus tokoh pemimpin yang paling berani dan visioner dalam sejarah kerajaan tersebut. Ia bukan hanya seorang pemimpin yang ambisius, tetapi juga pemikir yang memahami pentingnya membangun kekuasaan berbasis maritim dan lintas budaya. Dalam catatan sejarah Jawa seperti Pararaton dan Negarakertagama, Kertanegara digambarkan sebagai raja yang cerdas, religius, dan memiliki pemahaman mendalam terhadap geopolitik kawasan.

1. Ekspansi Internal dan Konsolidasi Wilayah Jawa

Kertanegara menghabiskan beberapa tahun awal pemerintahannya untuk menstabilkan kekuasaan internal dan mengintegrasikan wilayah Jawa di bawah kendalinya. Ia menaklukkan sisa-sisa kekuatan Kediri yang masih mencoba melakukan perlawanan. Selain itu, ia juga memperkuat kontrol atas daerah pesisir seperti Tuban, Gresik, dan Lamongan yang menjadi pintu gerbang maritim ke Laut Jawa dan Selat Madura.

Setelah posisi internal cukup stabil, Kertanegara mulai memfokuskan pandangan ke luar pulau Jawa. Ia menyadari bahwa stabilitas dan kemakmuran Singhasari sangat bergantung pada akses dan kendali atas jalur-jalur perdagangan penting, terutama yang menghubungkan Asia Timur dengan India melalui jalur laut di Nusantara.

2. Basis Ekonomi: Perdagangan dan Pajak Maritim

Ekonomi Singhasari sangat bergantung pada sektor agraris di pedalaman Jawa Timur dan pelabuhan-pelabuhan dagang di pantai utara. Namun Kertanegara memperluas basis ekonomi ini dengan menjadikan jalur pelayaran antarpulau sebagai sumber pemasukan dan alat legitimasi kekuasaan. Ia mengembangkan sistem perdagangan yang efisien melalui jaringan pelabuhan dan mengenakan pajak atas kapal-kapal yang melewati wilayah kekuasaannya.

Singhasari mulai mengembangkan hubungan dengan wilayah-wilayah dagang di luar Jawa, seperti Bali, Madura, Kalimantan Selatan, hingga ke kawasan Melayu di Sumatra. Dalam proses ini, ia memperkuat armada laut, membangun aliansi dengan kerajaan pesisir, dan menempatkan orang kepercayaannya sebagai gubernur atau penguasa lokal di daerah-daerah yang berhasil dikuasai.

3. Visi Politik dan Kultural: Bhineka Tunggal Ika Era Awal

Salah satu aspek luar biasa dari pemerintahan Kertanegara adalah visinya tentang kesatuan budaya dan spiritual. Ia menganut Sinkretisme Siwa-Buddha, sebuah ajaran keagamaan yang menggabungkan elemen Hindu dan Buddha Mahayana. Sinkretisme ini bukan sekadar sistem kepercayaan pribadi, melainkan alat integrasi politik dan budaya yang mampu menyatukan berbagai daerah dan suku bangsa di bawah satu payung kekuasaan spiritual.

Simbolisasi kekuasaan ini juga tampak dalam penggunaan arca-arca Buddha, seperti Amoghapasa, yang kemudian dikirim ke daerah-daerah yang menjadi target diplomasi dan ekspansi. Penggunaan ikonografi religius menjadi sarana legitimasi dan alat penetrasi budaya yang efektif.

4. Munculnya Gagasan “Cakrawala Mandala Maritim”

Gagasan ekspansi keluar Jawa bukan semata ambisi pribadi Kertanegara, tetapi lahir dari kesadaran geopolitik baru: bahwa untuk menjaga kemerdekaan dan kestabilan Jawa, kerajaan harus menguasai pulau-pulau di sekitarnya. Dengan kata lain, keamanan internal Jawa hanya dapat dijamin bila wilayah luar seperti Sumatra timur, Kalimantan, dan Maluku berada dalam kendali atau pengaruhnya.

Dari sinilah lahir gagasan “Cakrawala Mandala Maritim”—sebuah konsep kekuasaan yang melihat wilayah lautan bukan sebagai batas, tetapi sebagai penghubung antara pusat (Jawa) dengan lingkaran-lingkaran luar (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan seterusnya). Ekspedisi militer bukan sekadar invasi, tetapi ekspansi pengaruh melalui diplomasi, perdagangan, agama, dan penempatan elite lokal yang loyal.

Dalam konteks inilah, Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 bukan sekadar tindakan ofensif, tetapi merupakan puncak dari perencanaan jangka panjang Kertanegara untuk membangun jaringan kekuasaan maritim Nusantara—yang kelak akan diwarisi dan disempurnakan oleh Majapahit.


Keadaan Nusantara Abad ke-13

Pada abad ke-13, lanskap geopolitik Nusantara berada dalam fase transisi besar. Perubahan mendasar terjadi baik di daratan maupun di lautan: kekuasaan lama mengalami kemunduran, sementara kerajaan-kerajaan baru mulai menunjukkan taringnya. Abad ini juga ditandai dengan meningkatnya intensitas perdagangan internasional melalui Selat Malaka dan Laut Jawa, yang menempatkan Nusantara dalam posisi strategis di persimpangan dunia maritim Asia.


1. Keruntuhan Sriwijaya dan Bangkitnya Kerajaan-Kerajaan Kecil

Kerajaan Sriwijaya, yang sejak abad ke-7 telah menjadi kekuatan maritim dominan di Sumatra dan Asia Tenggara, mengalami keruntuhan bertahap mulai dari abad ke-11. Serangan Raja Rajendra Chola I dari India Selatan pada tahun 1025 menjadi pukulan besar yang menghancurkan infrastruktur maritim dan pusat kekuasaan Sriwijaya di Palembang. Sejak saat itu, Sriwijaya tidak pernah sepenuhnya pulih sebagai kekuatan tunggal di Sumatra.

Akibat dari keruntuhan ini, wilayah bekas Sriwijaya terfragmentasi menjadi beberapa kerajaan kecil seperti:

  • Dharmasraya di Jambi dan Sumatra Barat,
  • Pagaruyung di pedalaman Minangkabau,
  • Kerajaan-kerajaan pesisir kecil di pesisir timur Sumatra (Siak, Rokan, Bagan Siapiapi),
  • Kelompok pelabuhan semi-mandiri di sepanjang Selat Malaka dan pesisir barat Semenanjung Melayu.

Di antara semua ini, Kerajaan Melayu Dharmasraya tampil sebagai penerus utama Sriwijaya. Meski tidak sekuat pendahulunya, Dharmasraya menguasai jalur sungai besar seperti Batanghari dan Indragiri, yang vital bagi distribusi emas, kapur barus, dan hasil hutan ke jalur perdagangan internasional. Namun, karena tidak ada kekuatan besar yang mampu menyatukan kembali wilayah Sumatra, maka stabilitas kawasan menjadi rentan terhadap dominasi kekuatan dari luar—baik dari Jawa maupun dari Asia daratan seperti Mongol.


2. Posisi Strategis Sumatra Timur dan Selat Malaka

Letak geografis Sumatra bagian timur menjadikannya sangat penting secara ekonomi dan militer. Jalur pelayaran utama yang menghubungkan India, Teluk Persia, Tiongkok, dan Asia Tenggara seluruhnya melewati Selat Malaka, yang membentang di antara pesisir timur Sumatra dan Semenanjung Melayu.

Di sepanjang jalur ini terdapat pelabuhan-pelabuhan penting seperti:

  • Palembang (pusaka lama Sriwijaya),
  • Jambi dan Muara Sabak (pintu masuk ke pedalaman Sumatra),
  • Siak dan Riau (gerbang ke jalur laut utara),
  • Tumasik (cikal bakal Singapura).

Selat Malaka tidak hanya menjadi nadi perdagangan rempah-rempah dan emas, tetapi juga jalur transit utama bagi penyebaran budaya, agama, dan kekuasaan. Siapa yang menguasai wilayah-wilayah sepanjang selat ini akan memiliki kekuatan maritim dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Namun pada abad ke-13, Selat Malaka menjadi medan kontestasi terbuka:

  • Di sisi barat laut, kekuatan India Islam mulai menembus perdagangan melalui Gujarat.
  • Di sisi timur laut, kekaisaran Mongol melalui Dinasti Yuan mulai mengincar kawasan Nusantara.
  • Di selatan, kekuatan baru dari Jawa Timur—Singhasari di bawah Kertanegara—berusaha menembus dominasi kawasan ini melalui armada laut dan ekspedisi diplomatik-militer.

Dengan kata lain, kondisi politik Nusantara pada abad ke-13 menciptakan ruang kosong kekuasaan yang siap diisi. Kertanegara dari Singhasari melihat ini sebagai kesempatan sekaligus tantangan. Jika ia ingin membangun kekuatan maritim yang sejati dan mencegah pengaruh asing (terutama Mongol) masuk ke dalam perairan Nusantara, maka ia harus bertindak cepat dan proaktif. Inilah yang melandasi lahirnya Ekspedisi Pamalayu, sebagai bentuk campur tangan aktif Jawa terhadap geopolitik Sumatra dan Asia Tenggara bagian barat.


Singhasari dan Raja Kertanegara

Kerajaan Singhasari, yang terletak di Jawa Timur, mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Kertanegara (memerintah sekitar 1268–1292 M). Dibandingkan dengan raja-raja sebelumnya, Kertanegara adalah pemimpin yang memiliki visi luar biasa, baik dalam hal spiritual, budaya, maupun geopolitik. Di bawah kekuasaannya, Singhasari tidak lagi sekadar kerajaan agraris di Jawa, melainkan menjadi pionir dalam pembentukan jaringan kekuasaan maritim lintas pulau yang menandai awal kebangkitan Nusantara sebagai entitas geopolitik.


1. Politik Luar Negeri Ekspansionis

Kertanegara adalah raja pertama di Jawa yang secara sadar menjalankan politik luar negeri ekspansionis yang terstruktur. Ia menyadari bahwa kekuasaan sejati tidak hanya dibangun melalui penguasaan daratan, tetapi juga lewat kendali atas laut dan wilayah-wilayah kepulauan. Visi ini mewujud dalam berbagai bentuk ekspansi:

  • Ekspansi ke Bali, yang disebutkan dalam beberapa prasasti dan naskah Jawa kuno sebagai bagian dari integrasi kerajaan-kerajaan luar Jawa ke dalam pengaruh Singhasari.
  • Pengaruh ke Madura, Kalimantan Selatan, dan Maluku, yang dicapai melalui hubungan dagang dan penempatan elite loyalis.
  • Ekspedisi Pamalayu (1275–1292), sebagai upaya untuk mengamankan jalur perdagangan dan menundukkan kerajaan Melayu di Sumatra.

Di bawah kebijakan ini, Singhasari tidak hanya memperluas wilayah kekuasaannya secara geografis, tetapi juga memperluas pengaruh ideologis dan spiritualnya, dengan menyebarkan sinkretisme Siwa-Buddha dan simbol-simbol kerajaan Jawa ke berbagai wilayah luar pulau.


2. Ancaman Mongol (Kubilai Khan)

Salah satu faktor utama yang mendorong Kertanegara memperkuat ekspansi maritim adalah ancaman dari kekaisaran Mongol, yang pada masa itu telah menaklukkan sebagian besar Tiongkok dan mendirikan Dinasti Yuan di bawah pimpinan Kubilai Khan.

Pada tahun 1270-an hingga 1280-an, Kubilai Khan mengirim utusan ke berbagai kerajaan di Asia Tenggara, termasuk ke Singhasari, dengan maksud meminta pengakuan kekuasaan dan pembayaran upeti. Namun, Kertanegara menolak tunduk kepada kekuasaan Mongol. Bahkan, dalam sebuah insiden diplomatik terkenal tahun 1289, ia menghukum dan melukai utusan Mongol yang datang menuntut Singhasari menjadi vasal. Tindakan ini secara tidak langsung mengundang serangan balasan dari Mongol, yang baru terjadi beberapa tahun kemudian (1293) saat Kertanegara sudah wafat.

Kertanegara memahami bahwa penolakan terhadap Mongol tidak bisa dilakukan setengah-setengah. Ia tidak hanya harus menyiapkan pertahanan dalam negeri, tetapi juga membangun jaringan kekuatan maritim eksternal untuk menahan kemungkinan invasi dan menguasai jalur penting seperti Selat Malaka, yang dapat digunakan Mongol sebagai pintu masuk ke Nusantara.


3. Munculnya Konsep “Cakrawala Mandala Maritim”

Dari keseluruhan strategi dan ekspansi Kertanegara, muncul satu gagasan besar yang dapat disebut sebagai “Cakrawala Mandala Maritim”—konsep kekuasaan berbasis laut, di mana pusat kekuasaan (Jawa) membentuk jaringan kekuatan ke wilayah-wilayah luar melalui sistem mandala.

Konsep mandala dalam konteks politik Asia Tenggara merujuk pada model kekuasaan yang tidak kaku berbatas wilayah, tetapi lebih bersifat sirkular—di mana pusat memancarkan pengaruh ke lingkaran-lingkaran luar (vassal, sekutu, pelabuhan dagang, daerah taklukan) melalui kombinasi kekuatan militer, agama, ekonomi, dan budaya.

Kertanegara mengadaptasi model ini secara maritim:

  • Pelabuhan-pelabuhan di luar Jawa seperti di Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara diintegrasikan ke dalam jaringan dagang Singhasari.
  • Pengiriman arca Amoghapasa ke Kerajaan Melayu (Sumatra) adalah contoh nyata dari diplomasi kekuasaan simbolik.
  • Ekspedisi militer dan diplomasi luar negeri digabungkan dalam kerangka membangun jaringan mandala.

Dalam konsep ini, laut bukan lagi penghalang, melainkan jalur penyebaran kekuasaan dan budaya. Jalur pelayaran adalah nadi yang menyambungkan pusat dan pinggiran kekuasaan, dan barang siapa menguasainya, dialah yang memegang kendali atas Nusantara.


Dengan pemikiran ini, Kertanegara dapat dianggap sebagai pelopor strategi geopolitik maritim di Indonesia. Ia bukan hanya raja ekspansionis, tapi juga perancang tata dunia kepulauan yang menyadari pentingnya kontrol atas laut sebagai fondasi kekuasaan. Strategi inilah yang membentuk dasar dari Ekspedisi Pamalayu, sekaligus mewarisi cita-cita politik yang kelak disempurnakan oleh Majapahit.


Tujuan dan Motivasi Ekspedisi Pamalayu

Ekspedisi Pamalayu yang dimulai pada tahun 1275 M bukan sekadar pengiriman pasukan dari Jawa ke Sumatra. Ia merupakan manifestasi dari visi geopolitik besar Raja Kertanegara, sekaligus representasi awal dari kekuasaan maritim lintas pulau yang terorganisir di Asia Tenggara. Tindakan ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan strategi multi-dimensi yang mencakup aspek militer, ekonomi, dan spiritual. Dalam konteks tersebut, ekspedisi ini memiliki tiga tujuan utama:


 1. Tujuan Militer dan Strategis: Dominasi Selat Malaka

Secara militer, tujuan utama Ekspedisi Pamalayu adalah untuk mengamankan dan mendominasi jalur vital Selat Malaka, yang menjadi poros perdagangan antara India dan Tiongkok. Sejak melemahnya kekuatan Sriwijaya, Selat Malaka menjadi wilayah yang diperebutkan oleh berbagai kekuatan lokal dan asing. Dengan tidak adanya kekuatan dominan yang mampu menjamin stabilitas kawasan, jalur ini rentan terhadap kekacauan dan perompakan.

Bagi Kertanegara, wilayah Sumatra timur dan kerajaan Melayu (terutama Dharmasraya) merupakan titik kunci yang harus diamankan untuk:

  • Menghambat ekspansi Mongol ke selatan, khususnya melalui jalur laut,
  • Menciptakan sabuk pengaman strategis di sisi barat Jawa,
  • Menunjukkan superioritas militer Singhasari kepada kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.

Pengiriman pasukan besar di bawah pimpinan Mahisa Anabrang memperlihatkan tekad Singhasari untuk menanamkan kehadiran fisik dan simbolik di luar pulau Jawa. Ini merupakan bentuk “proyeksi kekuatan” yang jarang dilakukan secara sistematis pada masa itu di Nusantara.


 2. Tujuan Ekonomi: Kontrol atas Jalur Rempah dan Emas

Selain tujuan militer, ekspedisi ini juga bertujuan meneguhkan kontrol atas ekonomi regional. Sumatra bagian tengah dan timur terkenal sebagai wilayah yang kaya akan:

  • Emas dari pedalaman Minangkabau dan Jambi,
  • Lada dari daerah pesisir,
  • Kapalo kemenyan dan gaharu dari hutan tropis,
  • Serta berbagai komoditas laut seperti mutiara dan hasil perikanan.

Dengan menjalin kontrol atas kerajaan Melayu dan pelabuhan-pelabuhan sepanjang Sungai Batanghari, Singhasari berharap untuk:

  • Mengalihkan jalur dagang utama ke pelabuhan-pelabuhan sekutu Jawa, dan bukan ke wilayah yang bisa dipengaruhi oleh Mongol atau kerajaan asing,
  • Mengamankan akses bahan mentah untuk Jawa,
  • Menjalin persekutuan ekonomi melalui pernikahan politik dan pengiriman hadiah,
  • Memperkuat posisi pelabuhan-pelabuhan Jawa sebagai simpul perdagangan internasional.

Langkah ini menunjukkan bahwa ekspedisi bukan hanya pengeluaran sumber daya, tetapi investasi geopolitik ekonomi untuk jangka panjang.


3. Tujuan Kultural dan Spiritual: Penyebaran Agama dan Simbolisme Kekuasaan

Tujuan ketiga dari ekspedisi ini bersifat ideologis dan spiritual. Raja Kertanegara adalah penganut Sinkretisme Siwa-Buddha dan percaya bahwa ekspansi kekuasaan juga harus dibarengi dengan penyebaran nilai-nilai budaya dan spiritualitas kerajaan. Dalam konteks ini, Singhasari memosisikan dirinya bukan sekadar penakluk, melainkan juga sebagai pembawa “pencerahan” dan simbol peradaban.

Salah satu bukti kuat tujuan ini adalah pengiriman Arca Amoghapasa dari Jawa ke Sumatra pada tahun 1286. Arca ini dikirim bersama sebuah prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Padang Roco, dan diterima oleh Raja Mauli Warmadewa dari Dharmasraya. Dalam prasasti tersebut, disebutkan bahwa arca dikirim sebagai “hadiah dari raja besar” dan merupakan simbol persahabatan serta restu spiritual.

Tindakan ini memiliki banyak makna:

  • Melekatkan pengaruh budaya Jawa ke dalam kehidupan spiritual kerajaan Melayu,
  • Menanamkan loyalitas ideologis dan simbolik, di luar sekadar kekuasaan militer,
  • Menegaskan status Kertanegara sebagai pemimpin suci dan kosmopolitan, bukan sekadar raja regional.

Secara politis, ini adalah bentuk diplomasi lunak (soft power) yang sangat canggih untuk masanya. Bahkan, sebagian sejarawan menilai bahwa Singhasari tidak menaklukkan Dharmasraya dengan perang frontal, melainkan melalui strategi aliansi, simbolisme agama, dan pengaruh ekonomi.


Ekspedisi Pamalayu tidak bisa dipahami sebagai sekadar invasi, melainkan sebagai strategi menyeluruh dalam membangun hegemoni maritim dan spiritual. Ia adalah bagian dari proyek besar Kertanegara untuk menjadikan Jawa sebagai pusat kekuatan Nusantara dan pelindung utama dari ancaman asing.


Jalannya Ekspedisi Pamalayu

Ekspedisi Pamalayu adalah salah satu misi maritim paling ambisius dan kompleks dalam sejarah Nusantara klasik. Dimulai pada tahun 1275 M dan berlangsung selama hampir dua dekade, ekspedisi ini melibatkan kombinasi operasi militer, diplomasi, logistik maritim, dan penetrasi budaya yang terencana dengan baik. Keberhasilan ekspedisi ini tidak hanya karena kekuatan militer Singhasari, tetapi juga karena kemampuan koordinasi dan strategi jangka panjang yang dijalankan oleh Raja Kertanegara.


A. Pengiriman Armada (1275)

Panglima Mahisa Anabrang

Ekspedisi Pamalayu dipimpin oleh Mahisa Anabrang, seorang panglima yang dipercayai berasal dari lingkungan militer tinggi Kerajaan Singhasari. Nama “Anabrang” sendiri kemungkinan berarti “penyeberang laut” atau “yang melintasi selat”, menunjukkan peran strategisnya dalam ekspedisi lintas pulau ini.

Mahisa Anabrang tidak hanya bertanggung jawab memimpin pasukan, tetapi juga mengelola misi diplomasi, mempertahankan disiplin armada dalam perjalanan jauh, serta menjalin hubungan dengan penguasa lokal yang dilewati. Dalam tradisi Jawa kuno, pemimpin semacam ini disebut juga sebagai duta militer dan kultural, yakni membawa kekuatan sekaligus pesan budaya dan keagamaan.

Persiapan Logistik dan Struktur Ekspedisi

Ekspedisi ini membutuhkan persiapan logistik berskala besar:

  • Pembuatan kapal-kapal jong dan lading, kapal besar khas Nusantara yang mampu memuat tentara, bekal, arca, dan barang dagang.
  • Perekrutan pasukan dari berbagai daerah di Jawa, termasuk prajurit darat, pelaut, pandai logam, pendeta, dan tukang logistik.
  • Persediaan pangan dan air untuk perjalanan lintas laut yang dapat memakan waktu berminggu-minggu.
  • Peralatan upacara dan keagamaan, karena ekspedisi ini juga membawa arca suci (Amoghapasa).

Armada ini dipersiapkan dengan struktur hirarkis: panglima besar, kepala kapal, komandan laskar, pengatur muatan, dan pendeta kerajaan. Semua beroperasi dalam sistem komando yang diatur rapi dalam tradisi militer Jawa.


B. Perjalanan dan Pendaratan

Rute Pelayaran Jawa–Sumatra

Rute pelayaran armada Singhasari kemungkinan besar melewati jalur klasik:

  • Keluar dari pelabuhan di Gresik atau Tuban, menuju utara Jawa,
  • Menyeberangi Laut Jawa dan masuk ke Selat Bangka atau Selat Karimata,
  • Mendarat di pesisir timur Sumatra, khususnya di wilayah Jambi dan Dharmasraya.

Dalam perjalanan ini, armada kemungkinan berhenti di berbagai pelabuhan antara lain:

  • Belitung atau Bangka, untuk pengisian ulang logistik,
  • Palembang yang dahulu merupakan pusat Sriwijaya, kini dalam kondisi melemah,
  • Sungai Batanghari, sebagai jalur masuk ke wilayah Dharmasraya dan pusat kerajaan Melayu.

Wilayah yang Disinggahi dan Ditaklukkan

Meski sumber tertulis sangat terbatas, sejarawan menduga bahwa Singhasari:

  • Menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang pesisir timur Sumatra, seperti di Rokan, Siak, dan Indragiri.
  • Membentuk aliansi dengan kerajaan Melayu Dharmasraya, bukan melalui invasi brutal, tetapi dengan kombinasi tekanan militer dan hadiah diplomatik.

Tidak ditemukan catatan tentang pertempuran besar dalam ekspedisi ini, yang menunjukkan bahwa ekspedisi lebih bersifat simbolik-diplomatik, didukung oleh kehadiran militer sebagai jaminan kekuatan. Keberhasilan strategi ini tercermin dari penerimaan kerajaan Melayu atas hadiah arca Amoghapasa.


C. Diplomasi dan Penyerahan Arca Amoghapasa (1286)

Prasasti Padang Roco

Salah satu dokumen kunci ekspedisi ini adalah Prasasti Padang Roco (1286), ditemukan di Sumatra Barat. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno, dan mencatat bahwa Raja Kertanegara dari Singhasari mengirimkan arca Bodhisattwa Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, penguasa kerajaan Melayu.

Prasasti ini menyatakan bahwa arca tersebut adalah:

“… pemberian dari Raja Kertanegara kepada rakyat di Suwarnabhumi, sebagai anugerah kebahagiaan dan keselamatan…”

Arca Amoghapasa adalah simbol sinkretisme Buddha Tantrayana yang kuat dalam ideologi Singhasari, dan memiliki makna politik yang mendalam:

  • Mengisyaratkan kekuasaan spiritual dan duniawi raja Jawa atas Sumatra.
  • Memberikan legitimasi ideologis atas ekspansi Singhasari.
  • Mewujudkan hubungan vasal-sekutu, bukan penaklukkan satu arah.

Relasi Singhasari–Kerajaan Melayu Dharmasraya

Relasi antara dua kerajaan ini bertransisi dari hubungan dagang menjadi hubungan hegemonik. Beberapa bukti dari masa Majapahit menunjukkan bahwa:

  • Kerajaan Melayu mengakui kekuasaan Jawa.
  • Putri kerajaan Melayu, Dara Petak, kelak dinikahkan dengan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Hal ini mempererat ikatan dinasti dan memperkuat fondasi kekuasaan lintas pulau.

Dengan demikian, Ekspedisi Pamalayu membuka jalan bagi:

  • Integrasi Sumatra ke dalam orbit politik Jawa, yang sebelumnya didominasi Sriwijaya.
  • Pembentukan jaringan kekuasaan lintas pulau berbasis budaya, agama, dan perdagangan.

Wilayah-Wilayah yang Ditundukkan

Ekspedisi Pamalayu yang digelar oleh Raja Kertanegara dari Singhasari tidak hanya menyasar satu kerajaan, tetapi merupakan operasi politik-militer yang luas dan sistematis. Tujuannya: menundukkan kawasan strategis di timur Sumatra, terutama yang memiliki akses ke jalur perdagangan utama Selat Malaka dan sumber daya berharga dari pedalaman. Melalui ekspedisi ini, pengaruh politik Jawa Timur menjangkau titik-titik penting di pesisir Sumatra hingga ke bagian hulu sungai-sungai besar yang menjadi urat nadi peradaban lokal.


1. Dharmasraya (Jambi, Sumatra Barat)

Wilayah utama yang menjadi target ekspedisi adalah Kerajaan Melayu Dharmasraya, yang berlokasi di sepanjang aliran Sungai Batanghari dan wilayah pedalaman Jambi hingga Sumatra Barat saat ini. Dharmasraya adalah pewaris Sriwijaya secara kultural dan politik, serta menjadi penghubung utama perdagangan emas dari Minangkabau dan hasil hutan ke pelabuhan pesisir timur.

Singhasari menggunakan strategi diplomasi simbolik dan tekanan kekuatan militer untuk mengajak Dharmasraya tunduk secara politik:

  • Prasasti Padang Roco membuktikan bahwa hubungan ini tidak dibangun dengan perang frontal, tetapi melalui penyerahan simbolik kekuasaan dan restu keagamaan.
  • Dharmasraya menerima arca Amoghapasa, menandakan pengakuan terhadap keunggulan spiritual dan politik Singhasari.
  • Perkawinan dinasti kemudian menguatkan hubungan ini, yang kelak menjadi fondasi bagi Majapahit.

Penundukan Dharmasraya memperkuat posisi Singhasari di bagian tengah Sumatra, membuka akses langsung ke sumber emas Minangkabau dan memperkuat klaim politik terhadap warisan Sriwijaya.


2. Palembang dan Hilir Sungai Musi

Palembang, bekas ibu kota Sriwijaya, meskipun telah mengalami kemunduran pasca serangan Chola (1025 M), tetap menjadi titik strategis:

  • Letaknya di Sungai Musi, jalur air besar yang langsung terhubung ke Selat Bangka dan Laut Cina Selatan.
  • Merupakan simpul dagang antara Sumatra selatan, Jawa, dan Semenanjung Melayu.

Meski tidak terdapat catatan langsung tentang pertempuran di Palembang dalam ekspedisi ini, sangat mungkin bahwa armada Mahisa Anabrang:

  • Menunjukkan kekuatan simbolik di kota-kota pelabuhan sepanjang Musi,
  • Memastikan loyalitas para bangsawan lokal, baik melalui paksaan maupun kesepakatan dagang,
  • Mengamankan pelabuhan dan gudang, sebagai titik logistik maritim untuk mendukung operasi lanjutan.

Penaklukan atau integrasi Palembang ke dalam orbit kekuasaan Singhasari memperkuat kontrol terhadap jalur selatan Selat Malaka dan menghidupkan kembali pelabuhan-pelabuhan yang dulu menjadi jaringan Sriwijaya.


3. Pesisir Timur Sumatra (Riau, Bagan Siapiapi, Siak)

Daerah pesisir timur Sumatra adalah kawasan penuh pelabuhan kecil yang berperan sebagai titik ekspor hasil hutan dan pertanian ke luar negeri:

  • Siak dan Rokan: dikenal sebagai jalur sungai strategis yang menuju ke pedalaman.
  • Bagan Siapiapi: wilayah nelayan dan perdagangan laut yang penting.
  • Pulau-pulau kecil di Riau: titik transit kapal dari Malaka ke Jawa.

Armada ekspedisi kemungkinan:

  • Melakukan pendekatan militer terbatas, mengingat kerajaan-kerajaan kecil ini tidak memiliki kekuatan besar,
  • Menanamkan garnisun, menunjuk pemimpin lokal pro-Singhasari, atau sekadar menjalin persekutuan dagang,
  • Memetakan dan menguasai jalur air yang penting bagi pelayaran lanjutan dan rute dagang.

Kontrol atas wilayah ini memberikan Singhasari:

  • Kekuasaan atas pintu masuk ke Selat Malaka dari arah selatan,
  • Kemampuan untuk memblokir atau menyaring kapal asing,
  • Cengkeraman ekonomi terhadap distribusi hasil hutan dan perikanan di sepanjang pesisir timur Sumatra.

4. Dampak terhadap Kerajaan-Kerajaan Lokal

Ekspedisi Pamalayu membawa perubahan besar bagi peta politik Sumatra:

  • Banyak kerajaan kecil menjadi vasal atau sekutu baru Singhasari, mengakui supremasi Jawa.
  • Beberapa penguasa lokal digantikan atau dilebur ke dalam sistem aliansi baru.
  • Budaya politik Jawa dan sistem keagamaan Siwa-Buddha mulai menyebar ke luar Jawa secara sistematis.

Di sisi lain, kehadiran militer dan politik dari luar pulau menimbulkan:

  • Ketegangan antar kerajaan kecil, yang mungkin sebelumnya bebas dari dominasi asing.
  • Perubahan struktur sosial, di mana bangsawan lokal mulai terkait dengan pusat kekuasaan baru (Jawa).
  • Dalam jangka panjang, ekspedisi ini menjadi fondasi bagi ekspansi Majapahit, yang melanjutkan dan memperluas struktur pengaruh yang dibangun oleh Kertanegara.

Ekspedisi Pamalayu tidak hanya menundukkan wilayah secara fisik, tapi juga mengintegrasikan pulau-pulau besar Nusantara ke dalam satu sistem mandala politik yang berpusat di Jawa.


Dampak Ekspedisi Pamalayu

Ekspedisi Pamalayu bukanlah sekadar episode militer, tetapi merupakan transformasi geopolitik yang berpengaruh besar terhadap tatanan Nusantara abad ke-13 dan sesudahnya. Dalam berbagai aspeknya, ekspedisi ini menandai titik awal hegemoni kekuasaan Jawa atas wilayah luar pulau, terutama Sumatra. Dampak ekspedisi ini melintasi bidang politik, ekonomi, hingga budaya dan agama—membentuk warisan yang dirasakan hingga masa Majapahit, bahkan kolonialisme.


A. Dampak Politik

Integrasi Sumatra ke Orbit Jawa

Salah satu dampak terpenting dari ekspedisi ini adalah integrasi wilayah Sumatra bagian timur dan tengah ke dalam orbit politik kerajaan Jawa Timur, dalam hal ini Singhasari. Meskipun tidak semua wilayah ditaklukkan secara permanen, ekspedisi ini menciptakan:

  • Rantai aliansi dan vasal politik antara kerajaan Jawa dan Melayu,
  • Legitimasi pengaruh kekuasaan Jawa di luar Jawa, suatu hal yang tidak terjadi dalam skala ini sejak masa Sriwijaya,
  • Konsep “mandala maritim” yang menghubungkan pusat dan pinggiran melalui jaringan politik, bukan sekadar penaklukan militer.

Ini juga memperluas cakupan pengaruh elite Jawa terhadap kerajaan-kerajaan yang sebelumnya lebih mandiri secara lokal.

Warisan Kekuasaan Lintas Pulau

Ekspedisi ini menjadi prototipe bagi model kekuasaan Majapahit di kemudian hari. Konsep penguasaan wilayah tidak lagi bersifat teritorial seperti di daratan Asia, melainkan berbasis jaringan maritim antar pulau, dengan struktur relasi yang fleksibel:

  • Kekuasaan disebar melalui pernikahan dinasti, pengiriman simbol keagamaan, dan ekspedisi diplomatik,
  • Raja pusat (di Jawa) bertindak sebagai “cakravartin” (raja dunia) yang mengayomi wilayah pinggiran, bukan sebagai penakluk brutal.

Dalam konteks ini, ekspedisi Pamalayu adalah cikal bakal sistem Nusantara maritim terpadu yang menjadi cita-cita Kertanegara dan kemudian diwujudkan sepenuhnya oleh Majapahit.


B. Dampak Ekonomi

Kendali atas Perdagangan Maritim dan Komoditas

Dengan mengamankan pelabuhan dan sungai-sungai utama di Sumatra timur (Batanghari, Musi, Indragiri, Rokan), Singhasari berhasil:

  • Menguasai pusat perdagangan emas, lada, dan kapur barus dari pedalaman Sumatra,
  • Mengalihkan jalur dagang dari kontrol lokal ke kontrol kerajaan pusat (Singhasari),
  • Menghubungkan produksi komoditas dari hulu ke distribusi antar pulau dan internasional.

Langkah ini membuat Jawa, khususnya pelabuhan-pelabuhan seperti Tuban dan Gresik, menjadi simpul dagang baru yang bersaing dengan Malaka dan Palembang.

Kontrol Jalur Strategis Nusantara Barat

Ekspedisi ini juga memperkuat:

  • Kontrol atas Selat Malaka dari sisi selatan, mempersulit kekuatan asing (seperti Mongol) untuk masuk tanpa izin,
  • Posisi strategis Jawa sebagai titik tengah perdagangan Asia Tenggara.

Kekuatan ekonomi berbasis laut menjadi fondasi penting bagi lahirnya sistem “negara maritim” yang mengandalkan armada dan pelabuhan, bukan benteng dan daratan.


C. Dampak Budaya dan Agama

Penyebaran Agama Buddha Tantrayana

Salah satu aspek kultural paling jelas dari ekspedisi ini adalah penyebaran pengaruh keagamaan Jawa, khususnya Buddha Tantrayana yang bercampur dengan ajaran Siwa. Pengiriman arca Amoghapasa dari Jawa ke Sumatra mencerminkan:

  • Perpindahan bukan hanya benda fisik, tetapi juga doktrin dan struktur ritual keagamaan,
  • Penyebaran ikonografi Jawa ke luar pulau (arca, prasasti, sistem punden berundak),
  • Penerimaan rakyat Melayu terhadap agama dan simbol kekuasaan dari Jawa, sebagai bentuk adaptasi dan penerimaan hegemonik.

Dalam catatan arkeologi, penyebaran arca Buddha Mahayana dengan gaya Jawa terlihat mulai muncul di wilayah Sumatra setelah ekspedisi ini.

Pertukaran Arsitektur, Sastra, dan Sistem Pemerintahan

Hubungan diplomatik dan militer membuka jalur pertukaran budaya, antara lain:

  • Arsitektur dan seni bangunan Jawa mulai masuk ke Sumatra, terlihat dalam ornamen candi dan sistem bangunan suci,
  • Pengaruh sistem pemerintahan Jawa, seperti jabatan-jabatan pemerintahan dan struktur birokrasi kerajaan, mulai diterapkan di kerajaan Melayu,
  • Naskah dan tradisi sastra, seperti kakawin, ajaran moral Buddhis, serta model pengadilan kerajaan (dharma sastra) mulai dikenal dan disebarkan.

Secara keseluruhan, ini menciptakan fondasi bagi budaya sinkretis Nusantara, yang menggabungkan unsur lokal dan Jawa menjadi sistem budaya lintas pulau.


Tokoh-Tokoh Penting dalam Ekspedisi Pamalayu

Ekspedisi Pamalayu (1275–1292) tidak hanya menjadi peristiwa militer dan diplomatik berskala besar, tetapi juga panggung bagi sejumlah tokoh penting dalam sejarah awal unifikasi Nusantara. Mereka mewakili berbagai peran strategis—raja pemimpin ekspansi, panglima pelaksana, raja lokal yang menjadi mitra diplomatik, hingga figur perempuan dan penerus dinasti yang menjembatani dua kebudayaan besar.


1. Raja Kertanegara (Singhasari)

Sebagai arsitek utama Ekspedisi Pamalayu, Raja Kertanegara (memerintah ca. 1268–1292 M) adalah tokoh sentral dalam babak ekspansionisme Jawa. Ia dikenal sebagai pemimpin dengan visi jauh ke depan:

  • Menolak tunduk pada kekaisaran Mongol (Dinasti Yuan),
  • Menyusun strategi ekspansi maritim Nusantara melalui ekspedisi militer dan diplomasi simbolik,
  • Mempromosikan ideologi Cakrawala Mandala Maritim, yaitu sistem kekuasaan berbasis jaringan laut dan aliansi lintas pulau,
  • Menggabungkan ajaran Siwa-Buddha dalam konsep kekuasaan spiritual-politik.

Di bawah perintahnya, armada besar dikirim ke Sumatra untuk memperluas pengaruh Jawa. Meski ia gugur dalam pemberontakan Jayakatwang (1292), warisan strateginya hidup dan menjadi fondasi Majapahit.


2. Mahisa Anabrang (Panglima Ekspedisi)

Mahisa Anabrang adalah panglima yang diutus langsung oleh Kertanegara untuk memimpin Ekspedisi Pamalayu. Namanya berarti “kerbau penyeberang”, metafora dari kekuatan dan keteguhan dalam menaklukkan rintangan antar pulau. Ia memainkan peran:

  • Mengorganisasi logistik pelayaran lintas laut dari Jawa ke Sumatra,
  • Menjalin relasi dengan kerajaan Melayu dan wilayah sekitarnya,
  • Mengatur tata hubungan diplomatik dan pengiriman arca Amoghapasa,
  • Menjadi tokoh penghubung antara strategi kerajaan dan implementasi lapangan.

Dalam tradisi Jawa, Mahisa Anabrang termasuk dalam jajaran panglima yang dihormati, setara dengan para senapati era Majapahit kemudian.


3. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (Raja Melayu)

Raja Mauli Warmadewa adalah penguasa Kerajaan Dharmasraya di Sumatra, penerima langsung hadiah arca Amoghapasa dari Kertanegara pada 1286. Ia dikenal dari Prasasti Padang Roco, di mana disebut sebagai:

“Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, raja yang penuh kebajikan, yang menyambut dengan suka cita hadiah dari sang Maharaja di Jawa.”

Perannya penting dalam:

  • Membentuk aliansi damai dan politik dengan Jawa Timur,
  • Menjadi perwakilan elite Sumatra yang mengakui hegemoni Singhasari,
  • Mewujudkan model relasi antara kerajaan maritim pusat dan daerah pinggiran.

Kepemimpinannya menandai masa transisi politik dari warisan Sriwijaya menuju integrasi ke sistem kekuasaan Jawa.


4. Dara Petak (Putri Melayu, Permaisuri Raden Wijaya)

Dara Petak adalah putri kerajaan Melayu yang didatangkan ke Jawa bersama rombongan ekspedisi pulang Mahisa Anabrang (pasca 1292), dan kemudian dinikahi oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Ia bergelar Sri Indreswari dan merupakan ibu dari Jayanegara, raja kedua Majapahit.

Dara Petak berperan sebagai:

  • Simbol pernikahan politik antara kerajaan Melayu dan Majapahit,
  • Pewaris garis darah Melayu dalam dinasti Jawa,
  • Jembatan kultural dan legitimasi politik lintas pulau yang mengikat Sumatra–Jawa.

Peran perempuan dalam diplomasi seperti ini mencerminkan tingginya posisi perempuan bangsawan dalam sistem kekuasaan tradisional Nusantara.


5. Raden Wijaya (Penerus Strategi dan Pendiri Majapahit)

Raden Wijaya, menantu Kertanegara dan pendiri Majapahit (1293), merupakan tokoh penting dalam pelanjutan visi ekspansi Nusantara:

  • Menerima rombongan pasukan Mahisa Anabrang sepulang dari Sumatra,
  • Menikahi Dara Petak sebagai bagian dari konsolidasi kekuatan pasca Singhasari,
  • Melanjutkan cita-cita ekspansionisme lintas pulau dalam konsep “Nusantara” yang diperluas oleh Gajah Mada.

Raden Wijaya tidak memulai ekspansi dari nol, tetapi mewarisi struktur diplomasi dan aliansi regional yang telah dibangun melalui Ekspedisi Pamalayu. Dengan demikian, ekspedisi ini adalah jembatan langsung dari Singhasari ke Majapahit.


Akhir Ekspedisi dan Kaitan dengan Berdirinya Majapahit

Ekspedisi Pamalayu yang dimulai pada 1275 M di bawah Raja Kertanegara berakhir dengan dampak historis yang jauh lebih luas daripada sekadar dominasi atas wilayah Melayu. Ia menjadi batu loncatan bagi lahirnya kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara: Majapahit. Meskipun ekspedisi tersebut belum selesai secara penuh ketika Singhasari runtuh, hasil dan struktur yang ditinggalkannya justru dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya untuk membangun fondasi kekuasaan lintas pulau yang lebih kokoh.


1. Runtuhnya Singhasari (1292)

Ironisnya, ketika ekspedisi Pamalayu masih berlangsung di Sumatra, pusat kekuasaan di Jawa mengalami kehancuran. Pada tahun 1292, Jayakatwang, adipati Kediri, melakukan pemberontakan besar dan berhasil menumbangkan Raja Kertanegara di Singhasari. Hal ini menyebabkan:

  • Kekosongan kekuasaan di pusat kerajaan,
  • Fragmentasi elite politik Jawa,
  • Perubahan orientasi dari ekspansi luar ke konsolidasi internal.

Namun, gagasan besar Kertanegara tidak ikut mati. Sebagian besar struktur kekuasaannya tetap hidup, termasuk para panglima, sekutu, dan jaringan aliansi regional yang telah terbentuk melalui ekspedisi.


2. Perpindahan Kekuasaan ke Raden Wijaya

Dalam kekacauan pasca-runtuhnya Singhasari, muncul sosok Raden Wijaya, menantu Kertanegara. Ia cerdik membaca peluang dan membangun kembali kekuatan dengan cara:

  • Menerima dukungan sisa pasukan Singhasari dan para sekutu ekspedisi,
  • Bekerja sama dengan pasukan Mongol yang datang hendak menghukum Kertanegara (karena menolak tunduk kepada Kubilai Khan), lalu membalik serangan terhadap mereka,
  • Mendirikan Majapahit pada tahun 1293 M di wilayah bekas hutan Tarik, memanfaatkan infrastruktur dan sumber daya bekas Singhasari.

Keberhasilan Raden Wijaya didasarkan pada kelanjutan dari struktur ekspedisi dan warisan diplomatik yang telah dibentuk sebelumnya. Ia bukan membangun dari nol, tetapi mengkapitalisasi proyek ekspansionis yang diwariskan oleh Kertanegara.


3. Peran Pasukan Pamalayu dalam Pendirian Majapahit

Salah satu elemen penting dalam keberhasilan Raden Wijaya adalah kembalinya pasukan ekspedisi Pamalayu ke Jawa. Setelah menyelesaikan misi diplomatik dan memperkuat posisi Singhasari di Sumatra, pasukan ini kembali dan mendapati Singhasari telah runtuh. Namun, mereka tidak kembali ke Sumatra, melainkan bergabung dengan Raden Wijaya.

Kontribusi mereka meliputi:

  • Dukungan militer terlatih yang pernah berlayar lintas pulau dan berpengalaman dalam kampanye diplomatik,
  • Membawa serta putri Melayu, Dara Petak, yang dinikahi oleh Raden Wijaya sebagai bagian dari konsolidasi politik dan budaya lintas pulau,
  • Menguatkan klaim Majapahit sebagai penerus sah Singhasari sekaligus penguasa baru yang mewarisi hubungan diplomatik dengan Sumatra.

Pasukan Pamalayu menjadi semacam “pasukan republik diaspora” yang justru menemukan tujuan barunya dalam membangun Majapahit sebagai kekuatan baru yang kosmopolitan dan maritim.


4. Simbol Penyatuan Sumatra–Jawa dalam Majapahit Awal

Simbolisme penyatuan antara Sumatra dan Jawa begitu kuat dalam Majapahit:

  • Perkawinan Raden Wijaya dan Dara Petak melahirkan Jayanegara, raja kedua Majapahit, yang secara simbolik mewakili darah dua kerajaan besar Nusantara: Jawa dan Melayu.
  • Majapahit secara politik tidak hanya berpusat di Jawa, tetapi mengklaim sebagai penerus legitimasi Sriwijaya, yang ditengahi oleh peran ekspedisi Pamalayu.
  • Dalam naskah seperti Negarakertagama, wilayah Sumatra disebut sebagai bagian dari mandala Majapahit, bukan sekadar wilayah asing.

Konsepsi “Nusantara” mulai tumbuh dari proyek integrasi yang diawali oleh Kertanegara dan diteruskan oleh Raden Wijaya. Inilah titik penting ketika Nusantara bukan hanya nama geografis, tetapi konsep politik kebangsaan awal.

Ekspedisi Pamalayu (1275–1292) bukanlah sekadar bagian dari narasi kejayaan militer Kerajaan Singhasari, tetapi merupakan titik balik sejarah maritim dan geopolitik Nusantara. Di tengah kecenderungan kerajaan-kerajaan agraris yang berfokus pada penguasaan daratan, Raja Kertanegara tampil sebagai figur langka yang memiliki pandangan jauh ke depan: membangun hegemoni lintas pulau, mengikat Sumatra ke dalam orbit kekuasaan Jawa, dan memperluas pengaruh budaya serta agama hingga ke negeri-negeri seberang.

Ekspedisi ini memiliki tiga warisan utama yang membentuk fondasi masa depan Nusantara:


1. Dampak Historis dan Strategis

Ekspedisi ini mengokohkan model kekuasaan maritim Jawa, berbasis pada:

  • Penguasaan pelabuhan-pelabuhan strategis,
  • Aliansi dan pernikahan dinasti dengan kerajaan luar pulau,
  • Simbolisme budaya dan keagamaan sebagai sarana hegemoni non-militer.

Melalui ekspedisi ini, Singhasari berhasil:

  • Mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan Sriwijaya,
  • Menanamkan ide integrasi politik berbasis laut,
  • Meletakkan landasan ideologis dan militer bagi Majapahit sebagai kekuatan Nusantara berikutnya.

2. Refleksi Wawasan Maritim Nusantara

Ekspedisi Pamalayu menunjukkan bahwa wawasan maritim Nusantara bukanlah konstruksi kolonial, melainkan sudah menjadi bagian dari visi politik kerajaan-kerajaan Indonesia sejak abad ke-13. Wawasan ini tampak dalam:

  • Strategi ekspansi melalui laut, bukan jalan darat,
  • Kemampuan logistik, armada, dan diplomasi pelayaran jarak jauh,
  • Kesadaran bahwa kontrol atas selat dan pelabuhan adalah kunci supremasi regional.

Dalam konteks ini, Raja Kertanegara adalah pelopor doktrin geopolitik maritim Nusantara, mendahului banyak pemimpin regional Asia lainnya.


3. Warisan Ideologis dan Kultural

Ekspedisi ini melahirkan:

  • Model penyatuan wilayah melalui simbol agama, sastra, dan kesenian,
  • Sistem hubungan antar kerajaan berbasis mandala, bukan kolonialisme eksplisit,
  • Kebudayaan sinkretis yang menggabungkan unsur Jawa, Melayu, Siwa-Buddha, dan lokal Sumatra ke dalam jaringan Nusantara.

Warisan ini diteruskan oleh Majapahit dan kemudian mempengaruhi konsepsi Nusantara dalam karya seperti Negarakertagama dan Suma Oriental karya Tome Pires.

Ekspedisi Pamalayu adalah kisah keberanian dan kecerdikan geopolitik dari masa lalu yang membuktikan bahwa bangsa-bangsa Nusantara telah memiliki wawasan maritim, strategi unifikasi, dan semangat kosmopolitanisme jauh sebelum era kolonial. Ia adalah simbol awal “kesadaran Nusantara”—yakni bahwa kepulauan ini bukan sekadar gugusan pulau, tetapi satu jaringan budaya, politik, dan perdagangan yang bisa disatukan oleh visi besar, keberanian ekspansi, dan strategi cerdas.

Sebagai bagian dari memori sejarah, ekspedisi ini layak dipelajari ulang bukan hanya sebagai catatan kejayaan masa lalu, tetapi sebagai cermin untuk menyusun ulang masa depan Indonesia sebagai kekuatan maritim global.


📚 DAFTAR REFERENSI

🔸 Sumber Primer dan Naskah Kuno

  • Prasasti Padang Roco (1286 M) – Prasasti batu dari Sungai Batanghari, menyebut pengiriman arca Amoghapasa oleh Kertanegara kepada Raja Melayu di Dharmasraya.
  • Pararaton – Naskah sejarah Jawa yang menyebut tokoh-tokoh Singhasari dan peristiwa menjelang keruntuhan Kertanegara.
  • Kidung Panji Wijayakrama – Naskah sastra yang menggambarkan peralihan dari era Singhasari ke Majapahit, termasuk pengaruh ekspedisi luar Jawa.
  • Negarakretagama – Mpu Prapanca (1365 M). Menyebut sistem mandala dan wilayah luar Jawa sebagai bagian Majapahit, hasil warisan ekspedisi sebelumnya.

🔸 Buku & Karya Akademik

  • Coedès, George. The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press, 1968.
  • Muljana, Slamet. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS, 2005.
  • Pigeaud, Theodore G.Th. Java in the 14th Century. The Hague: Martinus Nijhoff, 1960.
  • Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford: Stanford University Press, 2001.
  • Munoz, Paul Michel. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet, 2006.
  • Moertono, Soemarsaid. State and Statecraft in Old Java. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1987.
  • De Casparis, J.G. Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D. Jakarta: Government of Indonesia, 1956.
  • Sedyawati, Edi. Arkeologi dan Seni Budaya: Menelusuri Identitas Bangsa. Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

🔸 Penelitian dan Artikel Ilmiah

  • Ramli, Riza. “Ekspedisi Pamalayu dan Integrasi Nusantara Maritim.” Jurnal Sejarah Nusantara, Vol. 10, No. 2, 2020.
  • Surya, I Made. “Peran Mahisa Anabrang dalam Ekspedisi Pamalayu.” Jurnal Humaniora Udayana, Vol. 8, No. 1, 2018.
  • Sari, Nila. “Kebijakan Politik Kertanegara dan Strategi Lintas Pulau.” Jurnal Sejarah Maritim, 2021.
  • Dewi, Luh Putu. “Dara Petak dan Konsolidasi Majapahit Awal.” Jurnal Kajian Gender dan Sejarah, Vol. 5, No. 2, 2022.

🔸 Sumber Eropa Klasik

  • Pires, Tomé. Suma Oriental, 1512. Diterjemahkan oleh Armando Cortesão. London: Hakluyt Society, 1944.

🔸 Situs & Ensiklopedia Online

  • Wikipedia Bahasa Indonesia:
    • Ekspedisi Pamalayu
    • Kerajaan Singhasari
    • Kerajaan Melayu Dharmasraya
  • Historia.id – “Ekspedisi Pamalayu dan Proyek Kertanegara”, 2021.
  • Kompas.com – “Arti Penting Ekspedisi Pamalayu bagi Sejarah Nusantara”, 2022.
  • Ensiklopedia Nasional Indonesia (LIPI) – “Mandala Politik Nusantara dan Singhasari”.

About administrator