Pada abad ke-15 hingga ke-16, kepulauan Maluku menjadi panggung penting bagi transformasi besar dalam sejarah Nusantara: islamisasi dan perlawanan terhadap kolonialisme. Kawasan ini bukan hanya dikenal sebagai “Kepulauan Rempah”, tetapi juga menjadi medan kontestasi geopolitik antara kekuatan lokal yang mulai menganut Islam dan kekuatan kolonial Eropa yang datang dengan semangat monopoli dan misi keagamaan.
Dua kekuatan lokal utama—Kesultanan Ternate dan Tidore—berperan penting dalam proses ini. Keduanya tidak hanya menjadi pusat perdagangan internasional, tetapi juga poros penyebaran Islam yang aktif di Maluku dan wilayah sekitarnya. Melalui pendekatan yang mencakup diplomasi, perkawinan politik, dakwah, dan ekspedisi militer, para sultan Islam di kawasan ini menyusun strategi untuk menyatukan pulau-pulau rempah di bawah panji agama baru dan melawan dominasi asing.
Transformasi politik dari kerajaan tradisional menjadi kesultanan Islam tidak terjadi secara mendadak. Ia merupakan hasil interaksi yang panjang antara pedagang Muslim dari Arab, Gujarat, dan Melayu dengan elite lokal Maluku. Konversi raja menjadi Muslim kemudian memicu perubahan struktural dalam pemerintahan dan masyarakat, membentuk tatanan baru berbasis hukum syariat yang diintegrasikan dengan hukum adat.
Namun, proses islamisasi ini tidak berlangsung dalam kekosongan geopolitik. Pada saat yang hampir bersamaan, Portugis mendarat di Ternate (1512) dan mulai membangun kekuatan militer serta pengaruh politik dengan kedok hubungan dagang. Keberadaan Portugis memicu resistensi yang tidak hanya bersifat lokal tetapi juga ideologis dan religius, memperkuat identitas Islam sebagai kekuatan perlawanan terhadap penjajahan asing.
Oleh karena itu, ekspedisi Islamisasi yang dilakukan oleh Ternate dan Tidore tidak hanya merupakan perluasan keagamaan, tetapi juga bagian dari proyek besar integrasi kawasan, perlawanan terhadap kolonialisme, dan penguatan identitas regional. Dari sinilah lahir para tokoh besar seperti Sultan Zainal Abidin dan Sultan Babullah, yang tidak hanya dikenang sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai pelindung iman dan penjaga kedaulatan.
Bagian ini membuka pemahaman kita tentang bagaimana Islam di Maluku berkembang bukan semata karena aktivitas keagamaan, tetapi sebagai alat transformasi politik, ekonomi, dan budaya. Melalui tulisan ini, kita akan menyusuri jejak ekspedisi Islamisasi Ternate dan Tidore sebagai bab penting dalam sejarah kebangkitan peradaban maritim Nusantara.
Kemunculan Kerajaan-Kerajaan Islam di Kawasan Timur Nusantara
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di kawasan timur Nusantara, khususnya di wilayah Maluku, tidak bisa dilepaskan dari dinamika besar yang terjadi di dunia maritim Asia pada abad ke-13 hingga ke-15. Masa ini menandai transformasi penting dalam hubungan perdagangan, agama, dan kekuasaan, di mana Islam perlahan-lahan menggantikan dominasi Hindu-Buddha dan animisme di sejumlah wilayah pesisir Nusantara.
Kawasan Maluku, yang dikenal luas sebagai penghasil utama rempah-rempah berharga seperti cengkeh dan pala, telah sejak lama menjadi tujuan para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, Gujarat, dan juga Jawa serta Sumatera membawa lebih dari sekadar barang dagangan; mereka juga membawa agama Islam, serta praktik sosial dan budaya baru yang mulai menarik perhatian para elite lokal.
Konversi para penguasa lokal di Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo ke dalam Islam merupakan tonggak penting dalam sejarah kawasan ini. Proses ini biasanya tidak bersifat paksa, tetapi melalui jalur damai: interaksi perdagangan, pernikahan antar elite, dakwah personal, serta pertukaran hadiah dan simbol-simbol politik. Dalam konteks itu, para raja yang masuk Islam juga melihat keuntungan politik dan diplomatik yang besar: jaringan dagang baru, aliansi dengan kerajaan Muslim lain seperti Aceh, Demak, dan Gowa, serta legitimasi baru untuk memerintah.
Dengan memeluk Islam, kerajaan-kerajaan di Maluku secara bertahap mengadopsi sistem pemerintahan baru. Gelar “raja” berubah menjadi “sultan”, hukum adat disesuaikan dengan syariat Islam, dan institusi baru seperti qadhi (hakim agama), masjid agung, madrasah, dan jabatan keulamaan diperkenalkan. Perubahan ini tidak hanya bersifat simbolik, tapi juga memperkuat struktur kekuasaan internal dan identitas eksternal mereka di tengah dunia yang mulai didominasi oleh jaringan kekuatan Islam global.
Namun, perkembangan ini juga terjadi bersamaan dengan masuknya kekuatan kolonial Eropa ke perairan timur Nusantara. Kedatangan Portugis pada awal abad ke-16 menghadirkan tantangan besar bagi proses islamisasi dan kemerdekaan kerajaan-kerajaan lokal. Ini menyebabkan munculnya bentuk ekspedisi dan perlawanan Islam yang lebih terorganisir, yang menjadikan Islam bukan hanya agama, tetapi juga identitas perlawanan dan pembebasan dari dominasi asing.
Dalam konteks inilah, ekspedisi Islamisasi yang dilakukan oleh Ternate dan Tidore mengambil peran strategis: menyebarkan Islam, menyatukan Maluku di bawah kepemimpinan keagamaan, dan sekaligus mempertahankan kedaulatan dari pengaruh Portugis dan Kristenisasi yang dibawa oleh kolonial.
Pentingnya Maluku sebagai Pusat Rempah Dunia
Dalam sejarah ekonomi global pra-modern, Kepulauan Maluku memiliki posisi yang sangat strategis dan unik. Dikenal sebagai “Spice Islands” atau Kepulauan Rempah, kawasan ini merupakan satu-satunya sumber utama dunia untuk dua komoditas yang sangat berharga pada masanya: cengkeh dan pala. Sebelum ditemukan teknik budidaya rempah secara besar-besaran di daerah lain, Maluku adalah monopoli alamiah dunia atas rempah-rempah yang dicari tidak hanya di Asia, tetapi juga Eropa dan Timur Tengah.
Rempah-rempah dari Maluku bukan sekadar bahan dapur. Pada abad ke-14 hingga ke-17, pala dan cengkeh bernilai lebih tinggi dari emas di pasar Eropa. Digunakan untuk mengawetkan makanan, sebagai obat, bahan parfum, dan simbol status, rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam jaringan perdagangan maritim global. Sebagai akibatnya, Maluku menjadi episentrum interaksi multibudaya, tempat bertemunya para pedagang dari Cina, India, Arab, Persia, Jawa, Melaka, hingga pedagang Eropa seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Letak geografis Maluku yang tersebar di antara perairan tropis timur Indonesia memberikan tantangan sekaligus keuntungan. Aksesnya yang sulit justru menambah nilai eksklusifitas komoditasnya. Pulau-pulau seperti Ternate, Tidore, Banda, Bacan, dan Ambon menjadi pelabuhan-pelabuhan penting dalam sistem perdagangan yang bersifat multilateral dan terbuka. Karena itu, siapa pun yang menguasai pulau-pulau ini, secara otomatis memegang kunci ekonomi kawasan dan bahkan dunia.
Ketika kerajaan-kerajaan lokal seperti Ternate dan Tidore mulai menganut Islam dan memperkuat sistem kesultanannya, mereka menyadari bahwa kontrol atas produksi, distribusi, dan jalur rempah-rempah adalah fondasi utama kekuasaan politik mereka. Dari sinilah muncul strategi militerisasi dan diplomasi dagang—termasuk dalam ekspedisi islamisasi—untuk menjaga stabilitas dan mencegah dominasi asing seperti yang dicoba oleh Portugis dan kemudian Belanda.
Dengan demikian, pentingnya Maluku dalam konteks sejarah islamisasi dan ekspansi politik Ternate-Tidore tidak hanya didasari oleh alasan agama atau kekuasaan regional, tetapi juga oleh kalkulasi ekonomi dan geopolitik global. Dalam konteks ini, ekspedisi Islamisasi dapat dibaca sebagai respons lokal yang sadar akan nilai strategis tanah airnya dalam peta dunia.
Awal Pertemuan antara Islam dan Komunitas Lokal (Pedagang Arab, Gujarat, Melayu)
Islam masuk ke Maluku bukan melalui penaklukan militer seperti yang terjadi di beberapa wilayah lain, melainkan melalui jalur damai dan perdagangan antarbangsa. Proses islamisasi di Maluku bermula dari interaksi pelabuhan yang hidup dan terbuka bagi para pedagang dari berbagai penjuru dunia Islam, termasuk dari Arab Selatan (Hadhramaut), Gujarat (India Barat), serta Kesultanan Melayu seperti Samudera Pasai dan Melaka.
Sejak abad ke-13, kapal-kapal dagang dari Gujarat dan Yaman sudah secara rutin menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di utara Maluku seperti Ternate, Tidore, dan Bacan. Pedagang-pedagang ini tidak hanya membawa rempah ke luar, tetapi juga membawa masuk kain, logam, perhiasan, kitab agama, dan tentu saja gagasan Islam. Interaksi ini dilakukan dalam konteks hubungan dagang yang bersifat simbiosis, di mana para penguasa lokal mulai mengenal tata cara pergaulan Islam, termasuk etika dagang, sistem kontrak, dan hukum waris, yang secara bertahap diadopsi karena dinilai lebih maju dan praktis dibandingkan sistem adat lama.
Di sisi lain, para pendakwah dan ulama juga ikut serta dalam misi perdagangan ini. Mereka tidak datang dengan kekuatan militer, tetapi membawa ajaran spiritual dan pendidikan. Di antara tokoh-tokoh yang diyakini memainkan peran dalam dakwah awal adalah ulama dari Gresik (Jawa Timur), para qadhi dari Samudera Pasai, serta pelaut Muslim dari Palembang dan Bugis. Banyak di antara mereka yang tinggal menetap dan menikah dengan perempuan lokal, lalu menjadi bagian dari elite sosial dan keagamaan baru di pulau-pulau tersebut.
Proses konversi agama dimulai dari kalangan elite istana, karena mereka yang paling sering berhubungan dengan pedagang asing dan memiliki kepentingan dalam menjalin aliansi dagang strategis. Salah satu peristiwa kunci adalah masuk Islamnya Raja Ternate dan pengambilan nama baru sebagai Sultan Zainal Abidin, yang kemudian menjadi penguasa Muslim pertama di kawasan Maluku sekitar akhir abad ke-15. Peristiwa serupa juga terjadi di Tidore dan Bacan, mengikuti pola yang sama: interaksi pelabuhan → adaptasi budaya → adopsi agama oleh elite → difusi ke masyarakat luas.
Islam yang datang ke Maluku juga tidak lepas dari warna lokal. Ajaran yang dibawa adalah Islam sunni bercorak sufistik, yang sangat lentur dalam menyerap nilai-nilai adat setempat, dan karenanya mudah diterima masyarakat Maluku yang sebelumnya menganut kepercayaan animisme, dinamisme, dan unsur Hindu-Buddha. Dari sinilah, Islam tumbuh menjadi agama dan sistem sosial-politik, bukan hanya keyakinan spiritual semata.
Awal pertemuan ini menjadi pondasi yang sangat kuat bagi kelahiran kesultanan-kesultanan Islam Maluku yang kemudian berperan besar dalam menyebarkan Islam ke wilayah timur Nusantara dan mempertahankan kedaulatan dari kolonialisasi asing.
Peran Ternate dan Tidore sebagai Pusat Kekuasaan Lokal Pra-Islam
Sebelum kedatangan Islam dan transformasi menjadi kesultanan, Ternate dan Tidore telah lama menjadi dua kekuatan lokal paling berpengaruh di gugusan Kepulauan Maluku Utara. Dalam struktur sosial-politik pra-Islam, mereka dikenal sebagai kerajaan-kerajaan adat yang dikelola secara kolektif oleh bangsawan dan pemimpin komunitas, dengan kekuasaan yang didasarkan pada sistem musyawarah adat dan kepemimpinan turun-temurun.
Dalam periode pra-Islam, sistem pemerintahan Ternate dan Tidore sudah memiliki bentuk kelembagaan yang cukup kompleks. Masing-masing dipimpin oleh seorang kolano (raja), yang dibantu oleh dewan bangsawan dan tetua adat. Mereka memiliki struktur aristokratik yang dikenal sebagai soa (klan atau marga), dan sistem hukum berbasis adat se atorang yang mengatur urusan perdagangan, pernikahan, warisan, serta penyelesaian konflik. Kekuatan kolano ditopang oleh keahlian dalam navigasi laut, kemampuan mempertahankan wilayah pesisir, dan dominasi atas sumber daya lokal—khususnya rempah-rempah.
Secara ekonomi, bahkan sebelum Islam, Ternate dan Tidore telah terintegrasi dalam jaringan perdagangan regional yang mencakup Sulawesi, Jawa, dan Malaka. Mereka dikenal sebagai pelabuhan transit penting, tempat berkumpulnya para pedagang dari Bugis, Buton, Jawa, Melayu, dan bahkan dari wilayah luar seperti Cina dan India. Rempah-rempah seperti cengkeh dan pala menjadi komoditas utama yang dipertukarkan dengan logam, kain, keramik, dan perhiasan.
Secara kultural, masyarakat pra-Islam Maluku menganut sistem kepercayaan lokal yang bersifat animistik dan dinamis, dengan keyakinan kepada roh leluhur dan kekuatan alam. Ritual adat sangat dihormati, dan pemimpin spiritual (dukun atau tetua adat) memiliki posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, masuknya Islam tidak menghapus tradisi lama secara frontal, melainkan mengadopsi dan menyesuaikannya dalam kerangka baru yang lebih universal.
Ternate dan Tidore juga dikenal memiliki tradisi persaingan antar kerajaan, namun dalam waktu yang sama menjalin hubungan simbiotik dalam penguasaan jalur rempah dan pertahanan maritim. Keseimbangan kekuasaan ini memungkinkan mereka bertahan sebagai aktor dominan di Maluku sebelum—dan bahkan setelah—masuknya Islam dan kolonialisme Eropa.
Dengan fondasi kekuasaan yang kuat ini, Islam masuk ke dalam struktur Ternate dan Tidore tidak sebagai gangguan, tetapi sebagai penguat legitimasi, membuka peluang untuk menjadi kesultanan dengan jaringan keagamaan, dagang, dan diplomatik yang jauh lebih luas di abad-abad berikutnya.
Latar Belakang Islamisasi di Maluku
Proses islamisasi di Maluku tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang berlangsung selama beberapa abad. Islam hadir sebagai bagian dari arus besar perdagangan internasional, namun lambat laun bertransformasi menjadi identitas politik dan agama utama di wilayah kepulauan rempah-rempah tersebut. Bagian ini akan menjelaskan kondisi-kondisi yang melandasi proses itu.
A. Peran Strategis Maluku dalam Jaringan Dagang Islam
Mulai abad ke-13, jalur laut Nusantara telah menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan maritim Muslim yang membentang dari Laut Merah, Teluk Persia, India, pesisir Melayu, hingga ke Jawa dan Nusantara timur. Dalam jalur inilah pedagang-pedagang Muslim dari Gujarat, Arab, Persia, dan Asia Tenggara memperkenalkan Islam sebagai bagian dari relasi dagang. Pelabuhan-pelabuhan di Ternate, Tidore, dan Bacan pun tumbuh sebagai simpul penting dalam jaringan itu.
Seiring meningkatnya frekuensi kontak dengan dunia Islam, masyarakat Maluku mulai menyerap unsur-unsur budaya dan religius Islam, terutama karena dianggap membawa nilai etika dagang, struktur sosial baru, dan sistem hukum yang menguntungkan dalam dinamika perdagangan. Hal ini memperkuat ketertarikan elite lokal untuk menjalin hubungan lebih erat dengan para pedagang dan ulama dari dunia Islam.
B. Perubahan Politik dan Legitimasi Kekuasaan
Masuknya Islam menawarkan legitimasi baru bagi para pemimpin lokal untuk memperkuat otoritas mereka. Di tengah persaingan antara kerajaan-kerajaan lokal, penguasa yang masuk Islam memperoleh dukungan eksternal dari kerajaan-kerajaan Islam yang lebih dahulu mapan seperti Samudera Pasai, Aceh, Demak, bahkan hingga Gowa dan Brunei. Ini memberikan keuntungan politik strategis.
Transformasi dari raja (kolano) menjadi sultan juga menandai transisi ke pemerintahan yang memiliki sistem hukum dan simbolisme kekuasaan yang lebih terorganisir. Gelar sultan tidak hanya mencerminkan perubahan agama, tetapi juga pengakuan terhadap tatanan global dunia Islam, yang memiliki konsep kesultanan, hukum syariat, dan hierarki pemerintahan.
C. Dakwah Damai dan Strategi Sosial
Islam masuk ke Maluku melalui dakwah damai, perkawinan, dan integrasi sosial, bukan melalui paksaan militer. Para mubaligh, ulama, dan guru tarekat memainkan peran besar dalam membangun komunitas-komunitas Muslim di pesisir. Banyak dari mereka menetap, menikah dengan perempuan lokal, dan mendirikan pusat-pusat pendidikan dan ibadah yang kemudian menjadi basis penyebaran Islam ke pedalaman.
Sifat sufistik Islam yang dibawa ke Maluku juga memudahkan penerimaan oleh masyarakat yang sebelumnya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ajaran-ajaran Islam awal di Maluku sangat akomodatif terhadap adat, menjadikan Islamisasi sebagai proses inkulturatif, bukan destruktif.
D. Ancaman Asing dan Soliditas Keagamaan
Kedatangan Portugis ke Maluku pada awal abad ke-16 membawa misi dagang sekaligus misi Kristenisasi. Hal ini mempercepat proses islamisasi karena komunitas lokal melihat Islam sebagai identitas kolektif yang membedakan mereka dari kekuatan asing. Islam menjadi pengikat solidaritas politik dan budaya, serta alat untuk mempertahankan kedaulatan lokal.
Proses islamisasi pun akhirnya bukan hanya bentuk perubahan keyakinan, tetapi menjadi perlawanan kultural dan militer terhadap kolonialisme. Kesultanan Ternate dan Tidore kemudian tumbuh sebagai pusat Islam yang tangguh—bukan hanya di Maluku, tetapi juga sebagai benteng Islam di kawasan timur Nusantara.
Proses Islamisasi di Maluku
A. Masuknya Islam ke Maluku
Masuknya Islam ke Maluku merupakan proses panjang yang berlangsung secara bertahap dan relatif damai. Hal ini dimungkinkan oleh struktur sosial-politik lokal yang terbuka terhadap pengaruh luar, terutama melalui jalur perdagangan maritim dan hubungan antarpulau yang sudah lama terjalin.
1. Jalur Perdagangan Rempah dan Peran Para Ulama-Pedagang
Sejak abad ke-13 hingga 15, Kepulauan Maluku menjadi simpul penting dalam jaringan perdagangan rempah global. Pedagang-pedagang Muslim dari Arab Selatan, Persia, Gujarat, hingga Nusantara barat (terutama dari Sumatra dan Jawa) rutin berlayar ke Maluku untuk mendapatkan cengkeh dan pala, dua komoditas yang sangat bernilai tinggi. Para pedagang ini bukan hanya membawa barang dagangan, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam, akhlak dagang, serta praktik sosial baru.
Para pedagang ini sering tinggal dalam waktu lama, menjalin hubungan sosial dan pernikahan dengan komunitas lokal, dan menjadi bagian dari masyarakat setempat. Dengan keteladanan dan nilai-nilai moral Islam yang ditunjukkan dalam praktik dagang dan kehidupan sehari-hari, kepercayaan terhadap Islam mulai tumbuh, terutama di kalangan elite yang aktif dalam dunia perdagangan.
2. Peran Utusan dan Da’i dari Kesultanan Samudera Pasai, Gresik, dan Jawa
Beberapa catatan sejarah dan tradisi lisan Maluku menyebutkan peran penting utusan-utusan Islam yang dikirim dari wilayah barat Nusantara. Kesultanan Samudera Pasai, sebagai kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara, disebut-sebut mengirimkan da’i (mubaligh) ke timur, termasuk ke wilayah Maluku. Selain itu, jaringan wali dan ulama dari Gresik, Demak, dan Tuban di Jawa juga aktif menyebarkan Islam ke wilayah timur, termasuk dengan mendirikan masjid dan institusi pendidikan.
Salah satu figur penting adalah Syekh Mansur dari Gresik, yang dalam beberapa riwayat lokal disebut berperan besar dalam membimbing raja Ternate masuk Islam. Hubungan personal antara ulama dan raja, ditambah simbolisasi seperti penggantian nama dan pemberian gelar Sultan, memperkuat proses legitimasi Islam sebagai identitas kekuasaan baru.
3. Islam Masuk secara Damai dan Bertahap lewat Elite Bangsawan
Islamisasi di Maluku berjalan dengan model top-down, yakni dimulai dari kalangan atas (raja dan bangsawan) lalu menyebar ke rakyat. Raja Ternate pertama yang memeluk Islam dikenal sebagai Kolano Marhum, dan putranya kemudian naik takhta dengan gelar Sultan Zainal Abidin, yang menandai awal resmi kesultanan Islam di Ternate (sekitar akhir abad ke-15). Di Tidore, proses yang sama terjadi dengan Sultan Mansur.
Konversi para penguasa tidak hanya berdampak simbolik, tetapi juga mendorong reformasi kelembagaan—dengan dibentuknya jabatan imam, qadhi, dan ulama istana, serta pendirian masjid agung dan institusi pendidikan Islam. Sebagian besar masyarakat menerima Islam secara bertahap melalui jalur dakwah kultural, pertukaran adat, dan pergaulan sehari-hari.
Yang menarik, Islam tidak sepenuhnya menghapus budaya lama, tetapi mengislamkan adat. Banyak praktik lokal yang disinergikan dengan ajaran Islam, menciptakan bentuk Islam lokal yang khas Maluku, dengan kekuatan spiritual sufistik dan penghormatan pada adat.
Proses Islamisasi di Maluku
B. Peralihan Struktur Kekuasaan
Proses islamisasi tidak hanya membawa perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan, tetapi juga mentransformasi struktur kekuasaan dan sistem pemerintahan di Ternate dan Tidore. Pergeseran dari model kepemimpinan adat (kolano) ke sistem kesultanan Islam menandai revolusi politik dan sosial yang mendalam, dengan dampak jangka panjang terhadap lanskap politik Nusantara timur.
👑 1. Transformasi Raja Ternate menjadi Sultan Zainal Abidin
Puncak proses islamisasi politik di Ternate terjadi ketika raja Ternate yang dikenal sebagai Kolano Marhum—yang konon telah bersahabat dengan para ulama dari Gresik dan Samudera Pasai—meninggal dan digantikan oleh putranya. Sang putra inilah yang kemudian naik takhta dengan nama Islam: Sultan Zainal Abidin, sekitar akhir abad ke-15 M. Ia dianggap sebagai Sultan Muslim pertama di Maluku.
Pengambilan gelar sultan bukan sekadar pergantian nama, tetapi penyesuaian menyeluruh terhadap struktur politik Islam, mencakup simbolisme, hukum, hingga legitimasi kekuasaan. Langkah ini sekaligus menempatkan Ternate dalam komunitas politik dunia Islam (Dar al-Islam), memungkinkan mereka menjalin hubungan diplomatik dan dagang lebih luas dengan kekuatan-kekuatan Islam lain, termasuk Kesultanan Aceh, Demak, dan bahkan Kesultanan Utsmaniyah di kemudian hari.
Zainal Abidin juga melakukan reformasi internal di kerajaannya dengan membentuk sistem pemerintahan yang berlandaskan prinsip-prinsip syariat, menandai integrasi penuh antara Islam dan kekuasaan lokal.
🕌 2. Pendirian Institusi Keagamaan: Masjid, Qadhi, Hukum Syariat
Salah satu langkah strategis Sultan Zainal Abidin dalam mengislamkan pemerintahan adalah pendirian institusi keagamaan formal. Ia mendirikan masjid agung sebagai pusat ibadah dan tempat pendidikan Islam. Masjid ini juga menjadi pusat administrasi keagamaan, tempat ulama berkumpul, memutuskan hukum, dan membimbing masyarakat.
Sultan juga mengangkat pejabat-pejabat khusus untuk urusan agama, termasuk:
- Qadhi (hakim agama): yang memutuskan perkara berdasarkan hukum Islam.
- Imam besar: sebagai pemimpin spiritual rakyat.
- Mufti atau penasihat hukum: yang memberi fatwa terhadap persoalan yang kompleks.
Selain itu, dilakukan kodifikasi hukum adat yang diselaraskan dengan syariat, yang dikenal sebagai adat se atorang yang berunsur Islam. Hal ini menciptakan sistem dualitas yang unik: adat sebagai kearifan lokal dan syariat sebagai norma ilahiah, yang dikelola secara harmoni.
Perubahan ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga membangun identitas baru: Ternate dan Tidore tidak lagi sekadar kerajaan lokal, tetapi menjadi kesultanan Islam dengan visi internasional, siap menjadi kekuatan tandingan terhadap kolonialisme Kristen Eropa.
Perluasan Pengaruh Islam melalui Perdagangan, Perkawinan, dan Dakwah
Setelah institusi kesultanan Islam terbentuk secara formal di Ternate dan Tidore, fase berikutnya dalam proses islamisasi adalah ekspansi pengaruh ke wilayah-wilayah lain di Maluku dan sekitarnya. Strategi perluasan ini dilakukan bukan hanya dengan kekuatan militer, tetapi melalui pendekatan kultural, sosial, dan diplomatik yang sangat efektif di kawasan maritim Nusantara, yaitu melalui perdagangan, perkawinan politik, dan dakwah ajaran Islam oleh para ulama dan mubaligh.
⚖️ 1. Perdagangan Sebagai Sarana Penyebaran Islam
Perdagangan rempah adalah urat nadi ekonomi Maluku dan juga menjadi kendaraan penyebaran Islam yang paling penting. Kesultanan Ternate dan Tidore menjadi pusat dagang internasional, tempat berkumpulnya para pedagang Muslim dari Arab, Persia, Gujarat, Malaka, Jawa, dan Sulawesi. Pedagang-pedagang ini tidak hanya membawa komoditas seperti rempah, kain, logam mulia, dan keramik, tetapi juga membawa nilai-nilai Islam dalam praktik bisnis dan hubungan sosial mereka.
Melalui pergaulan dan komunikasi antarpelabuhan, ajaran Islam meresap ke dalam komunitas pedagang lokal, terutama di wilayah pesisir dan pelabuhan sekunder seperti Bacan, Obi, Jailolo, Seram, hingga ke pantai barat Papua. Bahkan di pulau-pulau yang secara geografis lebih terpencil, kehadiran jaringan perdagangan Muslim membuka jalan bagi interaksi budaya dan keyakinan baru.
💍 2. Perkawinan Politik dan Aliansi Kekerabatan
Salah satu strategi paling halus dan efektif yang digunakan oleh sultan-sultan Maluku untuk menyebarkan pengaruh Islam adalah melalui perkawinan antar elite bangsawan. Perkawinan politik antara keluarga sultan Ternate atau Tidore dengan penguasa lokal di pulau-pulau sekitarnya menjadi instrumen penting untuk:
- Memperluas jaringan kekuasaan,
- Menciptakan hubungan vazal,
- dan mengislamkan elite-elite lokal secara simbolik maupun struktural.
Contohnya, pernikahan antara keluarga sultan Ternate dengan bangsawan dari Bacan, Seram, dan Halmahera bukan hanya memperkuat hubungan politik, tetapi juga mempermudah penerimaan Islam sebagai agama penguasa baru. Di wilayah lain seperti Jailolo dan Loloda, praktik yang sama juga menghasilkan proses islamisasi elite, yang kemudian merambat ke lapisan masyarakat bawah.
Perkawinan ini tidak hanya menandai penggabungan darah, tetapi juga integrasi simbolik antara kekuasaan lokal dan tatanan Islam, serta membuka jalan bagi pembentukan struktur pemerintahan baru berbasis kesultanan.
📖 3. Dakwah oleh Ulama dan Guru Tarekat
Dalam konteks sosial, para ulama, dai, dan guru tarekat berperan besar dalam menyebarkan Islam ke komunitas non-elite, terutama di pedalaman dan wilayah-wilayah pesisir yang tidak tersentuh langsung oleh jaringan bangsawan. Mereka mendirikan surau, pesantren lokal, dan masjid-masjid kecil, yang menjadi pusat pembelajaran agama, pengobatan, serta konsultasi sosial.
Ulama-ulama ini berasal dari berbagai latar belakang: ada yang lokal, namun banyak juga dari Jawa, Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar), dan Melayu, yang menyebarkan Islam dengan pendekatan sufistik, damai, dan akomodatif terhadap adat. Tradisi tarekat seperti Qadiriyah dan Syattariyah mulai dikenal di beberapa bagian Maluku melalui mereka.
Karena itu, Islam di Maluku memiliki ciri khas sufistik dan toleran terhadap adat, menjadikannya diterima secara luas dan menjadi bagian dari identitas lokal tanpa harus menghapus sistem tradisional yang telah ada sebelumnya.
🌱 4. Integrasi Wilayah Islam Maluku
Berkat tiga jalur utama—perdagangan, perkawinan, dan dakwah—pengaruh Islam dari Ternate dan Tidore berhasil menyebar luas ke wilayah-wilayah seperti:
- Bacan dan Obi
- Halmahera Tengah dan Selatan
- Seram Barat
- Ambon dan Lease
- Teluk Cendrawasih dan Raja Ampat
Wilayah-wilayah ini tidak semuanya menjadi Islam sepenuhnya, tetapi masuk ke dalam orbit politik dan budaya Islam, serta menjalin hubungan diplomatik dengan kesultanan Ternate atau Tidore.
Tokoh-Tokoh Sentral Islamisasi Maluku
Islamisasi di Maluku bukanlah hasil dari satu peristiwa tunggal, tetapi merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai aktor utama—baik dari kalangan kerajaan, ulama, maupun pendakwah perantauan. Para tokoh ini memainkan peran strategis dalam membangun struktur politik Islam, mengusir kekuatan asing, serta menyatukan masyarakat kepulauan rempah di bawah panji keislaman.
1. Sultan Zainal Abidin (Ternate): Pelopor Islamisasi Maluku
Sultan Zainal Abidin adalah raja Ternate pertama yang memeluk Islam dan menjadi simbol transisi dari kolano (raja adat) ke kesultanan Islam. Ia merupakan putra Kolano Marhum, yang menerima dakwah dari ulama Jawa/Gresik. Setelah ayahnya wafat, Zainal Abidin menggantikan takhta dan mengukuhkan status Ternate sebagai kesultanan Islam pertama di Maluku (sekitar akhir abad ke-15).
Zainal Abidin:
- Menjalin hubungan erat dengan ulama dari Jawa, Sumatra, dan Malaka.
- Menetapkan sistem hukum Islam melalui jabatan qadhi.
- Mendirikan masjid sebagai pusat pemerintahan dan ibadah.
- Menjadikan Islam sebagai identitas politik dan agama resmi Ternate.
Kebijakannya menciptakan fondasi kuat bagi ekspansi politik Islam di Maluku dan memperkuat posisi Ternate sebagai pusat kekuasaan Islam di kawasan timur Nusantara.
2. Sultan Babullah (Ternate): Pengusir Portugis dan Penguasa Besar
Sultan Babullah (berkuasa 1570–1583) adalah raja terbesar dalam sejarah Ternate, dikenal sebagai pengusir Portugis dari Maluku dan tokoh simbolik kekuatan Islam Nusantara di abad ke-16. Ia adalah putra Sultan Khairun, yang dibunuh secara licik oleh Portugis pada 1570. Babullah naik takhta dengan tekad untuk membalas kematian ayahnya dan mengusir penjajah dari tanah airnya.
Prestasi Sultan Babullah:
- Mengalahkan benteng Portugis di Ternate (1575) dan mengusir mereka ke Ambon dan Tidore.
- Menjalin diplomasi dengan Aceh, Johor, Demak, dan Ottoman, menjadikan Ternate bagian dari dunia Islam global.
- Mengirim utusan ke Filipina Selatan dan memperluas pengaruh Islam hingga Mindanao dan Papua.
- Menjadikan Islam sebagai kekuatan ideologis dalam perlawanan terhadap kolonialisme Kristen Eropa.
Babullah bukan hanya panglima perang, tetapi juga pemimpin spiritual dan politik yang memperkuat identitas Islam Ternate serta membentuk jaringan kekuatan Islam maritim di seluruh timur Nusantara.
3. Sultan Mansur (Tidore): Pemersatu Islam dan Pesaing Ternate
Di pihak Tidore, Sultan Mansur adalah tokoh penting dalam proses islamisasi dan integrasi ke dunia Islam. Ia adalah sultan pertama dari Tidore yang memeluk Islam dan menjadi rival politik sekaligus mitra strategis bagi Ternate. Meski terjadi kompetisi di antara kedua kesultanan ini, keduanya tetap menjadi pilar utama Islam di Maluku.
Peran Sultan Mansur:
- Menjadikan Tidore sebagai kesultanan Islam kedua di Maluku.
- Menyatukan kekuatan lokal di pesisir selatan Halmahera dan pesisir Papua Barat.
- Menyeimbangkan hubungan diplomatik antara kekuatan lokal, Spanyol, dan Portugis, sembari mempertahankan identitas Islam kerajaan.
- Mendirikan pusat-pusat pendidikan Islam dan lembaga keagamaan.
Dalam berbagai riwayat, Sultan Mansur juga menjalin komunikasi dengan sultan-sultan Islam dari wilayah luar Maluku, terutama Gowa dan Banten.
4. Ulama & Pendakwah: Dari Arab, Jawa, Gowa, dan Melaka
Islamisasi di Maluku tidak mungkin terjadi tanpa peran penting para ulama dan dai perantau. Mereka berasal dari berbagai kawasan pusat Islam, dan masing-masing menyumbangkan metode dakwah dan jejaring sosial:
- Ulama dari Arab dan Hadramaut membawa nilai-nilai syariah, fikih, dan spiritualitas Islam.
- Pendakwah Jawa & Gresik, seperti Syekh Mansur, berperan dalam mengislamkan raja dan membentuk struktur awal kesultanan.
- Ulama dari Gowa (Sulawesi Selatan) turut menyebarkan Islam setelah Gowa masuk Islam di abad ke-17, memperkuat jaringan dakwah ke Maluku bagian selatan.
- Guru dan pedagang dari Melaka dan Aceh membawa teks-teks Islam dan tradisi tarekat, terutama setelah Melaka jatuh ke Portugis (1511).
Para pendakwah ini tidak hanya mengajarkan ibadah, tetapi juga membantu membangun sistem sosial Islam, pendidikan, dan mengislamkan praktik adat setempat.
Strategi Ekspedisi Islamisasi
Strategi Islamisasi yang dilakukan oleh Kesultanan Ternate dan Tidore sepanjang abad ke-15 hingga 16 tidak dilakukan secara seragam. Proses ini merupakan kombinasi dari pendekatan damai dan koersif, melibatkan diplomasi, dakwah, pendidikan, serta ekspedisi militer. Setiap strategi memiliki peran tersendiri tergantung pada struktur sosial wilayah sasaran dan dinamika geopolitik saat itu.
A. Diplomasi dan Perkawinan Politik
Salah satu strategi utama dalam memperluas pengaruh Islam adalah melalui diplomasi antar-dinasti dan perkawinan politik. Aliansi ini bukan hanya simbol hubungan bilateral, tetapi juga alat penyebaran agama dan pembentukan jaringan kekuasaan Islam di Maluku.
- Kesultanan Ternate dan Tidore membentuk ikatan pernikahan dengan kerajaan-kerajaan seperti Bacan, Jailolo, dan Obi. Hal ini memperkuat legitimasi Islam sebagai fondasi kekuasaan regional.
- Perkawinan politik menjamin konversi elite lokal, yang kemudian berdampak pada konversi massal di kalangan masyarakat biasa.
- Ikatan kekeluargaan menciptakan solidaritas antar-kerajaan Islam, memperkuat front bersama dalam menghadapi kekuatan asing seperti Portugis dan Spanyol.
Peran wanita bangsawan dalam strategi ini sangat penting; mereka menjadi agen kebudayaan Islam, membawa serta ulama, kitab suci, dan norma-norma keislaman ke wilayah baru.
B. Dakwah dan Pendidikan
Dakwah merupakan tulang punggung Islamisasi di kawasan Maluku. Kesultanan Islam mengirimkan guru agama (syekh), qadhi (hakim), dan dai (pendakwah) ke berbagai pelosok kepulauan untuk membentuk basis-basis keislaman di luar pusat kerajaan.
- Madrasah dan pesantren lokal mulai muncul di pulau-pulau kecil, mengajarkan Tauhid, fikih, tasawuf, serta tata bahasa Arab.
- Kitab-kitab Islam klasik seperti Safinatun Najah, Tuhfat al-Muhtaj, dan teks tasawuf seperti Ihya Ulumuddin mulai diterjemahkan dan diajarkan dalam bahasa Melayu dan lokal.
- Dalam banyak kasus, hukum adat setempat diintegrasikan ke dalam kerangka syariat Islam, melahirkan sistem hukum hybrid yang dikenal sebagai “adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah.”
Dakwah berlangsung secara bertahap, damai, dan sangat adaptif terhadap kultur lokal, menjadikan Islam mudah diterima tanpa harus menyingkirkan nilai-nilai tradisional masyarakat Maluku.
C. Ekspedisi Militer & Penaklukan
Ketika diplomasi dan dakwah tidak efektif, strategi berikutnya adalah ekspedisi militer, terutama untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang menolak kekuasaan kesultanan atau bekerjasama dengan kolonial Eropa.
- Ternate dan Tidore meluncurkan serangkaian serangan terhadap wilayah-wilayah non-Islam seperti Halmahera Timur, Seram Selatan, dan beberapa komunitas animistik di pesisir Papua Barat.
- Penaklukan ini disertai dengan konversi elite lokal melalui perjanjian damai atau pemaksaan, diikuti dengan pembangunan masjid dan pengiriman ulama.
- Kapabilitas militer laut (armada kora-kora) memungkinkan mereka menjangkau pulau-pulau jauh seperti Banda, Aru, dan Raja Ampat untuk menyebarkan pengaruh Islam.
Selain kekuatan militer, kesultanan juga memperkuat pengaruh mereka melalui penguasaan atas pelabuhan-pelabuhan penting, yang berfungsi sebagai pusat distribusi agama dan logistik perang.
Dengan kombinasi ketiga pendekatan ini—diplomasi, dakwah, dan kekuatan militer—Kesultanan Ternate dan Tidore berhasil membentuk mandala kekuasaan Islam di Maluku dan bagian timur Nusantara. Proses ini memperkuat identitas religio-politik masyarakat kepulauan dan menjadikan Islam sebagai kekuatan perlawanan utama terhadap kolonialisme Eropa.
Interaksi dan Ketegangan Ternate–Tidore
Di tengah upaya Islamisasi dan ekspansi kekuasaan, Kesultanan Ternate dan Tidore memainkan peran penting sebagai pusat politik, ekonomi, dan keagamaan di Kepulauan Maluku. Namun, hubungan keduanya tidak selalu harmonis. Sepanjang abad ke-15 hingga ke-17, mereka terlibat dalam rivalitas intens, yang kerap berujung pada konflik terbuka maupun perebutan pengaruh secara diplomatis.
Meski demikian, rivalitas ini juga mendorong penyebaran Islam secara lebih luas, karena kedua pihak berlomba membangun jaringan kekuasaan berbasis agama dan pengaruh dagang di pulau-pulau tetangga.
A. Rivalitas Dua Kesultanan dalam Memperebutkan Pengaruh
Rivalitas antara Ternate dan Tidore berakar dari:
- Persaingan ekonomi, khususnya dalam penguasaan perdagangan cengkeh dan pala, dua komoditas utama yang bernilai tinggi secara global.
- Ambisi politik masing-masing sultan untuk menjadi pemimpin utama di wilayah timur Nusantara.
- Pertentangan dinasti dan klaim warisan atas wilayah-wilayah tradisional, seperti Halmahera, Seram, hingga Papua.
Rivalitas ini diperburuk oleh intervensi pihak luar (seperti Portugis dan Spanyol) yang sering kali mempermainkan politik aliansi, memperuncing konflik internal di antara kedua kesultanan Islam tersebut.
B. Pembagian Wilayah Pengaruh dan Perebutan Aliansi Lokal
Untuk memperkuat posisi mereka, kedua kesultanan aktif membangun aliansi dengan kerajaan-kerajaan kecil, antara lain:
- Bacan dan Obi kadang berpihak ke Tidore, sementara Jailolo dan Halmahera Utara lebih dekat ke Ternate.
- Di luar Maluku, pengaruh Ternate dan Tidore menyebar ke Raja Ampat, pesisir Papua, dan bagian timur Sulawesi.
Wilayah-wilayah ini tidak hanya menjadi tempat ekspansi dagang dan dakwah, tetapi juga benteng kekuasaan dalam perebutan supremasi Islam antar dua kesultanan.
C. Persaingan yang Tetap Membawa Misi Islam
Meski bersaing keras dalam hal politik dan ekonomi, Ternate dan Tidore tetap menjadi motor utama Islamisasi di kawasan timur Nusantara:
- Keduanya menyebarkan institusi kesultanan Islam, lengkap dengan jabatan qadhi, penggunaan hukum syariat, dan pendirian masjid besar.
- Kompetisi mereka mempercepat penyebaran guru agama, kitab, dan tradisi keislaman ke berbagai pulau, karena masing-masing ingin mengislamkan lebih banyak wilayah untuk memperluas legitimasi religius.
Dalam beberapa momen, seperti saat menghadapi Portugis dan kemudian Spanyol, Ternate dan Tidore bisa bersatu dalam koalisi Islam meskipun dalam konteks jangka pendek dan pragmatis.
Rivalitas Ternate–Tidore pada akhirnya mencerminkan kompleksitas geopolitik Islam di Maluku: meskipun dipenuhi persaingan kekuasaan, kedua kerajaan berkontribusi besar dalam membentuk wajah Islam Nusantara Timur dan membangun sistem Islam yang dinamis di kawasan kepulauan.
Konfrontasi dengan Portugis
Kedatangan Portugis ke Maluku pada awal abad ke-16 menandai perubahan besar dalam lanskap politik dan keagamaan kepulauan rempah. Awalnya diterima dengan hati-hati oleh para sultan, Portugis segera menunjukkan ambisi untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, mendominasi pelabuhan strategis, dan menyebarkan agama Kristen Katolik.
Hal ini menimbulkan ketegangan serius dengan Kesultanan Ternate dan Tidore, yang saat itu telah menganut Islam dan memimpin jaringan kerajaan Islam di wilayah timur. Hubungan yang semula bersifat dagang segera berubah menjadi konfrontasi terbuka dan berkepanjangan.
Kedatangan Portugis ke Maluku (1512)
1. Awal Misi Portugis di Timur
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis segera mencari sumber rempah langsung—terutama cengkeh dan pala—yang menjadi komoditas bernilai tinggi di pasar Eropa. Dengan tujuan itu, armada eksplorasi yang dipimpin oleh Antonio de Abreu dan Francisco Serrão berlayar ke arah timur dan akhirnya tiba di Maluku pada tahun 1512.
- Mereka mencapai Banda dan kemudian Ternate, yang saat itu merupakan pusat perdagangan rempah yang sangat aktif.
- Portugis diterima dengan hati-hati oleh Kesultanan Ternate, yang melihat peluang menjalin kerja sama dagang dan militer melawan pesaing regional seperti Tidore dan Jailolo.
Kedatangan Portugis dipandang sebagai peluang sekaligus potensi ancaman, karena para sultan memahami bahwa bangsa asing ini membawa ambisi imperialis yang dibungkus dalam kerjasama dagang.
2. Perjanjian Dagang dan Pendirian Benteng
Pada tahap awal, hubungan Portugis dengan Kesultanan Ternate cenderung pragmatis:
- Perjanjian dagang dibuat, di mana Portugis memperoleh hak dagang eksklusif atas cengkeh sebagai imbalan atas bantuan senjata dan militer.
- Tahun 1522, Portugis diperbolehkan mendirikan benteng São João Baptista di dekat pelabuhan utama Ternate, menandai kehadiran militer permanen mereka di Maluku.
Namun, segera setelah membangun posisi strategis, Portugis mulai menunjukkan kecenderungan mendominasi:
- Mereka mengatur harga pasar secara sepihak.
- Melibatkan diri dalam suksesi kekuasaan istana, memilih faksi yang pro-Portugis dan menyingkirkan bangsawan Islam yang independen.
- Menciptakan konflik internal di kalangan elite Ternate demi mempertahankan kontrol.
3. Penyebaran Agama Kristen dan Misi Jesuit
Kedatangan Portugis juga diikuti oleh para misionaris Katolik, terutama dari ordo Jesuit, yang bertujuan mengkristenkan penduduk lokal. Di bawah perlindungan militer Portugis:
- Beberapa gereja dibangun di sekitar benteng dan pelabuhan utama.
- Penduduk lokal, terutama anak-anak bangsawan atau budak, dijadikan sasaran utama misi pendidikan Kristen.
- Penolakan halus hingga keras dari rakyat Muslim mulai terjadi, karena misi agama ini sering kali disertai sikap merendahkan terhadap Islam dan adat lokal.
4. Campur Tangan dalam Suksesi Kesultanan
Salah satu aspek yang paling mengganggu stabilitas lokal adalah intervensi Portugis dalam suksesi kerajaan Ternate dan Tidore:
- Portugis mendukung calon-calon yang tunduk pada kepentingan mereka, bahkan dengan cara kudeta diam-diam.
- Ketika sultan tidak sejalan, seperti Sultan Hairun, Portugis memilih jalan ekstrem: membunuhnya secara licik dalam perundingan diplomatik (1570).
Tindakan ini memicu kemarahan besar rakyat Maluku dan menandai titik balik dalam hubungan Islam–Portugis. Sultan Hairun dianggap sebagai syuhada, dan anaknya, Sultan Baabullah, melanjutkan jihad Islam yang berhasil mengusir Portugis dari Ternate pada tahun 1575.
Kedatangan Portugis ke Maluku membuka babak baru kolonialisme Eropa di Nusantara. Awalnya disambut dengan kerja sama dagang, namun karena dominasi ekonomi, misi agama yang agresif, dan manipulasi politik istana, hubungan berubah menjadi permusuhan terbuka. Konflik ini memperkuat solidaritas antar-kesultanan Islam dan melahirkan perlawanan besar yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Sultan Baabullah.
Perlawanan Kesultanan Islam
Setelah bertahun-tahun mengalami penindasan dan pengkhianatan dari Portugis, Kesultanan Ternate akhirnya mengambil sikap konfrontatif. Perlawanan terhadap Portugis bukan hanya reaksi atas intervensi politik dan monopoli dagang, tetapi juga menjadi bagian dari identitas Islam dan perjuangan mempertahankan kedaulatan lokal. Puncak dari perlawanan ini terjadi dalam dua generasi: di bawah Sultan Khairun dan diteruskan oleh putranya, Sultan Babullah.
1. Sultan Khairun dan Pembunuhannya oleh Portugis
Sultan Khairun Jamil (memerintah 1535–1570) adalah seorang pemimpin cerdas dan strategis. Ia memahami bahwa hubungan dengan Portugis harus dijaga dengan hati-hati, tetapi tetap mengedepankan kedaulatan Islam dan tradisi lokal. Di masa pemerintahannya:
- Ia membangun kekuatan militer Ternate, termasuk memperkuat benteng dan armada laut.
- Khairun berusaha menjaga keseimbangan antara berdagang dengan Portugis dan membatasi pengaruh mereka atas rakyat dan bangsawan lokal.
- Ia juga menjalin aliansi dengan kesultanan lain di Maluku dan Sulawesi, seperti Bacan dan Gowa, memperluas jaringan solidaritas Islam.
Namun, sikap independennya dianggap berbahaya oleh Portugis. Dalam sebuah pertemuan diplomatik di benteng São João Baptista tahun 1570, Sultan Khairun dibunuh secara licik oleh perwira Portugis, kapten Diego Lopes de Mesquita. Kejadian ini mengguncang Maluku.
Pembunuhan ini tidak hanya menyebabkan kemarahan besar di kalangan rakyat Ternate, tetapi juga memicu jihad terbuka terhadap Portugis, menandai titik balik besar dalam hubungan Ternate dengan kekuatan kolonial Eropa.
2. Sultan Babullah dan Pengusiran Portugis dari Ternate (1575)
Setelah kematian ayahnya, Babullah Datu Syah naik takhta sebagai Sultan Ternate. Ia dikenal sebagai tokoh militer ulung dan negarawan Islam yang luar biasa. Dengan semangat balas dendam dan jihad Islam, ia menyatukan kekuatan lokal untuk memukul mundur Portugis.
Langkah-langkah strategis Sultan Babullah:
- Mengepung benteng Portugis di Ternate selama hampir lima tahun (1570–1575).
- Menggalang kekuatan aliansi dengan kerajaan-kerajaan Islam dari Sulawesi (Makassar, Luwu), Mindanao (Filipina selatan), hingga Papua.
- Menjalin kontak dengan Muslim dari Jawa, Gresik, dan Aceh, serta pedagang Muslim dari Arab dan Gujarat.
- Memanfaatkan jaringan perdagangan dan pelayaran Islam untuk mendapatkan bantuan senjata dan logistik.
Akhirnya, pada 1575, Portugis dipaksa menyerah dan angkat kaki dari Ternate, menandai kemenangan spektakuler Islam atas kekuatan Eropa. Sultan Babullah kemudian dijuluki:
“Raja dari 72 Pulau”
karena berhasil membentuk konfederasi kekuasaan Islam maritim dari Halmahera hingga ke Mindanao.
3. Strategi Politik, Aliansi Luar, dan Kekuatan Maritim
Kesuksesan perlawanan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh strategi diplomasi Sultan Babullah yang cerdas:
- Membangun koalisi Muslim antar-wilayah, mengubah Islam menjadi identitas regional perlawanan terhadap kolonialisme.
- Menghidupkan pelayaran dagang Islam dengan jaringan luas dari Gujarat, Arab, Malaka, hingga Brunei.
- Memperkuat angkatan laut Ternate, menjadikannya kekuatan maritim Islam terbesar di Asia Tenggara saat itu.
Di bawah Sultan Babullah, Ternate menjadi kerajaan Islam maritim yang otonom, kuat, dan menolak dominasi asing, menginspirasi banyak kerajaan lain di Indonesia timur untuk melakukan hal serupa.
Perlawanan Kesultanan Islam di Maluku, terutama Ternate, adalah contoh nyata bagaimana agama, politik, dan kemaritiman bersatu dalam perjuangan anti-kolonial. Dari tragedi pembunuhan Sultan Khairun hingga kemenangan spektakuler Sultan Babullah, sejarah ini menunjukkan bagaimana kesultanan Islam lokal mampu menantang dan mengalahkan kekuatan global dengan kekuatan strategis dan solidaritas regional.
Dampak Islamisasi dan Perlawanan
Ekspedisi Islamisasi yang dilakukan oleh Kesultanan Ternate dan Tidore di abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya berdampak pada struktur kekuasaan politik, tetapi juga membentuk identitas budaya, diplomasi, dan perlawanan antikolonial di kawasan timur Nusantara. Dampak ini dapat dilihat dari berbagai aspek berikut:
A. Integrasi Islam dalam Budaya Lokal
Kedatangan Islam ke Maluku tidak serta-merta menggantikan adat dan struktur lokal, melainkan bertransformasi melalui proses akulturasi yang harmonis. Hal ini ditunjukkan oleh:
- Transformasi struktur pemerintahan tradisional menjadi sistem kesultanan yang berbasis Islam, termasuk pembentukan pengadilan syariah, jabatan Qadhi (hakim agama), mufti, dan struktur birokrasi kesultanan yang mengikuti model Timur Tengah dan Jawa Islam.
- Upacara adat mulai mengandung unsur Islam, seperti pengislaman dalam proses perkawinan, kelahiran, dan kematian. Namun, unsur-unsur adat tetap dijaga, menciptakan sinkretisme budaya yang khas Maluku—seperti penggunaan istilah “adat se atorang” (adat kita bersama) yang merujuk pada norma adat dan agama secara serentak.
- Bahasa dan istilah hukum yang bercorak Islam, seperti “syarak”, “fatwa”, “zakat”, dan “sultan”, mulai menggantikan istilah lokal sebelumnya.
B. Jaringan Diplomatik Islam
Dengan Islam sebagai basis ideologis dan identitas politik, Kesultanan Ternate dan Tidore membentuk jaringan diplomatik yang luas di wilayah Nusantara dan Asia Tenggara:
- Ternate menjalin hubungan erat dengan Kesultanan Gowa, yang juga mengadopsi Islam dan berkembang menjadi kekuatan besar di Sulawesi pada abad ke-17.
- Aliansi terbentuk dengan Kesultanan Banten dan Demak, pusat kekuatan Islam di Jawa, terutama dalam mengatasi dominasi Portugis dan kelak VOC.
- Kesultanan Aceh Darussalam menjadi mitra ideologis dan dagang, terutama dalam konteks penyebaran Islam dan perlawanannya terhadap Portugis di barat Sumatra dan Samudera Hindia.
- Melalui jalur laut, Maluku menjadi bagian dari jaringan perdagangan dan dakwah Islam yang membentang dari Arab, Gujarat, Malaka, hingga Mindanao.
- Ternate dan Tidore pun diakui sebagai “penjaga Islam” di wilayah timur, memperkuat posisi mereka bukan hanya sebagai kerajaan lokal, tetapi juga sebagai pusat peradaban maritim Islam.
C. Warisan Historis
Hingga hari ini, Islam tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Maluku, meski kawasan ini juga dihuni oleh komunitas Kristen yang berkembang di era kolonial:
- Struktur masyarakat tradisional di banyak wilayah Maluku utara, seperti Ternate, Tidore, Halmahera, Bacan, masih mempertahankan lembaga keagamaan Islam, termasuk upacara keagamaan, tahlilan, haul sultan, dan ziarah ke makam ulama dan sultan.
- Perjuangan Sultan Khairun dan Sultan Babullah dijadikan simbol resistensi Islam terhadap penjajahan, menginspirasi narasi jihad lokal dan nasional dalam sejarah Indonesia.
- Bahkan dalam konflik sektarian modern (1999–2000) di Maluku, narasi historis ini muncul kembali sebagai rujukan moral dan identitas, baik dalam konteks persatuan maupun perlawanan.
Dampak Islamisasi dan perlawanan terhadap kolonialisme Eropa di Maluku membentuk tiga pilar besar:
- Islam sebagai sistem pemerintahan dan nilai hukum.
- Islam sebagai jaringan solidaritas diplomatik antar-kesultanan.
- Islam sebagai identitas budaya dan basis perlawanan terhadap penjajahan.
Ekspedisi Islamisasi bukan hanya perluasan agama, melainkan sebuah transformasi geopolitik, budaya, dan militer yang membentuk wajah Nusantara Timur hingga kini.
Islamisasi Kesultanan Ternate dan Tidore pada abad ke-15 hingga ke-16 bukan sekadar proses religius, melainkan sebuah transformasi geopolitik dan kultural yang mendalam. Melalui kombinasi strategi dakwah, diplomasi, perkawinan politik, dan perlawanan militer, para sultan di kawasan ini berhasil membentuk struktur kekuasaan yang kokoh, berlandaskan nilai-nilai Islam dan kearifan lokal.
Kekuatan Islamisasi sebagai Strategi Politik dan Kultural
Islam tidak hanya datang sebagai agama, tetapi juga sebagai kerangka kekuasaan dan identitas baru bagi masyarakat Maluku. Sultan Zainal Abidin, Sultan Babullah, dan Sultan Mansur menunjukkan bahwa Islamisasi dapat dijalankan tanpa kekerasan, namun mampu mengubah tatanan sosial, budaya, dan politik secara menyeluruh.
- Strategi Islamisasi yang mereka jalankan tidak bersifat hegemonik, tetapi inklusif dan adaptif, memungkinkan adat lokal untuk tetap hidup berdampingan dengan hukum syariat.
- Penguatan peran sultan sebagai pemimpin agama dan dunia (raja sekaligus imam) menciptakan struktur legitimasi kekuasaan yang kuat, serta memperkokoh kohesi masyarakat.
Relevansi Sejarah Islamisasi Ternate–Tidore dalam Pembentukan Geopolitik Nusantara Timur
Kesultanan Ternate dan Tidore memainkan peran krusial sebagai pusat peradaban Islam di kawasan timur Indonesia. Mereka menjadi:
- Pemain utama dalam jaringan perdagangan dan politik dunia Melayu–Islam.
- Benteng perlawanan terhadap kolonialisme Eropa, khususnya Portugis dan kemudian Belanda.
- Mediator antar-wilayah, menjembatani budaya dan kekuatan politik antara barat dan timur Nusantara.
Pengaruh ini menciptakan kawasan strategis Islam yang terhubung dengan Aceh di barat, Gowa di selatan, dan Mindanao di utara. Jejak ini tetap terlihat dalam dinamika sosial-budaya dan politik Maluku hingga kini.
Legasi Para Sultan dalam Mempertahankan Identitas dan Kedaulatan Lokal
Para sultan Ternate dan Tidore tidak hanya dikenal sebagai pemimpin wilayah, tetapi juga sebagai simbol integritas, kearifan, dan perlawanan. Warisan mereka tetap hidup dalam berbagai bentuk:
- Silsilah kesultanan yang masih diakui hingga kini, menjadi sumber identitas kultural masyarakat Maluku.
- Ritual adat dan keagamaan yang merefleksikan nilai-nilai Islam dan tradisi lokal.
- Narasi heroik perlawanan terhadap kolonialisme yang menjadi bagian dari sejarah nasional Indonesia.
Islamisasi Ternate-Tidore adalah bukti bahwa agama dapat menjadi kekuatan pemersatu, bukan pemecah. Ia membentuk landasan politik, ekonomi, dan sosial yang kokoh bagi masyarakat lokal, sekaligus melahirkan tradisi perlawanan yang heroik terhadap kekuasaan asing. Warisan ini tidak hanya hidup dalam catatan sejarah, tetapi juga dalam jati diri masyarakat Maluku dan Nusantara timur secara keseluruhan.
📚 DAFTAR REFERENSI
🔸 Sumber Primer dan Naskah Kuno
- Hikayat Ternate – Naskah sejarah tradisional Kesultanan Ternate yang memuat asal-usul Islamisasi dan peristiwa penting pemerintahan sultan-sultan awal.
- Hikayat Tidore – Naskah lokal mengenai sejarah kerajaan Tidore dan peran Islam dalam struktur politiknya.
- Catatan Portugis Abad ke-16 – Termasuk surat-surat dan laporan pelayaran seperti Cartas de Afonso de Albuquerque serta catatan dari Tome Pires dan Antonio Galvão mengenai pertemuan dengan Kesultanan Ternate dan Tidore.
🔸 Buku & Karya Akademik
- Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana, 2004.
- Djajadiningrat, Hoesein. Kesultanan Ternate dan Politik Kolonial. Jakarta: BKI, 1935.
- Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi, 2008.
- Andaya, Leonard Y. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press, 1993.
- Ali, Fachry. Kesultanan Ternate dalam Lintasan Sejarah. Ternate: Penerbit Malut Post, 2009.
- Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Volume I: The Lands below the Winds. New Haven: Yale University Press, 1988.
🔸 Penelitian dan Artikel Ilmiah
- Amirul Ulum. “Islamisasi dan Pembentukan Identitas di Kesultanan Ternate.” Jurnal Sejarah Islam Nusantara, Vol. 4, No. 2, 2021.
- Lukman, Muhammad. “Sultan Babullah dan Konsep Kepemimpinan Maritim Islam.” Jurnal Maritim & Sejarah, Vol. 5, No. 1, 2019.
- Djumala, Duta Besar. “Ternate, Tidore dan Kepemimpinan Islam Kawasan Timur.” Forum Strategi Kebangsaan, 2017.
🔸 Sumber Eropa Klasik
- Pires, Tomé. The Suma Oriental of Tomé Pires (1512–1515). Diterjemahkan oleh Armando Cortesão. London: Hakluyt Society, 1944.
- Galvão, Antonio. A Treatise on the Moluccas. Diterbitkan ulang oleh H. E. Stapel, 1920.
🔸 Situs & Ensiklopedia Online
- Wikipedia Bahasa Indonesia:
- Kesultanan Ternate
- Kesultanan Tidore
- Sultan Babullah
- Historia.id – “Sultan Babullah: Pengusir Portugis dari Nusantara”, 2020.
- Tirto.id – “Jejak Islam dan Perlawanan Sultan Khairun di Ternate”, 2021.
- Ensiklopedia Islam – “Ternate”, “Tidore”, dan “Islamisasi Maluku”.