Perang Demak Melawan Portugis (1511–1527): Penaklukan Sunda Kelapa, Portugis terusir dari Jawa barat

Perang Demak Melawan Portugis (1511–1527), termasuk latar belakang ekspansi Portugis di Malaka, strategi militer Kesultanan Demak di bawah Fatahillah, konflik dengan Kerajaan Sunda, dan penaklukan Sunda Kelapa.

Latar Belakang Kejatuhan Malaka 1511

Pada awal abad ke-16 Malaka adalah pelabuhan dagang utama dunia, di mana pedagang Arab, Cina, dan Nusantara bertemu. Pada 1511 bangsa Portugis di bawah Alfonso d’Albuquerque menaklukkan Malaka yang sedang mengalami krisis kepemimpinan. Dengan kendali atas Malaka, Portugis memonopoli jalur perdagangan rempah-rempah dan menerapkan sistem monopoli dagang di Selat Malaka. Hal ini mematikan perdagangan kaum Muslim Indonesia dan secara otomatis menjadikan Portugis penguasa rute utama laut Nusantara. Mewujudnya monopoli Portugis tersebut akhirnya menghantam kepentingan politik dan ekonomi kerabat Demak, yang selama ini menjalankan perdagangan beras dan kebutuhan pokok dengan Malaka.

Illustrasi kapal layar Portugis abad ke-16 yang mewakili armada Portugis di Selat Malaka. Setelah jatuhnya Malaka (1511), Portugis menguasai jalur rempah-rempah dunia.

Dampak Kejatuhan Malaka bagi Dunia Islam Nusantara

Kehilangan Malaka menghentikan sebagian besar aktivitas perdagangan Muslim. Portugis memblokir pedagang-pedagang Islam dari Timur Tengah di Malaka, sehingga para saudagar Muslim beralih ke pelabuhan lain di Nusantara. Akibatnya, Kesultanan Aceh di Sumatera Barat berkembang pesat karena banyak pedagang muslim kini memindahkan kegiatan perdagangannya ke Aceh dan pantai barat Sumatra. Pelabuhan baru seperti Banten juga tumbuh menggantikan peran Malaka sebagai pusat rempah di barat Nusantara. Situasi ini meningkatkan kekhawatiran umat Islam di Jawa, terutama Demak, karena monopoli Portugis mengancam kelangsungan hubungan dagang dan penyebaran Islam di seluruh kepulauan. Kesultanan Demak merasa terdorong untuk melakukan perlawanan militer atas dasar kepentingan ekonomi dan agama tersebut.

Kesultanan Demak sebagai Kerajaan Islam Pertama di Jawa

Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, berdiri akhir abad ke-15 di bekas Kadipaten Majapahit. Menurut catatan tradisi, Demak didirikan oleh Raden Patah (Sultan Alam Akbar al-Fatah), yang mengklaim garis darah Majapahit dan belajar Islam di Demak. Di bawah Sultan-sultan awal (Raden Patah, Pati Unus, Trenggana), Demak berperan mengakhiri kekuasaan Majapahit dan mengembangkan penyebaran Islam di Jawa. Sejak kelahirannya, Demak menguasai pelabuhan-pelabuhan penting utara Jawa (termasuk Cirebon dan Banten). Karena itu, Demak dianggap sebagai benteng Islam di Jawa, siap melindungi kepentingan kaum Muslim menghadapi ekspansi bangsa asing.

Demak pun segera merespons ancaman Portugis. Pada 1513, di bawah Sultan Raden Patah, Demak mengirim armada laut besar pimpinan Pati Unus untuk menyerang Malaka. Serangan pertama ini melibatkan sekitar 100 kapal dan 12.000 pasukan dari Jawa dan Palembang, tetapi berhasil dipatahkan oleh pertahanan Portugis. Setelah Raden Patah wafat (1518), Pati Unus naik takhta Demak dan mengulang serangan ke Malaka pada 1521. Sekali lagi Demak kalah dan Pati Unus gugur dalam pertempuran. Kendati kedua ekspedisi awal ini gagal, Demak memperoleh gelar pahlawan “Pangeran Sabrang Lor” untuk Pati Unus karena keberaniannya berperang menyeberang lautan.

Aliansi Kerajaan Sunda dengan Portugis

Sementara itu, di Jawa Barat kerajaan Hindu Pajajaran (Sunda) merasa terancam oleh kekuatan Islam Demak dan Cirebon di pantai utara. Raja Pajajaran Sri Baduga (Prabu Siliwangi) pada 1512 dan 1521 mengirim putra mahkota Surawisesa ke Malaka untuk mengadakan perjanjian dagang dengan Portugis. Pada tahun 1522 dicapai nota kesepahaman yang membolehkan Portugis membangun loji (gudang/benteng dagang) di Sunda Kelapa. Berdasarkan prasasti Padrão Sunda-Portugal, Portugis bahkan diberi tanah di muara Sungai Ciliwung untuk membangun benteng dan dijanjikan pembayaran lada jika pembangunan loji dilanjutkan. Proyek pembanguan benteng ini pada akhirnya tertunda karena masalah di Goa, tetapi perjanjian dagang dan kedatangan armada Portugis di perairan Jawa Barat sudah memicu kecemasan besar di Demak. Kesultanan Demak menilai aliansi Sunda–Portugal sebagai ancaman langsung yang mengganggu jalur pelayaran dan praktik Islam di wilayah Pantura Jawa.

Ekspedisi Militer Demak ke Sunda Kelapa 1527

Di bawah Sultan Trenggana (1521–1546), Demak mempersiapkan ekspedisi besar untuk mengusir Portugis dari Pantura Jawa. Ekspedisi yang diberangkatkan pada 1527 itu ditujukan bukan ke Malaka lagi melainkan ke Sunda Kelapa (Jakarta) yang diminta Portugal untuk mendirikan loji. Armadanya dipimpin oleh panglima Demak-Cirebon bernama Fatahillah (juga dikenal sebagai Faletehan atau Sunan Gunung Jati dalam tradisi lisan). Fatahillah, seorang pemuda Pasai yang menetap di Demak, diberikan kuasa atas ribuan prajurit untuk menahan ekspansi Portugis. Dalam perjalanan menuju Jawa Barat, armada Fatahillah singgah di Kesultanan Cirebon untuk bergabung dengan pasukan Cirebon sehingga kekuatan total sekitar 20 kapal dengan ±1.500 orang. Armada Demak-Cirebon ini sebagian besar terdiri dari lancaran dan kapal kayu tradisional (perahu layar-tiang) yang relatif lebih kecil dan gesit.

Pada 1526 Portugis mengirim enam kapal perang berbobot besar (galiung modern berbobot ~800 ton) di bawah pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa. Armada Portugis itu membawa sekitar 600 tentara bersenjata lengkap dengan meriam-meriam berat, dan mereka segera membangun pasukan penjaga. Menanggapi hal tersebut, Sultan Trenggana memerintahkan Fatahillah segera bergerak ke arah barat Jawa.

Ilustrasi lancaran Melayu abad ke-17 yang digunakan Kerajaan Demak dalam ekspedisi melawan Portugis di Sunda Kelapa. Armada Demak dibekali lancaran-lancaran gesit berukuran kecil.

Pertempuran sengit pun terjadi di Sunda Kelapa. Kapal-kapal Demak menebar serangan dari laut dan didukung pasukan di darat terhadap benteng serta galions Portugis. Meskipun Portugis memiliki meriam besar, taktik Demak dengan kapal-kapal kecil yang lincah dan pasukan dari Cirebon berhasil melemahkan posisi Portugis. Setelah pertempuran keras, armada Demak-Cirebon pada akhirnya berhasil merebut Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (“kota kemenangan”) untuk menandai keberhasilan tersebut. Keberhasilan ini memperkuat pengaruh Islam di Jawa Barat dan dibingkai sebagai Hari Jadi Jakarta.

Dampak Jangka Panjang

Kemenangan Demak atas Portugis di Sunda Kelapa menutup potensi kehadiran Portugis di pesisir barat Pulau Jawa. Setelah peristiwa 1527, pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta) berkembang menjadi pusat kekuasaan Demak–Cirebon (kemudian Banten) dan menjadi bandar dagang Muslim. Jalur perdagangan rempah nusantara pun bergeser kembali ke tangan penguasa Muslim: selain Sunda Kelapa, pelabuhan besar lain seperti Banten dan Aceh yang mendominasi jalur barat hingga utara Sumatra. Portugis tidak lagi memiliki pangkalan di Jawa Barat sehingga memfokuskan diri pada jaringan Maluku dan Filipina. Demak sebagai kekuatan Islam tertinggi saat itu pun memperluas pengaruhnya ke pedalaman Jawa, mempercepat penyebaran Islam di wilayah yang sebelumnya masih Hindu–Buddha. Secara keseluruhan, Perang Demak–Portugis (1511–1527) menggambarkan pergeseran kekuasaan politik-ekonomi Nusantara: Malaka dikuasai musuh Islam digantikan oleh pelabuhan Islam baru (Aceh, Banten, Jayakarta), dan Demak menancapkan jejak sebagai pelindung Islam di Jawa Barat.


📚 DAFTAR REFERENSI

🔸 Sumber Primer & Tradisional

  1. Prasasti Padrão Sunda-Portugal – Batu peringatan perjanjian dagang antara Kerajaan Sunda dan Portugis, 1522.
  2. Babad Tanah Jawi – Naskah tradisional Jawa yang mencatat peristiwa penaklukan Sunda Kelapa dan tokoh Fatahillah.
  3. Catatan Portugis (Décadas da Ásia, Diogo do Couto) – Kronik eksplorasi dan konflik Portugis di Asia Tenggara abad ke-16.

🔸 Buku & Monograf Akademik

  1. Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press.
  2. Lombard, Denys. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya, Volume II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia.
  3. Pigeaud, Th.G.Th. (1967). Java in the 14th–16th Centuries: A Cultural History of Java. The Hague: Martinus Nijhoff.
  4. Tauchid, Djajadiningrat. (1983). Kesultanan Demak: Awal Kekuasaan Islam di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  5. Munoz, Paul Michel. (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet.

🔸 Artikel & Jurnal Ilmiah

  1. Alfian, Teuku Ibrahim. “Peran Kesultanan Demak dalam Menahan Ekspansi Portugis.” Jurnal Sejarah Nusantara, Vol. 4, No. 2, 2015.
  2. Surachman, Edi. “Portugis di Malaka dan Ancaman terhadap Dunia Islam di Nusantara.” Jurnal Warisan Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019.
  3. Wiryono, Bambang. “Jayakarta dan Perubahan Geopolitik Islam di Jawa Barat.” Humaniora UGM, Vol. 25, No. 3, 2020.

🔸 Sumber Daring & Ensiklopedia

  1. Wikipedia Bahasa Indonesia:
  1. Kompas.com:
  • “Dampak Jatuhnya Malaka ke Tangan Portugis”, 2022.
  • “Perlawanan Demak terhadap Portugis di Sunda Kelapa”, 2021.
  • “Fatahillah, Penakluk Sunda Kelapa”, 2022.
  1. Historia.id – “Ekspedisi Fatahillah dan Berdirinya Jayakarta”, 2020.

About administrator