Perang Gowa-Tallo vs VOC (1666–1669), mencakup latar belakang konflik, strategi militer Sultan Hasanuddin, peran Bone dan sekutu VOC, jalannya pertempuran, Perjanjian Bongaya, serta dampaknya terhadap politik dan ekonomi Sulawesi Selatan.
Latar Belakang Konflik Politik dan Dagang
Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Gowa-Tallo (Makassar) merupakan kekuatan maritim terkuat di Sulawesi Selatan. Pelabuhan utamanya, Somba Opu, menjadi pusat perdagangan rempah dunia yang strategis menghubungkan rute Malaka–Jawa–Maluku. Gowa menjalankan kebijakan pelabuhan terbuka bagi semua pedagang (termasuk Portugis), sehingga Makassar makmur dan ramai. Di sisi lain, VOC (Kompeni Belanda) berambisi menguasai monopoli rempah Nusantara. Keberhasilan Gowa dalam merajai perdagangan membuat posisinya menantang kepentingan VOC. Konflik kepentingan inilah yang memicu persaingan keras antara kedua pihak.
VOC mulai menekan Gowa lewat blokade dan tuntutan monopoli. Sebagai contoh, Belanda memblokade pelayaran di Somba Opu dan menuntut Makassar hanya menjadi pelabuhan dagang kompeni, melarang pedagang asing lain. Selain itu, VOC memanfaatkan politik divide et impera: mereka mengadu domba Gowa dengan Kerajaan Bugis. VOC bahkan membantu pemberontakan Arung Palakka di Bone (yang pernah ditaklukkan Gowa) supaya menentang Sultan Hasanuddin. Peristiwa 1615 (Insiden Enkhuysen), di mana VOC mengkhianati bangsawan Makassar, telah menimbulkan kebencian Gowa terhadap Belanda. Balasan Gowa atas Enkhuysen – pembantaian awak kapal VOC De Endracht (1616) – bahkan memaksa Gubernur Coen menyatakan perang terbuka terhadap Makassar.
Dalam beberapa dekade berikutnya hubungan Gowa–VOC bergolak. Sultan Hasanuddin (berkuasa sejak 1653/1660) menolak keras tuntutan VOC dalam perjanjian 1660 (yang membatasi pelayaran Makassar ke Banda/Ambon dan melarang keberadaan orang Portugis). Ketika VOC mendorong Sultan Ternate menyerahkan Muna kepada sekutu Buton – meski Pulau Muna sejatinya di bawah kekuasaan Gowa – Hasanuddin marah dan menyerang Ternate serta Buton. Serangkaian insiden ini memperkeruh situasi: Gowa ingin mempertahankan kebijakan perdagangan bebas dan kekuasaan wilayahnya, sementara VOC bersikeras mewujudkan monopoli dagang Belanda di Indonesia Timur. Lambat laun ketegangan mengerucut menjadi perang terbuka tahun 1666–1669.
Sultan Hasanuddin: Pemimpin dan Strategi Militer Gowa
Sultan Hasanuddin dikenal sebagai pemimpin militer yang gigih dalam upayanya mempertahankan kemerdekaan Gowa. Saat memerintah, ia mengkonsolidasikan pasukan Gowa-Tallo dan membangun kekuatan pertahanan yang kuat. Benteng Somba Opu, misalnya, diperkuat dengan tembok tebal (sekitar 2 meter) dan meriam-meriam besar. Ia juga memodernisasi armada laut Gowa dengan kapal-kapal perang besar, sehingga kekuatan maritim Makassar menjadi tangguh. Sebelum perang, dikabarkan Gowa pernah mempersiapkan armada besar berkapasitas ribuan prajurit untuk melawan VOC (meskipun catatan detailnya bervariasi).
Hasanuddin menggalang aliansi dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan untuk memperkuat barisan anti-kompeni. Di antaranya, ia berusaha membangkitkan dukungan dari Kesultanan Wajo dan kerajaan-kerajaan lain sekitar Bone. Bahkan menurut laporan, Hasanuddin sempat memerintahkan kerajaan-kerajaan bawahan di Nusa Tenggara untuk mengirim pasukan demi menghadapi VOC. Dengan merapatkannya semua kekuatan Muslim SulSel, ia bermaksud mempertahankan hegemoni Gowa. Dalam menghadapi serangan musuh, Gowa juga menyiapkan taktik bertahan. Misalnya, penduduk kampung (termasuk yang berasal dari koloni Bone di pesisir) diperintahkan menggali parit dan membangun tanggul pembenteng untuk menghalangi serangan pasukan darat. Gowa menyiagakan pasukan laut di selat raya untuk menghadapi armada Belanda dan sekutu, sementara meriam-meriam diarahkan di posisi-posisi strategis benteng.
Sikap Hasanuddin terhadap VOC sangat tegas. Ia menolak semua tuntutan VOC yang dianggap merendahkan kedaulatan, termasuk larangan berlayar ke Maluku. Menurut catatan, Sultan Hasanuddin berkata bahwa “berperang adalah jalan terbaik” daripada menerima persyaratan-syaratan kompeni. Setelah perang makin memanas, Hasanuddin bersikukuh mempertahankan benteng Somba Opu sebagai pusat pertahanan terakhir. Dalam perang, pasukan Makassar sering melancarkan serangan balik, misalnya pada September 1667 ia mengirim 300 perahu perang sebanyak sekitar 1.000 orang menuju wilayah Ajattappareng (Barat Daya SulSel) untuk menyerang daerah Bone. Walaupun akhirnya harus berundurkan diri ke Somba Opu, strategi Hasanuddin adalah memanfaatkan kekuatan benteng dan kerjasama lokal guna memukul mundur penjajah.
Aliansi VOC dengan Kerajaan-kerajaan Bugis dan Lainnya
Sementara itu, VOC membentuk koalisi dengan tokoh dan kerajaan lokal untuk mengalahkan Makassar. Tokoh kunci adalah Arung Palakka (Aru Palaka), bangsawan Bugis dari Bone. Palakka pernah memimpin pemberontakan melawan Gowa (sekitar 1654) dan, setelah gagal, melarikan diri ke Batavia dan bergabung dengan pasukan VOC. VOC memberinya perlindungan dan menjadikannya panglima Bugis. Armidanya kemudian bergabung dengan ekspedisi Cornelis Speelman. Selain Palakka, Belanda juga melibatkan prajurit-prajurit Ambon, Buton, dan Ternate dalam pasukan gabungan melawan Gowa.
Aliansi ini terjadi karena VOC memanfaatkan kebencian beberapa kerajaan Bugis kepada Gowa. Bone dan Soppeng yang sebelumnya menjadi daerah taklukan Gowa kini berkesempatan merdeka kembali. Dalam perjanjian Bungaya, misalnya, Arung Palakka dipastikan sebagai raja merdeka Bone. Kerajaan-kerajaan lain (Buton, Ternate, Luwu, Wajo, Soppeng, dll.) juga mendapat jaminan kemerdekaan dari belenggu Gowa. Artinya, Gowa kehilangan kekuasaan atas wilayah-wilayah yang dulu subordinatinya. Dari perspektif Belanda, aliansi dengan Palakka dan kerajaan lokal lain akan menghancurkan kekaisaran maritim Gowa sehingga membuka jalan monopoli rempah-rempah Maluku di Eropa. Dengan demikian, VOC menempatkan Bone dan beberapa kerajaan Bugis sebagai mitra pentingnya di Sulawesi, sementara Kesultanan Gowa harus berjuang sendiri melawan superioritas kompeni dan sekutunya.
Kampanye Militer VOC di Bawah Cornelis Speelman
Pada akhir 1666 VOC mulai melancarkan serangan terbuka ke Gowa. Cornelis Janszoon Speelman memimpin ekspedisi besar: 21 kapal perang berisi pasukan Eropa dan pasukan Ambon beserta pengikut Arung Palakka berangkat dari Batavia pada 24 November 1666. Awal Desember armada sudah dekat perairan Makassar, sehingga pasukan Gowa memperkokoh pertahanan di benteng-bentengnya. Perang berlangsung sengit selama beberapa bulan. Berikut kronologi operasi utama VOC–Bone:
- 19 Agustus 1667 – Pendaratan di Bantaeng dan Galesong. Armada VOC bersama pasukan Bone melakukan serangan ke wilayah pantai selatan Sulsel. Pada pagi hari pasukan Belanda menembakkan meriam ke benteng Barombong dan Bantaeng, lalu mendarat di pantai Bantaeng dan Desa Galesong. Pasukan VOC dan sekutu membakar lumbung pangan di Galesong, melemahkan suplai Makassar. Pertempuran laut terjadi di sekitar Bantaeng, sementara artileri Gowa dari benteng Barombong membalas serangan kapal Belanda. Meskipun perlawanan sengit, kendali di pantai mulai jatuh ke tangan pasukan VOC.
- 22 Agustus 1667 – Benteng Galesong Jatuh. Serangan lanjutan dipimpin langsung Arung Palakka di darat; pasukan Bone berhasil menundukkan Benteng Galesong pada tanggal 22 Agustus 1667. Korban di pihak Gowa diperkirakan mencapai seribu orang akibat pengepungan ini. Keberhasilan penaklukan Galesong membuka jalur bagi Belanda menuju jantung pertahanan Makassar.
- 22 September 1667 – Benteng Barombong Jatuh. Setelah mengepung barat benteng Barombong, dalam waktu beberapa minggu pasukan gabungan VOC, Bone, Buton, dan Ternate menyerang secara intensif dari laut dan darat. Dengan tembakan meriam terus-menerus dan serangan serentak, pasukan Gowa kewalahan dan barisan pertahanannya runtuh. Pada 22 September 1667 Benteng Barombong – yang dahulu kuat – akhirnya berhasil ditawan musuh.
- 7 November 1667 – Benteng Panakkukang Jatuh. Selanjutnya Belanda mengarahkan serangan ke benteng di selatan kota, Fort Panakkukang. Pada 7 November 1667 pasukan VOC dan sekutu melancarkan serangan umum dan memaksa jatuhnya benteng ini. Kejatuhan Panakkukang semakin mengancam pertahanan Makassar; Gowa kehilangan barisan pertahanan luar dan pasukan Makassar banyak kelelahan.
- 18 November 1667 – Penandatanganan Perjanjian Bungaya. Dengan situasi darurat, Speelman mengajukan gencatan senjata pendek dan mengirim surat perundingan pada 29 Oktober 1667. Setelah beberapa hari negosiasi di Kampung Bungaya (dimulai 13 November 1667) menghadapi protokoler bahasa dan perundingan alot, Sultan Hasanuddin terpaksa menerima tuntutan VOC. Akhirnya, pada 18 November 1667 ditandatanganilah Perjanjian Bungaya oleh Sultan Hasanuddin dan Cornelis Speelman, mengakhiri peperangan terbuka.
Dengan penandatanganan perjanjian tersebut, pihak Makassar dinyatakan kalah dan akan menanggung syarat-syarat berat yang ditetapkan Belanda. Perjanjian ini memuat lebih dari 25 pasal, intinya meliputi penyerahan monopoli perdagangan rempah kepada VOC, pembongkaran benteng-benteng strategis Makassar, serta pembatasan kedaulatan Gowa atas daerah-daerah taklukannya.
Isi Perjanjian Bungaya (1667) dan Dampaknya bagi Gowa
Perjanjian Bungaya (juga dieja Bongaya) menandai titik nadir kekuasaan Kerajaan Gowa. Dalam perjanjian ini Sultan Hasanuddin harus memenuhi tuntutan VOC dan sekutunya Arung Palakka. Beberapa butir penting adalah:
- Monopoli Perdagangan VOC. Makassar harus mengakui monopoli dagang Belanda di seluruh Sulawesi Selatan (dan tenggara). Seluruh hasil rempah hanya boleh dikuasai kompeni, dan pedagang asing selain VOC dilarang bertransaksi di pelabuhan Makassar.
- Pembebasan dan Pengakuan Kerajaan Bone. Gowa harus melepas sepenuhnya penguasaan atas Bone, Wajo, dan Soppeng. Arung Palakka diangkat sebagai Raja Bone yang berdaulat independen. Dengan demikian Bone bebas dari dominasi Makassar dan masuk dalam lingkaran kekuasaan VOC sebagai sekutu. (Buton dan Ternate juga disahkan merdeka dari Gowa.)
- Penyerahan Benteng dan Wilayah. Selain membongkar sebagian besar benteng pertahanan Makassar (kecuali Fort Rotterdam), Gowa diwajibkan menyerahkan atau membiarkan Belanda menduduki benteng-bentengnya. Viasnya juga termasuk ketentuan bahwa Gowa harus membayar kerugian perang (biaya ekspedisi VOC) dalam bentuk hasil bumi setiap tahun kepada kompeni.
- Larangan Perdagangan dan Kehadiran Asing. Perjanjian melarang masuk dan berdagang bagi pihak Portugis maupun pedagang asing lainnya di wilayah Kerajaan Gowa. Satu-satunya pihak luar yang diizinkan bekerja sama adalah VOC.
Secara garis besar, perjanjian ini sangat merugikan Gowa. Benteng-benteng utama yang menjadi simbol dan pusat kekuatannya hancur atau tunduk, sumber penghasilan perdagangan rempah diambil alih, dan ruang gerak politik kerajaan sangat dikecilkan. Sultan Hasanuddin sendiri dicabut kekuasaannya atas berbagai daerah taklukan, sehingga kerajaannya hanya tersisa sebagai rumpun Gowa-Tallo saja. Dalam waktu dua tahun pasca perjanjian, Sultan Hasanuddin bahkan diturunkan dari takhta (1669) karena situasi krisis.
Lanjutan Perang (1668–1669) dan Kejatuhan Benteng Somba Opu
Meskipun Perjanjian Bungaya sudah ditandatangani, Sultan Hasanuddin dan pendukungnya belum sepenuhnya pasrah. Kabarnya, beberapa pihak Makassar menolak sepenuhnya kondisi perjanjian yang menghancurkan itu. Menyadari Gowa masih kuat melanjutkan perlawanan, VOC kembali meminta bala bantuan dari Batavia. Pada pertengahan 1669 pecahlah pertempuran baru. Pasukan campuran Belanda dan sekutu menekan benteng pertahanan terakhir Gowa.
Akhirnya, pada pertengahan Juni 1669 VOC berhasil menembus barisan pertahanan Makassar dan menyerbu Benteng Somba Opu yang selama ini menjadi benteng terakhir. Somba Opu jatuh setelah dikepung selama beberapa minggu. Kompas mencatat bahwa 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu akhirnya sepenuhnya direbut VOC. Sultan Hasanuddin yang bertahan di dalamnya lalu dipaksa turun takhta dan wilayah Gowa-Tallo dinyatakan kalah perang.
Setelah kejatuhan Somba Opu, pengaruh Gowa praktis runtuh. Banyak bangsawan dan ulama Gowa yang dipaksa mematuhi Perjanjian Bungaya serta perjanjian-perjanjian sebelumnya. Sebagai contoh, hak Gowa untuk memerintah daerah-daerah sumber ekonomi (seperti pedalaman Bugis) dicabut. Sultan Hasanuddin sendiri mengundurkan diri dan wafat pada 12 Juni 1670, menandakan berakhirnya era Gowa-Tallo sebagai kekuatan besar di Nusantara.
Dampak Jangka Panjang: Dominasi Belanda dan Perubahan Sulawesi Selatan
Kemenangan VOC dalam Perang Makassar (1666–1669) mengubah wajah politik dan ekonomi Sulawesi serta Nusantara Timur. Dampak jangka panjangnya antara lain:
- Monopoli VOC atas Perdagangan Rempah. Dengan tumbangnya Makassar, VOC menjadi penguasa tunggal jalur rempah di timur Indonesia. Belanda dapat memonopoli perdagangan cengkih, pala, dan hasil hutan Maluku tanpa saingan besar. Impor musuh (seperti Portugis) terputus. Seluruh pelayaran dan perdagangan di kawasan itu kini harus melalui kanal dagang kompeni. Sejarawan mencatat, kecuali VOC, tidak ada kekuatan asing lain yang berkecimpung bebas di Nusantara timur pascaperang ini.
- Melemahnya Kerajaan Gowa–Tallo. Gowa kehilangan sebagian besar pengaruhnya. Perpindahan kekuasaan kepada VOC dan Bone melemahkan perekonomian kerajaan Gowa. Larangan perdagangan bagi rakyat Gowa, sebagaimana disyaratkan di atas, “menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, dan juga memudarkan wibawa bangsawan Bugis-Makassar”. Rupanya, selain menimbulkan luka atas kekalahan militer, perjanjian Bungaya membatasi ruang ekonomi dan politik bangsawan Gowa, sehingga kerajaan itu tak pernah bangkit kembali.
- Munculnya Penguasa Baru (Bone–VOC). Hegemoni di Sulawesi Selatan bergeser. Bersama VOC, Kerajaan Bone (di bawah Arung Palakka) tampil sebagai kekuatan dominan. Sejarawan mencatat terciptanya “tatanan baru” di mana Kerajaan Gowa–Tallo yang sebelumnya superior telah tergantikan oleh “keunggulan Kerajaan Bone, Soppeng bersama VOC”. Sebelum perang, Gowa adalah atasan wilayah SulSel; sesudahnya peran Gowa digantikan oleh Bone (dengan bantuan VOC) dan sekutu-sekutunya. Pada dekade 1670-an, Arung Palakka bahkan tercatat sebagai penguasa terkuat di SulSel (menjabat Raja Bone 1672–1696).
- Perubahan Sosial dan Migrasi. Akibat jatuhnya pusat perdagangan Makassar, terjadi pergeseran sosial. Para saudagar, pelaut, dan bangsawan Bugis-Makassar banyak yang hijrah ke daerah lain (misalnya Johor, Sumatra, Kalimantan) untuk mencari peluang baru. Kompas mencatat periode ini sebagai awal gelombang diaspora Bugis-Makassar: bukan lagi hanya masyarakat umum, melainkan banyak tokoh dan saudagar kelas atas turut merantau karena terbatasnya kesempatan di negeri sendiri pascaperjanjian.
- Konsolidasi Kolonial Belanda di Indonesia Timur. Penguasaan VOC atas Makassar menjadi batu loncatan bagi dominasi Belanda di wilayah Indonesia timur. Dengan Makassar sebagai pangkalan strategis (Fort Rotterdam), Belanda memantapkan kendali ke Maluku dan Sulawesi Timur. Kebijakan monopoli kompeni yang berhasil di Makassar kemudian diperluas ke jajahan lain. Perang Makassar 1666–1669 sering disebut sebagai tonggak perubahan besar: setelahnya VOC menjadi otoritas pengendali utama, baik politik maupun ekonomi, di timur Nusantara.
Perang Gowa–Tallo melawan VOC adalah perang penentu bagi Sulawesi Selatan. Pertempuran yang dahsyat itu berakhir dengan struktur baru di mana kekuatan lokal Makassar tinggal sejarah, digantikan tata politik Bone-VOC. Dalam aspek ekonomi, kebijakan perdagangan Makassar yang dulu terbuka digantikan rezim monopoli Belanda sepenuhnya. Konsekuensinya, Indonesia bagian timur menjadi dominan secara kolonial oleh Belanda, sedangkan Sulawesi Selatan memasuki era politik baru di bawah hegemoni Bone dan pengaruh VOC.
📚 DAFTAR REFERENSI
🔸 Buku & Karya Ilmiah
- Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford: Stanford University Press.
- Reid, Anthony. (1988). Southeast Asia in the Age of Commerce 1450–1680, Volume Two: Expansion and Crisis. Yale University Press.
- Andaya, Leonard Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka: History of South Sulawesi (1660–1700). The Hague: Martinus Nijhoff.
- Noorhaidi Hasan. (2009). Islam, Politik dan Kekerasan: Potret Pergulatan di Indonesia. Jakarta: Logos.
- Syamsuddin, H. (1999). Islam dan Politik di Kerajaan Gowa. UIN Press.
🔸 Artikel & Jurnal Ilmiah
- Isman, Andi Nur. “Perang Makassar 1666–1669: Hasrat VOC Runtuhkan Hegemoni Kerajaan Gowa.” DetikSulsel, 20 Maret 2022.
- Purnama Sari, Putri. “Latar Belakang dan Isi Perjanjian Bongaya antara VOC dan Kesultanan Gowa.” Medcom.id, 24 Oktober 2022.
- Risdayanti Ismail. “Isi Perjanjian Bongaya, Sejarah dan Berakhirnya Perang Makassar 1667.” Detik.com, 3 Maret 2023.
- Kenedi Nurhan. “Diaspora Bugis-Makassar dari Somba Opu.” Kompas.com, 16 Januari 2009.
- Mardiana, R. “Kerajaan Gowa dan Perjanjian Bongaya: Kajian Historis.” Jurnal Sejarah Nusantara, Vol. 7, No. 1, 2021.
🔸 Sumber Daring & Ensiklopedia
- Wikipedia (Bahasa Indonesia):
- Historia.id – “Makassar yang Bangkit, VOC yang Tercekik”, 2020.
- Tirto.id – “Perang Makassar: Perlawanan Terakhir Sultan Hasanuddin”, 2019.